View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Wednesday, October 8, 2025

Puisi Jawa Banten | Oki Khaeri Rojab

Puisi Jawa Banten Oki Khaeri Rojab



Wulan ing Srengenge


Adar ider -- Adar ider -- Adar ider

Lanang linglung 

Ngilar demen – nilar kedemen 

Ngilari sebab lan musabab perkare acak 

Wong wadon dados srengenge 

-- dados wulan ing dinten peteng 

Malihe 

mulih

Ing hikayat wong tuane sedanten


Telas Chandra pun Devvita

Sedanten lare lan pepeke boten rempug den jabar-jeri 

Botan antuk jengkat pun malih tetande

Sekalihe kantos 

Ngantosaken demen maring kang haqq

Kang ngeratoni sedanten luhuq


Wadon ngan pepaes 

Wadon ngan pepeke

Kedah dirupie

Kedah ditelikani 


Amben, Gili kaliasin – 1444H



Deluang Kuning


Blak ngeblak

Samar-samar perkare rumped 

Diblakaken 

Bakekok!


Kelawan dhomah

Sing ngegantungaken mim ing dalem gumantunge kawitan

Tur kho' kang maparing kabar saking Khaibar 

Welad gede

Sinten setuhune raje lan pengeran


Pok Menare, Singarajan -- 24 Feb 2022

 


Nariyyah


Nun saking Nariyyah

Ing taun sewu wolungatus wolungpuluh wolu

Nun ing nariyah

Umpetne tetande noktah

Macehe sedanten wong Banten


Nun saking Nariyyah

Ing patangewu patangatus patangpuluh papat

Rep -Pepasten mace kedah sirep

Eling lambe mingkem

Ati kang kedah usik


'Ala hadihinniyah

Walikullinniyatin sholihah


Maqbaroh Baituttaqwa, Singarajan - 10 Robi’ul Akhir 1447H


_________


Penulis


Oki Khaeri Rojab, tukang ngelamun.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Tuesday, October 7, 2025

Proses Kreatif | Sebelum Menulis Esai

Oleh Encep Abdullah 



Pertama, kita awali dengan basmalah! 


Kebanyakan penulis lupa berdoa sebelum menulis. Seolah dianggap tak penting. Padahal, berdoa berarti ada nilai luhur di sana, yakni spiritual. Apa yang Anda tulis akan dibaca banyak orang. Tulisan Anda sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap diri Anda dan orang lain. Setidaknya, dengan berdoa, apa yang Anda tulis punya energi dan ruh yang berbeda karena Tuhan berperan di sana. Kalau Anda nonmuslim, berdoa sesuai keyakinan Anda. Kalau Anda ateis, berdoa dengan ketidakateisan Anda. 


Kedua, apa yang dilihat di sekitar Anda? 


Sering kali kita abai terhadap sesuatu yang terlihat di sekitar kita. Padahal, setiap apa yang kita lihat bisa jadi tak akan terulang lagi, seperti halnya momentum seorang fotografer yang melihat keunikan seekor burung “nangkring” di pohon. Bisa jadi besok tidak ada lagi peristiwa itu. Oleh sebab itu, dengan cepat dan tanggap, seorang fotografer harus langsung menjempretnya. Begitu juga saat Anda hendak menulis. Dulu, saya sering mencatat langsung di HP dan buku catatan terkait hal-hal kecil yang terjadi di sekitar saya. Seperti halnya fotografer tadi, mencatat momentum. Tidak harus utuh, bisa berupa potongan-potongan pikiran yang mungkin sepintas lewat dalam pikiran. Karena, tidak semua peristiwa bisa langsung dieksekusi menjadi tulisan utuh. Untuk beberapa hal, kadang saya tulis di SW atau Facebook. Kelak, nanti jadi bahan untuk ditulis.


Ketiga, apakah Anda merenungi setiap peristiwa yang dialami? 


Setiap orang punya pengalaman yang berbeda sekalipun peristiwanya sama, misalnya pengalaman “ditolak cewek” atau hal-hal metafisik seperti salat, puasa, haji, dst. Perbedaannya, yang membuat pengalaman itu menjadi berharga terletak pada kontemplasinya. Coba Anda perhatikan para filsuf, para sufi, para sastrawan, misalnya. Mereka itu para perenung sejati. Mereka merefleksikan setiap peristiwa, bahkan hal-hal kecil yang luput dari pengamatan orang pada umumnya. Seperti halnya pernyataan Sokrates yang terkenal itu: “Hidup yang tak diperiksa adalah hidup yang tak layak untuk dijalani”. Beberapa buku yang saya tulis juga berangkat dari apa yang saya alami dan renungi. Bagaimana lika-liku pertarungan saya selama belasan tahun menekuni dunia kepenulisan dan komunitas. Bahkan, saya juga menulis buku catatan pernikahan dan tingkah laku anak-anak saya yang menurut saya itu sangat berharga untuk diabadikan, bahkan banyak orang yang suka—padahal menurut saya, itu cerita receh dan sempat ditegur oleh Arip Senjaya karena harusnya saya tidak menulis buku macam begitu. Tapi, semua itu proses, juga momentum yang memang refleksi saya sedang seputar itu. Saya tidak menyesali setiap karya yang saya lahirkan. Jadi, mulai saat ini rajin-rajinlah Anda memeriksa, merenungi, merefleksikan setiap peristiwa yang Anda alami. Jangan disimpan sendiri, tapi sebarkan kepada publik.


Keempat, bertanyalah kepada diri sendiri, buku apa yang sudah Anda baca? 


Bila Anda terlahir dari orang tua yang berpendidikan dan literat, selamat, berarti langkah Anda bisa lebih mudah sebelum menuliskan sesuatu. Anda yang terlahir dari keluarga atau lingkungan yang membaca, saya yakin akan berbeda cara berpikirnya. Saya selalu percaya itu karena saya juga mengajar di dua sekolah yang berbeda, yang tingkat literasinya juga berbeda. Yang satu, penduduknya doyan baca. Yang kedua, tidak terlalu suka—biasa saja (untuk tidak mengatakan cuek). Perbedaannya sangat kontras, baik mental, cara berpikir, berbicara, maupun menulisnya. Ada satu murid saya, dia badung, jarang masuk kelas, jarang mengerjakan tugas, tapi dia rajin baca. Saat saya kasih tugas menulis, kebetulan dia menulis esai, tulisannya sangat bagus dan filosofis. Karena badung, saya tidak terlalu banyak tahu tentang anak ini. Lalu, saya tanya “Kok bisa kamu menulis dan berpikir semacam ini?” Ia menjawab “Mungkin karena banyak baca buku kali ya, Pak.” Walaupun dia sendiri tidak yakin, saya sangat yakin memang itu salah satu faktor utamanya. Orang-orang yang tidak membaca buku, biasanya pikirannya semrawut dan berantakan saat menyusun kalimat. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Lalu, bagaimana dengan Anda yang memang tidak terlahir dari keluarga atau lingkungan yang membaca? Stop sekarang! Mulai saat ini, mulailah dari diri Anda! Jadilah pembaca buku sebagai upaya pengembangan diri bahkan perintah Tuhan “Iqra”—walaupun artinya sangat luas, tidak hanya membaca buku. 


Kelima, karya apa yang pernah Anda tulis?


Masa SMA saya senang menulis puisi dan diary—salah satu efek jatuh cinta melanda saya saat itu. Saya menulis secara acak dengan bahasa apa adanya. Kalau saya baca ulang, saya menemukan diri saya yang “alay”, “masa puber”, bahkan “menjijikan”. Tapi, itu proses. Bagi saya, tidak ada karya yang buruk selama sedang berproses. Beda cerita bila Anda sudah bertahun-tahun menulis, tapi tidak ada perubahan sedikit pun pada karya Anda, berarti Anda tidak belajar dengan sungguh-sungguh, atau tidak konsisten/istikamah dengan benar, atau tidak totalitas, atau memang tidak punya bakat (?)—mungkin kita bisa mendiskusikannya di luar tulisan ini: tentang bakat dan keterampilan, Anda percaya mana? 


