Resensi Ilham Romadhan
Judul: Kata yang Rapuh
Penulis: Ahmad Sahidah
Penerbit: DIVA Press
Tahun Terbit: 2019
Tebal: 184 hlm.
Status manusia sebagai makhluk sosial turut mengait
anasir-anasir lain di luar dirinya. Dari rambatan ini kemudian lahir proses
interaksi antara manusia satu dengan liyan lewat perantara bahasa. Tentu,
bahasa yang dipakai lumrah menyesuaikan lingkungan dimana interaksi
berlangsung.
Bahasa adalah soal kesepakatan, demikian yang sering
disitir. Satu kelompok masyarakat sah-sah saja berdialog dengan mitranya
menggunakan simbol-simbol tertentu yang saling dipahami sebagai konsep yang
diinginkan. Suatu kota di Turki, misalnya, hampir seluruh penduduknya
menggunakan bahasa siul untuk menyambung komunikasi jarak jauh karena letak
geografi tidak mendukung mereka berinteraksi antar tebing.
Dalam Islam, yakni Al-Qur'an, sejarah lahirnya bahasa tidak
hanya berdasar dari konsesus masyarakat, melainkan sebuah paket matang dari
langit untuk bekal manusia hidup di bumi atau disebut tawqīfi. Kata al-asmā
(bentuk plural ism, nama) dalam al-Baqarah ayat 31 adalah konsep mengenai
pernak-pernik ciptaan yang dihadiahkan kepada Adam dalam wujud yang "siap
saji", taken for granted.
Menjenguk Bahasa Indonesia
Membaca Kata Yang Rapuh anggitan Ahmad Sahidah dalam kumpulan
tulisan yang pernah tersiar di beberapa media seperti Majalah Tempo, Jawa Pos
dan Suara Merdeka, rasanya seperti sedang menjalani pijat refleksi sambil
menyimak kegundahan si tukang menghadapi otot-otot bahasa yang kaku karena lama
tak digerakkan.
Sebagai anak yang lahir-tumbuh di Indonesia, kita sepatutnya
bangga dengan ragam buminya. Mirip pertanyaan klise yang acapkali dilontarkan,
jika bukan kita, siapa? Tetapi apakah kebanggaan itu terus kita rawat atau
tidak, adalah persoalan menantang. Hidup di zaman serba canggih, beberapa
bidang kita telah ditindih produk asing.
Termasuk kaitannya dengan bahasa yang lumrah menandai dari
mana ia bermuasal. Bahasa Indonesia, sebagai lingua franca, bahasa pengantar
kita, dewasa ini bernasib kurang menguntungkan.
Kondisi itu dapat dengan mudah kita amati di beberapa
masyarakat di kota besar, di mana terjadi ragam interaksi yang kompleks baik
secara verbal atau perantara gawai. Di sana, bahasa Indonesia bertaruh
eksistensi dengan bahasa asing.
Bahasa Indonesia tidak lagi megah di mulut-mulut pejabat
yang merasa lebih berwibawa bicara dengan bahasa asing. Virus ini, agaknya,
telah merembes ke ruang-ruang televisi publik. Dari penamaan program tayangan,
misalnya, memilih judul "Talk Show" dirasa lebih gagah ketimbang "Dialog Muka". Sematan presenter, host, terdengar lebih mewah (meski tidak terdaftar
dalam KBBI) ketimbang penyampai. Padahal sekitar tahun 2000-an, kita
menyaksikan program Televisi Rakyat Indonesia (TVRI) dimulai oleh pembawa acara
(bukan MC) wanita bersanggul yang menyampaikan agenda tayangan beberapa jam
ke depan.
Kecenderungan kita memakai istilah kebarat-baratan patut
dibatasi hanya pada kebutuhan teknis, yakni ketika pengandaian makna bahasa
asal tidak sepenuhnya ditangkap oleh bahasa Indonesia. Meminjam misal Ahmad
Sahidah, being-in-the-world (atau Dasein)-nya Martin Heideger yang dalam bahasa
Indonesia artinya "mengada di dunia", semata dimakfu untuk kebutuhan
membeber hakikat istilah itu.
Tetapi dalam istilah lain yang dapat ditemukan padanannya,
alangkah baik padanan itu digunakan senyampang tidak mereduksi makna awal.
Seperti dekonstruksi dalam wacana Filsuf Jacques Derrida yang mengandaikan arti
proses menjadi hancur, bisa menggunakan pola pe -an dalam bahasa Indonesia.
Malangnya, elit kita tendensius mengatakan dekonstruksi alih-alih penghancuran.
Jika narsis semacam ini terus berlanjut, bahkan tak pelak diwarisi golongan
muda, bahasa Indonesia tidak diharapkan bernapas lebih panjang.
Dengan laju teknologi demikian dahsyat, agaknya sulit
membendung ragam bahasa yang melingkar dalam jejaring dumay (dunia maya). Dalam
banyak judul tulisannya di buku yang terbit 2019 ini, Ahmad Sahidah mencatat
hasil pengamatannya dari ruang Twitter, bahwa jutaan pengguna aplikasi berlogo
burung itu, terutama warga Indonesia, senang mencampurkan bahasa pengantar
dengan bahasa Inggris. Dikarenakan Twitter membatasi jumlah karakter pada
kicauan yang akan diunggah, pengicau merasa harus berhemat kata karenanya
mengimpor bahasa Inggris atas pertimbangan jumlah huruf lebih pendek.
Pola semacam ini, jika dilepas tangan, akan semakin
membengkak dan rumit. Ahmad Sahidah, yang juga pernah mengajar di Universitas
Sains Malaysia, kerap menyandingkan realitas kesadaran berbahasa di dua negara
serumpun. Ia menilai, semangat berbahasa di Indonesia masih loyo terbukti
dengan nomenklatur acara-acara televisi dengan nama asing atau selebriti yang
suka menghambur-hamburkan kata Inggris sepanjang wawancara. Entah karena malas
mencari kata kembaran yang tercantum di KBBI, atau karena lidahnya merasa pas
mengucap kata-kata asing, atau demikian ini besar dipengaruhi tradisi setempat?
Apa pun itu, merasa gagah sewaktu melontarkan bahasa asing
dan mengerdil saat berbahasa Indonesia, menyitir kiasan Ahmad Sahidah, adalah
upaya penguburan khazanah kita. Bahwa mewujudkan Saya-Indonesia dimulai dengan
menata kata.
____
Penulis
Ilham Romadhan, alumnus Ma'had Aly An-Nur II. Suka memasak, kadang menerjemah. Sekarang mengambil studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di UNUJA Probolinggo.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com