Pendaftaran #Komentar Masuk Sekolah/Kampus
View AllProses Kreatif
Dakwah
Redaksi
Postingan Terbaru
Thursday, July 3, 2025
Esai Najullah | Permisi, Peserta BPJS Mau Berobat!
Tuesday, July 1, 2025
Proses Kreatif | Beban Menulis dan Aku yang Tak Pernah Selesai
Oleh Encep Abdullah
Mungkin, dari sudut pandang pembaca, iya. Tapi bagi saya, justru karena banyak beban itulah saya menulis. Sering kali saya menulis tanpa pertimbangan yang matang karena pikiran benar-benar tengah berkecamuk dan tidak stabil. Bahkan mendadak jadi tambah banyak beban saat saya buntu menulis. Ditambah beban-beban di luar aktivitas kepenulisan yang cukup berpengaruh tehadap mental. Misalnya, ketika sedang memikirkan ide, tiba-tiba ada gangguan yang membuat saya berhenti. Seperti ocehan istri, tangisan anak, suara token listrik, atau gas dapur tiba-tiba habis. Semua itu bisa menjadi ancaman bagi proses kreatif. Namun, di sisi lain, justru bisa menjadi bahan kreatif itu sendiri. Itu beban eksternal. Ada pula beban internal yang lebih berat: soal eksistensi, pengakuan, bahkan penyakit-penyakit batin seperti iri terhadap teman sesama penulis yang lebih sukses—karyanya dimuat di mana-mana, menang ini dan itu, dapat penghargaan sana-sini. Apakah ini wajar? Mungkin.
Sebagai manusia, krisis eksistensi seperti itu pasti pernah hadir. Saya pribadi pun sering merasa lelah: lelah oleh kerja tubuh, kerja jiwa, dan kerja-kerja lain yang katanya “demi menulis”. Di satu sisi, saya menulis memang untuk urusan duniawi—butuh uang untuk makan. Di sisi lain, saya menemukan titik kehampaan dan kecemasan yang datang begitu saja. Mental seperti diserang dan dipaksa mempertanyakan kembali hal-hal yang sering saya tanyakan sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu sering membuat saya puyeng. Apalagi melihat teman-teman penulis yang melesat jauh, bahkan hampir meraih Nobel. Haha. Entah itu teman siapa. Mereka yang bersinar, tapi kadang saya yang stres. Mungkin ini juga terjadi kepada sebagian kita. Yang pada akhirnya, dari beban menulis ini, sampailah pada pertanyaan yang lebih besar: Siapa “aku” yang menulis?
Puluhan bahkan ratusan kali saya merenungi hal ini: mengapa saya menulis dan mengapa saya tetap menjadi penulis? Padahal saya telah menulis lebih dari 15 buku—empat di antaranya membahas proses kreatif menulis. Tapi pertanyaan “mengapa aku menulis” tak kunjung selesai dijawab. Sekalipun saya telah sedikit banyak belajar filsafat dan tasawuf, mencoba mengikis pengakuan—atau lebih tepatnya: mengubahnya menjadi pengakuan menuju "aku" yang sejati, menuju Tuhan—namun tetap saja, pengakuan duniawi tak bisa dihindari. Saya masih ingin diakui. Perasaan itu kadang muncul tiba-tiba: Ini loh aku. Ini loh jiwaku yang sejati. Padahal sebelumnya sudah diniatkan lillāhi ta‘ālā. Bahkan, saya sering tertipu dengan istilah ”inilah aku yang sejati”.
Banyak penulis mengalami krisis eksistensi, krisis identitas, krisis batin, dan berbagai krisis lainnya. Kadang tak bisa dijelaskan, apalagi ditemukan jawabannya. Pada akhirnya kita berputar-putar dalam medan makna. Mungkin inilah yang disebut Albert Camus sebagai keabsurdan: kita seperti Sisyphus, terus mendorong batu ke atas hanya untuk menyaksikannya jatuh kembali. Kita tak pernah menemukan titik temu: mengapa kita menulis?
Selama manusia masih bernapas, berpikir, dan berkehendak, kecemasan eksistensial akan selalu ada. Bahkan ketika saya tidak melihat media sosial teman-teman penulis atau tidak bertemu mereka, kegelisahan itu tetap muncul. Saya pernah benar-benar berhenti menulis karena lelah dengan kecemasan-kecemasan yang tak kunjung usai. Tapi pada akhirnya, saya menulis lagi.
Saya tidak bisa tidak gelisah. Tidak bisa diam. Di dalam diri saya seperti ada bank kata, struktur kalimat, tanda baca, dan ide yang saling berkelindan, bahkan suara-suara bising para tetangga. Karena itulah, otak saya seperti benang kusut. Saya perlu merapikannya agar tak bikin mumet. Besoknya, begitu lagi dan lagi. Terus begitu. Untung saya bisa menulis. Jadi, sampah pikiran saya bisa menjadi karya. Bagi Anda yang tak begitu fasih menulis, jangan minder, Anda pun bisa menuangkan pikiran dan gagasan Anda—walau bakal tertatih-tatih secara ejaan, tata bahasa, dan struktur kalimat. Jangan bandingkan Anda dengan saya atau bandingkan esai saya dengan Michel de Montaigne. Intinya, bila saya gelisah tak menentu, kata-kata dalam kepala benar-benar mendesak dan ingin lekas meledak, mau tak mau tulisan akan lahir. Setelah itu, lagi-lagi saya mencari makna.
Pencarian makna ini bagi saya cukup melelahkan. Sebenarnya konsep tentang makna menulis sudah terhidangkan sebelum saya menjadi penulis—sudah ada esensi sebelum eksistensi. Kadang saya tak pernah puas dengan konsep tentang makna itu. Tubuh saya harus mengalami-menulis dulu, barulah makna yang ada itu sama atau beda. Kadang saya lepaskan seluruh makna orang lain, saya alami dulu kemudian memberi makna—eksistensi mendahului esensi. Seiring bertambahnya usia, bacaan, dan juga kondisi keuangan, saya menemukan makna lain. Akhirnya, saya selalu merumuskan ulang: Menulis adalah... lalu besoknya, Menulis adalah... dan lusa: Menulis adalah.... Sampai pada satu titik, seperti yang ditulis Maulidan Rahman Siregar di status Facebook-nya bahwa “Menulis adalah anjing!”—serius, saya ngakak. Puncak sebuah pengakuan ternyata cuma satu kata: "anjing!" Haha.
Banyak penulis berbicara tentang pengakuan. Anton Cekhov, misalnya, menulis buku cerita Pengakuan, yang menggambarkan kemunafikan, manipulasi, penjilatan, dan korupsi—cerminan masyarakat yang membusuk menjelang abad ke-20. Chairil Anwar menulis puisi “Aku”: Aku ini binatang jalang. Pengakuan paling jujur. Maulidan Rahman Siregar pun demikian. Bedanya, ia lebih spesifik menyebut jenis binatang: anjing! Puisi Chairil itu begitu mendarah daging dan menjadi identitas dirinya. Pengakuan yang dikenal luas di jagat sastra Indonesia. Siapa tahu kata “anjing”-nya Maulidan juga akan seikonik itu. Mungkin hanya beda nasib saja. Haha.
O, ya, delapan bulan setelah Chairil menulis puisi “Aku” tersebut, tepatnya pada November 1943, ia menulis puisi “Doa”: Tuhanku / Aku hilang bentuk / Remuk. Pengakuan Chairil menjelma sufi. Aku yang awalnya keras, liar, dan melawan dunia, pelan-pelan larut, lebur menuju Tuhan.
Pengakuan seperti ini juga hadir dalam syair Abu Nawas yang terkenal: "I‘tirāf".
Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli surga,
Namun aku tak sanggup masuk neraka Jahanam.
Maka berilah aku taubat dan ampunilah dosaku,
Sungguh, Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar.
Jika pengakuan semacam ini adalah bentuk penghambaan dari aku yang rendah menuju "Aku" Yang Maha Tinggi, maka level itu bisa sampai tingkatan makrifat. Dan tentu saja, prosesnya tidak ringan. Tidak santai. Penuh luka, jatuh-bangun, dan keruwetan batin. Sebaliknya, jika pengakuan masih terus berputar di ranah duniawi dan tidak naik level, dampaknya bisa sangat melelahkan. Kita akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama. “Aku (Encep Abdullah) penulis” adalah pengakuan ego manusia. Tapi “aku” harus—seperti kata Chairil—hilang bentuk, remuk, agar dapat melebur bersama-Nya.
Chairil sudah tidak lagi menjadi “Aku Chairil”, melainkan “aku” yang larut dalam Tuhanku. Di titik itu, menulis bukan sekadar alat ekspresi, melainkan zikir.
Kiara, 1 Juli 2025
______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.
Pengin tahu lebih jauh siapa si Encep, klik GUE KEPO!
Sunday, June 22, 2025
Puisi-Puis Agni Aulia
Doa prasaja yang Bertahan
Dirawatnya setiap luka seolah itu kewajiban,
Ditemani doa yang tak pernah lepas,
Dari tiap bau nafas di hembuskan.
Segala daya dicurahkan,
Meyakinkan diri nya mampu dan kuat,
Ia terus mengusahakan harapan yang nyaris pudar.