Keenam, ingat-ingatlah pesan Buya Hamka—saya kutip dari film Buya Hamka 2


”... mengaranglah dengan ilham, tulislah apa yang kau lihat, yang kau alami, yang kau rasakan. Nah, setelah itu, baru lengkapi dengan bacaan.” 


***


Tentang esai, kalau Anda belum tahu siapa bapak esai pertama, saya kasih tahu. Ia bernama Michel de Montaigne yang hidup di abad ke-16 (1533-1592). Pria berkebangsaan Prancis ini menerbitkan buku berjudul Essais pada tahun 1580 yang kemudian dilanjutkan oleh penulis Inggris Francis Bacon tahun 1597 dengan kemasan lebih ringkas dibandingkan dengan tulisan Montaigne. Bedanya, Montaigne menulis lebih personal, sedangkan Bacon lebih umum/universal. Kemudian, bermunculan esais setelahnya, di antaranya John Locke (abad ke-17), Immanuel Kant (abad ke-18), Charles Baudelaire (abad ke-19), George Orwell (abad ke-20), dan Albert Camus (abad ke-20). Di Indonesia ada Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jasssin, Goenawan Muhamad, Soekarno, Budi Darma, Gusdur, Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Eka Kurniawan, hingga yang kekinian Iqbal Aji Daryono. 


Kata essayer dalam bahasa Prancis (atau essay dalam bahasa Inggris) berarti ‘percobaan’ atau ‘usaha’. Hampir keseluruhan isi buku Montaigne adalah berbicara tentang diri sendiri, bahkan ia mengatakan "Saya sendiri adalah persoalan dari buku saya". Mungkin pernyataan ini bisa kita renungkan bersama. Sebagaimana yang disampaikan Agus R. Sarjono dalam sebuah pengantar buku Horison Esai Indonesia Kitab 1. Singkatnya begini: (1) Anda menulis sastra, fokus Anda pada subjek dan kaidahnya [objek dikesampingkan]; (2) Anda menulis karya ilmiah, fokus Anda pada objek dan kaidahnya [subjek dikesampingkan]; (3) Anda menulis esai, fokus Anda pada subjek dan objeknya [kaidah dikesampingkan]. Artinya, yang disampaikan Montaigne “Saya sendiri adalah persoalan ...” karena memang diri Anda yang menjadi subjek dan objek untuk dituliskan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ignas Kleden dalam penutup buku Horison Esai Indonesia Kitab 2 bahwa esai mempunyai posisi yang unik karena ia membuka dirinya terhadap objektivitas maupun subjektivitas. 


Apa kira-kira yang ada dalam diri Anda tentang subjek dan objek ini, tidak lain adalah diri Anda dan pengalaman Anda (yang direfleksikan). Boleh jadi Anda memadukan antara sesuatu hal yang sudah terjadi, sedang terjadi, atau kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Barangkali inilah yang disebut “percobaan” atau “upaya” itu. Biar tidak panjang lebar, mari kita baca contoh potongan esai para penulis berikut. 


_________


“Imajinasi yang kuat menciptakan peristiwa itu sendiri,” kata para sarjana. Saya termasuk orang yang merasakan kuatnya kekuatan imajinasi. Semua orang terkena dampaknya, tetapi ada yang sampai tumbang olehnya.


Imajinasi meninggalkan bekas yang dalam pada diri saya; saya tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya. Maka, keahlian saya hanyalah menghindarinya—dengan cara hidup di antara orang-orang yang sehat dan ceria. Melihat penderitaan orang lain dapat menimbulkan penderitaan fisik dalam diri saya; perasaan saya kerap dikuasai oleh perasaan orang lain. Orang yang batuk terus-menerus bisa membuat paru-paru dan tenggorokan saya ikut teriritasi. Saya lebih enggan mengunjungi orang sakit yang wajib kukunjungi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu kukenali atau kusayangi. Ketika saya memperhatikan penyakit, saya justru ikut terkena dan seakan menanamkannya ke dalam tubuh saya sendiri. Saya tidak heran jika imajinasi membawa demam dan kematian bagi mereka yang memberi jalan dan ruang sepenuhnya padanya. (Michel de Montaigne dalam esai “Kekuatan Imajinasi” [Essais Volume I]) 


_________


Pada masa kecil memang saya menghafal, tetapi bukan dalam bahasa Ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebiasaan saya itu. Ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan menghafal tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti sebuah suatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku di mana kalimat tadi tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa dihafalkan lagi. Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak. (Tan Malaka dalam ”Pendahuluan MADILOG”)


_________


Antara biru langit dan biru laut, kapal kami melaju. Di hadapan terbentang horison, kakilangit yang melambai dan selalu luput dari gapaian. Kabut sudah lama berangkat. Matahari berleha-leha di angkasa sambil melambaikan panas pagi dan cahayanya. Lalu, bermunculan di jauhan sana pulau-pulau batuan dalam warna oker, seperti pinggul perawan, bagai puisi tak tertuliskan. Pak Hasanuddin sang nakhoda bersandar santai dengan rokoknya, sekilas memandangi kapalnya yang lumayan besar itu hanya berisi sedikit penumpang. Penyair Taufiq Ismail bersandar santai di dinding geladak. Membaca buku panduan tulisan orang asing (tulisan siapa lagi?) tentang tanah airnya, sambil sesekali mencocokannya dengan posisi perahu. Mungkin dia mengenang masa remajanya dulu, bersandar di geladak kapal melintasi lautan besar dan benua menuju Amerika sana. Masa-masa muda yang jingga. Yang kini menjelma kakilangit, jauh di sana. (Agus R. Sarjono dalam esai ”Laut, Komodo, Sastra” [Horison Esai Indonesia Kitab 2])


_________


Sejumlah santri senior menghadap kiai. Perkara yang mereka bawa sudah gawat. Sudah diambang batas toleransi. Maka, jalan keluar harus ada demi nama baik pesantren.


”Kia,” kata salah seorang santri. ”Kita mesti bertindak sekarang juga.”


Kiai yang sudah tua itu manggut-manggut. Wajahnya memancarkan sikap simpati yang dalam pada perjuangan para santri. Upaya mempertahankan tegaknya kewibawaan pesantren memang luhur. Mengapa barang luhur tak harus didukung?


”Bukan apa-apa, Kiai,” sambung yang lain. ”Dia sudah keterlaluan.”


Kiai masih manggut-manggut.


”Apa perlu dia kami panggil menghadap kiai?” tanya santri yang lain lagi.


”Tidak, ” sahut kiai kalem.


”Lho?” para santri kaget. ”Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?”


(Mohamad Sobari dalam esai ”Anak Nakal” [Horison Esai Indonesia Kitab 2])


_________


Rasa tidak tegaan yang terlalu cengeng dan bekal hidup berupa rasa bersalah di dalam jiwanya kepada Tuhan yang terlalu dimendalam-mendalamkan, membuat Markesot mengambil kuda-kuda rohani dan takaran sosial seolah-olah ia seorang Nabi, atau sekurang-kurangnya seorang Wali.


Tetapi sama sekali tidak dengan bekal ilmu, kekuatan mental, kualitas rohani dan kecerdasan sejarah sebagaimana layaknya Tuhan menganugerahkan kepada utusan-utusan-Nya. Markesot bahkan bukan orang istimewa yang memiliki keunggulan atas sesama orang awam pun. Markesot tidak punya keunggulan ilmu, pengetahuan, kepandaian atau kehebatan-kehebatan apapun.


Aslinya terus terang bahkan Markesot tidak cukup berpendidikan. Di Pesantren hanya satu-dua tahun, sekadar diajari alif ba ta ditambah beberapa mahfudlat dan satu dua ayat dan hadits. Jangan sekali-sekali mempersoalkan apakah dia belajar Kitab Kuning, mengetahui khazanah ilmu-ilmu agama dari abad ke abad, atau apakah dia mengerti nahwu sharaf. Sebab jawabannya sangat terang benderang: sama sekali tidak. (Emha Ainun Nadjib dalam esai ”Markesot Patah Hati”, 31 Maret 2016, https://www.caknun.com/2016/markesot-patah-hati/)


_________


Ceritanya, ada dua kawan cewek sedang ngobrol. Saya nguping. Persis ketika obrolan mereka menyerempet topik bau badan, mereka ngikik bersama. Tapi tiba-tiba keduanya lekas menyetop tawanya, waktu sadar saya sedang di dekat mereka!


