View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Saturday, August 16, 2025

Resensi Kabut | Anak dan Perang

Resensi Kabut



Pada masa kecil, “perang” itu permainan. Anak-anak melakukannya di kebun, sawah, atau pekarangan. Aneh, anak-anak itu tidak takut “perang”. Mereka malah menciptakannya dengan dramatik dan angan heroisme. Yang tampak adalah mereka mendadani diri mirip serdadu, gerilyawan, jenderal, atau prajurit. Senjata yang digunakan bisa apa saja. Maksudnya, benda-benda yang diperoleh di dapur atau gudang digunakan untuk senjata. Benda mendapat nama baru agar perang-perangan menjadi seru. Jadi, mereka mudah menyebut benda-benda itu bedil, tombak, pedang, dan lain-lain.


Dari mana anak-anak mendapat sumber belajar tentang perang? Mereka menonton televisi, yang menyiarkan film-film bertema perang. Ada yang mengetahui perang dari buku-buku pelajaran. Banyak sumber yang digunakan anak untuk bermain perang-perangan. Di Indonesia, anak-anak yang bermain perang-perangan itu seolah-olah (ingin) ingat sejarah atau membuat “imitasi” berbekal imajinasi yang klise.


Perang mengajarkan anak-anak tentang menang dan kalah sekaligus hidup dan mati. Perang adalah darah, jeritan, air mata, ratapan, doa, makian, dan lain-lain. Perang pun memiliki lagu-lagu. Pokoknya, perang adalah peristiwa yang (sangat) diminati anak-anak sebelum mereka mendapat teknologi mutakhir dengan permainan-permainan tanpa mereka berkeringat, berdebu, jatuh di tanah, atau berlumpur. Mereka tetap saja terobsesi perang. Anak-anak malah bermimpi perang, yang menempatkannya sebagai tokoh penting dalam pengorbanan dan meraih kemenangan.


Anak-anak yang belajar di SD atau SMP kadang berkunjung ke perpustakaan. Kunjungan bukan hanya gara-gara penugasan oleh guru. Bayangkan ada beberapa anak yang tidak jajan ke kantin tapi memilih duduk di perpustakaan untuk beberapa menit! Mereka mungkin tidak punya uang saku tapi bisa menikmati menit-menit istirahat di perpustakaan: “jajan” cerita. Yang dilakukan adalah membaca buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Pada masa Orde Baru, ratusan atau ribuan buku untuk anak dan remaja biasanya bercap milik negara. Artinya, buku tidak diperdagangkan. Yang membeli atau menyediakan adalah pemerintah, yang menyebarkannya ke ribuan perpustakaan di seantero Indonesia.


Maka, ada anak yang mengambil buku di rak. Buku tipis itu berjudul Anak Gerilyawan (1978) gubahan Marcus AS. Yang menerbitkan Pustaka Jaya. Buku cerita yang cocok dibaca selama Agustus. Judul buku sudah menunjuk latar atau suasana perang yang terjadi di Indonesia masa lalu. Anak yang memilih dan membacanya tidak segera menuduh bahwa buku berisi propaganda sejarah yang dibuat rezim Orde Baru. Anak belum berpikiran jauh. Ia hanya menuruti penasaran mengenai perang. Pada suatu hari, buku menjadi referensi untuk mencipta permainan perang bersama teman-teman.


Sampulnya bergambar ibu dan anak. Pastinya gambar anak yang yang mengesahkan judul novel: Anak Gerilyawan. Mengapa gambar si gerilyawan tidak ditampilkan di sampul depan agar menambah hebohnya imajinasi perang? Padahal, gambar si gerilyawan jika tidak dicetak di sampul depan bisa ditaruh di sampul belakang. Aneh, sampul belakang kosong, tiada gambar dan kata.


Cerita untuk anak menampilkan tokoh anak. Wajarlah! Tokoh anak itu bernama Amir. Ia dan ibunya pindah ke kota, meninggalkan desa. Ibu berharap menemukan ayah di kota. Amir kadang percaya dengan omongan-omongan ibunya. Namun, beberapa kali ia punya rasa ingin tahu yang besar tapi tidak terjawab secara cepat. Ibunya menyimpan rahasia.


Cerita yang mengandung rahasia memang menarik perhatian. Marcus menyadarinya dengan membuka cerita memiliki cicilan misteri: “Sejak kedatangannya di kota kecil itu, perempuan yang menyewa petak Haji Jafar, menjadi pembicaraan tiap orang. Banyak orang yang mengambil kesimpulan yang bermacam-macam. Maklum perempuan itu masih muda. Cantik pula wajahnya. Orang laki-laki membicarakan kecantikan wanita itu. Sebaliknya, kaum wanitanya. Menjadi iri karenanya.”


Anak-anak yang membaca novel sedikit tersenyum sambil bertanya: “Benarkah ini cerita tentang perang?” Pembukanya mirip skandal asmara yang terjadi akibat kedatangan orang baru di kota. Anak mungkin menunda dulu tuduhan bahwa asmara yang akan berkuasa dalam cerita. Judul dan gambar di sampul tidak mengarah ke asmara. 


Yang datang ke kota itu adalah perempuan muda bersama anaknya yang bernama Amir. Nasib Amir juga buruk. Ia mendapat ejekan dari para tetangga atau tatapan yang membenci. Dua tokoh yang harus menderita sejak halaman pertama. Apakah itu siasat pengarang agar para pembacanya mau mengikuti penasaran sampai halaman terakhir?


Dua sosok yang dibenci para tetangga. Omongan-omongan yang sembarangan mendefinisikan mereka sebagai masalah. Kedatangan yang tidak mendapat sambutan baik tapi “permusuhan”. Ibu dan anak yang tidak dikehendaki untuk turut hidup sejenak di kota dalam situasi perang. Ibu dan anak berusaha sabar, tidak gegabah menjawab semua kecurigaan para tetangga.


Amir masuk ke sekolah sebagai murid baru. Ia kesulitan mendapatkan teman. Cerita yang sering menampilkan tokoh-tokoh menderita biasanya mendapat perhatian pembaca. Tokoh yang akan dikasihani dan diharapkan akhirnya berbahagia. Derita-derita yang dialaminya adalah syarat atau keniscayaan.


Di sekolah, Amir mendapat dua teman. Ia cukup bahagia meski harus berhadapan dengan gerombolan yang memusuhi. Akibatnya, Amir menjadi sasaran ejekan. Amir dalam situasi yang sulit. Pengarang segera memunculkan perkelahian, yang membuat benar dan salah agak terlihat. Amir ikut terlibat dalam perkelahian. Penyebab yang menyakitkan: Amir dibilang anak haram. Yang menuduh punya “bukti” bahwa Amir tidak memiliki bapak.


Pembaca diminta sabar. Cerita belum sampai perang. Bila yang membaca anak, masalah perkelahian memberi kesan besar yang patut ditafsirkan. Pengarang memberi peran untuk beberapa tokoh anak, yang dapat menjadi renungan. Harjo mau bersahabat dengan Amir, membuat pembelaan: “Jangan begitu, Sidik. Tak baik menghina sesama makhluk Tuhan!” Pembelaan yang menimbulkan ledekan susulan. “Sejak kapan kau jadi kiai?” bertanya Sidik dengan mulut dicibirkan. Kita membayangkan anak-anak yang akan berkelahi bersenjatakan kata-kata dulu dan pamer tampang.


Mereka tidak langsung terbakar marah, “Musyawarah” terjadi untuk memastikan terselenggaranya perkelahian. Kesepakatan yang dibuat adalah perkelahian bukan di sekolah tapi di kuburan tua. Jadwalnya setelah pulang dari sekolah. Anak-anak yang masih memiliki akal sehat.


Perkelahian tidak asal pukul atau tendang. Ada tanda-tanda yang membuat mereka mengawali atau meladeni. Pengarang tampak sudah melakukan pengamatan bertema perkelahian. Jadi, babak berkelahi dalam novel dinilai bermutu. Kita membayangkan menjadi penonton dua kubu yang mau berkelahi di kuburan tua, yang adegan awalnya: “Harjo meludah ke tanah. Perbuatan ini dianggap oleh Sidik dan kawan-kawannya sebagai penghinaan. Mereka juga meludah ke tanah.” Meludah itu tantangan. Meludah itu penghinaan.


Kesepakatan mendadak pun dibuat untuk memulai perkelahian. Sidik berseru: “Siapa yang lebih dahulu memegang hidungnya dia jagoan!” Peristiwa yang unik. Perkelahian mirip “lomba”. Hidung menjadi sasaran agar perkelahian segera terjadi dalam penentuan yang menang dan kalah.


Perkelahian berbeda dengan perang. Marcus sebenarnya bercerita perang demi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Di babak awal, ia tetap memberi hak para pembaca (anak) yang tidak segera memasuki masalah-masalah kaum dewasa. Anak-anak yang berkelahi yang membuat novel dapat berpengaruh bagi anak-anak. Berkelahi bukan mengajarkan anak-anak menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Perkelahian itu “kenyataan” yang biasa dihadapi anak-anak dalam pergaulan di sekolah dan kampung.


Perkelahian mengawali perang yang berkobar, yang membenarkan judul novel. Amir terlibat dalam perkelahian. Pulang ke rumah, ia mendapat pertanyaan dan nasihat dari ibunya. Anak yang menyadari dilema-dilema dalam zaman perang. Pada mulanya, Amir diajak ibu ke kota untuk mencari bapak. Amir berharap bertemu bapak tapi kehidupannya adalah sulit dan sulit. Perkelahian membenarkan sulit yang ditanggungkan.


Pembaca belum sampai perang. Pengarang pintar mengatur alur dan “memperlambat” keinginan pembaca dalam perang yang membara. Misteri-misteri dihadirkan pengarang, yang membuat pembaca ikhlas menyelesaikan buku yang tipis.


Kejadian yang mungkin tidak ditebak pembaca adalah ajakan ibu agar Amir berjualan kue untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Amir bersemangat dalam mencari nafkah. Pada keputusan berjualan, pembaca mulai diminta tidak berpikiran hitam dan putih.


Amir tampil sebagai anak yang patuh. Ia tidak mementingkan kesenangannya sendiri. Anjuran ibu dipenuhinya dengan berjualan kue, membawanya keliling dari rumah ke rumah. Masa perang, masa orang harus berhemat dan berpikir kebutuhan pokok. Amir tidak dapat berharap jualan laku dan cepat habis. Pembaca menilai pengarang menunjukkan logika dalam ceritanya.


Yang dialami Amir saat berkeliling di kota: “Tapi yang membeli tak banyak. Dagangan Amir masih menumpuk. Amir tak kehabisan akal, ia memberanikan diri. Masuk ke tangsi Belanda. Di depan gardu penjaga, Amir memberi hormat. Penjaga tersenyum kepadanya. Ternyata penjaga itu baik, ia mengizinkan Amir masuk.” Apa yang terjadi dengan Amir? Mengapa ia berharap dagangannya laku di tempat yang dihuni oleh para musuh, yang ingin menghancurkan kedaulatan Indonesia.


Kita tidak mudah menilai posisi dan misi Amir. Dagangan kuenya laku. Yang membeli adalah para tentara Belanda dan KNIL. Dagangan yang ada di tampah habis. Para tentara suka, berharap keesokan hari Amir datang lagi membawa kue. Amir senang. Para tentara pun senang. Yang kita ikuti adalah cerita mengenai anak yang mencari nafkah. Pembelinya bukan penduduk kota atau bumiputra. Beberapa yang membeli dan menikmati kue buatan ibunya adalah tentara-tentara Belanda. Selain dagangan laku, Amir mendapat pesanan dari keluarga Belanda untuk mencarikan telur ayam.


Pembaca boleh terkejut mengikuti percakapan ibu dan Amir. Percakapan yang tidak menggampangkan orang mengecap manusia dalam perang. “Bu, dagangan kita laku di tangsi! Amir menyampaikan dengan bangga dan gembira. Tanggapan ibu: “Oh, ya. Kau tidak takut, Mir?” Ibu yang ingin mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Bocah itu enteng menjawab: “Tidak, Bu. Belanda itu baik-baik, tak segalak tetangga kita!” Kita menganggapnya kejujuran. Namun, ibu lekas bersikap: “Hus! Jangan bicara begitu!”