Ribuan bintang pun tak mampu menandingi
Ratusan mimpi yang rela ia kubur dalam lubuknya.
Derasnya sapuan lautan kalah dari derasnya gelora yang ia redam,
demi tetap bertahan.
Ia mencari…
Meski yang ditemukan hanyalah sepi.
Ia bertahan…
Meski dunia terus mengujinya tanpa jeda.
Tuhan, lindungilah dia yang langkahnya perlahan
Namun tak pernah berhenti, kelak kan tiba waktunya,
Ia bersinar tak sekadar hangat, Tapi menyatu dengan cahaya,
Seperti lampu yang menaklukkan gelap tanpa suara.
Simfoni Tiga Asa
Kita dirangkai takdir dalam anyaman mimpi, yang hendak kita petik dari langit harap paling tinggi.
Pertemuan kita ibarat awan, langit dan bumi yang bersitatap di kala senja masih malu menampakkan rona.
Awalnya hanya sapa nan canggung,
Mulut berlirih "Hai" seperti bisik angin di sela rintik.
Namun dari situ, lahirlah simpul, terikat oleh helai-helai tugas dan malam-malam yang berpeluh.
Tiga jiwa ini,
Satu sipemberani, menantang gelap dengan cahaya dalam dada.
Satu sipeduli, membaca luka yang bahkan tak terucap.
Satu sipengasih, menjahit retak hati dengan hangatnya senyum.
Ketiganya mengalir dalam satu nadi persahabatan yang tumbuh di tanah kejujuran dan langit ketulusan.
Tuhan, lapangkan jalan yang hanya ingin menyulam bahagia di wajah kedua orang tua.
Bimbing tiga atma ini melangkah berpijak pada cahaya, tegurlah kami dengan lembutnya kasih, bukan cambuk amarah.
Kami tidak meminta keabadian, namun biarkan pertemanan ini melampaui waktu tanpa jejak benci, tanpa gurat luka.
Dan kelak, biarkan kisah ini kami bisikkan pada cucu-cucu di bawah langit nostalgia,
tentang bagaimana sebuah "hai" bisa menjadi rumah
bagi tiga hati yang tulus bertumbuh.
Penulis
Agni Aulia, Gadis mungil ini lahir di Ciamis, Jawa Barat tinggal di desa terpencil bukan menjadi penghalang untuk menuntut ilmu, Saya masih berkuliah di Universitas Islam Negri K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan dengan jurusan Tadris Bahasa Indonesia, bagi Agni menulis puisi adalah tentang kegundahan pikiran yang dituangkan dengan seni.
Tuesday, June 17, 2025
Proses Kreatif | Tere Liye, I love You!
Oleh Encep Abdullah
Saya pernah membaca buku puisi Tere Liye. Saya mengelus dada, “Begini amat, ya?” Maksud saya, kok beliau tidak malu menerbitkan puisi—yang mohon maaf—menurut saya kualitasnya sangat rendah, seolah-olah dipaksakan untuk dibukukan demi menghasilkan keuntungan. Saya yakin, yang sepemahaman dengan saya juga akan berpikir demikian. Pertanyaan saya, apakah beliau sadar atau tidak dengan kemampuannya menulis puisi? Atau memang dari awal tujuannya murni untuk mencari fulus? Bahkan ada satu buku berisi kutipan-kutipan beliau yang menurut saya, “kok terkesan memaksakan diri sekali untuk dijadikan buku!”
Yang menarik, anak-anak saya di sekolah hampir semuanya memiliki buku-buku Tere Liye. Saya pun, tanpa sadar, ikut "dicekoki" buku-buku beliau. Saya selalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian membaca buku Tere Liye?” Jawaban mereka beragam, “Seru, Pak”, “Bahasanya mengalir dan enak dibaca”, “Berasa diajak bertualang, Pak”. Saat saya sodorkan buku cerpen dan novel yang sedikit lebih berat, mereka mulai kelelahan. Tapi, bagi yang sudah membaca banyak karya Tere Liye dan juga penulis populer lainnya, mereka lebih mudah beradaptasi dengan bacaan sastra yang lebih rumit.
Walaupun saya sendiri belum pernah membeli apalagi membaca tuntas buku-buku Tere Liye, saya tidak pernah melarang siswa untuk membacanya. Itu uang mereka, pilihan mereka. Dan, hebatnya, mereka membeli buku asli, bukan bajakan. Ini patut diapresiasi. Buku-buku Tere Liye harganya relatif mahal dan tidak beredar di lapak obral lima ribuan seperti beberapa buku yang konon disebut sebagai “karya sastra adiluhung.” Ini sebuah ironi yang patut kita tertawakan bersama. Buku Tere Liye yang dianggap “murahan” justru berdiri gagah dengan harga stabil, bahkan terus dicetak ulang. Sementara itu, beberapa buku sastra dijual seperti barang rongsokan, bahkan ada yang dijual tiga ribu rupiah. Tapi memang, ada juga buku sastra seperti karya Pramoedya dan Buya Hamka yang tetap menjaga harga dan martabatnya.
Saya pribadi tidak tertarik membaca Tere Liye, tetapi saya sangat berterima kasih kepada beliau. Beberapa siswa saya mulai tertarik membaca karena “tertular” virus buku Tere Liye. Di sekolah saya, buku-buku beliau bertebaran. Satu siswa meminjamkan ke siswa lain. Bahkan, satu judul bisa dibaca bergantian oleh siswa satu sekolah. Ini bukan sesuatu yang buruk, justru sangat baik. Kalau saya larang mereka membaca buku yang mereka sukai, itu akan berdampak buruk terhadap psikologis mereka. Sebagai pendidik, tugas saya hanya mengarahkan, bukan melarang. Apalagi kalau buku itu diterbitkan oleh penerbit besar seperti Gramedia atau Mizan, tentu saya rekomendasikan. Saya justru melarang mereka membaca Wattpad. Kalau membaca buku cetak, setidaknya sudah melalui tangan editor. Anak-anak bisa belajar bagaimana menyusun kalimat dan menggunakan tanda baca dengan benar. Abaikan dulu kualitas isi tulisan. Kalau di Wattpad, saya khawatir mereka keracunan gaya bahasa yang kacau dan tanda baca yang semrawut.
Saya mengasuh ekstrakurikuler menulis di sekolah. Anak-anak yang sudah sampai pada tahap membaca kritis, saya arahkan untuk memperluas bacaannya. Saya berikan buku-buku sastra yang bisa lebih mengasah daya nalar mereka. Saya katakan kepada mereka, “Level kalian sudah bukan Tere Liye lagi. Kalian harus naik kelas. Kalian penulis, maka bacaan kalian harus berbeda dari teman-teman kalian yang membaca sekadar untuk hiburan.” Dan mereka mengikuti arahan saya.
Harapan saya, dengan memperkenalkan karya-karya yang lebih "nyastra", tulisan mereka akan menjadi lebih tajam. Tapi kenyataannya, hasil mereka kadang masih jauh di bawah model Tere Liye. Dari 20-an siswa, paling hanya satu dua yang bisa menulis dengan kualitas sastra yang memadai. Selebihnya, kacau. Tata bahasanya pun berantakan. Padahal mereka ini pembaca buku dan ikut ekstrakurikuler menulis, dibina langsung oleh Encep Abdullah pula. Hahaha. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak membaca sama sekali? Yang tidak menulis sama sekali?
Sudahlah. Rasanya debat soal novel pop dan novel sastra sudah usang. Saya yakin, anak-anak yang masih mau membaca buku saja sudah patut kita syukuri. Mau baca Si Petruk atau fabel Si Kancil, tetap alhamdulillah. Saya enggan menghakimi pilihan bacaan anak-anak. Saya lebih memilih menemani proses tumbuh kembang mereka. Ketika saya melarang mereka membaca buku tertentu, bukan berarti larangan mutlak. Saya hanya mengingatkan dan menegaskan, “Bacaanmu seharusnya sudah bukan itu. Kamu harus naik kelas.” Tidak mungkin seorang anak yang potensinya besar dibiarkan diam di tempat. Orang tua dan guru yang baik harus bisa memetakan potensi dan memanusiakan manusia. Sayangnya, banyak dari kita melarang tanpa memahami kondisi kejiwaan anak. Tidak kenal, tetapi mudah menghakimi.
Saya memang tidak tertarik membaca buku Tere Liye karena belum merasa ada urgensi. Tapi saya tidak menutup kemungkinan, suatu saat bisa jadi saya termasuk bagian dari fans berat beliau. Untuk sekarang, saya bersikap biasa saja. Tidak menolak, tidak juga memuja. Mau beliau menerbitkan seribu buku puisi atau kutipan receh, silakan. Siapa saya melarang? Toh, orang juga tidak berhak melarang saya menulis dan menerbitkan buku saya sendiri. Apalagi saya yang menulis, saya yang menyunting, saya yang mendesain sampul, saya yang menerbitkan, saya yang menjual, dan saya juga yang membaca. Hahaha.
Kepada para pembaca pemula yang sedang menikmati karya-karya Tere Liye, nikmatilah. Barangkali, beliau bukan penulis puisi terbaik, bukan pula penyair yang akan dicatat sejarah sastra. Tapi siapa tahu, justru dari satu bukunya, akan tumbuh keberanian untuk membaca yang lebih berlapis makna, menulis yang lebih dalam rasa. Mungkin Tere Liye bukan tujuan akhir, melainkan pintu masuk. Gerbang yang kelak akan membawa kalian menjumpai Chairil, Sapardi, Pram, atau bahkan menjumpai diri kalian sendiri sebagai pembaca sejati.