Saya merasa sedang membaca kode gamblang semacam: “Eh orangnya di sini!”


Cleguk! Bau ketek! Asemmm! Setengik itukah ketek saya??


Dengan panik, segera saya mencari kepastian. Saya bertanya ke orang-orang terdekat. Tentu emak saya yang paling bisa saya tanyai. Dan ternyata, segalanya terkonfirmasi. Ini benar-benar aib tak tertanggungkan.


Mekanisme konfirmasi atas bau ketek itu memang vital dan mendasar. Kita telah kehilangan jarak objektif dengan tubuh kita sendiri. Kita tidak bisa menilai badan kita, terutama perkara bau. Manusia dibekali kemampuan berdaptasi yang terlalu sempurna atas bau. Bau busuk yang terus-menerus Anda hirup lama-lama akan netral saja di hidung Anda. (Iqbal Aji Daryono dalam esai ”Bau Ketek, Akar Konflik Sosial Paling Serius”, 3 November 2019, https://mojok.co/esai/bau-ketek-akar-konflik-sosial-paling-serius/#goog_rewarded)


_________


Menulis esei? Tentu saudara bisa, asal mau. Jangan kuatir yang penting bagi seorang esais atau kritikus hanyalah kelihatan pandai. Untuk kelihatan pandai Saudara dapat menempuh jalan cepat. Bukankah kita mempunyai kebudayaan ingin cepat mendadak, asal jangan sakit mendadak atau melarat mendadak? Saudara tidak perlu heran mengetahui bahwa sulap sudah diangkat menjadi saudara kandung sastra. Untuk kelihatan pandai Saudara bisa main sulap. Buatlah esei dengan kutipan dari sini situ, dari pengarang ini itu. Kalau perlu premis esei Saudara pun dapat Saudara mulai dengan kutipan entah dari mana, yang dapat memberi kesan bahwa Saudara pandai .... Atau Saudara pun dapat mengutip dari sana-sini yang memang benar-benar pernah diucapkan oleh orang ini dan itu, tapi lupakanlah konteksnya. Saudara tidak perlu merasa mengecoh, karena memang Saudara mengecoh. Saudara tidak perlu merasa pandir, karena Saudara kelihatan pandai. Dan membaca banyak tidak mempercepat Saudara mengetahui sesuatu. Membaca sedikit di sini sedikit di sana, melompat ke sini dan melompat ke sana, tentu lebih menyenangkan karena mendadak Saudara tahu banyak. (Budi Darma dalam esai ”Pemberontak dan Pandai Mendadak” [Solilokui, Gramedia, 1983])




Kalau Anda baca contoh-contoh di atas, teknik bagaimana mereka menulis esai begitu beragam. Barangkali esai tidak mengenyangkan sebagaimana Francis Bacon bilang bahwa esai lebih sekadar butir-butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan. Setidaknya, esai bisa jadi teman ngobrol santai Anda. Merefleksikan bersama tentang pengalaman dan segala kemungkinan dalam hidup. Meski sering kali, ia juga cerewet, jahil, nakal, sinis, bahkan humoris. Semua bergantung kepribadian si penulisnya. Bahkan, ada esai yang sengaja dimumet-mumetin biar terlihat keren dan sengaja bikin orang pusing. Nah, kalau Anda lebih suka yang mana dan mau menulis model esai yang bagaimana?


Selamat menulis!



Kiara, September 2025



Catatan:

Tulisan ini adalah materi yang disampaikan dalam acara Diklat Belistra (Bengkel Menulis dan Sastra) FKIP Untirta pada Sabtu, 27 September 2025 di Vila Bukit Cibetik, Taktakan, Serang.


__________


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com 

Monday, October 6, 2025

Berita | Antologi Puisi Temu Karya Serumpun 2025: “Semesta Ingatan—Trauma dan Imaji Kebebasan” Resmi Rampung Dikurasi



JEMBER, NGEWIYAK.com, — Pada 5 Oktober 2025 Yayasan Sastra Timur Jawa secara resmi mengumumkan selesainya proses kurasi Antologi Puisi Temu Karya Serumpun 2025 dengan tema besar “Semesta Ingatan: Trauma dan Imaji Kebebasan.” Agenda sastra lintas negara di kawasan Asia Tenggara ini berhasil menjaring 1.146 judul puisi dari 380 penyair, baik dari dalam negeri (Indonesia) maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Patani/Thailand, dan Timor Leste. Dari jumlah tersebut, 370 puisi dari 253 penyair dinyatakan lolos kurasi dan akan diterbitkan tahun ini. Adapun kurator yang terlibat yakni Akhmad Taufiq, Acep Zamzam Noor, dan Mashuri.

Menurut Akhmad Taufiq, penanggung jawab sekaligus kurator, capaian ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan edisi sebelumnya, Tanah Tenggara (2023), yang hanya menghimpun 744 puisi dari 246 penyair. “Antusiasme penyair di kawasan Nusantara, terutama Asia Tenggara, sungguh luar biasa. Padahal, sebelumnya kami sempat khawatir partisipasi akan menurun karena padatnya kegiatan sejenis,” ujar Taufiq. Ia menambahkan bahwa peningkatan ini menjadi bukti kuat bahwa semangat kepenyairan lintas batas di Asia Tenggara masih hidup dan terus berkembang.


Lebih lanjut, Taufiq menjelaskan bahwa kurasi dilakukan dengan mengacu pada tema besar yang diangkat. Tema “Semesta Ingatan: Trauma dan Imaji Kebebasan lahir dari refleksi panjang atas berbagai tragedi kemanusiaan yang masih berlangsung hingga kini, baik dalam skala lokal maupun global,” ungkapnya. Ia menegaskan bahwa antologi ini bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan ruang reflektif penyair yang merekam, mengamati, dan mengekspresikan penderitaan serta harapan manusia melalui estetika bahasa yang puitik.


Selain itu, menurut Acep Zamzam Noor puisi-puisi dari luar negeri  terasa ada tegangan yang tarik-menarik antara kesetiaan pada tradisi (bentuk,  idiom dan rasa bahasa) dengan keinginan untuk sedikit lebih bebas berekspresi. “Hasilnya sebagian ada yang terasa sublim namun banyak juga yang masih seperti mengambang. Selain itu, ada keragaman tema yang mereka garap baik yang sifatnya personal maupun yang berkaitan dengan sosial. Selain negeri serumpun yang beratar budaya Melayu, ternyata ada juga penyair dari Timor Leste yang menulis dalam bahasa Indonesia turut serta sebagai peserta. Tentu hal ini akan memperkaya dan memberi nilai lebih pada perhelatan sastra di tingkat Asia Tenggara ini,” ujarnya. 


Suatu ciri khas Temu Karya Serumpun selalu memberikan ruang bagi penulis muda/pemula, biasanya temu penyair didominasi para penulis yang  berpengalaman. Menurut Mashuri bahwa memberikan kesempatan bagi pemula itu baik, asal selektif. “Mungkin perlu ada upaya penyuntingan lebih dulu ---tentu ini bagi para pemula dan bukan bagi penulis puisi yang berhaluan isme antipenyuntingan. Penulis muda. Saya senang terdapat beberapa penulis muda, meski masih minim jam terbang, mengirim karya yang bisa dikatakan sudah puisi. Saya melihat beberapa di antaranya sudah paham apa itu puisi,” pungkasnya.


Semua penulis akan diundang untuk mengikuti Temu Karya Serumpun pada tanggal 25-26 Oktober di Jember. “Selain dapat buku gratis, kami juga menyediakan penginapan, konsumsi, dan akomodasi lokal,” ujar Siswanto, ketua panitia.