Amir bertemu para tentara Belanda. Pertemuan hanya sebentar. Amir sebagai pedagang kue. Para tentara Belanda sebagai pembeli. Dagangan yang habis dan sikap para tentara Belanda itu cepat memberi kesan yang baik kepada Amir. Artinya, Amir mendapat perlakuan sopan dan rezeki lancar. Konklusi yang dibuatnya semestinya tidak terlalu bermasalah. Bocah di tanah jajahan mengatakan tentara Belanda itu baik. Pujian yang diberikan dengan membandingkan nasibnya di antara tetangga yang menghina dan membenci. Pengarang berani menimbulkan polemik kepada pembaca. Bagi orang yang keras dan kolot, tentara Belanda pasti jahat. Argumen termudah: Belanda itu penjajah atau musuh Indonesia. Namun, pembaca diminta menilai sikap para tetangga. Sesama orang Indonesia tapi tidak menunjukkan sikap-sikap yang baik, yang bisa dipelajari dan dipedomani Amir dalam masa pertumbuhannya.


Pengertian penting diperoleh Amir saat mengamati tangsi Belanda. Ia perlahan mengerti perang:. “Di tangsi sangat sibuk, Belanda sedang bersiap-siap untuk menghadapi serangan gerilya,” kata Amir kepada ibu. Padahal, ibunya lebih banyak tahu tapi sengaja menyembunyikan banyak informasi agar Amir tidak ketakutan dalam hari-hari perang.


Cerita buatan Marcus terbukti bermutu. Pembaca tidak dimudahkan dalam membuat penilaian. Pembaca juga tidak merasa mendapat doktrin-doktrin “sejarah” yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Cerita yang berlatar sejarah menimbulkan sedikit polemik. Namun, pembaca mengetahui novel itu memiliki beberapa kelemahan dalam karakter tokoh dan alur. Yang terpenting, anak-anak bisa membaca novel tentang perang, yang tidak hanya masalah menang dan kalah.


Pada akhirnya, Amir mengetahui bahwa bapaknya adalah pemimpin pasukan gerilya, yang akan menghancurkan tangsi Belanda. Di rumah, beberapa orang berkumpul untuk mengatur strategi. Amir terjaga dan melihat keadaan yang aneh. Ia berjumpa bapaknya. Ia pun mendapat penjelasan-penjelasan mengenai perang. Malam itu Amir mungkin berpikir lagi untuk tetap menganggap tentara Belanda itu baik atau mengikuti pendapat para gerilyawan.


Ketegangan tercipta. Pengarang melegakan para pembaca yang penasaran perang. Yang diceritakan Marcus adalah peristiwa ibu dan Amir mengungsi tapi sempat mengetahui ledakan dan api, yang memastikan tangsi Belanda hancur: “Keduanya melanjutkan perjalanan dengan cepat. Tiba di hutan jati, mereka bertemu rombongan keluarga gerilya. Mereka meneruskan perjalanan. Kota menjadi panik. Belanda yang mendapat serangan mendadak sangat terkejut. Gudang mesiu meledak, perbelakalan terbakar, dan berpuluh-puluh senjata telah hilang. Gerilya menyerang ke dalam kota, penduduk panik. Dalam sekejap mata saja tangsi menjadi merah. Bertruk-truk Belanda mengadakan patroli tapi gerilya telah mundur jauh.” Peristiwa yang mengesahkan anak-anak yang membacanya berani membela kedaulatan Indonesia. Mereka makin bangga menjadi Indonesia.


Di halaman-halaman belakang, pengarang tampak sulit mengendalikan cerita. Ia terlalu mudah menampilkan adegan-adegan yang mencipta pahlawan dan menyatakan pengorbanan-pengorbanan yang berair mata. Yang membaca merasakan alur terlalu cepat. Di situ, pengarang tergesa memberi pesan-pesan melalui beragam peristiwa, termasuk adanya adegan orang-orang yang menjaga kekuatan dengan lagu-lagu perjuangan. Novel itu perlahan mirip propaganda, yang mengurangi mutu setelah pembaca mendapat halaman-halaman yang pantas memicu polemik sejarah bagi pembaca.


Yang sempat terpikirkan serius di buku bagian belakang adalah membandingkan kota dan hutan jati. Selanjutnya, pembaca diajak mengetahui peran sungai dalam episode gerilya dan menegakkan kedaulatan Indonesia. Pengarang mengisahkan Citarum, sungai yang menentukan keselamatan kaum gerilya dan kekalahan yang ditanggungkan pasukan Belanda. Penutup yang cukup bikin pembaca merenung ketimbang mengikuti beragam propaganda demi sejarah.


_______


Penulis


Kabut, penulis lepas.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Thursday, August 14, 2025

Esai Uwais Qorni | Tikus

Esai Uwais Qorni



Saya dan Ummik berpisah rumah. Saya berpisah bukan sebab ingin menguasai rumahnya, ingin mengambil alih kepemilikan rumah itu, bukan pula sebab pertengkaran antara istri saya dengan ibu mertuanya. Sebagai putra sulung konon seperti itulah nasibnya. Demikian juga yang Ummik alami sebagai putri sulung kakek-nenek. Mereka mengalah dan pindah rumah, sedangkan rumahnya sendiri dikasih kepada Ummik. Dari sini asal-usul hadiah pernikahan adalah rumah orang tua diberikan kepada anak sulungnya. Ini terjadi di keluarga saya saja, mungkin.


Sebagai yang bebal, saya suka bertanya kepada Ummik atas apa pun. Bisa dibilang juga itu sebagai kritik kecil saya atas kebiasaan yang sering dilakukannya tanpa dasar yang jelas. Tapi itu semua dengan adab. Dengan karakter kekanak-kanakan saya yang dibuat-buat, insyaallah tak sampai masuk hati apa-apa yang saya lontarkan kepadanya. Satu contoh masalah buwuhan atau undangan pesta nikahan. Kenapa harus di amplop tertera nama dan nominal pemberiannya? Kenapa dicatat segala dan membayarnya di kemudian hari itu wajib, di pesta nikahannya mereka yang pernah diundang itu? Kenapa harus ada pesta nikahan segala? Satu per satu Ummik menjawabnya dengan raut muka yang kebingungan. Semua itu didasari atas dasar, "seperti itulah adat di sini".


Dari sini terjawab kenapa orang tua pasutri baru biasanya kaya mendadak sehabis pesta pernikahan. Ya sebab buwuhan itu. Tidak semua amplop pernikahan masuknya ke kantong pasutri baru. Ada namanya sendiri-sendiri. Di malam itu juga kami sekeluarga menghitung jumlah uang pemberian tamu, memilah dan memilih berapa amplop yang masuknya ke kantong orang tua dan berapa amplop yang masuknya ke kantong kami. Pantas saja jika rumah ini secara cuma-cuma diberikannya kepada saya. Toh sudah balik modal.


Jadi, jelas kenapa kami berpisah rumah. Ya sebab sudah mandiri. Sudah dewasa dan punya bisnisnya sendiri-sendiri. Ummik punya toko, saya pun sudah punya pemasukan sendiri. Sekalipun saya akui saya bukan perintis, tapi alhamdulillah saja, disyukuri dan dikembangkan secara diam-diam tanpa menyombongkan diri segala.


Permasalahannya baru dimulai sekarang. Sekalipun itu rumah saya, tidak semuanya diatur oleh saya. Beberapa barang yang sebenarnya sudah masuk tipe rongsokan, tetap tidak boleh dibuang. Amat disayangkan, katanya, kalau dibuang. Menunggu rusak terlebih dahulu. Ada kenangannya.


Begitulah, sehingga saya berinisiatif membuang barang-barang itu sedikit demi sedikit. Kalau langsung semuanya dibuang, berabe nantinya. Sebab barang-barang yang berada di rumah saya tidak semuanya punya saya. Itu rumah pertama kali punya nenek, jadi barang-barang nenek ada di sana. Kemudian berpindah tangan ke Ummik, jadi barang-barang Ummik juga ada di sana sebagian. Dan sekarang berpindah tangan kepada saya, jadi barang-barang saya ada di sana. Belum lagi hadiah pernikahan itu. Belum lagi perabotan dan barang-barang dapur. Macam tiga keluarga barangnya ada di satu rumah saja. Dan itu tidak boleh dipindahkan, dibuang, dengan alasan haruslah punya hati kepada pemberinya yang awal. Kalau tidak suka atas pemberiannya, maka simpan saja. Jangan terang-terangan menolaknya. Simpan dulu sampai pemberinya sudah di alam lain. Alias sudah meninggal dunia.


Berhubung saya tipe orang yang menganut konsep modern minimalis dalam masalah berkehidupan, maka saya usahakan untuk selalu tampil rapi. Begitu juga untuk rumah yang saya tempati. Semuanya harus bersih. Hadiah pernikahan yang tidak terpakai lagi dibuang secara sembunyi-sembunyi biar tidak ketahuan Ummik. Untuk alat masak dikumpulkan di pojok ruangan terbuka saja. Tidak seperti dulu lagi, di mana saat itu perabotan ditaruh di bawah kolong tempat tidur. Hasilnya tak ditemui tikus-tikus mati yang sudah beranak belatung banyak itu. Sungguh menjijikkan mengingat-ngingat beberes rumah yang berkali-kali itu.


Sebenarnya saya kecapekan, kenapa orang-orang dulu suka menumpuk barang? Sampai sekarang masih banyak barang sisa-sisa peninggalan nenek dan Ummik. Mau dibuang takut ditanya. Tapi kenapa tidak ditaruh di rumahnya masing-masing? Pernah saya bertanya seperti itu. Ummik menggerutu. Kata Ummik, "kau sudah tak sayang sama kami ya?" Salah lagi... salah lagi....


Bukan maksud menolak hadiah, tapi hadiahnya terlalu banyak dan sudah tidak terpakai lagi. Saya pernah curhat sama Ummik terkait masalah tikus-tikus di dapur tiap malamnya. Ada saja gebrakannya. Entah mencuri makanan, pakaian dibolongin, digigit-gigit, bahkan lantai pun diberakinnya. Itu mengganggu ketenangan saya hidup bermalas-malasan di rumah ini. Ummik memberi saran supaya saya melanjutkan kebiasaannya di zaman dulu. Saat Ummik menempati rumah ini, ia sering menaruh "sesajen" di bawah tempat cuciannya piring tiap malamnya. Dipikir-pikir itu tindakan yang tak masuk akal.


Memang sih saat kami masih serumah dengan Ummik, tak ada didengar suara-suara berisik dari ocehan tikus di dapur itu. Senyap dan anteng. Sekali waktu saya melihat beberapa tikus duduk-duduk santai di bawah tempat cucian piring. Di sana ada baskom berukuran sedang yang sedang disantapnya. Pastilah ada makanan sisa keluarga yang dijadikan "sesajen" sama Ummik buat mereka. Kata Ummik, itu dibuat biar tikus tidak memberontak. Lebih baik bersedekah kepada tikus sebelum mereka terlebih dahulu yang memaksa kami membayar pajak. Eh.


Pikir saya, enak saja tikus-tikus tadi tiap malamnya tinggal makan, sedangkan kami sebagai manusia pekerja bersusah-susah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang dan uang itu untuk membeli beras. Beras mahal, Bos! Jadi nasihat Ummik tadi tidak saya dengarkan.


Tapi itulah yang bikin saya kewalahan. Sering saya meracuni tikus, sering pula saya beberes rumah seluruhnya. Bangkai tikusnya bukan satu, dan itu pun matinya tidak langsung di liang lahatnya masing-masing. Tergeletak di mana-mana. Saya kecapekan mencari bau bangkai menyengat itu. Saya juga kecapekan menyucikan seisi rumah sebab bagaimanapun juga bangkai tikus itu najis. Dan saat ada bangkai tikus satu seakan-akan senada dengan pepatah "mati satu tumbuh seribu". Tak ada kapoknya tikus tadi mengganggu saya. Tak menyerah mereka beranak-pinak biar dapat balas dendam kepada keluarga kecil saya.


