Cerpen M. Ghaniey Al Rasyid
Siang itu tak setitik awan membumbung menghiasi langit. Binar terang mentari merangsek tanpa penghalau. Teong basah kuyup oleh keringatnya sendiri. Ia mengaduk-aduk semen, pasir, kerikil dan setengah ember air hingga setengah lembek. Adonan semen itu mengingatkan ibunya yang tak lagi dapat mengunyah nasi.
Beberapa temannya nikmat mengguyur dahaganya dengan es jeruk manis. Teong ingin pula mengguyur kerongkongannya. Di kerongkongannya hanya tinggal lembap air liur, kemudian kering dahaga membikinnya mengerutkan dahi. Dahaga benar-benar menyiksanya. Namun ia pertahankan demi iman.
“Ong, nasi rendang?”
“Ya, silahkan.”
Adukan terakhir, sebuah ember penuh dengan semen. Teong menarik ember ke lantai dua melalui katrol yang gagangnya dibikin dari karet ban. Kecipak lumpur mengucur saat ember terombang-ambing dikerek merangsek ke lantai dua. Ia membayangkan tentang makanan, sekali lagi ia tak menggubrisnya. Lusa ia harus pulang ke kampung halaman.
Langit begitu cerah tak secerah nasib hidupnya. Ia meratapi dengan saksama, bagaimana keberuntungan terkadang jauh tak mempertemukannya. Meski demikian, Teong selalu berbaik sangka. Selalu saja ia membelai-belai pikirannya, bahwa ia hanya sebuah wayang.
Teda, Broto, Suroto mulutnya sibuk mengunyah makanan. Bumbu rendang menyembul seakan mengajak Teong untuk mampir. Ia duduk di sebelah mereka.
“Tulat kita sudah Lebaran, tak apa sekali-kali,” tukas Teda sambil mengkuncupkan nasi dengan jari-jemarinya yang masih nampak kotoran yang nyempil di sela-sela kukunya.
Teong hanya meringis, sambil melempar-lempar kerikil seperti seorang pemain sirkus. Ia kadang membayangkan, apakah kisah menakutkan bila melanggar perintah-Nya itu benar terjadi. Seorang pendusta dapat hidup mewah, pejabat korup dapat hidup tenteram meskipun di balik jeruji atau dirinya yang menderita meskipun taat.
“Dunia ini sementara,” sejurus Teong mengingat lamat-lamat guru mengaji di surau sewaktu ia kecil.
“Sudah mempersiapkan apa saja untuk kampung halaman?” tanya Suroto sambil mengusap-usap perutnya.
“Seperti biasa, tabungan satu tahun akan kubongkar,” jawab Teda.
“Membelikan baju Lebaran untuk anak-istri,” ujar Broto.
Teong terdiam dengan sorot mata tertuju dalam adonan semen. Ia mendengarkan gumaman teman-temannya. Ia ingin ikut berceloteh, namun bingung memunculkan kata. Dalam benaknya terbesit kebimbangan kala membayangkan kelima adiknya dan seorang ibu di kampung halaman nan jauh.
“Minum dulu Ong. Lu melamun mulu,” tukas Teda sambil menggoyang-goyangkan lengan Teong.
“Paling penting, ya bagi-bagi THR buat sanak famili.”
“Emang cukup Ong?”
“Yah, nanti diuasahinlah, harga diri.”
“Gila bener, si Teong,” ucap Teda sambil mengajak kawan-kawannya untuk mengaduk kembali semen yang telah mengering.
Waktu nampak berlalu begitu cepat. Binar matari beralih dengan temaram kilau cahaya kekuning-kuningan. Munculnya seorang penjual jamu menandakan waktu menunjukan pukul empat. Teong lekas-lekas membasuh kepalanya dan mengemasi barang bawaannya. Sore berlalu, temaram di ufuk timur tampak begitu cantik. Waktu santap datang. Segelas air minum dan tiga keping pisang goreng menemani Teong.
Hidangan terakhir di tanah rantau terasa hambar. Rasanya mulai getir setelah hampir sebulan perut dan mulutnya dididik untuk memaknai maksud secukupnya.
Di sebuah bangunan yang Teong sewa, ia tinggal seorang diri. Bertemankan seekor perkutut, ia menghadapi hari, bulan dan tahun. Sempat suatu ketika mendiang ayahnya berpesan agar memelihara seekor burung perkututnya bila ia memutuskan merantau.
Teong menikmati santapan dalam sepi di tengah ramai hilir mudik penghuninya yang menikmati waktu selepas magrib menjelang tarawih. Bocah-bocah berlari-lari bahagia, sambil berteriak setelah petasan yang sengaja ia nyalakan memekik menggema sepanjang gang di mana Teong tinggal.