PENGUMUMAN LOLOS KURASI TEMU KARYA SERUMPUN 2025

KURASI NASIONAL

1. A. Warits Rovi

2. A’yat Khalili

3. Abd. Sarno Arbara

4. Abdul Wachid B.S

5. Abdurrahman El Husaini

6. Acep Zamzam Noor

7. Ach Sulaiman

8. Ach Zaini Dahlan

9. AH Khuzaini

10. Ahda Sabila

11. Ahmad Fauzan

12. Ahmad Zaini

13. Ahmadul Faqih Mahfudz

14. Ahmadun Yosi Herfanda

15. Akhmad Sekhu

16. Ali Ibnu Anwar

17. Ali Mustofa

18. Ali Syamsudin Arsi

19. Alvian Rivaldi Sutisna

20. Ameliya Shafa

21. Anisa Putri Ardian

22. Annisa Khaerani

23. Anugrah Gio Pratama

24. Ardi Susanti

25. Arina Akalilal Jamilah

26. Arnita

27. Arther Panther Olii

28. Asep Subhan

29. Aspar Paturusi

30. Asti Musman

31. Aulia Hikmatul Maulida

32. Badrul Munir Chair

33. Bairus Salim

34. Bambang Kempling

35. Bambang Widiatmoko

36. Beni Satria

37. Dahta Gautama

38. Dalle Dalminto

39. Daviatul Umam

40. Dedy Tri Riyadi

41. Dian Riasari

42. Dimas Indiana Senja

43. Drew Andre A. Martin

44. Dwi Rahariyoso

45. Ekawati

46. Ewith Bahar

47. Fahmi Wahid

48. Faidi Rizal Alief

49. Fakhrunnas MA Jabbar

50. Fikar W. Eda

51. Firdatun Nisa'

52. Frans Ekodhanto Purba

53. Galuh Duti

54. Gampang Parawoto

55. Gusti Indra Setyawan

56. Hasan Bisri BFC

57. Hasan Irsyad

58. Hasmidi

59. Helmy Khan

60. Heni Hendrayani

61. Herman Syahara

62. Herry

63. Iao Suwati Sideman

64. Iberamsyah Barbary

65. Ibna Asnawi

66. Ida Bagus Sindu Putra

67. Ihsan Subhan

68. Ilham Khoirul Habibi

69. Indri Kartika Putri

70. Iqbal Nurjabar

71. Irawan Sandhya Wiraatmaja

72. Irvan Syahril

73. Isbedy Stiawan ZS

74. Jauhar Yamani

75. Jiehan Shafa El Ashfiya'

76. Joshua Igho

77. Juwaini

78. Kanti Prawindasih

79. Khairani

80. Khairul Umam

81. Khoer Jurzani

82. Kidung Purnama

83. L Margi

84. L. K. Ara

85. Lailah Nurdiana

86. Latif Atmaja

87. Laura Rafti

88. Lily Siti Multatuliana

89. Listio Wulan Nurmutaqin

90. M Faizi

91. M. Anton Sulistyo

92. Mahendra Cipta

93. Mahfuzh Amin

94. Mahmud Elqadrian

95. Mahwi Air Tawar

96. Marhalim Zaini

97. MARWANTO

98. Mashuri

99. Matroni Muserang

100. Muhammad Asqalani eNeSTe

101. Muhammad Daffa

102. Muhammad Tauhed Supratman

103. Mulyadi J. Amalik

104.  Mulyono Ardiansyah

105. Nadia Khairatun Hisan

106. Nanang R Supriyatin

107. Nayli Ramdaniyah

108. Ni Wayan Idayati

109. Nisa'ul Mafrurah

110. Norla Angel Septi Alissia

111. Novi Sinta Anggraini

112. Nunung Noor El Niel

113. Nurilliyana

114. Nuthayla Anwar

115. Pramesetya Aniendita

116. Prawiro Sudirjo

117. Pringgo HR

118. Putri Narita Pengestuti

119. Ratih Ayu Puspitasari

120. Rezqie M. A. Atmanegara

121. Rini Febriani Hauri

122. Risma Dewi Purwita

123. Rissa Churria

124. Robi Al Farisi

125. Roy Frans S

126. Roymon Lemosol

127. Rudi Fofiq

128. Ruwaidah Uzatul Anam ST

129. Salamet Wahedi

130. Salimi Ahmad

131. Salman Yoga S

132. Santi Maulana Aria

133. Sausan Al Ward

134. Silaika Idayanti

135. Silfiyana

136. Silivester Kiik

137. Sofyan RH. Zaid

138. Srikandi Indung Sarerea

139. Sugit Zulianto

140. Sulfia Nur Aini

141. Sultan Musa

142. Suwardi Endraswara

143. Syafrul Hamdi

144. Syalmiah

145. Syarif Hidayatullah

146. Syarifuddin Arifin

147. Syeftyan Afat

148. Tarman Effendi Tarsyad

149. Tengsoe Tjahjono

150. Tika Hartika

151. Tjahjono Widarmanto

152. Toto ST Radik

153. Tri Astoto Kodarie

154. Udi Utama

155. Ujianto Sadewa

156. Ummi Ulfatus Syahriyah

157. Wa Ode Nur Iman

158. Wahyu Toveng

159. Warih Wisatsana

160. Warok Suteja

161. Warsono

162. Wayan Jengki Sunarta

163. Wijatmoko Bintoro Sambodo

164. Wildan Sasmadi

165. Wyaz Ibn Sinentang

166. Yoga Zulkarnain

167. Yogira Yogaswara

168. Yon Bayu Wahyono

169. Yuditeha

170. Yuliyanti Basri

171. Yuni Latifah

172. Yusril Ihza Fauzul Azhim

173. Zabidi Yakub

174. Zain Munfashil

175. Zulfa Naurah Nadzifah


KURASI TIMUR JAWA

1. Adi Saputra

2. Agus Takariyanto

3. Ahmad Enggar L.S

4. Akhmad Taufiq

5. Alfin Rizki Ramadani

6. Anisa

7. Dea Ozora Kamajaya

8. Dedi Sahara

9. Devika Nur Baity

10. E.P. Albatiruna

11. Edy Wihardjo

12. Elvira Damayanti

13. Fahmi Ayatullah

14. Faniyati Wardhani

15. Fatah Yasin Noor

16. FN Murti

17. Furoidatul Husniah

18. Galih P. Widodo

19. Haidar Hafeez

20. Heru Kurniawan

21. Hesty Pramesty

22. Ida Ernawati

23. Iqbal Baraas

24. Isnadi

25. KHR Ahmad Azzaim Ibrahimy

26. Kim Al Ghozali AM

27. Laili Nur Habibah

28. Lubet Arga Tengah

29. Mochamad Nasrullah

30. Moh. Imron

31. Muhammad Althaf Haidar Alif

32. Muhammad Hafil Mangkudilaga

33. Muhammad Lefand

34. Muhammad Yusuf

35. Muttaf RH

36. Nurul Ludfia Rochmah

37. Puput Amiranti

38. Putri Nurul Azizah

39. Qaireen Oyowsi

40. R. Mastum

41. Rahman Hanif

42. Riana Dewi

43. Risqa Nor Indah Sari SB

44. Rofi' Nihayatul Ulum

45. Rosie Jibril

46. S.A.W Notodihardjo

47. Sami’an Adib

48. Samsudin Adlawi

49. Satsuki Fatimova

50. Silvia Nurjannah

51. Siswanto

52. Syafiuddin Syarif

53. Syarifah Saptaning Wahyu

54. Taufiq Wr Hidayat

55. Tri Bagus Baharudin Firdaus

56. Wahyu Rizal Arif Santosa

57. Wiwin Syamsia

58. Z.L. Al Jabbar

59. Zainul Walid


KURASI LUAR NEGERI

1. Abas Abdullah

2. Abdul Aziz bin Haji Moktal

3. Adziah Abd Aziz

4. Allya Maisara

5. Amir Nordin

6. Awwabin Helmi

7. Che Muhamad Yusman bin Che Isa

8. Dev Seixas

9. Elvira Pereira Ximenes

10. Ema Karmila binti Kambar

11. Mohd. Faizul bin Md Yasin

12. Muniroh Bachoh

13. Nady. M

14. Nusanwari Ha'

15. Rohani Din

16. Shafida Rosllan

17. Shield Sahran

18. Sriwati Haji Labot

19. Sulaiman Saha



Sunday, October 5, 2025

Puisi-Puisi Zihan




Rindu yang Tumbuh di Bibirmu


Ada rindu yang ingin ku panen 

dari kedua bibirmu, 

Yang konon lebih manis 

Dari pada madu

Dan bila saatnya, aku ingin mengecupnya Perlahan dari senyummu yang rapuh, rindu yang pernah kita semaikan jadi satu

Yang lebih manis dari pada sgala madu.