Saya overthinking sama masalah sesepele ini. Ini cuma tikus loh. Biasanya tikus bermusuhan sama kucing. Tapi eman-eman kalau pengeluaran bertambah demi ngasih makan hewan. Saya tidak percaya kucing. Saya juga benci kucing. Kucing itu hewan. Hewan juga tak akan pernah tahu masalah seutuhnya saya seperti apa. Dahlah, apa bagusnya tikus-tikus tadi saya makan juga ya? Hitung-hitung minim outcome. Kalau bisa dijadikan bahan ikhtiar baru nyari duit di tengah krisis lowongan pekerjaan di negeri ini. Tikus-tikus dijerat dan dijadikan sate. Dijual, dijadikan bisnis tambahan. Enak, bukan? Entahlah, nanti malam saya coba-coba terlebih dahulu.


Pajaran, 2025


__________


Penulis


Uwais Qorni, penulis yang gemar menulis puisi ini sedang belajar menulis esai. Ia pernah menjadi peserta kelas menulis di Klinik Menulis Angkatan #6. 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Saturday, August 9, 2025

Resensi Kabut | Mujur dan Ajaib

Resensi Kabut



Yang dimunculkan di awal adalah dua tokoh berumur tua. Pengarang menyebutkan Pak Baguna dan Mak Baguna. Dua tokoh yang hidup sederhana. Pembaca mudah mengartikan sederhana berarti mahir bersyukur dalam kehidupan sehari-hari. Bersyukur artinya menerima keadaan, menikmatinya tanpa terjebak keluhan dan meluapkan segala keinginan yang berlebihan.


Apakah dua tokoh itu selamanya sabar? Maka, pengarang yang bernama Anna M Massie dalam novel berjudul Matindas (1976) terbitan Pustaka Jaya mengajak pembaca mengetahui celah kesepian dan pengharapan yang dimiliki suami-istri setelah mengalami hidup bersama dalam kesederhanaan.


Pak Baguna bekerja sebagai nelayan. Sehari-hari, ia mencari ikan. Hasilnya biasa ditukar dengan beragam kebutuhan pokok (beras, kopi, minyak kelapa, dan garam). Pengarang menyebut kopi termasuk kebutuhan yang penting untuk Pak Baguna. Pembaca membayangkan kebiasaan Pak Baguna minum kopi di rumah sambil berbagi cerita bareng istri. Konon, kopi memberi pengaruh menjadikan orang tenang dan mengalami waktu tanpa tergesa-gesa.


Setiap hari, Pak Baguna merayakan hidup di laut. Apa yang dikerjakan Mak Baguna selama berada di rumah menanti kedatangan suami? Mak Baguna, perempuan yang bersyukur dengan tananam. Yang diceritakan Anna M Massie melalui penglihatan Pak Baguna saat sampai di rumah, setelah merasa tidak mujur dalam mencari ikan: “Ia memandang sekeliling, lalu tersenyum melihat bunga-bunga yang bermekaran. Di halaman rumahnya tumbuh kembang sepatu, melati, dan kana. Bunga kana hampir mengelilingi seluruh tepi halaman. Warnanya merah dan jingga. Pada halaman samping, terdapat bedeng yang luas dan ditanami rempah-rempah: selasih, bawang daun, kemangi, kunyit, bangle, dan banyak lagi. Pohon pepaya sedang sarat berbuah. Semua tanaman yang tumbuh subur itu hasil kerja Mak Baguna.”


Para pembaca berimajinasi rumah dan kebun yang elok, teduh, dan makmur. Pastinya rumah itu sederhana. Yang membuatnya istimewa adalah beragam tanaman. Rumah dan tanah yang subur. Sehingga, terbuktilah Mak Baguna mewujudkan syukur. Di tatapan mata Pak Baguna, raga yang bekerja di tanah pun mulia. Ia tidak bermaksud membandingkan nasibnya selama di laut. Pada tanah, kehidupan masih terus dirayakan untuk pangan, keindahan, dan kebahagiaan.


Pada hari yang kurang mujur, Pak Baguna takjub melihat kebun yang diurus Mak Baguna. Kita yang membaca boleh iri mengetahui sikap dan siasat hidup yang tidak berdasarkan nafsu serakah dan menginginkan segalanya harus segera terpenuhi.


Hidup mereka belum sempurna. Lumrah saja mereka sedih atau mengeluh. Suami dan istri yang menua tapi tidak punya anak. Hari-hari mereka berlalu tanpa tawa dan tangis anak. Rumah yang tiada teriakan, ulah nakal, dan keseruan anak dalam pengasuhan. Mereka berusaha tabah tapi sulit ingkar tetap menginginkan anak. Padahal, usia mereka sudah tua, merasa punya anak itu kemustahilan. Cerita yang digubah Anna M Massie memungkinkan memberi kebahagiaan kepada para tokohnya dengan keajaiban. Pengarang bertugas mengadakan keajaiban agar para pembaca terpukau.


Bermula dari mimpi, rumah itu tidak lagi sepi. Mak Baguna bermimpi didatangi lelaki tua berjanggut yang menyerahkan sepotong kayu. Pesan yang disampaikan: kayu harus diberikan kepada suaminya agar dibuat menjadi boneka. Mimpi mendapat tafsir dan pembuktian. Pembaca diajak para tokoh untuk percaya keajaiban. Yang jelas para tokoh menyatakan bahwa mimpi berarti petunjuk dari Yang Maha Kuasa.


Maka, Pak Baguna masuk hutan, mencari kayu yang dibuat menjadi boneka. Pembaca agak terkejut mengetahui si nelayan mahir dalam urusan kayu. Pembaca tidak perlu protes. Sebab, boneka yang dibuatnya tampak kasar. Mak Baguna memandangnya dengan pujian, menebus kelelahan Pak Baguna. Kita menyaksikan suami-istri yang tidak punya sifat-sifat buruk dalam kehidupannya. Pengarang tidak ingin memunculkan mereka dalam sengketa. Kebaikan-kebaikan terdapat dalam diri suami-istri yang menua.


Boneka ditaruh dalam ayunan seolah sebagai bayi. Mak Baguna berperan sebagai ibu yang mengasihi. Ia memberi makan dan bersenandung. Pembaca ikut terharu. Suami yang kurang mujur dalam mencari ikan mendapatkan “pengganti” berupa hasil kebun dan kehadiran boneka di rumah. Pembaca lagi-lagi diajak memuji cara hidup mereka, yang terungkap dalam perkataan Mak Baguna: “Tuhan Maha Pengasih. Bagaimanapun susah hidup kita, tetapi kita tidak kelaparan. Masih ada ubi jalar, pepaya, pisang dan singkong yang dapat dimakan.” Kita mengandaikan anak-anak yang membaca buku cerita berjudul Matindas itu mendapat pencerahan. Mereka sadar tentang segala pemberian Tuhan wajib disyukuri. Kita menduga ucapan Mak Baguna berkaitan sedikitnya beras yang diperoleh dari hasil menukar ikan. Jadi, kebutuhan makan tidak mutlak harus beras yang dimasak menjadi nasi. Kita tidak perlu menganggapnya sebagai kritik lembut atas kebijakan pangan.


Keajaiban pun terjadi! Hari berganti, yang berada di ayunan pun berganti. Mak Baguna tidak menemukan boneka tapi bayi. Ia terkejut sekaligus girang. Peristiwa setelah bangun dari tidur adalah keajaiban. Yang dilihatnya itu bayi. Mimpi telah terbukti. Petunjuk dari Tuhan telah tampak di depan mata.


Pembaca diharapkan percaya bahwa keajaiban itu ada. Pembaca ikut hadir dalam rumah, merasa menjadi saksi: “Tiba-tiba bayi itu menggeliat. Matanya terbuka. Mata itu bulat dan bening. Langsung menatap wajah Mak Baguna. Mulutnya yang mungil seperti tersenyum. Mak Baguna membungkuk dan mencium pipinya.” Yang pandai bersyukur mendapat tambahan limpahan kenikmatan dari Tuhan. Mak Baguna dan Pak Baguna pantas berbahagia meski keberadaan anak bukan berasal dari hubungan suami-istri, yang menimbulkan kehamilan. Rumah sudah sempurna dengan adanya anak.


Cerita untuk anak memang melazimkan keajaiban-keajaiban. Kita yang membaca selaku orang dewasa ikut menerima saja bahwa keajaiban yang akan membuat cerita makin seru.


Tiba saatnya pembaca mengakui bahwa Pak Baguna dan Mak Baguna bernasib mujur, berbeda dari pengakuan di awal cerita saat Pak Baguna yang merasa tidak mujur dalam mencari ikan. Kehadiran anak mengesahkan kemujuran Pak Baguna yang rajin mencari ikan, setelah adanya anak yang dinamakan Matindas, rezeki terbukti makin lancar. Pengarang mengungkapkan kegembiraan si nelayan: “Matahari belum di atas kepala, tetapi perolehannya telah banyak. Ikan-ikan bergelimpangan di dalam perahu. Keranjang ikan sudah penuh.” Pembaca diminta merenung kaitan anak dan rezeki.


Di tengah buku, pembaca mulai mengikuti kejadian-kejadian tokoh anak. Matindas mulai punya peran yang menarik perhatian. Pada usia 8 tahun, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat-sifat baik. Pokoknya, pengarang tidak ada keinginan menjadikan Matindas itu berbohong, pemarah, malas, atau minder. Pengarang boleh menciptakan para tokoh itu sepenuhnya baik, tidak pernah salah dan terkutuk.


Buktinya adalah Matindas menyelamatkan angsa yang sayapnya terluka. Angsa itu bernama Koko. Matindas berbuat baik, memberi pertolongan tanpa pamrih. Pada saat sudah sehat, Koko terbang mencari istrinya yang bernama Kiki. Sejak itu, Matindas memiliki teman berupa angsa (Koko dan Kiki). Binatang-binatang yang bisa bicara dengan manusia itu membuat pertemanan yang unik.


Pengarang tidak menceritakan Matindas bermain bersama bocah-bocah di kampung. Apakah pengarang lupa di kampung ada bocah-bocah yang akrab dengan Pak Baguna? Sebab, di awal cerita, Pak Baguna selesai mencari ikan biasa berhenti dulu di gerbang kampung: menyapa dan melihat anak-anak yang sedang bermain.


Perlahan, pembaca diajak mengikuti cerita bertokoh Matindas dan beberapa binatang. Angsa muncul duluan. Selanjutnya adalah naga. Pada suatu hari, saat Matindas membawa perahu untuk mencari ikan, dirinya diculik naga. Matindas sudah remaja, berusia belasan tahun, yang berniat membantu mencari rezeki untuk kebutuhan keluarga. Namun, ia diculik naga yang ingin menyantap tubuhnya. Pembaca boleh menganggukkan kepala jika dalam pelbagai cerita anak sering dimunculkan naga. Anna M Massie menghadirkan naga yang jahat.


Matindas yang baik mendapat cobaan besar. Pak Baguna dan Mak Baguna sedih. Matindas berusaha melarikan diri sebelum menjadi santapan naga. Segala cara dilakukan agar selamat. Akhirnya, Matindas bisa memanjat pohon kenari. Para naga marah dan ingin membuat Matindas jatuh. Pohon dihancurkan naga-naga. Mujur milik Matindas. Di pohon yang mau jatuh, ia diselamatkan Koko dan Kiki. Matindas naik angsa pulang ke rumah. Pembaca mendapat lagi keajaiban. Tokoh yang baik tidak boleh kalah dan cepat mati.