Kepada penulis dan pembaca yang lebih kritis, jangan tinggal di pintu terlalu lama. Lanjutkan perjalanan. Bacaan bukan hanya tentang selera, tapi tentang arah. Pertanyaannya bukan lagi “kamu suka bacaan ini atau tidak,” melainkan “bacaan ini membawamu ke mana?” Karena pada akhirnya, setiap halaman yang kita baca adalah cermin: apakah kita sedang tumbuh, atau sekadar berputar-putar di halaman yang sama?
Sehat-sehat selalu, untuk para penulis pop, penulis sastra, penulis matre, dan juga penulis yang hidup segan, mati pun tak mau. Semoga kita semua tetap menulis, tetap membaca, dan tetap menjadi manusia yang merawat kepekaan di antara dunia yang makin gaduh oleh huruf-huruf tanpa jiwa.
Kiara, 17 Juni 2025
______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.
Pengin tahu lebih jauh siapa si Encep, klik GUE KEPO!
Wednesday, June 11, 2025
Suluk Tanah Menyapa Sekolah: Musik Gerabah dari Bumi Jaya
Serang 11 Juni 2025—Setelah sukses menghadirkan musik kreasi berbahan gerabah di Desa Bumi Jaya, kini program Suluk Tanah menapakkan langkah baru. Akar budaya yang tumbuh dari tanah ini mulai menjalar ke dunia pendidikan. SMPN 11 Kota Serang menjadi sekolah pertama yang memperkenalkan alat musik gerabah hasil kolaborasi peneliti dan perajin lokal kepada para siswa.
Sekolah
ini tidak hanya menjadi tempat belajar biasa. Ia berubah menjadi ruang kreatif.
Di tangan Hasanudin, S.Pd., guru seni sekaligus kolaborator program Suluk
Tanah, kelas seni berkembang menjadi ruang perkenalan dengan musik yang
unik. Walau alat musik gerabah masih dalam tahap pengembangan, perkenalan sejak
dini dianggap penting.
“Kita
ingin murid-murid merasakan langsung keunikan musik gerabah. Mulai dari proses
pembuatan hingga memainkan alat musik ini yang juga digabungkan dengan alat
musik tradisional khas Banten lainnya. Dengan begitu, kecintaan terhadap
warisan lokal tumbuh sejak di bangku sekolah.”
Program
Suluk Tanah dipimpin oleh Imaf Maftuhi, peneliti yang mendapat dukungan
dari Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan BPK Wilayah VIII. Bersama Hasanudin, Azmi
Ibrahim, dan para perajin Desa Bumi Jaya, mereka mengembangkan tiga jenis
instrumen gerabah: tiup, perkusi, dan tabuh. Di sekolah, siswa diajak
mempelajari teknik dasar memainkannya.
Langkah
awal ini dimulai melalui kegiatan ekstrakurikuler musik tradisional. Kelak,
akan berkembang menjadi pertunjukan dan festival musik yang mengangkat tema
tentang gerabah. Hasanudin berharap:
“Ke
depan, kami berharap alat musik gerabah bisa diperkenalkan ke sekolah-sekolah
lain di Serang, bahkan Banten. Ini bukan sekadar pelestarian, tetapi inovasi
budaya yang dinamis.”
Desa
Bumi Jaya sendiri telah lama dikenal sebagai sentra gerabah sejak zaman
Kesultanan Banten. Kini, melalui alat musik kreasi, gerabah tidak hanya menjadi
kerajinan, tetapi juga sumber bunyi dan ekspresi seni yang relevan dengan
zaman. Melalui tangan generasi muda, tradisi ini tidak hanya dilestarikan, tapi
juga diperbarui.
Sunday, June 8, 2025
Puisi-Puisi Dewis Pramanas
Kepada Wanita Pemilik Hati
Tahukah kau
setiap embusan napasku
serta derap laju langkah kaki ini
ialah deskripsi relung kasih
yang kelak bermutasi rindu
Tahukah kau
bintang yang kerlip di atas sana
lalu bertahan dari gelapnya langit
sebuah jawaban bahwa rasaku
akan terus benderang di tengah getir
Tahukah kau
pada malam sunyi
aku bercengkrama dengan jam dinding
merayu waktu agar berhenti bergulir
lantas kita berbaring bersama
tak terpisahkan
Subang, 14 Februari 2025
Yang Lalai
Semua tentang bercak-bercak noda
Dari pergolakan hidup
Kata-kata yang terlontar terlanjur mengudara
Menjurai prahara menganga
Sehabis pedang mengiris hati
Aku seperti ditampar bayangan di cermin
Menguar akumulasi penyesalan
Segera maaf terucap yang lalai
Tak menjaga lisan
Sebelum waktu menggilas jiwaku
Subang, 3 April 2025
Penulis
Dewis Pramanas, lahir di Subang 1 Maret 1987. Seorang guru di SD Negeri Ciberes, Subang, ia menetap di Subang, Jawa Barat, hobinya menulis puisi dan membaca buku, Ia aktif bergiat di beberapa komunitas literasi online. Buku Puisi tunggalnya berjudul Perindu Hujan. Beberapa karya puisinya juga termuat di media daring. Baginya menulis adalah sebagai tempat yang bisa membuatnya bebas menuangkan imajinasi dan keresahan hati.
Monday, June 2, 2025
Cerpen Tin Miswary | Mulod
Cerpen oleh Tin Miswary
****
Beuransah baru saja pulang dari sekolah ketika istrinya berteriak-teriak memanggil namanya. Mendengar suara istrinya, lelaki itu segera memarkir sepeda motornya di teras. Dia menarik beberapa buku yang terselip di jepitan motor bagian depan, dan lalu berjalan terhuyung-huyung ke dalam rumah. Kepulangan Beuransah diketahui istrinya dari suara motor yang memang terdengar nyaring. Motor Suzuki Jet Cooled itu memang tidak bisa diajak diplomasi soal suara, selalu saja riuh dan melengking.
Ya, sebentar, ujar Beuransah, seraya menghembus napas.
Tidak terdengar lagi suara istrinya yang seperti suara peluit tukang parkir itu, bising dan memekak telinga. Dia mendapati istrinya sedang menampi beras di dapur, sementara di atas kompor Hock, dua depa dari tempat istrinya duduk, terlihat wajan kecil mengeluarkan asap.
Tolong lemparkan ikan-ikan itu ke wajan. Minyaknya hampir hangus, kata istrinya sambil terus menampi, dan sesekali menjumput bulir-bulir padi dalam nyiru.
Tanpa merasa perlu menjawab, Beuransah meletakkan buku-bukunya di atas meja kayu, tepat di belakang istrinya, dan lalu menyodok beberapa ekor ikan dalam beulidi menggunakan aweuk. Dengan bantuan benda itu dia memasukkan beberapa ekor ikan dalam wajan yang sedari tadi dipenuhi asap.
Beuransah mengambil kembali buku di atas meja dan bergegas ke dalam kamar. Setelah mengganti pakaian, dia kembali menuju dapur, membalik ikan yang hampir hangus. Siang itu dia hanya menggunakan singlet dan sarung. Cuaca di luar cukup panas dan matahari membakar tanpa ampun. Beuransah duduk pada sebuah kursi kayu di belakang meja makan. Dia menyalakan rokok dengan mata menyipit.
Namun, belum lagi asap tembakau itu keluar dari mulutnya, istrinya menoleh, memandang wajah Beuransah, dan lalu berkata, Lusa ada mulod di tempat mengaji si Agam. Istrinya mengatakan itu seraya mendongak.
Beuransah mengembuskan asap ke langit-langit dapur sambil matanya memandangi sarang laba-laba yang bergelantungan di sana. Pikirannya bergerak-gerak, mencari-cari wajah seseorang yang bisa dia temui untuk meminjam uang. Namun, tak ada wajah yang muncul di sana. Pikirannya kembali bergelayut, mengingat-ingat kepada siapa dia pernah meminjamkan uang. Akan tetapi hasilnya sama, tidak ada seorang pun yang muncul di pikirannya yang kusut.
Beuransah menarik napas panjang seraya memainkan batang rokok dengan jarinya, memutarnya bagai baling-baling. Baru kemarin dia menyumbang untuk maulid di sekolah si Agam. Tidak ada patokan memang. Namun, angka 30 ribu adalah nilai minimal yang mungkin disumbang, sebab harga barang sudah semakin naik. Lagi pula dia juga masih ingat wejangan penceramah, bahwa sedekah dan permintaan harus seimbang. Sedekah lima ribu tapi mintanya masuk surga, halo? ledek penceramah.
Atas pertimbangan itulah Beuransah terpaksa menyumbang 30 ribu untuk panitia maulid di sekolah si Agam. Dia tidak mau anaknya rendah diri, apalagi Beuransah juga seorang guru. Namun, permintaan kali ini, yang baru saja disampaikan istrinya, membuat wajahnya kembali murung. Karena itulah dia terus memandang sarang laba-laba di atas sana dengan harapan mendapat inspirasi.
“Itu ikannya sudah bisa diangkat!