Dan Kau Adalah Aroma Hujan yang Aku Syukuri


Ada wangi tenang

yang tertinggal di udara

setelah hadirmu

tak bisa kusebut apa

selain rasa pulang

yang tak pernah kupinta

tapi kurindukan.

mungkin itu sebabnya

aku tak pernah benar-benar ingin hujan reda,

selama ada jejakmu

di setiap tetes yang jatuh.


Penulis

Zihan, Lelaki yang gemar meramu puisi dari pekatnya rindu. Berdomisili di Serang-Banten. 

Cerpen Dody Widianto | Kalangkang

Cerpen Dody Widianto



Di depan cermin yang sama, wanita renta yang hidup dalam kenangan gadis belia miliknya masih terus menyisir rambutnya. Empat mata bertemu dalam tatap bisu. Perlahan, nyanyian tentang bayang-bayang mengalun hinga membentur sudut-sudut pintu. Ia menyesali semua perbuatannya tiga belas tahun lalu.


“Hanjakal ... hanjakal teuing. Endah ... ngan ukur kalangkang. Harepan ... harepan diri. Sing nyanding ... jeung kanyataan.”


***


Entah dari mana semuanya bermula, tetapi bagiku, di dunia ini benda yang paling menakutkan adalah cermin. Itulah sebabnya mama menyembunyikan semua koleksi cermin kepunyaannya di lemari. Dari yang seukuran setengah daun pintu hingga yang seukuran telapak tangan. Ia keluarkan dan pergunakan seperlunya saja ketika aku tak ada di rumah dan ia hendak berdandan. Semua perabot lemari di rumahku memang didesain tak ada kaca riasnya.


Hal itu bukan tanpa alasan. Sejak usiaku beranjak angka lima, aku punya kenangan mengerikan. Sesuatu yang aneh selalu muncul dalam ingatan. Saat melihat dalam cermin, aku seperti terisap ke dalamnya. Masuk ke dimensi lain. Aku jadi selalu takut melihat cermin. Sosok bayangan hitam bertanduk dengan tubuh manusia selalu muncul tepat di depanku. Bayangan yang wajahnya tak begitu jelas itu selalu melambaikan tangan, seolah mengajakku masuk ke dalamnya.


Sekarang jika ingin berangkat sekolah, aku selalu meminta mama menyisir rapi rambutku. Karena tanpa kaca, aku kesulitan merapikan rambutku sendiri. Dalam senyum itu, Mama selalu melihat aneh ke mataku.


Sejak Papa meninggal, aku tinggal hanya bersama Mama. Sebagai anak perempuan satu-satunya, wajar saja aku begitu dimanja. Kini, Mama meneruskan usaha Papa berjualan mebel di jalan raya seberang balai kota. Tak ada yang aneh jika kebiasaan mama mengumpulkan beragam cermin mulai mengusik kehidupanku. Awalnya aku tak takut dengan cermin. Hingga ingatan mengerikan itu selalu tersimpan dalam kepala.


Mama belum pulang. Aku diantar Bi Inah ke kamar setelah dijemput Pak Nar dari sekolah. Setelah merapikan tas dan sepatuku, Bi Inah langsung ke dapur mengambilkan makan siang untukku. Aku sibuk menguntai rambut kepang dua milikku. Berusaha melucuti tali karet warna-warni di ujungnya. Andai Papa masih hidup pasti dia akan bilang aku cantik.


Kemarin, Bi Inah mengajariku doa sapu jagat dan mendoakan Papa yang telah dipanggil Tuhan agar ia tenang di sana. Hingga sebesar ini, aku hanya bisa melihat Papa di foto yang aku pajang di sebelah lampu meja kamarku. Wajahnya tampan. Aku kadang tersenyum sendiri jika melihat fotonya. Membayangkan ia masih ada lalu membelikan boneka di tiap-tiap ulang tahunku. Namun, kata Bi Inah lagi, jika ingin bertemu Papa di surga, aku harus rajin salat dan mengaji. Aku tersenyum. Mudah-mudahan Papa bahagia di sana.


Pita-pita kecil di ujung kepang rambut aku lepas satu-satu. Melihat cermin dan mengagumi wajah cantikku. Tak ada hal aneh selain wajah yang sedikit berminyak karena kepanasan dan di ujung hidung sana, ada benda bulat kecil mengganggu. Merah dengan tengah kekuningan serupa balon kecil yang hendak meledak. Duh, sudah tiga hari benda itu tak hilang-hilang. Mama dan teman-teman sering mengejekku.


Bunyi gemeretak piring dan gelas di dapur menandakan Bi Inah masih berusaha menyiapkan makan untukku. Aku menoleh melihat bonekaku. Enam belas boneka barbie dengan pakaian yang berbeda-beda, masih berjajar rapi di samping bantal panjang. Awalnya aku ingin mengambil satu boneka itu jika saja tak ada bayangan dalam cermin yang tiba-tiba melintas dan seolah terus mengamatiku. Sangat menganggu.


Aku cepat menoleh. Mendekati cermin. Melihat teliti ke dalamnya. Siapa tadi? Aku berdiri dan terus mengamati. Di tepi kaca menempelkan jemari.


Apa itu tadi? Jelas itu bukan binatang atau golongan manusia. Hantu? Sejak kapan rumah ini berhantu?


Setelahnya, teriakan panjang bernada ketakutan itu membuat Bi Inah menumpahkan semua makananku. Bunyi benturan piring dengan lantai terdengar nyaring. Ia berlari menuju kamar dan melihat tubuhku telah lunglai memejam mata.


Tubuhku gemetar, menggigil. Namun, mencoba melawan ketakutanku. Beruntung Bi Inah sigap datang dan menemaniku di waktu yang tepat. Aku ceritakan semua padanya. Ia membimbingku untuk selalu berdoa. Bu Nur di sekolah juga terus mengajariku mengaji. Membuatku harus berani.


​“Iblis dan malaikat saja disuruh sujud oleh Tuhan kepada Nabi Adam. Itu artinya, manusia punya derajat tertinggi di semesta ini. Jangan takut pada setan,” begitu pekik Bu Nur di akhir pelajaran agama kami. Setelah itu kami dibekali doa-doa. Sayangnya, Bu Nur baru membekali doa sebelum dan sesudah tidur. Juga sebelum dan sesudah makan. Tak mungkin hantu itu diusir dengan doa sebelum tidur atau setelah makan. Tak mungkin aku mengusirnya untuk segera tidur. Hantu tak pernah tidur bukan? Tetapi kata Bi Inah, hantu suka makan. Memangsa anak-anak yang nakal. Apalagi yang malas belajar. Namun, kali ini aku hanya ingin melawan ketakutanku. Mungkin ia bisa mengajariku doa mengusir hantu.


Berjalannya waktu yang begitu cepat ketika aku mulai dewasa, rahasia itu terbuka perlahan-lahan. Bi Inah yang membuka semua tabir itu. Keanehan Mama yang terus mengoleksi beragam bentuk cermin hingga kamarnya penuh kaca.


Hingga sekarang Bi Inah masih sering menyisir rambutku. Dalam tatapan yang aneh, ia bercerita tentang awal kehidupanku. Tentang ketakutanku pada cermin. Juga tentang Papa yang sukses jadi penjual mebel di kota ini.