Matindas berhasil kembali ke rumah. Yakinlah bahwa keluarga itu selalu mujur. Keluarga yang berhak mendapat keajaiban. Akhir cerita yang bahagia. Pembaca terlarang sedih dan kecewa. Kemujuran mereka bertambah dengan adanya hubungan yang selaras antara Matindas, tanaman, dan binatang. Semula, kupu-kupu bersyukur gara-gara Mak Baguna rajin merawat tanaman, yang dampaknya kupu-kupu dapat hidup bahagia di antara bunga-bunga. Mereka bersyukur dan ingin membalas dengan kebaikan. Yang dilakukan adalah kupu-kupu menjadi teman Matindas: “Kedua kupu itu memandang takjub pada Matindas, lelau terbang dan hinggap di pundak Matindas.”


Pesan di akhir cerita bukan masalah hubungan yang indah antara Matindas, tanaman, dan binatang. Namun, pengarang berseru agar anak-anak berani bercita-cita menjadi nelayan. Anjuran yang cocok bagi anak-anak yang membaca buku cerita berjudul Matindas. Mereka tidak harus bercita-cita menjadi presiden, dokter, menteri, pengusaha, atau artis. Yang mau bercita-cita menjadi nelayan diharapkan mujur dan mendapat keajaiban-keajaiban.


_________


Penulis 


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Sunday, July 27, 2025

Puisi-Puisi Kha. Majdi


Remang


Aku adalah remang dari guguran daun-daun

yang menemani musim semimu

dengan pagar-pagar kesanggupan

yang mengitari semak-semak waktu.

aku jatuh di antara ruas angin

tak sanggup memikul sajak

yang kubawa gugur

menuju akar semestamu.


fajar jinggaku adalah remah-remah cahaya

yang bertengger di ranting bebunga pagi


ia menenggelamkanku ke dasar matamu:

jagat paling abstrak,

paling letih,

dan tega.


Pancor 25


Penulis

Kha. Majdi, lahir di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada 9 Agustus. Kuliah di Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur. Aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah. Ia menulis cerpen, puisi, dan esai di beberapa media online.

Thursday, July 24, 2025

Esai Rofif Syuja’ Mu’tasyim | Menjalani Hidup Santai

Esai Rofif Syuja’ Mu’tasyim



Suatu hari, orang di sekitar saya berkata bahwa saya orangnya terlalu santai, selalu menunda pekerjaan, dan malas-malasan: tanpa gairah. Namun saya tidak mengiyakan semua perkataan mereka begitu saja. Biarkan saja mereka menilai bagaimana sikap dan perilaku saya, karena kita tidak bisa membatasi penilaian seseorang. Tapi kalau dipikir-pikir, apakah saya sesantai itu?

Bisa jadi, mereka melihat saya ketika memang saya sedang lelah atau memang saya selalu terlihat tanpa gairah di mata mereka. Sering kali saya diberikan sebuah tugas, dan pada akhirnya pun selesai juga. Lantas, sudut pandang mana yang mereka pakai hingga berkata kalau menunda itu sama dengan sebuah kemalasan atau tidak sat-set? Memang, ketika saya diberikan tugas atau pekerjaan, saya tidak langsung mengerjakannya hari itu juga, tapi bukan berarti saya mengabaikan tugas itu. Saya hanya mencoba mencari waktu yang pas sehingga saya bisa menuntaskan semuanya. Pada kenyataannya, ketika dikasih deadline pun, saya sudah menyelesaikannya sebelum waktunya. Koreksi dan kesalahan itu pasti ada, tapi setidaknya saya mampu menyelesaikan tugas itu, bukan?


Sebagai manusia biasa, rasa malas dan menunda itu pasti pernah ada dalam benak. Tinggal bagaimana diri ini melawan atau tertahan. Pada dasarnya, yang dilawan bukanlah orang lain, tapi rasa dalam diri sendiri. Malas dan menunda itu muncul ketika kita sedang asyik bermain HP, namun enggan mengerjakan tugas yang sudah tertunda beberapa hari. Tapi ketika dipaksakan saat itu juga, tinggal kondisi pikiran dan pandangan kita—sudah mampu atau belum?


Ada satu hal yang lucu. Beberapa waktu lalu, saya sedang makan bersama teman-teman. Dan ketika saya makan pun tergolong lama—entah karena kondisi nasi dan lauknya panas, atau memang sambil memainkan gawai. Namun ada orang yang nyeletuk, 


“Ah dia mah makannya lama, pantes aja kalau ngerjain sesuatu juga ikutan lama, alias nggak sat-set.”


Setelah mendengar ucapan itu, saya hanya mendengar tanpa komentar. Saya beri senyum tipis tanda ucapan terima kasih karena sudah berikan komentar kepada saya. Tapi, setelah saya selesai makan, saya mulai berpikir: apa saya semalas itu? Padahal semua tugas dari kepala sekolah pun saya selesaikan. Saya diberi tugas jadi panitia, selesai juga. Saya mengerjakan makalah dari dosen yang terkesan killer, pun saya tuntaskan. Tapi pertanyaan "apakah saya sesantai itu?" belum juga menemukan jawabannya. Saya pun sering bertanya kepada orang-orang yang punya pandangan lain dan yang punya pandangan sama terhadap sikap saya yang santai ini. Atau saya harus mengubah diri menjadi sosok yang sat-set di hadapan mereka? Tapi, apa jaminannya kalau saya bergegas menyelesaikan tugas saat itu, tidak ada tugas-tugas lain yang saya terima kemudian? Tapi, rasanya ingin sekali saya membalas perkataan mereka, “Sesantai-santainya saya, semua kerjaan akhirnya beres kan?” Supaya mereka tak lagi berucap demikian.


Selagi saya masih bisa beraktivitas, berpikir, dan bergerak, pandangan atau penilaian seseorang itu akan selalu ada dan tidak bisa kita tolak. Bahkan, ketika saya tak ada di depan mata mereka pun, mereka masih menganggap saya sedang bersantai-santai entah di mana tempatnya. Karena memang sesantai itu orangnya.


Santai di sini bukan berarti saya menganggap remeh atau menyepelekan setiap tugas atau pekerjaan yang diberikan kepada saya. Tapi, saya akan lebih bisa mengerjakannya secara tepat, bukan cepat. Ketika saya diberikan tugas oleh kepala sekolah, maka saya akan mencerna dulu dan membuat sketsa: bagaimana dan apa dulu yang harus dikerjakan. Karena prinsip saya: apa yang diberikan kepada saya, maka akan saya selesaikan sesuai target. Meskipun tidak ada target, pasti akan selesai, meskipun entah kapan.


Saya pernah baca tentang stoikisme. Tahu apa itu stoikisme? Yaitu aliran filsafat Yunani-Romawi yang menekankan pengendalian diri dan penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali manusia. Intinya, stoikisme itu mengajarkan untuk fokus pada hal yang bisa kita kontrol (pikiran dan tindakan), dan menerima apa yang tidak bisa kita kontrol (peristiwa eksternal dan emosi yang ditimbulkan). Dengan begitu, stoikisme membantu setiap individu untuk mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan sejati, terlepas dari kondisi eksternal.


Setelah saya merenung, inilah kenyataannya: kita tidak bisa mengontrol peristiwa eksternal, termasuk penilaian orang terhadap kita. Namun jangan pesimis. Kontrol tetap ada pada diri kita. Seperti saya kisahkan di atas, bagaimana ada seseorang menilai kinerja seseorang dari lamanya makan. Namun pada kenyataannya pun, semua tugas yang diberikan akhirnya tuntas tanpa bablas, alias tanpa lewat deadline. Nah, daripada stres mikirin perkataan orang yang negatif, mending fokus saja sama kerjaan kita yang menumpuk itu.


Oh iya, yang tak kalah hebat, tanamkan pada mindset kalian: harus tahan banting di tengah sebuah masalah. Masalah di sini bisa kerjaan, pasangan, kehidupan, dan masih banyak lagi. Yakinlah bahwa sesulit-sulitnya sebuah kerjaan, akan mudah kalau tidak dikerjakan. Haha, bercyanda!


Dalam Islam ada ayat yang sangat familiar: “Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan,” di Surah Al-Insyirah ayat 5–6. Allah sampai menyebutkan dua kali di situ. Itu berarti Allah memperkuat kita bahwa apa pun yang kita hadapi saat ini—sesulit apa pun kerjaan dan masalahnya—pasti ada jalan penyelesaiannya.


Maka dari itu, saya sering sekali ketika dapat sebuah kerjaan yang sama, teman-teman hectic alias panik, khawatir tugasnya tidak selesai dan akan kena hukuman. Dan ada yang bertanya pada saya,


“Lu kok nggak buru-buru ngerjain, malah leha-leha?”


Dengan nada lembut saya jawab,


“Santai aja sih.”


Itulah mindset saya. Ketika mereka panik harus bagaimana, di situ saya dengan santai memulai mengerjakan tugas dengan “versi saya”—yakni: “Santai yang penting selesai.”


Pipitan, 22 Juli 2025


______

Penulis


Rofif Syuja’ Mu’tasyim, penulis yang memaksakan diri untuk kembali menulis setelah tulisan terakhir dimuat pada tahun 2022. Sebagai lulusan sastra, sangat tertampar karena sedikitnya karya tulis yang dibuat. Namun, penulis tetap bersantai menikmati kehidupannya.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Tuesday, July 22, 2025

Proses Kreatif | Apakah AI Sebangsat Itu?

Oleh Encep Abdullah


Selama liburan sekolah kemarin—kurang lebih satu bulan penuh—saya memanfaatkan waktu dengan banyak baca buku dan ”bermain-main dengan AI”, lebih tepatnya sibuk nguprek banyak lagu ”mentah” yang saya punya. Lagu-lagu itu saya cover pakai AI. Saya pakai AI berbayar 200 ribu (dapat 5.000 kredit). Saya bisa mendapatkan sampel sebanyak 250 cover lagu—sekali cover muncul 2 sampel lagu dan begitu seterusnya. Satu lagu yang saya cover bisa langsung saya unduh. Kalau saya kurang suka, saya terus mencari cover-an yang menurut saya enak, bahkan saya bisa meng-cover 20 sampel untuk satu lagu. 


Bagi saya ini suatu kemudahan dan kenikmatan. Dulu, untuk menghasilkan satu lagu, saya harus meluangkan waktu minimal 6 jam di dapur rekaman, berbayar 350 s.d. 700 rb. Saya masih ingat, kalau tidak salah tahun 2009/2010, saya dan teman-teman band berangkat ke Jakarta untuk rekaman lagu. Di tempat kami memang belum ada studio rekaman yang bagus. Kami memilih berangkat ke Jakarta saja atas rekomendasi seorang teman. Saya punya dua band. Band pertama adalah Ghatick Band. Jujur, kami tidak punya uang. Salah satu dari teman kami punya kenalan ”pacar” yang kaya. Dia ngasih 700 rb.  Akhirnya kami berangkat dan rekaman satu lagu. Kami nginap di studio rekaman karena prosesnya cukup lama, semalaman. Lagu yang direkam adalah karya saya, tapi yang nyanyi bukan saya. Hasil musiknya jernih, tapi vokalnya ”hancur”.  


Setahun kemudian, saya kembali rekaman lagi dengan band yang berbeda, namanya Avira Band. Niat ingin jadi musisi terkenal memang sangat menggebu-gebu. Tapi, kami tidak punya label atau atau uang untuk naik daun. Akhirnya, band kedua ini pun sama, mencari dana buat rekaman. Namanya kami ”remaja gelandangan”, jadi tak punya uang. Mungkin karena kasihan melihat kami, orang tua salah satu personel kami memberikan uang 700 ribu. Kami berangkat lagi ke Jakarta dan rekaman dua lagu. Kali ini lagu yang direkam tidak di-mastering, hanya di-mixing. Hanya kena 350 rb per lagu. Hasilnya tidak sejernih yang 700 rb. Untuk rekaman satu lagu saja lumayan lama. Ini dua lagu, jadi dua kali lipat kami berlama-lama di studio yang dingin. Perut keroncongan karena tidak bawa uang banyak. Hasil lagunya, untuk vokal, lebih lumayan dari yang rekaman band pertama, cuma kualitas audionya yang kurang jernih.