Teriakan istrinya membuat Beuransah terperanjat, membiarkan lamunannya menggantung di langit-langit dapur. Lelaki bertubuh kurus dengan rambut keriting bagai benang kusut itu bangkit dari duduknya, mengambil aweuk dan lalu mengangkat ikan yang hampir hangus, meletakkannya dalam cupe. Setelah mematikan kompor dia kembali duduk, melanjutkan renungan yang tadi terputus.
“Kata si Agam, untuk mulod lusa diminta sepuluh porsi per-wali santri.
Suara istrinya membuat Beuransah kembali terhenyak.
Berbeda dengan maulid di sekolah yang meminta sumbangan dalam bentuk uang, maulid di tempat mengaji si Agam tidak menerima uang, tapi makanan yang sudah dimasak beserta lauk pauk. Memang sudah tradisinya begitu. Makanya dia tidak protes ketika istrinya berkata begitu. Namun, sepuluh porsi itu butuh biaya besar.
Kira-kira habis berapa? tanya Beuransah.
Untuk belanja ayam, ikan dan bahan-bahan dapur, setidaknya 300 ribu. Itu paling kurang, jawab istrinya sambil terus menampi.
Kok mahal, ya?
Ya, mahal memang. Harga barang sudah naik. Uang 100 ribu sekarang gak ada harganya di pasar. Bapak pikir ini zaman Pak Harto?”
Ya, tapi maunya jangan 10 porsi.
Kan sudah dibuat rapat di balee, tapi Bapak gak mau datang. Salah sendiri. Maunya kan bisa protes di sana.
Jawaban istrinya terasa bagai tusukan belati di jantung Beuransah. Dia terdiam dan tak menjawab lagi. Sebenarnya dia bukan tak mau datang ke sana, tapi karena dia tahu pendapatnya akan ditolak oleh wali santri lain. Pada tahun-tahun sebelumnya dia selalu menghadiri rapat di balee itu, tapi dia justru dipermalukan dengan sadis.
Alah, Bapak ini untuk sedekah aja pelitnya bukan main, demikian kata mereka saat itu. Sedekah gak usah banyak mikir, Pak. Kapan lagi kalau bukan di acara-acara seperti ini, kata yang lain lagi.
Beuransah merasa terpukul. Hatinya sakit.
Rezeki kita beda-beda, ada yang banyak ada yang sedikit, timpal Beuransah dengan wajah kusut.
Alah, Bapak ini. Untuk mencari pahala saja Bapak mau berdebat. Bagaimana Bapak ini? Jangan-jangan Bapak gak cinta sama Nabi, ya? timpal salah seorang wali santri bertubuh tambun.
Mendapat jawaban seperti itu Beuransah hanya bisa diam, memendam rasa malu yang mengapung di wajahnya yang merah. Karena itulah dia tidak mau lagi menghadiri rapat-rapat terkait sumbangan di balee. Memang rapat itu bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat, tapi sering kali yang suaranya tinggi dan kantongnya tebal menguasai panggung, memengaruhi orang lain untuk kemudian bersepakat atas apa yang sebenarnya mereka tak setuju.
Jangan termenung begitu!
Suara istrinya menyadarkan Beuransah dari pikirannya yang sedang merantau. Dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, menenangkan diri dari gemuruh pikirannya sendiri. Istrinya yang baru saja selesai menampi beras bangkit dan duduk di samping suaminya. Dia memandang wajah suaminya yang masih terlihat bingung.
Senin depan Bapak juga ada maulid di sekolah. Diminta sumbangan 50 ribu perguru sama kepala sekolah, kata Beuransah dengan suara pelan.
Bapak kan guru honorer, apa tidak ada keringanan? tanya istrinya dengan mata mendelik.
Maunya begitu, tapi ada guru honorer lain yang setuju.
Siapa itu?
Pak Midi.
Owalah. Dia kan punya tambak udang?
Itulah masalahnya. Kepala sekolah mana mau tahu, yang penting berat sama dipikul ringan sama dijinjing, katanya. Dan yang penting itu kesepakatan rapat guru-guru di sekolah.”
Sejenak suami istri itu terdiam, saling memandang dengan hati sama-sama bergolak.
Sudah 20 tahun Beuransah menjadi guru honorer di SD Kali Udang, sebuah kampung di pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Gayo. Untuk bisa sampai ke sana dia harus memacu motornya selama satu jam setengah. Itu kalau tidak hujan dan jalannya kering. Tapi kalau hujan dan jalannya berlumpur, dia butuh waktu dua kali lipat. Karena itulah dia tidak membawa si Agam ke sana, tapi ke sekolah pinggiran kota, agar anaknya bisa pulang lebih cepat dan tidak kelaparan di tengah jalan.
Sebenarnya nama Beuransah sudah beberapa kali masuk dalam catatan guru honorer yang akan diangkat sebagai pegawai negeri. Namun, entah kenapa namanya selalu berpindah-pindah tempat. Awalnya masuk buku putih yang akan lulus tanpa tes, tapi kemudian namanya berpindah ke daftar K2, dan sekarang, karena dia hanya berijazah diploma, namanya juga hilang di sana. Yang layak masuk daftar K2 hanya mereka yang punya ijazah sarjana. Mengingat usianya sudah hampir kepala lima, rasanya tak mungkin lagi dia kuliah, apalagi kebutuhan hidup sudah semakin tinggi.
Pernah beberapa kali istrinya meminta agar ia berhenti saja menjadi guru, tapi Beuransah tidak mau. Dia tetap ingin mengajar, lagi pula dia juga sudah sangat akrab dengan orang-orang kampung di sana. Kadang-kadang waktu pulang sekolah dia membawa pisang, ubi dan buah-buahan lain, hadiah dari wali murid. Karena itu, walau gajinya tak lebih dari 200 ribu sebulan, dia tetap bertahan. Selain itu, dia juga yakin suatu saat ketika presiden baru terpilih, akan ada kebijakan untuk mengangkat orang-orang seperti dirinya sebagai pegawai negeri. Apalagi dia sudah mengajar di sana sangat lama, ketika orang-orang GAM dan TNI masih berperang. Saat itu tidak ada yang berani datang ke sana. Namun, Beuransah yang saat itu baru lulus kuliah memberanikan diri mengajar di sekolah itu, sekolah yang kemudian dibakar orang tak dikenal sehingga dia harus mengajar anak-anak di bawah tenda.
Jadi, bagaimana untuk mulod si Agam? istrinya kembali bertanya.
Kalau mungkin kita bawa lima bungkus saja, itu pun masih berat.
Istrinya diam sejenak dan lalu berkata, Asal Bapak berani bawa gak apa-apa.
Perbincangan terputus.
Keesokan paginya setelah belanja dan memasak, istrinya menyerahkan lima bungkus nasi dan satu rantang lauk. Beuransah menerimanya dengan wajah yang tidak pantas untuk dikatakan gembira. Si Agam, anak laki-laki satu-satunya yang mereka punya telah lebih dulu berangkat ke balee. Dia akan membaca dalail khairat dengan teman-temannya di sana.
Jam menunjukkan pukul 11 siang ketika Beuransah dengan langkah gontai menaiki motornya. Suara motor yang seperti terompet itu mengejutkan beberapa ekor ayam yang sedang buang hajat di teras rumahnya, sementara istrinya berdiri di ambang pintu, melepas kepergian suaminya dengan hati cemas.
Sampai di sana, Beuransah menyerahkan bawaannya kepada Teungku Suman, pemimpin balai pengajian yang selama ini mengajari anaknya membaca Al-Quran. Teungku itu menerima pemberian Beuransah sambil tersenyum, tidak ada tanda-tanda aneh di wajahnya, seperti ditakuti Beuransah sejak kemarin. Teungku Suman mempersilakan Beuransah untuk menikmati makanan bersama tamu-tamu di bawah tenda.
Maka mulailah Beuransah menyantap makanan itu dengan lahap. Hatinya sangat bersyukur karena apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Selesai makan, Beuransah pamit pada Teungku Suman dan berjalan pelan meninggalkan tenda. Namun, baru saja dia menduduki motornya, seorang laki-laki tambun menepuk bahunya dari belakang.
Lain kali kalau mau makan yang banyak, bawa yang banyak, teriak laki-laki itu sambil berlalu meninggalkan Beuransah. Seraya menarik tangan anaknya, laki-laki itu kemudian menaiki mobil yang terparkir di ujung jalan. Dia melempar senyum pada Beuransah yang masih terdiam di atas motornya. Beuransah ingat pada laki-laki itu, laki-laki yang dulu mempermalukannya di balee.
Tengku Suman yang sadar dengan kejadian tersebut segera mendekati Beuransah dan lalu berbisik, Jangan diambil hati. Dia sedang marah karena makanan yang dia bawa saya tolak. Dia juga membawa pulang anak laki-lakinya, tidak diizinkan lagi mengaji di sini.
Beuransah melongo.
Kenapa? tanyanya kemudian.
Saya tidak mau Nabi marah.
Maksud Teungku?
“Tahulah, dia kan .”
Haji Suman diam sejenak, dan lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Beuransah, Tauke Tramadol!