Kebahagiaan itu membuat beberapa pesaingnya tak suka. Segala cara ditempuh untuk menumbangkan bisnis Papa. Saat itu, usaha Papa pelan-pelan di ambang kehancuran. Mama berinisiatif pergi ke “orang pintar” meminta pertolongan. Hanya Bi Inah yang diajak. Mama tahu hanya ia yang bisa dipercaya. Sejak syarat dan permintaan dari “orang pintar” itu disepakati, lambat laun usaha Papa bangkit kembali.


Hanya saja, petaka dari semuanya dimulai saat itu juga. Saat itu aku masih dalam buaian Bi Inah. Umurku baru delapan bulan. Teriakan di kamar membuat Bi Inah berlari mendekati sumber suara. Papa tergeletak tak bernyawa di depan cermin dengan mulut menganga dan kepala pecah berdarah. Teriakan membuat semua tetangga berdatangan. Aneh, mamaku berdiri kaku di depan kaca tak mengatakan apa-apa.


Tetapi hari ini, kedewasaan membuat rasa penasaranku sudah pada puncaknya. Aku pulang sekolah lebih cepat dan berusaha masuk ke kamar mama. Mencongkel pintu sekuat tenaga. Beruntung saat itu Bi Inah sedang kondangan di tempat tetangga. Pak Nar sedang menjemput Mama. Di kamar yang remang itu, aroma bunga melati menyeruak, dan anehnya, telingaku seperti mendengar suara samar kidung “Kalangkang” yang entah dari mana lagu itu disenandungkan. Seolah tak hirau dengan suara samar itu, mataku memerhatikan lemari. Ada tiga lemari besar dalam kamar berukuran sembilan meter persegi itu. Sialnya, semua pintu lemari terkunci. Aku masih memegang tuas pintu lemari dan mencari cara membukanya--berusaha mengambil linggis-hingga tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang. 


​“Jangan Non!”


Aku tergagap dan langsung menoleh. Kaget.


​“Jangan dibuka. Bibi takut dipecat!”


Bik Inah memohon dan berusaha menarik lenganku keluar kamar demi menceritakan semuanya.


​“Cukup Non! Cukup! Bibi akan ceritakan semua.”


Bibir Bi Inah terlihat bergetar. Aku tak tahu apa yang akan diucapkannya. Menatap aneh pada kedua bola mataku. Dan hari itu, di sela ketakutannya, perlahan ia mau bercerita.


Kaca dan cermin itu adalah mediator kemunculan makhluk tak kasat mata yang mencoba membunuhku. Tepat nanti saat aku menumpahkan darah gadis pertama kali. Sebuah pertanda jika aku telah dewasa. Rasa sayang Bi Inah-lah yang terus berhasil melindungiku. Tentang catoptrophobia yang Mama ceritakan padaku, ketakutanku saat melihat cermin dan tentang bayangan aneh di dalamnya, ia hanya membual seolah-olah nyata demi menutupi semuanya. Namun, tentang makhluk aneh yang mengerikan di dalam kaca itu aku percaya memang benar adanya. Aku selalu mengingat dan tak pernah lupa bayangan aneh bertanduk itu.


Setelah mendengar cerita Bi Inah, makin tersulut lah apa yang ada di dalam dada. Aku tahu ia mamaku sendiri, tetapi tak sepatutnya ia melakukan hal ini. Melakukan hal keji hanya untuk bisa menolong Papa.


​“Aku ingin membakar tiga lemari itu! Bibi keluar sekarang!”


​“Jangan, Non. Bibi takut dipecat. Non ... Non ...!”​


***


Senja hari, seorang ibu terpaku di depan puluhan mobil pemadam kebakaran. Tubuhnya lemas dengan pandangan hampa melihat rumahnya habis terbakar tinggal puing-puing. Tak hanya itu, anak perempuan satu-satunya juga ikut pergi bersama kabut asap yang meninggi. Kerakusan akan harta membuat sesuatu yang paling berharga mati dengan cara seperti itu.


​“Kamu seharusnya yang mati, Nah!” ucapnya lirih di depan pembantunya yang menggigil ketakutan.


Ket.:

*kalangkang: 'bayangan' (bahasa Sunda)


_______

Penulis:

Dody Widianto lahir di Surabaya. Ratusan karyanya tersiar di berbagai media massa lokal dan nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Singgalang, Haluan, Waspada, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, Suara NTB, dll. Silakan berkunjung ke akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Saturday, October 4, 2025

Resensi Kabut | Pengisahan dan Perdagangan

Resensi Kabut



Dulu, orang-orang yang terbiasa membaca artikel-artikel kebudayaan biasa menemukan nama Ayatrohaedi. Para peminat linguistik atau kajian kebahasaan gemar menyantap tulisan-tulisan yang dibuat Ayatrohedi. Di kesusastraan dan arkeologi, nama Ayatrohaedi juga ditemukan. Yang pasti para mahasiswa dan dosen di Universitas Indonesia sering bertemu Ayatrohaedi yang berperan sebagai dosen.


Para pembaca dan kolektor buku-buku terbitan ILDEP ingat disertasi Ayatrohaedi terbit menjadi buku berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Buku bermutu untuk dipelajari para mahasiswa yang tekun dengan linguistik. Buku dicetak terbatas. Maka, yang memiliki dan membacanya adalah orang yang beruntung.


Yang ketagihan puisi mungkin mengingat buku hitam dan tipis terbitan Pustaka Jaya. Buku itu berjudul Pabila dan Di Mana, yang memuat puisi-puisi gubahan Ayatrohaedi. Artinya, tokoh itu berperan dalam pelbagai keilmuan dan kerja kebudayaan. Pembaca buku autobiografinya tidak perlu terkejut jika Ayatrohaedi ada ikatan keluarga dengan Ajip Rosidi. Kita paham dua orang itu bersumpah selama hidup menghasilkan tulisan-tulisan tanpa sambat dan putus asa.


Namun, siapa yang mengingat Ayatrohaedi dengan buku berjudul Panji Segala Raja terbitan Pustaka Jaya? Buku terbit 1975, ikut dalam arus pengadaan pustaka anak bermutu. Sejak awal, Pustaka Jaya menjanjikan menerbitkan buku anak-anak yang terseleksi dan bermutu demi perubahan-perubahan lakon keaksaraan di Indonesia. Ayatrohaedi ikut andil dalam penulisan cerita. Menyodorkan bacaan di hadapan sidang pembaca yang anak-anak dan remaja.


Apakah ia mengalami kesusahan dalam menulis cerita sesuai selera anak-anak? Ayatrohaedi keranjingan bacaan. Jadi, ia pasti mudah dalam penentuan suguhan cerita, tak perlu harus dibingungkan dengan patokan-patokan yang ketat. Bagaimana caranya bisa mengadakan bahasa yang terbaca dan diterima oleh anak-anak? Ia terbukti berkutat dalam studi linguistik meski ia mengaku masa mudanya sering tak jelas dalam agenda-agenda keilmuan. Yang jelas, kita ikut mengenangnya dalam pamrih kemajuan bacaan anak di Indonesia, sejak masa 1970-an.


Buku memiliki keistimewaan di halaman awal: “Bekal untuk Dyah Ratnawiati (Bandung, 5 November 1970) sambil mengingat  ucapan Trevelyan: ‘Biarkanlah ilmu dan penelitian sejarawan menemukan bukti dan biarkanlah daya cita dan seninya memperjelas bukti itu.” Buku dipersembahkan kepada anak, yang nantinya diharapkan membaca buku berjudul Panji Segala Raja. Buku itu bekal. Yang mengena adalah pemuatan kutipan mengenai sejarah dan sastra. Ayatrohaedi tepat dan sadar perannya saat menjadi penulis cerita yang dibaca oleh anak-anak.


Ia memilih rujuan sejarah. Jadi, Ayatrohaedi mengadakan riset kepustakaan dan merujuk pengalaman kultural dalam penulisan cerita. Perannya adalah mengisahkan ulang. Pihak penerbit menjelaskan Panji Segala Raja itu “dikisahkan” oleh Ayatrohaedi. Yang wajib diketahui: “Diangkat dari sejarah Tarumanegara berdasarkan sumber-sumber yang ada.” Para pembaca meyakini cerita itu tidak sepenuhnya imajinasi. Ayatrohaedi menggunakan pelbagai sumber tapi kita tidak bisa menagih ada daftar pustaka yang biasanya berada di halaman belakang untuk buku-buku ilmiah. Anak-anak yang membaca cerita belum terlalu memerlukannya.