Teriakan bocah-bocah itu mengingatkan adik dan sanak famili di kampung halaman. Tak hanya itu, gurauan bocah-bocah itu mengingatkan dirinya yang telah dimakan sang waktu. Namun, belum pula berjumpa dengan tulang rusuk yang dijanjikan.
Keheningan yang mengantarkan kepada perenungan terurai oleh ketukan pintu amat lirih. Teong memastikan bahwa pintunya yang diketuk oleh seseorang di balik pintu itu.
“Ong, Teong.” Suara itu terdengar tak asing di daun telinganya.
“Eh, elu. Mari!” Teong membuka lebar pintu rumahnya. Semerbak bubuk petasan menyengat masuk ke ruang singgahnya.
Broto tampak aneh di setiap gerak-geriknya. Embusan napasnya tampak kurang beraturan. Lirikan matanya cukup sayu seakan ingin berucap. Sebuah rak botol minuman, namun dialihfungsikan menjadi kursi. Mereka berbincang. “Besok mudik?” tanya Teong mencoba memecah keheningan dan kekikukan temannya itu.
Seperti disetrum, Broto merangkai kata menyambung maksud mudik dengan perihal yang tengah ia hadapi. “Ong, gue mau minta tolong?” Broto berujar dengan lembut.
“Gimana emang?”
“Gini Ong, rumah kontrakan kena bobol maling,” ujar Broto dengan lesu.
“Serius?” Teong menghela napas. Ia menatap wajah Broto dan mengetahui kata selanjutnya yang bakal muncul.
“Iya Ong, uang itu rencana buat beli baju istri dan anak gue.”
“Sudah lapor polisi atau Pak RT?”
“Yaelah, mana bisa balik duitnya Ong?” dengan lesu Broto berkeluh kesah. Sorot matanya tampak kacau. Segalanya tampak buyar. Teong hanya terdiam menantikan kalimat-kalimat yang bakal muncul.
“Ong, pinjem duit bisa buat mudik,” Broto memasang wajah memelas mengharapkan uluran tangan Teong.
“Sebelumnya, mohon maaf, gue cuma punya tiga ratus, selebihnya untuk kebutuhan di rumah.”
“Ya, sudah itu dulu saja. Bulan depan gue balikin Ong,” Broto menepuk-nepuk pundak Teda, memastikan uang pinjamannya itu akan kembali.
Teong berjalan menuju lemari. Ia meletakkan uangnya di bawah tumpukan baju, di mana di bawahnya telah dibikin seperti laci rahasia yang hanya dirinya yang tahu. Sambil merogok laci dan pakaiannya, Teong ingin sekali berkeluh kesah. Meski demikian, ia harus menghadapinya. Sambil menarik tiga lembar uang, ia sedikit meremas baju-baju dengan menggegat keras rahangnya penuh kesal.
Tiga lembar uang menjulur mempertemukan dua tangan. Broto sumringah setelah ia dapat menggenggam uang itu. Mereka berjabat tangan kemudian bergumam menyoal hidup.
Air muka Broto kembali segar. Ia seperti dibasuh oleh guyuran air dingin sewaktu subuh. Mulutnya bergoyang, lidahnya meliuk memunculkan kata. Teong mendengar dan merasakan. Kehilangan barang berharga itu menjengkelkan. Namun, ini bukan perkara hilang, akan tetapi kebutuhan.
Malam beringsut, suara lamat-lamat lantunan Qur’an menyeruak di sela-sela gang dan ranting pohon yang diam tak setitik pun bergoyang. Di atas amben yang berbahan busa keras, Teong membujur, tatapannya tertuju ke langit-langit yang di beberapa sisi muncul sarang laba-laba.
Esok pagi ia harus kembali ke rumah, menyaksikan keluarga kecil yang bakal ditelan oleh waktu. Segalanya nampak berlangsung begitu cepat. Setahun, dua tahun, lima tahun waktu yang cepat bagi seorang kuli bangunan menghadapi nasib di kota besar nan asing.
Meski demikian, ia tak pernah setitik pun menghabiskan waktu untuk berleha-leha. Teong ingin tenggelam bersama waktu agar tak dicap merugi. Saat terlentang menjemput tidur, terbesit seketika rasa, bahwa rasa kurang beruntung memang berada dalam dirinya. Di situlah Teong menyadari tentang rugi.
***
Stasiun kota sangat ramai pemudik. Mereka berjejal-jejal seperti sedang antre sembako. Dua kardus karton penuh dengan makanan lebaran. Karton satunya diisi oleh baju baru yang dibeli di pasar pinggir kota. Harganya tak begitu mahal. Meski demikian, pakaian itu dipandang mahal bagi keluarganya yang hidup jauh dari hingar-bingar.