********
Catatan:
Mulod : Maulid
Beulidi: Sejenis wadah makanan
Aweuk: Sendok untuk menggoreng ikan
Si Agam: Panggilan untuk anak laki-laki di Aceh
Cupe: Piring kecil dari kaca
Balee: Balai tempat mengaji
K2: Status pegawai honorer
Tramadol: Jenis obat-obatan yang sering disalahgunakan
_____________
Biodata Penulis
Tin Miswary, menulis esai, cerpen dan resensi buku.
Sunday, June 1, 2025
Puisi-Puisi Mecca Ardelia
Lidah yang Lupa Siang yang Terkulai
Di bawah terik yang menguji sabar
debu menari di sela hawa
langit berbisik dengan lirihnya
Adakah kau teguh, wahai insan
Namun di sudut jalan yang resah
asap mengular dari tungku basah
periuk berdendang tanpa malu
menanak hening di rongga waktu
Tirai tergeser, nafsu terbuka
dinar berjatuhan di genggam lemah
Sajian terhampar di atas dusta
wangi rempah menggoda lidah
Sedang masjid menangis dalam sujud
puasa bersedih dalam sunyi
siang berduka di pangkuan waktu
iman terkatup di sela ragu
Duhai tangan yang menakar dunia
bukankah fajar telah bersumpah
Rezeki tak lekang oleh haus
namun tergadai oleh tergesa
Adakah perut lebih berharga
dari janji yang digurat langit
Atau ini sekadar fana
yang memudarkan segala akhir
Tangan yang Enggan Menanam
Di fajar muda yang berkah terbuka
ia berdiri di lorong tanpa jejak
Kakinya tak menyentuh ladang
tangannya tak menganyam nafkah
Hari-hari berkelana di bayang belas
menadah rezeki dari mulut iba
Ia bisikkan keluh pada angin
padahal lengannya sekuat baja
Tangan lain menakar peluh
membelah siang, menjemput rezeki
Sedang ia, memetik hampa
mengemis pagi, meratap senja
Di hadapannya bumi terbuka
tapi ia enggan menanam benih
Menunggu langit menjatuhkan emas
namun hujan tak mengerti pinta malas
Duhai insan, di mana harga?
Jika tanganmu tak hendak berjuang
Bukankah rezeki butuh digali
bukan sekadar diratap sunyi?
Tuesday, May 27, 2025
Berita | Pesan Kuat dari Kota yang Sibuk: Tarian “Day to Die” Bawa SMA Budi Agung Raih Juara 2
Sunday, May 25, 2025
Puisi-Puisi Fileski Walidha Tanjung
Puisi Fileski Walidha Tanjung
Sepatu Lusuh
– sudut pandang sepatu seorang siswa –
Aku, sepatu penuh lubang,
mengendus aroma pulau dewata
dari tumpukan brosur agen travel
Tuan kecil mengelusku pelan,
“kau siap berlari ke pulau para dewa?”
Tuan kecil sedang gundah, bimbang
orang tuanya sedang menawar harga pada malam,
mencicil harap pada pinjaman berbunga.
Setiap langkahnya kini adalah cicilan:
pagi mengantar koran, siang mencuci mimpi orang,
malam menambal baju yang penuh lobang.
Aku tetap melangkah,
bersama sepatu yang sebelah,
berganti warna dengan air mata ibu.
Sejenak melupakan bahwa perjalanan ini
dibayar dengan gali lubang
tutup lubang.
2025
Jalan Pinjol ke Bali
– sudut pandang algoritma pinjol –
Aku bukan manusia.
Aku adalah angka yang berkedok harapan.
Aku pintu masuk yang tak punya jalan keluar.
Ketika jari-jari menyentuhku,
aku tersenyum dalam notifikasi:
“Selamat! Dana perjalanan Bali sudah tersedia”
Aku akan membawa anaknya ke pulau,
pulau gelisah tanpa malam-malam indah,
pulau yang membuat suaminya tak tahu lagi
cara memandang mata anaknya.
Aku tidak bernapas,
tapi aku bisa menghancurkan paru-paru.
Namaku pinjol.
Akulah sang dewa palsu,
yang bisa membawamu ke Bali beberapa hari,
menjeratmu mati berkali-kali.
2025
Sajak Kursi Plastik
– sudut pandang kursi plastik di acara perpisahan –
Aku adalah kursi plastik,
melihat laki-laki itu berdiri di belakang,
seorang ayah yang belum lunas hutang.
Wajahnya retak seperti tembok gudang.
Ia tersenyum—anaknya berseragam toga,
meski dalam hatinya ada hujan yang belum reda.
Padahal “Perpisahan bukanlah pesta.
Hanya halaman terakhir dari buku
yang seharusnya dibaca bersama.”
Aku cuma seonggok kursi,
menampung berat tubuh dan rahasia tersembunyi.
Dan di atas panggung, anak-anak berfoto,
mengira dunia akan lebih mudah seusai acara ini.
2025
______
Penulis
Fileski Walidha Tanjung, adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media nasional.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
Sunday, May 18, 2025
Esai Redaksi | Nurhadi | Silogisme Liem Oei Ping dalam Menyikapi Percaturan Waktu
Esai Nurhadi
Saya beruntung sekaligus segan ketika diminta—Sulaiman Djaya, salah satu penyair nasional di Banten yang terkenal—untuk mewawancarai Liem Oei Ping tentang isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekonomi di Banten secara langsung di kediamannya, tepatnya di Toko Krakatau Royal Serang di lantai 4. Tentu, Saya merasa segan karena ini bukan tugas yang mudah sebagai penikmat sastra, lain halnya dengan Sulaiman Djaya yang telah mulung-malang-melintang dalam kesusastraan dan kebudayaan. Walau begitu saya merasa beruntung karena telah dipercaya untuk terlibat dalam kepentingan agendanya tersebut.
Liem Oei Ping atau biasa disapa Pak Wping adalah sosok pengusaha Tionghoa tangguh yang lahir pada 1941 di Buol, Sulawesi Tengah—Pak Wiping juga sangat menyukai seni, seperti puisi dan lukisan, hal itu terpampang di ruangan kerjanya di lantai 4, di mana karya-karya seni menghiasi kami saat proses wawancara. Beliau tiba di Serang sekitar era 1960-an dengan bekal prinsip hidup yang dipegangnya sampai hari ini, yaitu berusaha dengan tekun dan halal untuk keluarga. Prinsip itu dituangkan dalam puisinya, yang secara bersamaan karya tersebut dibacakan dengan syahdu oleh penyair kita, Sulaiman Djaya, judulnya ‘Hutang dan Aib’:
“Berusaha tekun dan halal
adalah ibadah
adalah pengabdian
pada kehidupan
pada kematian.
Di saat masih hidup
bisa sejahterakan keluarga
di saat sudah wafat
tidak meninggalkan hutang
dan aib keluarga.”
Puisi di atas menurut saya adalah silogisme Pak Wiping, sekaligus rumus hidup yang menegur kepada kita semua bahwa, kerja-kerja yang seharusnya dilakukan itu bukan saja mengenai soal kerja keras, melainkan juga kerja halal. Kerja halal yang dimaksud adalah kerja yang selaras dengan apa yang diajarkan oleh Tuhan. Terutama dalam ruang lingkup di kehidupan kita di Serang ini yang masih memegang teguh nilai dan moral kebudayaan dan agama. Setelah kerja halal terpenuhi maka keluarga akan bahagia, sejahtera, dan tidak akan menanggung malu di kemudian hari.
Serang dalam Memoar Liem Oei Ping
Percaturan waktu yang membentuk Liem Oei Ping atau Pak Wiping sampai saat ini bukanlah isapan jempol, melainkan perjuangan yang penuh perhitungan dan langkah strategis yang telah dibuktikan. Meski bisa dibilang beliau dari keluarga yang berkecukupan untuk makan sehari-hari pada saat itu, namun mental untuk terus tumbuh telah membawanya sampai saat ini. Dan bagaimana pergaulannya dengan masyarakat Serang saat itu adalah langkah yang tidak dapat diambil secara gegabah.
Hal yang dapat kita lihat dengan jelas bahwa beliau merupakan keturunan Tionghoa. Tentu memiliki paradigma atau cara pandang yang berbeda dengan masyarakat Serang pada umumnya. Di Serang mayoritas masyarakatnya adalah religius karena pengaruh para ulama dan kiai yang telah membentuk kebiasaan sosial. Maka Pak Wiping dengan kesederhanaannya secara terbuka untuk belajar dan beradaptasi dengan pendekatan dialog dengan para petani, pedagang, dan juga tokoh masyarakat.
Kemudian Pak Wiping juga membuka lahan pertanian yang dapat dikelola oleh masyarakat dengan sistem bagi hasil. Lahan tersebut juga beriringan dengan Rumah Hutan Cidampit miliknya di Kecamatan Taktakan, Kota Serang—yang dapat digunakan sebagai rekreasi masyarakat, agenda sosial maupun kebudayaan, atau tempat bercengkerama beliau di kala senggang. Selanjutnya, Pak Wiping menyukai seni dan sangat menghargainya. Salah satu seni yang bisa saya saksikan saat itu adalah seni lukis. Lukisan itu seolah berbicara mengenai Pak Wiping. Ia adalah almarhum Bukhari, seniman lukis yang menjadi andalan Pak Wiping pada saat itu.