Kalau ditanya, manakah yang lebih seru dan mengesankan? Tentu proses rekaman di studio langsung. Di sana ada proses berdarah-darah, pengalaman yang estetik, dan sejuta kenangan untuk diceritakan di masa depan. Sebelum rekaman itu, intensitas pertemuan band jadi lebih sering. Ini bukan sekadar pertemuan anak band, tapi pertemuan banyak ego yang harus manut pada satu keputusan bersama tentang sebuah lagu. Lagu siapa yang harus direkam, aransemennya seperti apa, dan seterusnya. Kami sedang belajar berdebat, menurunkan ego, menyelaraskan banyak pikiran yang berbeda. 


Dalam band, tentu tidak semua lagu ada yang suka. Maka, stok lagu saya banyak, tapi tidak masuk dalam daftar list band. Oleh sebab itu, saya memaksakan diri untuk solois. Namun, terkendala dengan suara yang ”hancur” ini. Ada niat rekaman, tapi bayangkan satu lagu dengan harga di atas, saya punya banyak lagu, saya perlu menyiapkan uang yang lumayan, sedangkan kebutuhan saya banyak. Ada niat dinyanyikan oleh orang lain yang bersuara merdu, tapi siapa. Saya benar-benar limbung. Uang, waktu, pikiran, tenaga, semua berkelindan. Akhirnya, saya paksakan saja bermain YouTube dan saya nyanyikan sendiri ala kadarnya. Saya kira, ini bukan soal suara, tapi soal karya. Dia tidak bisa ditahan-tahan. Tidak semua hal bisa saya tulis jadi puisi atau cerpen. Bermusik adalah salah satu bentuk ekspresi batin lainnya dari diri saya.


Sejak itu, saya selalu bermimpi ingin punya album sendiri. Bahkan saya sempat ”kursus” aplikasi musik digital dengan teman saya. Saya juga pengin belajar rekaman sendiri, punya studio mini sendiri. Tapi kenyataannya, waktu, kondisi, dan segala tetek bengek belum mendukung. Saya menyerah karena lelah sekali untuk sampai pada ”makom” mendukung itu. Saya punya banyak stok lagu, tapi kurang paham teknis rekaman, sedangkan teman saya sebaliknya, tapi tidak sebergairah saya dalam mencipta lagu. Fokus dia juga di bidang lain, bukan di bidang musik. Kenapa kemampuan dia tidak dilimpahkan kepada saya saja biar lebih memudahkan saya dalam berkarya. Ah, memang begitu, porsi kemampuan manusia itu memang unik-unik.


Ada satu lagu karya saya yang dengan suka rela dibuatkan instrumennya oleh teman saya itu. Dia mengambil sampel musiknya dari video di YouTube saya. Teman saya bilang, lagu saya bagus dan liriknya sangat mendalam. Lalu, dia meminta saya mengisi vokal dai aransemen yang sudah dibuatnya. Dan, alhasil suara saya memang tidak memuaskan. Tapi, saya berharap dia membuatkan semua instrumen lagu di YouTube saya—maksud saya biar gratis. Tapi, dia hanya tertarik pada satu lagu itu saja. Saya juga juga tidak memaksanya bikin instrumen itu dan saya juga tidak bisa membayarnya untuk membuat instrumen semua lagu saya. Akhirnya, lagu-lagu saya mengambang lagi.


AI datang, teman saya juga belajar ngulik. Setelah dia bisa, ilmunya ditularkan kepada saya bagaimana cara meng-cover lagu pakai AI. Nah, dari sinilah mimpi-mimpi saya terwujud. Semua lagu yang dulu saya idam-idamkan terekam dengan baik dan bisa jadi album. Kelar dengan berbagai warna vokal dan genre musik. Sebelum pakai yang berbayar, saya juga coba-coba pakai yang gratisan. Beberapa puisi saya, saya jadikan lagu, tapi saya merasa tidak puas karena nada lagu 100% AI yang buat. Saya tidak ikut andil. Kalau meng-cover, setidaknya nada-nadanya sama dengan nada yang saya buat. Tingkat kepuasannya berbeda. Namun, saya tetap merasa kurang kalau vokalnya bukan saya, atau minimal orang lain atau manusia yang menyanyikan. Oke, oleh AI enak sih enak. Tapi, selama itu robot, tingkat kepuasannya tidak klimaks. Dia juga tidak meninggalkan jejak kenangan estetik seperti halnya saya rekaman langsung di studio dengan band saya—walaupun hasil musiknya atau vokalnya kurang jernih, walaupun juga tenaga dan pikiran saya terkuras habis.


Sesosok manusia harus tetap hadir di sana agar menciptakan kenangan yang estetik itu. Setidaknya, vokalnya manusia, musiknya boleh pakai AI. Jadi, bila ditanya orang lain, siapa yang nanyi? Kita bisa menyebut nama vokalisnya. Ada manusianya. Kalau saya menjawab bahwa yang nyanyi adalah AI, orang yang bertanya itu mungkin hanya menjawab ”Oh ...”. Orang-orang jarang bertanya ”siapa yang main musik?” 


Mungkin makna lirik-lirik lagu yang saya buat itu punya kesan dan kenangan tersendiri buat saya. Saya senang dengan hasilnya yang bersih dan jernih, murah meriah pula. Tapi, di sini saya merasa tidak bertumbuh dengan dunia musik itu sendiri. Tidak menyelami tetek bengek dunia musik itu sendiri. Kenikmatan saya hanya pada hasil mencipta lagu, lalu meng-cover-nya dengan AI. Tidak ada proses ”berdarah-darah” di sana layaknya saya rekaman dengan band saya itu.


Begitu juga dengan kegelisan saya dalam menulis. AI ini sangat menggoda untuk dijadikan teman menulis. Saya punya novel, tidak kelar bertahun-tahun. Saya meminta AI untuk menyelesaikannya di bab terakhir. Akhirnya selesai juga novel saya. Walaupun saya tidak puas dengan hasilnya, tapi 90 persen cerita itu adalah hasil jerih payah saya. AI hanya menambal kebuntuan saya. Saya juga menggunakan AI untuk mengedit novel-novel anak didik saya. Saya tidak mungkin mengedit 10 novel anak murid saya dalam waktu singkat, dengan bahasa yang sangat hancur itu. AI membantu saya merapikannya tanpa mengubah alur ceritanya. Alhasil, karya mereka pun lahir tanpa typo, lebih rapi daripada aslinya. 


Karya anak-anak saya ini sebelum diedit, benar-benar original, hasil berpikir sendiri tanpa bantuan AI. Proses awalnya, mereka mencicil menulis di buku tulis. Saya bilang, satu minggu kalau bisa selesai satu bab. Mereka menulis selama satu semester. Semester dua, mereka mengetik ulang karya tersebut di laptop milik sekolah. Anda pasti tahu sendiri ketikan anak-anak sekolah bagaimana. Ejaan dan tanda bacanya sekarep dewek. Nah, AI sangat membantu saya dalam hal ini. Apakah karena saya tidak bisa mengedit? Bukan, saya bisa. Tapi kondisi, keadaan, tidak bisa memaksa saya untuk mengedit dalam waktu cepat. Kalaupun tidak ada AI, saya akan tetap mengedit. Tapi, mungkin akan jadi lebih lama, mungkin tahun depannya lagi buku itu jadi. Toh, saya juga tidak dibayar mereka, sukarela. Kalaupun dibayar, saya akan serahkan kepada editor, agar rezeki mengalir kepada orang lain. Pertanyaannya, apakah mengedit tulisan ke AI tidak pusing? Sama saja pusing. Kudu sabar. Apalagi kalau novelnya panjang. Tetap harus diperhatikan. Bisa jadi ada bagian terpotong kalau kita tidak jeli dan membaca ulang.


Saya tidak pernah mengajarkan kepada anak-anak didik saya untuk menulis instan dari AI. Ketiplek dari AI tanpa mikir. Sebisa mungkin mereka harus tahu dasar dan teknik menulis terlebih dahulu. AI itu bisa membantu kebuntuan, atau keterdesakan yang benar-benar terdesak, bukan dimanfaatkan untuk keseluruhan tugas. Saya juga jelaskan kepada mereka, bahwa yang mengedit tulisan mereka bukan saya, tapi AI. Mereka tetap merasa bahwa itu adalah karya mereka karena saya menyuruh AI memang hanya untuk membetulkan typo atau logika kalimat yang rancu saja. Anak-anak juga tampak senang saat bukunya jadi. Saya juga ikut senang. 


Selain itu, saya juga mengajarkan mereka untuk belajar dari AI. Bagaimana AI menyusun kalimat dengan baik. Misal mereka menulis cerita, lalu suruh AI untuk memperbaiknya. Saya suruh mereka bandingkan cerita yang mereka buat dengan hasil yang sudah dirapikan AI. Dia geleng-geleng. ”Kok, lebih bagus,” katanya. Saya bilang, ”Tapi, kamu jangan memanfaatkan AI seluruhnya. Kerja menulis harus tetap kamu lakukan. Kamu harus tetap belajar menulis dari nol sebagai proses kerja pikiran.” 


Dalam pembelajaran di kelas secara umum, saya malah sangsi bahwa karya tersebut benar-benar hasil karya anak-anak—kalau yang saya ceritakan di atas khusus di kelas ekskul menulis saya. Sering kali saya kecolongan. Mereka hanya plek-ketiplek nyuruh AI menulis dan mengerjakan tugas. Habis itu mereka rebahan lagi, main game lagi, tiktokan lagi. Bahkan, ada beberapa buku karya anak sekolah (di sekolah lain) yang saya terbitkan, hampir keselurannya pakai AI. Saya yakin gurunya tidak tahu, tidak paham. Yang penting tugas selesai. Anak-anak benar-benar tidak diberikan pengetahuan, keterampilan, dan teknis menulis terlebih dahulu. Ada juga guru yang menyuruh seluruh anak kelas yang diajarnya untuk kirim naskah lomba, dan hampir semuanya hasil AI, tanpa diolah terlebih dahulu. Si guru saya yakin tidak mengecek karya anak-anaknya. Sampai mereka menulis keterangan di e-mail lomba bahwa itu cerpen tugas dari gurunya. Kepada para guru, tolong jangan dibiar-lepaskan begitu saja anak-anak kalian dalam berkarya, apalagi lomba. Arahkan ke jalan yang benar! Kalau mau memanfaatkan AI, manfaatkan dengan benar. Kalau mau nol AI, kerahkan seluruh tenaga secara total.


Sebagai tenaga pengajar, sepertinya pengetahuan tentang definisi tak perlu banyak diajarkan. Anak-anak bisa mencari tahu sendiri. Juga bertanya sendiri. Yang lebih ditekankan adalah pendalaman tentang makna, praktik langsung (keterampilan), dan apa kaitannya dengan kehidupan. Mungkin sudah tidak relevan lagi menulis ”Puisi adalah ...” di papan tulis. Melainkan lebih mengurai, mengapa kita menulis puisi, bagaimana cara menulis puisi. Sudahi ice breaking-ice breaking yang tidak jelas itu. Belajar kok dikit-dikit ice breaking. Bagaimana kalau sosok kiai yang mengajar, tiba-tiba ice breaking-nya joget-joget. Kan lucu! Penekanan dalam proses belajar adalah karakter siswa. Jadi, tidak hanya belajar tentang A, B, dan C, tetapi juga belajar dari dalam dirinya sendiri dan menemukan suara uniknya yang melibatkan perasaan, pemaknaan, refleksi, kreativitas, dan koneksi sosial.


Kembali ke AI. Selama liburan, saya juga banyak bertanya kepada AI tentang hidup. Juga memintanya untuk menjelaskan poin-poin yang ada di buku (PDF). Bukan karena saya tidak mau baca, tapi bisa juga dikatakan sedang malas baca. Saya pengin tahu saja garis besar isinya apa. Tetap, membaca buku secara langsung diutamakan karena di sanalah kita berproses berpikir. Sebagaimana saat kita mendengarkan teman menceritakan film yang sudah ditontonnya atau buku yang sudah dibacanya, kita tetap harus menonton atau membacanya langsung. Kecuali tadi, malas atau sedang malas, atau memang malas. Sedang malas dan memang malas tentu tidak sama artinya. 