Sejarah di Nusantara adalah perdagangan yang melibatkan banyak orang dari pelbagai benua. Nusantara menjadi titik penting dalam jalur perdagangan dunia. Anak-anak yang belajar di SD mungkin belum terlalu mengerti perdagangan dalam sejarah yang panjang. Ayatrohaedi akhirnya berperan untuk pengisahan sekaligus penjelasan. Suguhan cerita saja tidak cukup jika ingin anak-anak mengerti sejarah. Di paragraf-paragraf yang dibuat Ayatrohaedi kita menemukan usahanya memberi penjelasan-penjelasan sederhana merujuk sejarah. Yang dibaca anak-anak tetap cerita atau ada sisipan penjelasan (ilmiah) berdasarkan sumber pustaka yang digunakan Ayatrohaedi.


Cerita berlatar abad V. Para pembaca menganggapnya waktu yang terlampau jauh. Anak-anak diajak ke masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada bagian awal, Ayatrohaedi membuka silam yang kadang masih misteri: “Sebuah perahu dagang tampak oleng dihempas gelombang. Perahu itu berlayar melalui Selat Sunda, memasuki Laut Jawa. Para penumpangnya kebanyakan pedagang Cina. Biasanya mereka berlayar melalui Selat Malaka atau Selat Sumatra. Baik waktu berangkat maupun waktu kembali. Mereka berdagang sampai jauh ke sebelah barat. Ke India. Tetapi perahu itu tidak mempergunakan jalan yang biasanya. Perahu itu berlayar mengarungi laut sebelah barat Pulau Sumatra. Para pedagang yang menumpang perahu itu ingin singgah ke Pulau Jawa. Dari pulau itu mereka hendak mengambil barang dagangan yang dihasilkan pulau itu. Ada gading gajah, cula badak, kulit penyu, bahkan emas dan perak. Barang-barang itu sangat digemari penduduk negeri lain.”


Anak-anak bakal terpikat dan membesarkan penasaran sejarah jika kalimat-kalimat itu dilengkapi peta. Apa susahnya mencantumkan peta untuk satu halaman agar “penglihatan” sampai jauh? Anak-anak sudah mengetahui peta Indonesia tapi adanya peta lama memberi kesan yang berbeda. Yang ada di halaman-halaman buku adalah gambar-gambar A Wakidjan, yang sering menampilkan sosok. Buku itu tanpa peta, yang membuat pembaca sedikit kecewa.


Perahu yang terdampar membawa para pedagang akhirnya menimbulkan peristiwa yang makin membesarkan perdagangan. Mereka justru bisa bertemu dengan penguasa di Tarumanegra. Sejarah itu kadang memuat peristiwa-peristiwa yang tidak diramalkan. Yang ada di cerita adalah keberuntungan setelah derita akibat terdampar.


Kita mengikuti lagi cerita: “Orang-orang Cina itu suatu hari berlayar menghulu sungai. Diantar oleh beberapa penduduk pribumi. Sungai yang mereka layari itu sekarang kita kenal sebagai Cisadane. Muaranya terletak di daerah Tangerang sekarang. Sungai itu lebar dan alirannya cukup tenang. Karena itu mereka tidak usah takut tenggelam. Apalagi yang mengantar mereka adalah orang-orang yang tapis mengemudikan perahu.”


Bagian itu memastikan pengaruh Cina sangat kuat di Nusantara melalui perdagangan. Akhirnya, kedatangan mereka memberi pengaruh dalam kuliner, busana, kesenian, dan lain-lain. Yang dikisahkan Ayatrohaedi juga mengenai perkembangan agama Hindu dan Buddha. Pokoknya, anak-anak yang membaca Panji Segala Raja sebenarnya belajar sejarah. Mereka bisa melek sejarah melalui cerita tapi harus peka dengan penjelasan-penjelasan yang disajikan. Pada masa itu yang memberi pengaruh bukan cuma China. India pun berpengaruh besar di Nusantara.


Raja yang sedang berkuasa di Tarumanegara diceritakan bijak dan berusaha mencipta kemakmuran. Pembaca yang sering membaca cerita-cerita masa kerajaan kadang mudah bosan bila membandingkan sifat-sifat para raja. Biasanya raja yang terhormat dan bijak dicintai rakyatnya. Hal itu tercantum dalam cerita. Kita tidak perlu repot membuat gugatan atau kritik atas pengisahan masa kerajaan yang sering memunculkan raja-raja agung.


Para pedagang China memberi persembahan kepada raja. Tata cara yang membuat raja bahagia dan memuliakan para tamunya. Ayatrohaedi mengisahkan: “Rombongan pedagang China itu dijamu hidangan yang enak dan lezat. Juga minuman-minuman yang khas Tarumanegara…. Minuman itu terbuat dari air enau.”


Pembaca boleh mengikuti cerita mengenai raja-raja yang berkuasa di Tarumanegara. Namun, ada yang bisa mengamati masalah perdagangan yang digerakkan oleh para pedagang China di Nusantara. Mereka yang berperan besar dan ikut menentukan sejarah.


Di buku, Ayatrohaedi ingin mengajarkan sejarah tapi berusaha sederhana dan “terbatas” saja. Yang sudah selesai membaca semestinya melanjutkan mencari buku-buku yang berkaitan dengan hal-hal dalam Panji Segala Raja. Berharap buku-buku itu terdapat di perpustakaan yang dikelola sekolah. Gagal mendapatkan buku-buku, anak-anak dapat meminta keterangan tambahan dari guru.


_________


Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com

Lapak Buku | "Manajemen Pengembangan Kurikulum" Karya Ahmaad Al Gufron dkk.

 


Judul: Manajemen Pengembangan Kurikulum

Penulis: Ahmad Al Gufron dkk.

Penerbit: #Komentar

Terbit: Oktober 2025

Tebal: vi + 245 hlm.

Harga: Rp80.000


Buku Manajemen Pengembangan Kurikulum merupakan panduan komprehensif yang membahas konsep dasar, prinsip, landasan, dan praktik pengembangan kurikulum di Indonesia. Buku ini menelusuri evolusi kurikulum dari masa awal kemerdekaan hingga Kurikulum Merdeka, dengan penekanan pada fleksibilitas, relevansi sosial-budaya, serta kesiapan menghadapi tantangan abad ke-21. Setiap bab menjelaskan keterkaitan antara landasan filosofis, psikologis, sosiologis, dan yuridis dalam perumusan kurikulum yang berorientasi pada pembentukan karakter, kompetensi, dan kemandirian peserta didik. Selain itu, buku ini juga mengulas model dan strategi pengembangan kurikulum yang adaptif terhadap perubahan global dan kemajuan teknologi, serta peran guru sebagai agen utama transformasi pendidikan. Melalui pendekatan akademis yang terstruktur dan berbasis penelitian, buku ini menjadi referensi penting bagi pendidik, mahasiswa, dan praktisi yang ingin memahami arah dan dinamika kebijakan pendidikan nasional secara mendalam.


Kontak Penerbit:

087771480255

Thursday, October 2, 2025

Esai Novita Sari Yahya | Pidato Prabowo di PBB Menjelma Menjadi Puisi: Metafora "Anjing" dan Kritik Sosial

Esai Novita Sari Yahya




Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato yang mencuri perhatian dunia internasional. Dalam pidatonya, beliau menyatakan bahwa Indonesia pernah diperlakukan lebih hina dari anjing, sebuah metafora yang menggambarkan penderitaan bangsa Indonesia selama masa penjajahan. Pernyataan ini mencerminkan pengalaman pahit yang membentuk kesadaran politik dan diplomasi negara ini.