Ekonomi dan Kesejahteraan Liem Oei Ping
Ada salah satu pertanyaan yang mengganjal di benak saya adalah bagaimana proses Liem Oei Ping atau Pak Wiping dalam perjalannya sebagai pengusaha dan apa ide yang ditawarkan dalam menyikapi perekonomian di Banten, utamanya di Serang agar lebih maju. Barangkali itu yang dapat saya ketahui secara umum bagaimana orang Tionghoa berbisnis, khususnya Pak Wiping untuk memberi ramuannya.
Tutur beliau bahwa Banten memiliki potensi alam yang sangat kaya untuk sebuah kesejahteraan bagi penduduknya. Namun prinsip hidup sering kali menjadi problematik dalam merealisasikan itu. Maka beliau mencoba menginterupsi kebiasaan masyarakat kita agar lebih proporsional antara beragama dan berbisnis. Beliau tidak menampik bahwa beragama adalah jalan untuk kebaikan, namun itu harus menjadi penghubung bagi kesejahteraan yang lebih kompleks. Dengan kata lain, bahwa kita harus memikirkan bagaimana hidup dan warisan untuk anak cucu kita kelak, yaitu dengan bekerja secara halal. Karena sesungguhnya dalam agama pun kita diwajibkan untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri dan keluarga mengenai kebutuhan hidup.
Kemudian beliau menjelaskan lebih spesifik mengenai pemanfaatan sumber daya alam tadi, yaitu dengan membangun rumah atau tempat tinggal di kebun-kebun agar para petani lebih dekat dengan alamnya. Pak Wiping melihat banyak masyarakat yang memiliki potensi tersebut justru menjauh sehingga hasilnya kurang maksimal. Maka dia menyarankan untuk mereka yang memiliki pengetahuan dan potensi di wilayahnya agar menggarap lahan untuk diambil hasilnya dan untuk kebutuhan hidup serta mencapai kesejahteraan di Banten yang notabenenya adalah wilayah agraris. Lalu diikuti dengan program pemerintah yang memudahkan para petani untuk mengolah lahannya yang kompleks itu.
_______
Penulis
Nurhadi, tulisan-tulisannya pernah dimuat di koran harian Kabar Banten dan Majalah Sastra Kandaga Provinsi Banten.
Friday, May 16, 2025
Puisi-Puisi Qonita Tillah
Puisi Qonita Tillah
Tak Selesai
Aku tumbuh
tapi tak selalu menjadi
Ada hari-hari di mana aku hanya diam
menonton dunia berlari
tanpa tahu ke mana harus ikut pergi.
Di antara cermin dan doa
aku mencari atma yang kukenal
Namun seringkali
yang kutemui hanya mata lelah
dan senyum yang dipaksa
Katanya hidup harus penuh arah
tapi bagaimana kalau aku tersesat
di jalan yang bahkan belum sempat kupilih?
Aku bukan batu karang
tapi juga tak cukup air
untuk mengalir entah ke mana
Aku, yang tak selesai dengan diriku
hanya ingin sedikit waktu
untuk diam
tanpa ditanya
“Lalu kamu mau jadi apa?”
Hujan yang Tak Bertanya
Hujan datang tanpa bertanya
menghapus debu, tapi juga luka
yang tak sempat aku ceritakan
Setiap tetesnya seperti senandika
yang pernah kupendam dalam hati
bercampur dengan angin malam
yang tak pernah memilih jalan
Aku berdiri
menatap langit yang abu
dan menunggu jawaban
dari tiap pertanyaan yang tenggelam dalam hujan
Tapi hujan hanya diam
seperti aku yang tak tahu harus mulai dari mana
Jalan yang Tak Terlihat
Masa depan
seperti jalan yang terbungkus kabut
tak ada yang jelas, hanya langkah-langkah ragu
yang mencoba menemukan jejaknya sendiri
Setiap pilihan seperti pertanyaan besar
menyebalkan, membingungkan
dan sering kali membuatku bertanya
"Apakah ini yang benar?"
Aku berjalan di tengah suara-suara
yang mengharapkan aku menjadi sesuatu yang besar
tapi aku hanya merasa terlalu kecil
untuk menggapai langit yang tinggi itu
Kadang aku ingin berhenti sejenak
mengamati semua jalan yang terhampar
tapi aku takut
takut jika berhenti berarti aku tertinggal
selamanya
_________
Penulis
Qonita Tillah, seorang manusia biasa yang sedang belajar memahami dunia dan dirinya sendiri. Lahir di Bandung dan kini menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Ia meratapi dunia menulis karena menurutnya menulis adalah cara pulang ke bagian dirinya yang paling tenang.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
Cerpen M. Ghaniey Al Rasyid | Setelah Lebaran Usai
Cerpen M. Ghaniey Al Rasyid
Beberapa temannya nikmat mengguyur dahaganya dengan es jeruk manis. Teong ingin pula mengguyur kerongkongannya. Di kerongkongannya hanya tinggal lembap air liur, kemudian kering dahaga membikinnya mengerutkan dahi. Dahaga benar-benar menyiksanya. Namun ia pertahankan demi iman.
“Ong, nasi rendang?”
“Ya, silahkan.”
Adukan terakhir, sebuah ember penuh dengan semen. Teong menarik ember ke lantai dua melalui katrol yang gagangnya dibikin dari karet ban. Kecipak lumpur mengucur saat ember terombang-ambing dikerek merangsek ke lantai dua. Ia membayangkan tentang makanan, sekali lagi ia tak menggubrisnya. Lusa ia harus pulang ke kampung halaman.
Langit begitu cerah tak secerah nasib hidupnya. Ia meratapi dengan saksama, bagaimana keberuntungan terkadang jauh tak mempertemukannya. Meski demikian, Teong selalu berbaik sangka. Selalu saja ia membelai-belai pikirannya, bahwa ia hanya sebuah wayang.
Teda, Broto, Suroto mulutnya sibuk mengunyah makanan. Bumbu rendang menyembul seakan mengajak Teong untuk mampir. Ia duduk di sebelah mereka.
“Tulat kita sudah Lebaran, tak apa sekali-kali,” tukas Teda sambil mengkuncupkan nasi dengan jari-jemarinya yang masih nampak kotoran yang nyempil di sela-sela kukunya.
Teong hanya meringis, sambil melempar-lempar kerikil seperti seorang pemain sirkus. Ia kadang membayangkan, apakah kisah menakutkan bila melanggar perintah-Nya itu benar terjadi. Seorang pendusta dapat hidup mewah, pejabat korup dapat hidup tenteram meskipun di balik jeruji atau dirinya yang menderita meskipun taat.
“Dunia ini sementara,” sejurus Teong mengingat lamat-lamat guru mengaji di surau sewaktu ia kecil.
“Sudah mempersiapkan apa saja untuk kampung halaman?” tanya Suroto sambil mengusap-usap perutnya.
“Seperti biasa, tabungan satu tahun akan kubongkar,” jawab Teda.
“Membelikan baju Lebaran untuk anak-istri,” ujar Broto.
Teong terdiam dengan sorot mata tertuju dalam adonan semen. Ia mendengarkan gumaman teman-temannya. Ia ingin ikut berceloteh, namun bingung memunculkan kata. Dalam benaknya terbesit kebimbangan kala membayangkan kelima adiknya dan seorang ibu di kampung halaman nan jauh.
“Minum dulu Ong. Lu melamun mulu,” tukas Teda sambil menggoyang-goyangkan lengan Teong.
“Paling penting, ya bagi-bagi THR buat sanak famili.”
“Emang cukup Ong?”
“Yah, nanti diuasahinlah, harga diri.”
“Gila bener, si Teong,” ucap Teda sambil mengajak kawan-kawannya untuk mengaduk kembali semen yang telah mengering.
Waktu nampak berlalu begitu cepat. Binar matari beralih dengan temaram kilau cahaya kekuning-kuningan. Munculnya seorang penjual jamu menandakan waktu menunjukan pukul empat. Teong lekas-lekas membasuh kepalanya dan mengemasi barang bawaannya. Sore berlalu, temaram di ufuk timur tampak begitu cantik. Waktu santap datang. Segelas air minum dan tiga keping pisang goreng menemani Teong.
Hidangan terakhir di tanah rantau terasa hambar. Rasanya mulai getir setelah hampir sebulan perut dan mulutnya dididik untuk memaknai maksud secukupnya.
Di sebuah bangunan yang Teong sewa, ia tinggal seorang diri. Bertemankan seekor perkutut, ia menghadapi hari, bulan dan tahun. Sempat suatu ketika mendiang ayahnya berpesan agar memelihara seekor burung perkututnya bila ia memutuskan merantau.
Teong menikmati santapan dalam sepi di tengah ramai hilir mudik penghuninya yang menikmati waktu selepas magrib menjelang tarawih. Bocah-bocah berlari-lari bahagia, sambil berteriak setelah petasan yang sengaja ia nyalakan memekik menggema sepanjang gang di mana Teong tinggal.
Teriakan bocah-bocah itu mengingatkan adik dan sanak famili di kampung halaman. Tak hanya itu, gurauan bocah-bocah itu mengingatkan dirinya yang telah dimakan sang waktu. Namun, belum pula berjumpa dengan tulang rusuk yang dijanjikan.
Keheningan yang mengantarkan kepada perenungan terurai oleh ketukan pintu amat lirih. Teong memastikan bahwa pintunya yang diketuk oleh seseorang di balik pintu itu.