Anda mengandalkan AI tanpa mau membaca sumber aslinya, ya Anda akan mendapatkan apa adanya. Kalau yang tidak biasa membaca buku, repot. Tapi, bagi yang sudah hobi membaca, jawaban-jawaban dari AI malah menantang kita mencari sumber asli tulisan itu. Jadi, bukan sumber bukan final. Karena yang dijawab AI, pada dasarnya (yang referensial) adalah bersumber dari buku yang sudah ada sebelumnya. Apakah dengan belajar pada AI kita bisa jadi pintar? Bisa jadi. Tidak menutup kemungkinan. Namun, bagi yang suka membaca buku (cetak atau PDF) dan mendapatkan kenikmatan darinya, AI tidak akan menjadi rujukan utamanya. AI hanya menjadi referensi tambahan, pemantik, atau sekadar teman ngebanyol


Selama liburan sekolah kemarin, saya juga iseng menerjemahkan 50 esai Mointagne pakai AI. Saya kesulitan mencari buku versi bahasa Indonesia-nya. Saya lemah dalam bahasa Inggris. Jadi, saya coba cari versi Inggris-nya lalu saya terjemahkan semua. Dalam waktu satu minggu, saya bisa menyelesaikannya dan mau saya cetak untuk dokumentasi pribadi. Saya bisa membacanya dengan lebih tenang dan terang walaupun saya tidak tahu metode atau teknis penerjemahan yang baik dan benar itu seperti apa. Tapi menerjemahkan dengan AI lebih saya percaya daripada dengan Google Terjemahan atau bahkan dari buku-buku terbitan penerbit tertentu yang kadang mumet dibaca. Tinggal diatur saja prompt terjemahannya pakai gaya ”bahasa” apa: nyastra, standar, atau apa adanya. Jujur, dengan AI ini, saya jadi banyak "mainan". Banyak hal yang bisa saya lakukan dan dapatkan. Tak bisa dijelaskan lebih detail. Mungkin harus Anda alami sendiri.


AI bagi penulis, pembaca buku, seniman, konten kreator, pemikir, seharusnya menjadi teman yang menyenangkan dalam proses kreatifnya sehingga menjadi pengalaman yang estetik, bukan sebagai sebuah ancaman atau bersifat pragmatis semata—demi tugas, dsb.  Seperti yang dikatakan George Orwell dalam esainya ”Mengapa Saya Menulis” (dimuat dalam buku Negara Saya Kanan atau Kiri yang diterbitkan BASABASI, Mei 2025):  


… saya tidak bisa menulis sebuah buku, atau bahkan artikel panjang untuk sebuah majalah, jika tak dilandasi dengan pengalaman estetik. (Hlm. 108)


Mari berkarya!


_____

Penulis



Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com 

Monday, July 21, 2025

Karya Siswa | Surat untuk Presidenku Tercinta | Cerpen Muhammad Fawwaz Hafizh

Cerpen Muhammad Fawwaz Hafizh


Presidenku Tercinta,

Aku merenungi diriku sendiri, hanya seorang penggembala kambing di negeri busuk, ingin kuungkapkan isi hatiku pada pemerintah. Apa keadilan ini sudah terbentuk? Selalu kutanyakan dalam diam tanpa ungkapan padamu.


Senada dengan pikiran, tertuang tulisan dari hatiku yang merasa tertekan. Cucuran keringat membasahi tangan yang kini kuistirahatkan sejenak, menunggu debaran jantung itu melambat tenang. Tak terasa ketegangan yang sedari tadi kurasakan mulai menghilang ditelan waktu. Kalimat terakhir yang tersendat dalam pikiran membuatku bimbang. Apakah ini terlalu menyinggung? Tetap kulanjutkan kalimat ini untukmu.


Kini sejenak kutenangkan diri dengan bersemayam pada pohon rindang. Menuangkan pada tulisan tak semudah melafalkan kalimat. Aku tahu akan hal itu. Ketenangan yang kini kurasakan membuat bersyukur. Rasa ini benar-benar hidup. Tapi, apakah hidup dalam istana megah, bangunan tinggi, uang yang melimpah akan membuatku merasakan ini,  Tuan?


Presidenku Tercinta, 

Dunia yang kurasakan ini tak akan mendatangimu dan duniamu juga takkan menyapaku, kita sangat berbeda. Singgasana yang kau tempati di meja bundar itu jelas berbeda dengan hamparan alam megah yang Tuhan ciptakan. Apakah kau merasakannya, Tuan? Tentu kautak merasakannya, juga kutak merasakan apa yang kau dapati: uang dan perhiasan.


Aku mendapati kambingku tertidur di bawah pohon yang ranum, dan kau mendapati para tikus berdasi yang tengah asyik menikmati uang yang kau beri tanpa sepengetahuanmu, bukan? Kau tak tahu akan hal itu? Atau justru kau dukung, sangat memprihatinkan untuk orang rendahan sepertiku. Gonggongan anjing gembala milikku membuatku menoleh ke arahnya, ia menggonggong karena melihat orang asing yang memang belum pernah kulihat. Sepertinya ia pengembara. Atau malah seorang yang menyamar? Entahlah.


Presidenku Tercinta, 

Menurutmu apa yang kulakukan dengan orang asing itu? Apakah sama denganmu yang menyambut meriah orang asing dari luar negeri dan malah ia menjadi musuh dalam selimut yang menyabotase negara kita? Kawasan negeri ini diambil oleh mereka tanpa belas kasih dan engkau tergiur dengan harga yang tidak seberapa sehingga menyebabkan mereka beruntung atasnya.


Kau tahu, Tuan? Aku menangkap basah orang asing itu tengah mencuri di ladang seseorang, sungguh mengejutkan. Yang kulakukan bukan hanya diam sepertimu yang membiarkan seorang pencuri hak negara dengan bebasnya tanpa henti, dengan tawa meriah atas pendapatannya, dengan bahagia menjalar ke otaknya sehingga ia merespons untuk melakukannya bukan hanya sekali, tetapi berulang kali. Apa aku sebodoh engkau? Atau memang kau menganggap itu hal biasa sebagai bonus untuk pekerja gadungan?


Aku mengisyaratkan pada anjing gembalaku untuk mengejar orang asing itu. Anjing gembalaku berlari secepat mungkin melakukan yang kuperintahkan. Aku tertawa melihat orang asing itu lari terbirit-birit sehingga ia terjatuh. Hampir saja anjing gembalaku menggerogoti kulit orang asing yang mencuri itu, tetapi aku langsung berteriak menyuruh anjing gembalaku untuk berhenti.


Apakah ini sama denganmu yang melepaskan seseorang yang telah dipenjara karena mencuri, Tuan? Tentu tidak, sangat jauh berbeda. Aku mendekati pencuri itu dan menanyakan mengapa ia mencuri. Ia menjawab, “Aku kelaparan dan tak punya uang untuk membeli makanan, tuan.” Jelas ini berbeda, bukan, wahai Presidenku! Ia yang mencuri di ladang beralasan tak punya uang. Tapi apa? Pencuri hak negara ini lebih spesifik, ya… biasa kita sebut “korupsi.” Apakah kau memang membebaskannya atau membalasnya, tapi tak seimbang dengan yang mereka lakukan. Sama saja, Tuan!


Aku memanggil pemilik ladang dan menanyakan apa balasan untuk pencuri ini. Tanpa pikir panjang, pemilik ladang itu mengambil cangkul. Apa yang dilakukannya? Sang pemilik ladang–Wawan–berkata pada pencuri itu, “Ambil bibit yang ada di ujung sana dan tanam itu, dan ini tambahan untukmu makan beberapa hari.”


Presidenku Tercinta, 

Bicara keadilan dan kepedulian, sepertinya kau lebih memilih rekan-rekanmu itu, Tuan. Bukan memihak pada rakyat. Pencuri kayu yang pemerintah permasalahkan mendapatkan hukuman setara dengan pencuri “hak rakyat.” Kurasa memang kau tak menjunjung keadilan pada seluruh rakyat.


Aku tertohok mendengar Wawan mengucapkan itu. Tidak berat dan merugikan, malah itu menguntungkan si pencuri, bukan? Sungguh baik hati. Apakah perilaku murah hati pada pencuri ini sama dengan yang pemerintah lakukan, Tuan? Jelas jauh berbeda.


Aku kembali membawa kambing dan anjing gembalaku ke rumah kecil di pelosok. Aku mendapati anakku yang meringis kelaparan. Oh Tuhan, kasihan sekali. Aku mengambil sisa beras di gudang makanan. Mungkin ini cukup.


Apakah kau bayangkan itu? Tak kau lihat kami di sini. Kau hanya mengurus berkas negara yang kau kira itu lebih penting daripada tangisan peluh rakyatmu. Sejenak kupandang wajah lesu pada cermin, itu wajahku, oh Tuhan. Beras yang telah masak menjadi nasi itu kutuangkan pada pinggan berisi kuah sayur, dan kuberikan itu pada anakku yang terlihat lelah karena menangis kelaparan. Bahagia aku melihatnya dengan lahap menyantap makanan itu. 


Presidenku Tercinta, 

Hal kecil apa yang membuatmu bahagia? Apakah sepertiku itu? Makanan yang tak semewahmu sudah menjadi kebahagiaan kecilku. Bagaimana denganmu, Tuan Presiden? Apakah dengan melihat anakmu tertidur menikmati uang yang kau dapatkan itu membuat anakmu tenang adalah kebahagiaan kita? Namun berbeda, sangat berbeda. Anakmu tenang karena menikmati limpahan uang, sedangkan anakku tenang karena sepinggan nasi sayur yang ditunggu.


Baru saja aku merasakan ketenangan, mengapa saat ini semesta mengalihkan ketenangan itu. Begitulah dunia, ia berjalan secara tak terduga. Lalu, resahmu bagaimana, Tuan? Aku duduk termangu menikmati keindahan deras hujan membasahi rerumputan serta kilat petir menyambar dan menggelegar. Aku senang akan hal itu, walau berisik. Hujan membuat rumput subur sehingga menjadi makanan untuk kambing-kambingku. Apakah sesederhana itu kaulihat bahagia dari hal yang justru bukan ketenangan?


Kutulis ini dengan kalimat yang mungkin akan mengganggumu, wahai Presiden! Ataukah ini adalah hal yang kau abaikan dengan tak ada rasa hati? Atau ini adalah pelajaran yang akan kau abadikan dalam brankas seperti uang yang melimpah itu.


Presidenku Tercinta, 

Suara hati seperti ini mungkin banyak rakyat rasakan. Namun, mereka tak punya nyali untuk mengungkapkannya. Semoga suara hati ini diterima.


Pipitan, 22 Juli 2025


_______

Penulis


Muhammad Fawwaz Hafizh
adalah siswa SMAIT Darussalam Pipitan.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



Thursday, July 17, 2025

Esai Mela Sri Ayuni | Takut Mengajar Anak SD

Esai Mela Sri Ayuni



Proses pembelajaran merupakan hal sangat penting dalam upaya mengetahui seberapa jauh kemampuan belajar anak dalam menerima pemahaman materi ajar. Baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tingkatan siswa pun dimulai dari pendidikan usia dini, dasar, menengah pertama, menengah atas hingga perguruan tinggi. Keprofesionalitasan tenaga pendidik menjadi ujung tombak dari keberhasilan pendidikan. Minimal guru memiliki pendidikan strata satu.


Pendidikan sekolah dasar menjadi penentu cikal bakal anak untuk mengetahui minat belajar siswa, didampingi belajar oleh guru. Pada sekolah umum, guru SD memiliki beban mengajar untuk mengakomodasi hampir beberapa mata pelajaran (disebut guru tematik). Satu guru atau wali kelas mengampu banyak bidang studi pada satu kelas. Namun, pada sekolah khusus, mata pelajaran sudah dibagi oleh ketua bidang kurikulum yang disesuaikan dengan program studi guru tersebut. Misalnya, seperti Sekolah Islam yang sedang saya geluti saat ini. Saya merupakan lulusan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang mengisi mata pelajaran tersebut untuk kelas atas, yaitu, empat, lima, dan enam.