Teong tergopoh-gopoh bersama barang bawaannya. Seorang porter menyuguhkan bantuan untuk membawa barangnya. Ia memasang wajah sopan penuh percaya. Terbesit perasaan ragu. Teong memutuskan agar barang itu tak luput dari genggamannya sedetik pun.
Suara peluit melengking, menandakan kereta melaju. Roda sedikit demi sedikit menderu merangsek menembus siang nan begitu terik. Teong duduk persis di samping pintu kereta. Ia duduk berhadapan dengan dua orang pria yang sibuk dengan kebisuannya.
Sepanjang perjalanan Teong menyaksikan rumah-rumah kumuh, bangunan megah dan lahan hijau riuh dengan kelir hijaunya. Saat ia menyaksikan tanaman yang menjulang dan hijau, ia kembali mengingat kampung halamannya.
Mendiang ayah Teong seorang tunawisma. Ia mengelola tanah milik camat ataupun pengusaha kaya yang berada di desa. Jerih payahnya itu untuk menghidupi keluarga. Terbesit perasaan sesal, tatkala desa tak lagi menggiurkan. Teong lebih tergiur dengan ucapan dari mulut ke mulut bahwa kota lebih menjanjikan.
Ia telah merasakan bagaimana menjadi kuli bangunan yang jauh dari keluarga yang ia cintai. Teong merasakan kantuk, matanya mengatup setengah sadar oleh gemuruh mesin kereta yang menderu. Beberapa kali ia terbangun oleh liukan dan deru mesin dan suara bocah yang menangis dengan nyaring.
Kurang lebih enam jam, Teong terlelap menyandarkan punggungnya. Terasa pegal di bagian tulang ekornya. Apabila ia berlama-lama tak mengaduk semen atau memecah batu, punggung, dan lengannya akan terasa pegal. Maka ia tak ingin libur terlalu lama. Baginya hidup adalah bekerja.
Setibanya di stasiun kota, Teong berjalan menghampiri bus yang menuju ke kampung halaman. Ia harus menghabiskan waktu perjalanan kurang lebih satu jam lamanya.
Di bus itu, Teong merasakan hal yang telah lama ia lupakan. Mengendarai angkutan umum menyaksikan para penumpangnya membawa kisa beserta ayamnya. Bahkan sempat terbesit dalam ingatannya, seekor anak kambing ikut pula menjadi penumpang berjejal dengan manusia.
Setibanya di rumah, Teong ingin meneteskan air mata. Namun ia alihkan pikirannya dengan hal-hal bahagia. Ibunya membuka pintu menampakan wajah berbinar meskipun rambutnya tampak tipis dan dipenuhi uban.
Perbincangan tak sehangat ketika Teong masih muda. Gelagat dan sikap terasa begitu canggung. Kelima adiknya, Robi, Elang, Dodi, Krisna, dan Siti mulai nampak dewasa. Mereka berselang-seling menanyakan kabar dan bertukar sapa.
Kursi reot yang dibikin dari rotan masih teronggok di ruang tamu. Suatu ketika, tempat itu jadi tempat mengobrol selepas magrib. Kedua orang tua Teong selalu menanyakan tentang cita dan harapan. Kini ia harus menyampaikan sejujurnya.
“Mak, maaf anakmu ini belum bisa kawin dan sugih.”
“Mamak, hanya mau kamu jadi manusia yang taat,” tukas Ibu Robi dengan muka kering dan keriput.
Teong menarik dua kardus yang ia letakan persis di samping kursi di mana ia duduk. Robi membantunya untuk membuka barang bawaannya itu. Kelima adiknya begitu bahagia. Barang dari kota dari seorang kuli bangunan itu membikin mereka berbahagia.
Lantunan takbir berkumandang. Deru bedug bergemuruh memekik di sela-sela kampung yang telah lama ditinggal penghuninya. Selepas Lebaran waktu yang murung. Teong berdiri di teras rumah. Waktu berjumpa dengan keluarga telah usai. Ia harus kembali menghadapi tanah rantau.
Teong harus bertemu kembali dengan aktivitasnya sebagai seorang kuli bangunan. Di tanah rantau tak ada waktu berleha-leha. Setiap detik, menit dan jam adalah kesempatan. Ia harus bekerja untuk menghidupi ibu dan kelima anaknya. Tak ada cara lain selain menghadapinya dengan keberanian berlapis-lapis.
_______
Penulis
M. Ghaniey Al Rasyid, Penulis Lepas, Pengkliping dan Penikmat Karya Sastra yang Berasal dari Batang, Jawa Tengah.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com