“Ong, Teong.” Suara itu terdengar tak asing di daun telinganya.
“Eh, elu. Mari!” Teong membuka lebar pintu rumahnya. Semerbak bubuk petasan menyengat masuk ke ruang singgahnya.
Broto tampak aneh di setiap gerak-geriknya. Embusan napasnya tampak kurang beraturan. Lirikan matanya cukup sayu seakan ingin berucap. Sebuah rak botol minuman, namun dialihfungsikan menjadi kursi. Mereka berbincang. “Besok mudik?” tanya Teong mencoba memecah keheningan dan kekikukan temannya itu.
Seperti disetrum, Broto merangkai kata menyambung maksud mudik dengan perihal yang tengah ia hadapi. “Ong, gue mau minta tolong?” Broto berujar dengan lembut.
“Gimana emang?”
“Gini Ong, rumah kontrakan kena bobol maling,” ujar Broto dengan lesu.
“Serius?” Teong menghela napas. Ia menatap wajah Broto dan mengetahui kata selanjutnya yang bakal muncul.
“Iya Ong, uang itu rencana buat beli baju istri dan anak gue.”
“Sudah lapor polisi atau Pak RT?”
“Yaelah, mana bisa balik duitnya Ong?” dengan lesu Broto berkeluh kesah. Sorot matanya tampak kacau. Segalanya tampak buyar. Teong hanya terdiam menantikan kalimat-kalimat yang bakal muncul.
“Ong, pinjem duit bisa buat mudik,” Broto memasang wajah memelas mengharapkan uluran tangan Teong.
“Sebelumnya, mohon maaf, gue cuma punya tiga ratus, selebihnya untuk kebutuhan di rumah.”
“Ya, sudah itu dulu saja. Bulan depan gue balikin Ong,” Broto menepuk-nepuk pundak Teda, memastikan uang pinjamannya itu akan kembali.
Teong berjalan menuju lemari. Ia meletakkan uangnya di bawah tumpukan baju, di mana di bawahnya telah dibikin seperti laci rahasia yang hanya dirinya yang tahu. Sambil merogok laci dan pakaiannya, Teong ingin sekali berkeluh kesah. Meski demikian, ia harus menghadapinya. Sambil menarik tiga lembar uang, ia sedikit meremas baju-baju dengan menggegat keras rahangnya penuh kesal.
Tiga lembar uang menjulur mempertemukan dua tangan. Broto sumringah setelah ia dapat menggenggam uang itu. Mereka berjabat tangan kemudian bergumam menyoal hidup.
Air muka Broto kembali segar. Ia seperti dibasuh oleh guyuran air dingin sewaktu subuh. Mulutnya bergoyang, lidahnya meliuk memunculkan kata. Teong mendengar dan merasakan. Kehilangan barang berharga itu menjengkelkan. Namun, ini bukan perkara hilang, akan tetapi kebutuhan.
Malam beringsut, suara lamat-lamat lantunan Qur’an menyeruak di sela-sela gang dan ranting pohon yang diam tak setitik pun bergoyang. Di atas amben yang berbahan busa keras, Teong membujur, tatapannya tertuju ke langit-langit yang di beberapa sisi muncul sarang laba-laba.
Esok pagi ia harus kembali ke rumah, menyaksikan keluarga kecil yang bakal ditelan oleh waktu. Segalanya nampak berlangsung begitu cepat. Setahun, dua tahun, lima tahun waktu yang cepat bagi seorang kuli bangunan menghadapi nasib di kota besar nan asing.
Meski demikian, ia tak pernah setitik pun menghabiskan waktu untuk berleha-leha. Teong ingin tenggelam bersama waktu agar tak dicap merugi. Saat terlentang menjemput tidur, terbesit seketika rasa, bahwa rasa kurang beruntung memang berada dalam dirinya. Di situlah Teong menyadari tentang rugi.
***
Stasiun kota sangat ramai pemudik. Mereka berjejal-jejal seperti sedang antre sembako. Dua kardus karton penuh dengan makanan lebaran. Karton satunya diisi oleh baju baru yang dibeli di pasar pinggir kota. Harganya tak begitu mahal. Meski demikian, pakaian itu dipandang mahal bagi keluarganya yang hidup jauh dari hingar-bingar.
Teong tergopoh-gopoh bersama barang bawaannya. Seorang porter menyuguhkan bantuan untuk membawa barangnya. Ia memasang wajah sopan penuh percaya. Terbesit perasaan ragu. Teong memutuskan agar barang itu tak luput dari genggamannya sedetik pun.
Suara peluit melengking, menandakan kereta melaju. Roda sedikit demi sedikit menderu merangsek menembus siang nan begitu terik. Teong duduk persis di samping pintu kereta. Ia duduk berhadapan dengan dua orang pria yang sibuk dengan kebisuannya.
Sepanjang perjalanan Teong menyaksikan rumah-rumah kumuh, bangunan megah dan lahan hijau riuh dengan kelir hijaunya. Saat ia menyaksikan tanaman yang menjulang dan hijau, ia kembali mengingat kampung halamannya.
Mendiang ayah Teong seorang tunawisma. Ia mengelola tanah milik camat ataupun pengusaha kaya yang berada di desa. Jerih payahnya itu untuk menghidupi keluarga. Terbesit perasaan sesal, tatkala desa tak lagi menggiurkan. Teong lebih tergiur dengan ucapan dari mulut ke mulut bahwa kota lebih menjanjikan.
Ia telah merasakan bagaimana menjadi kuli bangunan yang jauh dari keluarga yang ia cintai. Teong merasakan kantuk, matanya mengatup setengah sadar oleh gemuruh mesin kereta yang menderu. Beberapa kali ia terbangun oleh liukan dan deru mesin dan suara bocah yang menangis dengan nyaring.
Kurang lebih enam jam, Teong terlelap menyandarkan punggungnya. Terasa pegal di bagian tulang ekornya. Apabila ia berlama-lama tak mengaduk semen atau memecah batu, punggung, dan lengannya akan terasa pegal. Maka ia tak ingin libur terlalu lama. Baginya hidup adalah bekerja.
Setibanya di stasiun kota, Teong berjalan menghampiri bus yang menuju ke kampung halaman. Ia harus menghabiskan waktu perjalanan kurang lebih satu jam lamanya.
Di bus itu, Teong merasakan hal yang telah lama ia lupakan. Mengendarai angkutan umum menyaksikan para penumpangnya membawa kisa beserta ayamnya. Bahkan sempat terbesit dalam ingatannya, seekor anak kambing ikut pula menjadi penumpang berjejal dengan manusia.
Setibanya di rumah, Teong ingin meneteskan air mata. Namun ia alihkan pikirannya dengan hal-hal bahagia. Ibunya membuka pintu menampakan wajah berbinar meskipun rambutnya tampak tipis dan dipenuhi uban.
Perbincangan tak sehangat ketika Teong masih muda. Gelagat dan sikap terasa begitu canggung. Kelima adiknya, Robi, Elang, Dodi, Krisna, dan Siti mulai nampak dewasa. Mereka berselang-seling menanyakan kabar dan bertukar sapa.
Kursi reot yang dibikin dari rotan masih teronggok di ruang tamu. Suatu ketika, tempat itu jadi tempat mengobrol selepas magrib. Kedua orang tua Teong selalu menanyakan tentang cita dan harapan. Kini ia harus menyampaikan sejujurnya.
“Mak, maaf anakmu ini belum bisa kawin dan sugih.”
“Mamak, hanya mau kamu jadi manusia yang taat,” tukas Ibu Robi dengan muka kering dan keriput.
Teong menarik dua kardus yang ia letakan persis di samping kursi di mana ia duduk. Robi membantunya untuk membuka barang bawaannya itu. Kelima adiknya begitu bahagia. Barang dari kota dari seorang kuli bangunan itu membikin mereka berbahagia.
Lantunan takbir berkumandang. Deru bedug bergemuruh memekik di sela-sela kampung yang telah lama ditinggal penghuninya. Selepas Lebaran waktu yang murung. Teong berdiri di teras rumah. Waktu berjumpa dengan keluarga telah usai. Ia harus kembali menghadapi tanah rantau.
Teong harus bertemu kembali dengan aktivitasnya sebagai seorang kuli bangunan. Di tanah rantau tak ada waktu berleha-leha. Setiap detik, menit dan jam adalah kesempatan. Ia harus bekerja untuk menghidupi ibu dan kelima anaknya. Tak ada cara lain selain menghadapinya dengan keberanian berlapis-lapis.
_______
Penulis
M. Ghaniey Al Rasyid, Penulis Lepas, Pengkliping dan Penikmat Karya Sastra yang Berasal dari Batang, Jawa Tengah.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
Thursday, May 8, 2025
Esai Mela Sri Ayuni | Kecintaan Liem Oei Ping kepada Seni dan Puisi
Esai Mela Sri Ayuni
“Demi asr (masa/waktu)! Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman…” (Al-Qur’an Surah Al-Asr).