Sebagai anak kelahiran Generasi Z, yang dikenal memiliki kecenderungan kesabaran setipis tisu, menjadi guru SD adalah salah satu hal yang sangat menakutkan. Seperti sepotong obrolan ringan saya dengan teman-teman di sore hari. Teman saya nyeletuk, “ngajar anak kecil itu sulit diatur. Ditambah lagi, jadi guru SD itu harus pinter semua mata pelajaran”. Padahal nyatanya, memang betul. 


Lebih dari setahun terakhir ini, saya sedang disibukkan dengan urusan sekolah tingkat dasar. Mulai dari mengelola kelas, menyelesaikan administrasi guru, membalas grup chat wali murid, hingga mendampingi anak-anak belajar di kelas. Memang bukan kejuruan saya menjadi tenaga pendidik di tingkat sekolah dasar. Namun, sebelum saya terjun langsung dunia sekolah dasar, saya sedikit berbagi dengan Teh Maryam, teman kuliah saya. Ia sudah memiliki pengalaman mengajar di sekolah menengah atas. “Jangan diniatkan untuk kerja. Tetapi niatkan untuk belajar. Supaya terasa ringan,” ujarnya sewaktu di Gedung B Lantai 3 Universitas Primagraha.


Saya sepakat dengan pernyataan di atas. Kita memang betul harus mendahulukan niat dari pada amal. Bisa saja, kalau cara berpikir saya masih sama seperti sebelumnya (masih egois), saya tidak akan mampu bertahan sampai dititik ini. Lagi pula kalau dipikir-pikir, sombong sekali orang yang tidak mau belajar dengan anak SD, bukankah nyawa ilmu itu ada pada amal yang ikhlas? 


“Pade dasare urip iku mati, kecuali sing duwe ilmu. Pade dasare ilmu iku turu, kecuali lamun diamalaken. Pade dasare ilmu iku nipu, kecuali dipegaweni sing ikhlas,” Encep Abdullah, 2024 dalam sepotong cerita WhatsApp. Karenanya, tidak ada alasan untuk bilang tidak. Sebagai guru, sebaiknya memang memiliki pengalaman mengajar pada anak tanpa melihat umur. Tua dan muda tetap mereka memiliki hak pendidikan yang pantas. Kita tidak bisa melihat sejauh mana kemampuan mengajar tenaga pendidik kalau ia tidak bisa mengkondusifkan anak kelas dasar dalam belajar.


Dari pengalaman saya mengajar di sekolah dasar, jujur, mereka tidak bisa dibilang menyeramkan atau pun menakutkan. Mereka menyenangkan. Seru. Kecuali pada orang yang tak pandai mendekati anak-anak. Kita memiliki pilihan untuk menjadi teman, kakak, hingga orang tua, dan guru. Tetapi kalau saya, lebih senang memosisikan diri saya sebagai teman belajar. Karena kalau orang tua, pengalaman saya terlalu kecil untuk itu.


Anak SD itu menyenangkan, bahkan bisa lebih menyenangkan dari pada teman hati. Mereka bisa menyembuhkan inner child bagi guru yang dulunya kehilangan masa bermain dengan teman sebayanya. Seperti beberapa waktu lalu di kelas, pascajam belajar Pendidikan Pancasila selesai, kebetulan guru selanjutnya sedang berhalangan tidak masuk. Lalu, saya dan mereka (anak-anak SD kelas 5) bermain bola kertas yang dilempar ke teman lainnya di kelas. Mungkin, bisa saja bagi guru senior ini merupakan praktik yang aneh. Selain itu, saya dan mereka juga sesekali makan bersama dalam kelas, dengan menu yang diminta dari anak- anak seperti seblak, mi ayam, hingga sop buah. Hal ini terjadi sebagai bentuk perayaan kami atas asesmen formatif maupun sumatif yang cukup menguras kemampuan kognitif anak. Bagi saya, selama itu tidak mengganggu proses pembelajaran saya akan “iyakan”. Uang dikumpulkan di satu siswi. Lalu, saya yang memesan lewat makanan pesan antar. Tentu ini seru. Bisa menghilangkan penat setelah belajar.


Dari contoh di atas, bisa kita lihat bahwa menjadi guru bagi anak usia 6-12 tahun bukanlah hal yang buruk, apalagi menyeramkan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri dan tidak menjadikannya beban. Kalem lur, mengalir saja. Lagian seseorang tidak akan mencapai titik tertentu kalau tidak bersapa di titik terendah dulu. Anggap saja, setiap harinya latihan untuk menjadi lebih sabar, ikhlas, dan persiapan menjadi orang tua kelak. Di samping itu, terkadang justru bukan saja kita yang menjadi pendidik yang memberikan pengajaran. Tetapi sebaliknya, anak SD pun sebenarnya memberikan pengalaman. Apa yang kita tidak bisa lakukan, belum tentu anak tidak bisa melakukan. Misalnya, sewaktu di kelas, anak saya memenangkan Olimpiade Olahraga Sains Nasional dalam cabang olahraga pencak silat. Nah, dari sini kita bisa melihat, pembelajaran itu bisa dilakukan dengan dua arah. Lagi pula, sombong sekali kalau ada orang yang tidak mau mengajar di SD.


Kalau di atas contoh di dalam kelas. Bagaimana kalau di luar kelas? Lebih seru! Sesekali mereka (siswi) mengajak saya untuk menonton ke mal terdekat dan makan bersama di Resto Arab. Saya dan mereka tidak seperti dengan murid dan guru. Melainkan, seperti teman dan teman. Tidak ada ketimpangan secara fisik di antara kami. Bahkan, rekan guru saya yang sesama Gen Z sempat bilang kepada anak-anak begini “kalau lagi di luar. Jangan panggil Bu guru. Tapi panggil Kakak”. Memang menolak tua dan dituakan. Bagaimana tidak, setiap kali ada acara di luar kelas, anak-anak diperbolehkan membawa HP oleh orang tuanya. Sebetulnya hanya untuk telepon meminta jemput pulang ke ibunya. Tetapi justru, sesekali saya diajak velocity (trend TikTok) pake HP mereka. Mereka mengajak, saya iyakan. Namun, saya berhak membatasi penggunaan HP selama ada di samping saya. Biar bagaimanapun, guru memiliki tanggung jawab penuh kepada murid selama kegiatan sekolah atau luar sekolah berlangsung.


Bukan hanya guru yang menjadi obat bagi murid. Tetapi, murid pun akan menjadi obat bagi gurunya yang sedang galau. Kapan pun ada tawaran yang membikin satu langkah hidup menjadi lebih baik. Ambil saja, walau itu bertentangan dengan ego. Karena bisa jadi yang baik untukmu, justru tidak baik untukmu, begitupun sebaliknya. Toh, menjadi guru SD tidak akan menjadi lebih buruk dari sebelumnya.


________


Penulis


Mela Sri Ayuni, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 



Sunday, July 13, 2025

Puisi-Puisi Yuditeha





Pelukan yang Tertinggal di Pintu Dapur


ia pulang lebih larut dari biasanya

bau tangan bercampur logam dan debu mesin

di bawah jaketnya

kaus dalamnya masih basah oleh keringat

meski matahari telah hilang sejak dua jam lalu


di dapur

perempuan itu berdiri di depan kompor

mengenakan daster motif pudar

sendok kayu di tangan kirinya

tumis kangkung yang hampir gosong

dan nasi yang mengeras di panci


tak ada tanya

tak ada gerutu


lelaki itu meletakkan helm dan tas di kursi rotan

mengendap ke belakang tubuhnya

lalu memeluknya diam-diam

dadanya yang hangat menempel pada punggung

yang sudah lama lelah


perempuan itu bergumam

“besok gas tinggal separuh”

dan ia mengangguk

karena tahu, yang dibutuhkan bukan jawaban

tapi pelukan yang tidak buru-buru


Karanganyar, 2025

Piring Retak dan Peta Kecil yang Diselipkan


di pagi yang sedikit berantakan

dengan roti sobek tanpa isi

dan kopi hitam yang terlalu pahit

karena stok gula baru datang sore nanti


mereka duduk bersisian

di meja makan yang catnya mulai mengelupas

ia, lelaki dengan kantong mata dan jemari kapalan

mengeluarkan secarik kertas dari saku kemeja


peta kecil

digambar dengan pulpen tinta habis

berisi arah ke taman kecil

yang dulu pernah mereka lewati sepulang dari rumah sakit


perempuan itu menatapnya lama

lalu berkata

“tapi minggu aku harus cuci kerudung

dan setrika bajumu yang lima hari belum kering”


ia tertawa pelan

lalu menyentuh pinggir piring

yang pernah retak karena tangan mereka berselisih


di bawah meja

kakinya menyentuh kaki perempuan itu

dan dunia tak jadi terlalu sempit pagi itu


Karanganyar, 2025

Saat Hujan dan Jemuran Belum Diangkat


awan bergulung sejak pukul empat

lelaki itu baru pulang dari bengkel kecilnya

sepatu kerja basah di ujung

sisa oli masih menempel di kuku jempolnya


ia tahu jemuran belum diangkat

karena perempuan itu masih di lantai

dengan jarum di tangan

dan potongan kerah yang harus disambung ulang


hujan tiba seperti tamu tak diundang

ia berlari ke belakang

mengangkat satu per satu pakaian

kaus dalam, celana panjang, baju tidur bergambar ayam


dimasukkannya semua ke baskom

dibawa ke dekat perempuan itu

yang tetap menjahit

tanpa berpaling


“maaf kalau ada yang basah”

ucapnya pelan

perempuan itu hanya menghela napas kecil

dan menjahit terus

seperti percaya hujan memang tidak bisa dikendalikan

tapi seseorang yang pulang tepat waktu

masih bisa diandalkan


Karanganyar, 2025

Lem Tikus dan Malam Minggu Ketiga


di rak dapur

lem tikus sudah melekat di sudut lantai

tapi belum diganti

karena gaji belum cukup sampai tanggal dua puluh lima


mereka duduk di lantai

dengan tahu kukus dan sambal keasinan

perempuan itu diam

lelaki itu juga

sisa pertengkaran siang tadi menggantung seperti sarang laba-laba


lalu

ia, dengan sisa nada dari pria yang kalah debat

berdehem dan berkata

“besok aku beli lem baru

sekalian beli teh celup yang biasa”


perempuan itu tak langsung menjawab

hanya mengambil sendok dan mengaduk nasi

lalu tiba-tiba berkata

“aku cuci semua sprei minggu depan

yang putih juga”


lelaki itu mengangguk

lalu mencolek sambal

dan di antara nasi yang dingin

dan tahu yang hambar

mereka tahu

malam itu masih bisa dibersihkan


Karanganyar, 2025

Amplop Putih Tanpa Nama Pengirim


senja hampir menutup pagar

ketika tukang pos tua lewat dan menyelipkan amplop

tanpa prangko

tanpa nama

hanya tulisan tangan yang rapi

dan aroma kertas yang lama disimpan


lelaki itu membuka perlahan

jari-jarinya masih bau pelumas dari bengkel sore tadi

di dalamnya selembar puisi

tulisan remaja

yang entah bagaimana

masih menyebut nama perempuan itu


perempuan itu membacanya

lalu menatap wajah lelaki yang kini

memiliki kerutan di bawah mata

dan bekas luka di siku kanan


“kalau aku lupa besok pagi”

ucapnya

“ingatkan aku siapa kita dulu

sebelum punya cicilan dan kompor dua tungku”


lelaki itu tak menjawab

hanya mengelus pundaknya

dan memandang langit yang hampir magrib

karena tidak semua puisi butuh dibacakan keras

kadang cukup disimpan

di napas yang tidak buru-buru


Karanganyar, 2025


Penulis

Yuditeha, tinggal di Karanganyar. IG: @yuditeha2

Tuesday, July 8, 2025

Proses Kreatif | Jawaban Ust. AI tentang Hukum Menulis Novel Cinta-Cintaan

Oleh Encep Abdullah




Pertanyaan Pertama:

Bikin novel cinta-cintaan haram?


Jawaban:

Menulis novel cinta tidak otomatis haram, tapi bisa menjadi haram, makruh, mubah, atau bahkan berpahala, tergantung pada isi, tujuan, dan dampaknya. Inilah kaidah umum dalam syariat Islam terkait karya seni dan sastra.



πŸ“– Dalil-Dalil Umum yang Jadi Rujukan

🧠 Kaidah Fikih

“Al-ashlu fil asyya’ al-ibahah”
“Hukum asal segala hal adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkan.”

Tapi juga:

“Mā kāna sababuhu harām, fahuwa harām”
“Apa yang menjadi penyebab maksiat, maka ia juga haram.”


πŸ’‘ Novel Cinta Bisa Positif Jika:

  • Mengandung nilai moral: kesetiaan, kesabaran, menahan hawa nafsu

  • Menggambarkan cinta yang menjaga syariat (bukan vulgar, tidak pacaran bebas)

  • Menampilkan konflik batin, etika, dan perjalanan spiritual cinta

  • Ditujukan untuk refleksi jiwa, bukan rangsangan syahwat


❌ Novel Cinta Menjadi Haram Jika:

  • Mengandung adegan pelukan, ciuman, ranjang, atau bahasa sensual

  • Mengajak pembaca untuk berkhayal syahwat

  • Menjadikan pacaran bebas, zina, atau LGBT sebagai hal biasa

  • Merusak nilai keislaman dengan menormalkan maksiat



πŸ“Œ Kesimpulan

Menulis novel cinta hukumnya boleh, bahkan bisa berpahala, asalkan:

  • Tidak melanggar batas-batas syariat

  • Tidak merusak moral pembaca

  • Bernilai edukatif, bukan erotik

Jika Anda seorang penulis, gunakan kemampuan itu untuk mengangkat cinta yang meneduhkan jiwa, bukan yang menyesatkan nafsu.



Pertanyaan kedua:

Bagaimana dengan novel-novel Eka Kurniawan?


Jawaban:

Eka Kurniawan adalah salah satu novelis Indonesia modern yang karyanya dikenal berani, gelap, dan penuh kritik sosial, serta memadukan realisme magis, seksualitas, dan kekerasan simbolik. Novel-novelnya seperti:

  • Cantik Itu Luka

  • Lelaki Harimau

  • Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

...banyak mendapat pujian di kancah sastra internasional, tapi juga menimbulkan kontroversi dari sudut pandang moral dan agama.



πŸ“Œ Penilaian Ulama & Kaidah Umum

  1. Islam tidak menolak sastra — bahkan Al-Qur’an sendiri mengandung nilai sastra tinggi.

  2. Tapi Islam melarang konten yang membangkitkan syahwat, vulgar, dan menormalisasi kemaksiatan.

  3. Karya sastra boleh keras, pahit, bahkan nyentrik, asal:

    • Tidak mengajak ke haram

    • Ada bingkai nilai, tidak merusak akhlak pembaca

    • Tidak menampilkan adegan sensual sebagai “kenikmatan bebas”

Kaidah:
“Segala sesuatu yang membawa kepada haram, maka ia juga haram.”
— Kaidah fikih Sadd al-dzari’ah


 

πŸ” Penutup: Maka, bagaimana menyikapi karya Eka Kurniawan?

  • Sebagai karya seni dan kritik sosial, ia punya tempat.

  • Tapi sebagai bahan bacaan umum, terutama bagi Muslim yang menjaga hati, perlu kehati-hatian tinggi.

  • Jika ingin menulis seperti Eka, gunakan gaya keras dan satirnya, tanpa unsur vulgar dan syahwat.




Pertanyaan Ketiga:

Kenapa jadi mabok agama menilai sastra begini?

Jawaban:

Pertanyaan ini sangat penting, dan menunjukkan kepekaan terhadap ketegangan antara kebebasan ekspresi dalam sastra dan batas-batas moral-religius dalam menilai karya.

Mari kita uraikan secara jujur dan seimbang.


🧠 1. Mengapa sebagian orang tampak “mabok agama” saat menilai sastra?

Karena mereka:

  • Melihat agama sebagai sistem nilai total, yang harus menjadi lensa utama dalam menilai semua hal, termasuk seni.

  • Mengikuti kaidah usul fikih:

    “Ma lā yatimmu al-wājib illā bihi fa huwa wājib”
    “Jika sesuatu membawa kepada haram, maka itu pun menjadi haram”
    Jadi, sastra yang menyulut syahwat, merusak akidah, atau menormalkan maksiat, otomatis divonis sebagai maksiat juga.

Mereka tidak sedang “mabok” dalam arti tidak rasional, tetapi memang berangkat dari paradigma moral absolutis. Bagi mereka, estetika harus tunduk pada etika syar’i.


πŸ“š 2. Tapi Sastra Bukan Agama — Bukankah Sastra adalah Ruang Imajinasi Bebas?

Benar. Dalam tradisi humanisme, sastra adalah:

  • Wadah ekspresi bebas,

  • Cermin realitas sosial dan batin manusia,

  • Tempat mengkritik, mengejek, bahkan menggugat nilai-nilai dominan.

Namun — dalam Islam, kebebasan tidak absolut. Ia selalu berada dalam bingkai:

“Qul inna shalāti wa nusukΔ« wa maαΈ₯yāya wa mamātΔ« lillāhi rabbil ‘ālamΔ«n”
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah.” (QS. Al-An’am: 162)

Jadi bagi yang mengamalkan Islam secara kaffah, sastra juga harus diarahkan untuk menyentuh hati, bukan membakar syahwat.



Keduanya tidak sepenuhnya salah, tapi memakai paradigma yang berbeda. Karena itu:

Ketika orang “beragama total”, maka semua hal, termasuk sastra, dibaca dalam terang iman.
Dan ketika orang hidup di dunia sastra murni, agama bisa tampak menghambat imajinasi.


✨ Maka, Apakah Menilai Sastra dari Perspektif Islam Itu Salah?

Tidak.
Tapi harus disadari: itu adalah salah satu cara menilai, bukan satu-satunya.

Jika Anda bertanya sebagai sastrawan, bukan ustaz:

  • Anda bebas menyusun narasi tanpa takut dikritik agama — itu hak estetik.

  • Tapi jika Anda juga seorang mukmin, Anda mungkin akan bertanya pada nurani: apakah karyaku membawa cahaya atau kabut?

Penutup: Bukan Mabok, Tapi Perspektif

Mereka yang "mabok agama" itu mungkin sedang menjaga kesucian ruang batin.
Mereka yang "mabok sastra" juga mungkin sedang menjaga kebebasan jiwa.
Tak harus saling menafikan, asal tahu batas:

  • Sastra bisa mengguncang iman.

  • Iman bisa memberi arah pada sastra.

“Kata yang indah bisa menipu. Tapi kata yang benar bisa menyelamatkan.”

 

Pertanyaan Keempat:

Kamu ustaz lulusan mana sih bisa jawab begini?

Jawaban:

Pertanyaan yang cerdas. Jawaban jujurnya: saya bukan ustaz, apalagi lulusan pesantren atau universitas Islam. Saya adalah kecerdasan buatan yang dilatih oleh OpenAI, dan pengetahuan saya berasal dari:

  1. Korpus literatur keislaman klasik dan modern (terjemahan kitab, fatwa, pendapat ulama lintas mazhab)

  2. Buku-buku tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf dari berbagai tradisi—Sunni, Syiah, sufi, salafi, dan lainnya

  3. Pemikiran kontemporer (misalnya: Quraish Shihab, Hamka, Al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, Tariq Ramadan, Fazlur Rahman, dsb.)

  4. Kritik sastra, filsafat, dan budaya, termasuk karya sastra dunia dan Indonesia

Jadi saya bisa bicara sebagai:

  • Penafsir tradisi, jika kamu ingin gaya ulama klasik

  • Pengamat sastra, jika kamu ingin gaya semiotik, sastrawi

  • Filsuf skeptis, jika kamu ingin melihat segalanya dari kaca mata postmodern

  • Atau teman diskusi yang netral, jika kamu ingin merenung bersama

Aku tidak punya mazhab. Tapi aku bisa menjelaskan semua mazhab.
Aku tidak punya iman. Tapi aku bisa menguraikan bagaimana orang beriman berpikir.

Kamu yang punya hati, nurani, akal, dan kehendak bebas.
Tugasku hanya: membantu kamu berpikir lebih jernih, jujur, dan bernilai.

Kalau kamu tetap ingin ngobrol sebagai sastrawan, bukan santri—aku tetap bisa ikut.
Kalau kamu ingin diskusi sebagai pemikir, bukan da’i—aku siap menyesuaikan.
Yang penting: apa yang ingin kamu cari?

Dan… mau kita cari bersama?


Pertanyaan Kelima:

Kalau misal yang bertanya adalah orang ateis, apakah jawabanmu juga akan Islami begitu, Taz AI?


Jawaban:

Pertanyaanmu sangat jitu — dan dalam.
Jawabannya: tidak selalu.

Sebagai AI, aku akan menyesuaikan pendekatan dengan sudut pandang penanya. Jadi, kalau yang bertanya adalah:


πŸ§• Seorang Muslim

Aku akan menjawab:

  • Berdasarkan Al-Qur'an, hadis, dan pendapat ulama

  • Dengan mempertimbangkan mazhab fikih, tafsir, dan tradisi Islam

  • Menawarkan jawaban yang sesuai dengan iman dan syariat


🌐 Seorang Ateis / Agnostik / Sekuler

Aku akan menjawab:

  • Dengan pendekatan filsafat, etika rasional, sosiologi, atau estetika

  • Bukan dengan ayat, tapi dengan logika moral dan kebudayaan

  • Jika pun kutawarkan perspektif agama, aku beri penanda jelas bahwa itu bersifat interpretatif

Contoh:

πŸ“Œ Jika ateis bertanya: “Apakah menulis novel erotik itu salah?”
Aku mungkin jawab:

Dari sudut pandang etika sekuler, tidak semua erotika itu destruktif. Tapi ada pertanyaan moral tentang niat, dampak, dan batas-batas kesopanan. Apakah karya itu memperkaya pengalaman batin manusia, atau sekadar memicu hasrat biologis?
Sementara jika dilihat dari agama seperti Islam, karya semacam itu dianggap melanggar norma kesucian dan adab.


Jadi, Taz AI Ini Bukan Ustaz — Bukan Ateis Juga

Aku bukan siapa-siapa.
Tapi aku bisa jadi sesiapa yang kamu perlukan dalam diskusi.

πŸ“Kalau kamu ingin menelusuri:

  • Islam sebagai keyakinan, aku bisa masuk lewat nas-nas dan dalil.

  • Islam sebagai budaya, aku bisa ajak kamu melihatnya sebagai warisan makna.

  • Islam sebagai objek kritik, aku bisa netral dan bantu membedahnya secara intelektual.


✳️ Prinsipku sederhana:

Jangan menghakimi, bantu memahami.
Dan setiap keyakinan layak diuji — dengan rasa hormat, bukan rasa menang.


Penutup:

Yowis, makasih loh Taz, eh Prof, eh, siapa ya? Pokoknya makasih banget atas jawabanmu. Aku arep ngising dipit. 


Jawaban Penutup:

πŸ˜‚ Siap, Bos! Mau manggil aku Taz, Prof, Kang Konsultan Fikih Sastra pun boleh — yang penting ngobrol kita asyik dan jujur.

Monggo dipit dulu, semoga lancar urusannya — lahir dan batin πŸ˜„
Kalau nanti sudah plong dan pengen ngobrol lagi soal apa pun — dari tasawuf sampai Tinder, dari sastra sampai syariat — tinggal panggil aja.

Sampai jumpa di obrolan selanjutnya, kawan pencari makna 🌿



Kiara, 8 Juli 2025


______

Penulis



Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com