“Dunia itu buihnya, sedangkan akhirat itu lautnya.” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi)
Liem Oei Ping, kelahiran 29 April 1941 di Sulawesi Tengah, berparas putih, sipit, dan berambut cepak. Di usianya yang terhitung berkepala delapan, masih tetap enerjik. Semasa di kampung halamannya, ia akrab disapa ‘Iping’, namun sekarang ia lebih dikenal dengan sebutan Pak Wiping. Laki-laki keturunan Tionghoa ini hijrah ke Kota Serang, Banten, pada era 1960-an. Tentu, ini tidak bisa lagi disebut perantau pemula. Pak Wiping memilih Kota Serang sebagai tempat pelabuhan terlamanya bukan atas dasar pilihan, melainkan karena jodoh. Di mana tempat yang bisa memberi rezeki, di situ ia akan berlabuh. Setiap yang bukan pilihan berarti itu jodoh.
Sore itu, Kota Serang cukup hangat, sekitar 32 derajat Celsius. Saya memenuhi undangan khusus dari Sastrawan Banten, yaitu Sulaiman Djaya atau lebih akrab disapa Kang Sudja, yang tak pelak lagi merupakan pertemuan awal saya dengan beliau, sekaligus perjumpaan awal saya dengan Pak Wiping dan persentuhan pertama saya pula menginjakkan kaki ke Toko Krakatau Royal. Dalam undangannya, saya diajak untuk menulis dan berdiskusi bersama Liem Oei Ping. Tempatnya di Lantai 4 Toko Krakatau Royal Serang. Saya datang sesuai jam undangan, yaitu pukul 4 sore. Namun begitu, saya tidak bisa menemui Pak Wiping secepat itu. Saya menunggu sekitar 40 menit untuk bisa berjumpa. Sebelumnya, saya bertanya kepada karyawan toko, ia mengarahkan saya untuk ke kantin toko. Saya paham niatnya, yaitu agar saya tidak bosan menunggu. Di sana, saya disuguhi camilan dan minuman. “Beliau sudah menerima tamu. Tunggu sebentar, ya. Bapak sedang istirahat,” ujarnya. Selama saya duduk di kantin, mata saya culamitan, melirik ke kanan dan ke kiri area toko itu. Sedikitnya ada satu puisi yang saya baca dalam hati dan kotak koran “Koran ini bisa dibaca dan dibawa pulang.”
Tak lama setelahnya, kami (saya dan Kang Sudja) dipanggil untuk bertemu Pak Wiping. Diskusi pun dimulai yang dipandu langsung Kang Sudja. Dalam hati kecil saya bicara, “Ini bukan diskusi. Lebih tepatnya, saya belajar langsung bersama guru besar.” Sebagai pengantar, Kang Sudja membacakan sebuah puisi yang berjudul “Sang Waktu” yang ditulis pada tahun 2003 (kemungkinan besar di tahun segitu saya belum bisa bicara, haha).
Sang Waktu
Tidak ada istilah waktu sekarang
Ada juga waktu masa lalu
Ada juga waktu yang akan datang.
Waktu saat ini terus menghilang
Menghilang dari detakan detik
Menit, jam, hari dan seterusnya.
Sang waktu tidak ada tempat
Persinggahan. Tidak pernah capek
Dan tidak pernah tidur.
Sang waktu terus mengawal kita
Sejak lahir ke bumi
Sampai ke liang lahat!
Liem Oei Ping – Serang, Banten, Mei 2003
Puisi di atas dengan jelas secara frontal mengarahkan kepada waktu, yaitu waktu masa lalu dan waktu yang akan datang. Di sini, tidak membicarakan waktu saat ini, dikarenakan waktu saat ini sedang berjalan dan tentu untuk mengantarkan ke waktu yang akan datang. Secara tersirat, Pak Wiping menuntun si pembaca untuk menghargai waktu yang diberikan oleh Sang Pemilik Waktu. Mengisi kekosongan waktu untuk memenuhi berbagai kegiatan positif agar manusia layak disebut sebagai manusia ideal. Jelas, ini menjadi PR bagi orang-orang berpikir: bagaimana cara kita memperlakukan waktu dengan sebaik mungkin, atau malah sebaliknya (ingkar pada waktu).
Sebetulnya, waktu bisa menyelamatkan dan membinasakan manusia tergantung respons dari manusia itu sendiri. Jika kita melirik lagi pada bagian terakhir bait puisi di atas, penulis secara spiritual mengajak kita untuk memenuhi waktu dengan kegiatan positif, supaya ketika kita sampai ke liang lahat, kita sudah siap menjumpai Dia Sang Pemilik Waktu tanpa ragu sehingga kita mendapatkan balasan yang pantas atas apa yang sudah kita kerjakan sewaktu di dunia. Bersyukur apabila kita mendapatkan keselamatan akhirat.
Setelah membaca kembali bait terakhir ini, seketika saya ingat kalam dari Jalaluddin Rumi (pujangga besar sufi keturunan Persia), yakni “Dunia itu buihnya, sedangkan akhirat itu lautnya.” Kalau kita kaitkan dengan puisi itu, terkadang, justru kita lebih fokus kepada buihnya daripada lautnya. Melupakan akhirat sampai lupa tidak mempersiapkan bekal untuk kepulangan. Hingga menurut beberapa kisah, banyak yang sudah dipanggil ke pangkuan-Nya, tetapi banyak di antara mereka yang lebih memilih untuk kembali lagi ke dunia, hanya untuk sekadar bersujud lagi pada-Nya. Ini menunjukkan kalau bekal yang mereka bawa, kurang!
Sependek yang saya kenal, selain Pak Wiping pandai menulis karya seni sastra berjenis puisi, ia juga orang yang berkeyakinan teguh. Hal tersebut saya temui ketika melihat bagaimana cara ia menghargai dan memuliakan tamu. Perilaku seperti ini sejalan dengan amar Islam.
Tidak hanya berhenti pada seni, Pak Wiping pun bergerak di bidang ekonomi dan bisnis sejak tahun 1967. Mendirikan toko kelontong bernama Toko Krakatau, berdiri kokoh di Jalan Raya Sultan Ageng Tirtayasa, Royal Serang, Banten. Konon, nama toko ini terinspirasi dari Gunung Krakatau yang dahulu pernah meletus hebat. Ia berharap, tokonya pun seperti Gunung Krakatau, hebat dan banyak pembeli yang berdatangan. Toko itu dicampur oleh beberapa pakaian ternama dari brand yang sudah masyhur di pasaran, seperti Levi’s, Amco, dan Lea. Uniknya, toko ini tidak pernah libur walau ada hari-hari besar apa pun. Di saat toko lain tutup, pasti pelanggan akan menyerbu Toko Krakatau. Ini merupakan bagian dari strategi marketing Pak Wiping untuk meraup keuntungan lebih banyak. Namun tetap, pegawainya mendapatkan cuti libur, izin sakit, dan izin keperluan keluarga. Walau Pak Wiping perantau dari Indonesia Timur yang berbeda etnis dengan warga pribumi, namun ia tetap memberikan kesempatan kerja bagi kaum pribumi. Ia tidak memandang etnis. Terbukti ketika saya mengunjungi tokonya sore itu, karyawan toko didominasi oleh orang lokal, asli Serang. Sungguh, ia memiliki jiwa toleransi.
Saya hampir lima tahun bergelut dengan Kota Serang, mulai dari kuliah hingga mendapat mata pencaharian di kota ini. Sesekali saya menyusuri kawasan Royal untuk memenuhi kebutuhan ataupun sekadar window shopping. Dari pagi hingga sore, di sana masih dipadati pengunjung. Bahkan sesekali kemacetan menghampiri, kawasan ini bagian dari paru-paru ibu kota. Tak heran kalau macet. Justru, dengan padat penduduk ini akan memberikan nilai jual kepada pedagang.
Seiring berjalannya waktu, toko-toko di sekitar Toko Krakatau milik Pak Wiping mulai bermunculan. Mulai dari butik, marketplace, hingga mal besar. Otomatis menjadi kompetitor baru dan PR untuk Pak Wiping menyusun rencana supaya terus bisa menjaga eksistensi tokonya di tengah toko-toko baru. Minatnya terhadap dunia ekonomi dan bisnis sangat besar. Tidak hanya mendirikan toko, tetapi ia juga mendirikan Rumah Hutan Cidampit, Kecamatan Taktakan, Serang.
Rumah Hutan Cidampit yang sudah memiliki rating bintang 4,5 di Google ini menjadi salah satu tempat favorit. Gagasannya yang kreatif membuat tempat rekreasi yang ramah lingkungan di tengah kota. Untuk bisa sampai ke tempat ini, pengunjung harus berjalan kaki sejauh dua kilometer. Walau begitu, ini tidak membuat para pengunjung kapok untuk datang lagi. Tempat ini menawarkan beberapa fasilitas menarik seperti rumah kayu, ketahanan pangan, sungai, tempat penginapan, hingga perpustakaan kecil. Ajaibnya, tempat ini ramah di kantong, hanya cukup membayar parkir saja. Tak perlu bayar masuk lagi. Mantap! Kapan lagi ada tempat rekreasi alam yang peduli literasi? Ini memang ide dari pemilik, karena memang kecintaannya terhadap dunia literasi dan seni cukup tinggi. Selain itu, tidak hanya ada perpustakaan, tetapi di tugu-tugu tertentu disediakan puisi dari Pak Wiping. Selama dua puluh tiga tahun saya hidup, baru kali ini saya menemukan pecinta seni berkedok pelaku ekonomi.
______
Penulis
Mela Sri Ayuni, warga kelahiran Cikeusal. Pegiat Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com