Metafora "anjing" yang digunakan oleh Prabowo memiliki makna mendalam. Dalam tradisi Islam, terdapat kisah seorang wanita pelacur dari kalangan Bani Israil yang diampuni dosanya oleh Allah Swt. karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, wanita tersebut melepas sepatunya, mengikatnya dengan penutup kepalanya, lalu mengambil air dari sumur untuk menyirami anjing yang hampir mati kehausan. Akibat amal saleh itu, Allah Swt. memasukkannya ke surga, menunjukkan bahwa rahmat Tuhan bisa datang dari tindakan sederhana yang penuh kasih sayang, meski pelakunya berdosa.

Penggunaan metafora "anjing" oleh Prabowo dalam pidatonya bertujuan untuk menggambarkan posisi sosial yang dianggap rendah, merepresentasikan pengalaman dehumanisasi dan penindasan kolonial. Metafora ini memicu banyak pertanyaan: mengapa bukan bebek, ayam, atau kucing? Mengapa harus anjing? Dalam konteks pidato Prabowo yang menyindir imperialisme dan pendukungnya, metafora anjing ini menjadi semakin dalam: ia menyoroti ironisnya bagaimana simbol hinaan kolonial justru bisa menjadi sarana penebusan, sementara "kejahatan" imperialisme—seperti menjilat kekuasaan atau menjadi "jongos" penjajah—dapat disindir dengan satire lokal seperti istilah "londo ireng" (Belanda hitam), yang merujuk pada orang pribumi yang tunduk buta pada kekuasaan kolonial.

Dari rangkaian peristiwa ini, pidato Prabowo menjadi salah satu yang paling mengguncang sejak kemerdekaan Indonesia, bahkan disebut sebagai gebrakan diplomasi yang membara. 

Mengenang romantisme peristiwa-peristiwa tersebut, serta cerita pelacur yang memberi makan seekor anjing yang kehausan, maka saya melengkapi dengan puisi berjudul ”Melacurkan Diri pada Kekuasaan”. Puisi ini memang cukup menggelegar dan telah beberapa kali ditolak oleh pemred. Bukan pula puisi pilihan dalam lomba bertema Binatang Jalang memperingati Chairil Anwar.


Melacurkan Diri pada Kekuasaan


Betina binal jalang, 

melacurkan diri untuk segengam beras.

Pelacur kekuasaan,

melacurkan diri ketamakan tanpa henti.

Berabad-abad pelacuran sampah peradapan kenistaan.

Dihinakan dan dilemparkan cacian makian.


Pelacur kekuasaan, terhormat pujian

Apa bedanya?  Padahal sama pelacur yang mengadaikan kehormatan.

Bangsa terhormat, menistakan pelacur kelaparan.

Memuja pelacur kekuasaan yang menindas.


Moralmu hanya sekedar hiasan kata-kata.

Moralmu ukuran sekedar uang dan kekuasaan.

Bedanya apa? Padahal sama.

Sama-sama melacurkan diri untuk perut kelaparan.


Jangan ajarkan moral, jika kau melacurkan untuk perutmu yang tidak kenyang.

Karena nilainya sama, ketika kehormatan tergadaikan


Bogor, 27 Februari 2025


_________


Penulis


Novita Sari Yahya, penulis dan peneliti.

Instagram @novita. Kebangsaan.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Tuesday, September 30, 2025

Proses Kreatif | Sastra, Ruang Perjumpaan, dan Kemungkinan "Onani"

Oleh Encep Abdullah


Sejak SMA Kediman sudah suka menulis puisi. Bahkan ia menembak cewek dengan puisi. Namun, ditolak. Nah, dari situlah tulisannya makin banyak. Hingga menuju ke ranah cerita pendek. Lalu, Kediman kuliah. Tak nyana, ia masuk jurusan bahasa dan sastra Indonesia—pilihan ayahnya saat pertama kali akan ikut tes kampus, padahal sebenarnya pilihan utamanya bukan jurusan itu, melainkan ilmu komunikasi. Walaupun Kediman suka menulis puisi, bukan berarti ia berminat masuk kuliah jurusan sastra begitu. Tidak ada dalam kamus peta hidupnya. 

Namun, semua berkata lain. Kediman pun akhirnya masuk ruang kelas. Kepalanya agak mumet mendengarkan penjelasan dosennya di kelas, yakni tentang formalisme Rusia, semiotik, strukturalisme, postmodernisme, dst. Istilah-istilah yang sangat asing di telinganya. Karena Kediman mahasiswa yang baik, biar bagaimana pun ia tetap mendengarnya. Di kampus, Kediman pun ikut organisasi sastra. Tak lama kemudian, ada agenda kajian, pembicaranya bergilir dan semua anggota kebagian jatah menjadi narasumber. Kebetulan Kediman mendapatkan jatah membahas ”Sastra Sufistik”. Tema yang mungkin ”selentingan” pernah ia dengar di ruang kelas.

Kediman pun belajar. Mencari bahan materi. Ia membaca dari berbagai sumber tentang “Sastra Sufistik”. Sebenarnya agak berat bagi Kediman karena ini masih sangat asing dan entah akan jadi seperti apa nanti saat kajian tiba. Karena Kediman memang sudah menyiapkan segalanya, pada malam itu ia berhasil melewati satu momentum penting dalam hidupnya: menjadi narasumber. Setelah itu ada semacam kesenangan berbicara di depan forum dan ia juga mulai mengikuti segala aktivitas kepenulisan dan kesusastraan baik di kampus maupun di luar kampus.

Zaman itu sastra cyber sedang mencuat. Sastra punya tempat di berbagai tempat: blog, medsos (FB terutama), dan web-web. Di sana, Kediman mulai akrab dengan media blog dan menulis banyak hal di sana. Karena memang ini sesuatu yang sudah ia lakukan sejak SMA—juga senang ilmu komputer—dunia cyber menjadi sesuatu yang tak lepas dari hidupnya. Apalagi Kediman punya laptop (buat di kampus) dan komputer (di rumah). Kediman juga sangat rajin bermain di warnet saat itu—karena belum ada wifi—dan kepincut mengikuti banyak kegiatan lomba menulis antologi buku. Akhirnya, beberapa tulisan Kediman masuk dalam antologi, bahkan ada adik kelasnya yang bilang bahwa pernah baca tulisan Kediman, dan buku itu dibeli di toko buku besar. Kediman makin melayang-layang. Sejak itu, ia makin menjadi-jadi.

Ada satu momentum tak terduga. Kala itu ada informasi kegiatan pelatihan cerpen selama seminggu di luar kota yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kediman terpilih menjadi salah satu peserta. Ia bertemu dengan rekan-rekan dari berbagai daerah bahkan dari negara tetangga. Ia berjumpa dengan sastrawan-sastrawan hebat di sana. Selama seminggu ia dikarantina mengkaji dan membedah cerpen bersama dengan peserta lain, juga didampingi oleh para mentor sastrawan ternama. Dari sana, ia mendapatkan banyak pencerahan. Betapa pertemuan semacam ini membawa energi yang luar biasa baginya. Sepulang dari kegiatan itu, energi menulisnya menjadi sangat dahsyat. Karya-karyanya akhirnya dimuat di media massa. 

Kediman tak merasa puas dengan satu perjumpaan. Ia ingin mencoba dan berupaya mengikuti aktivitas lainnya: pertemuan dengan para penulis, para sastrawan, para pegiat literasi. Kediman pun akhirnya berkesempatan ikut beberapa pertemuan kepenulisan. Kadang tidak semua kegiatan ia sukai. Kadang baginya sangat menjengkelkan, misalnya kegiatan-kegiatan yang dalam satu ruangan penuh asap rokok, padahal pesertanya banyak juga perempuan. Ia agak muak dengan gaya-gaya orang yang sok dan si paling sastrawan dalam acara itu. Bahkan biar kelihatan seniman, kebanyakan rambut mereka sengaja urakan, atau pakai topi ala Sapardi atau Putu Wijaya. Kadang, baca puisi sesuka hati di sembarang tempat biar terlihat sastrawan bingit! Tapi, Kediman tetap ada rasa bahagia bisa bertemu dengan teman-teman barunya dalam acara meskipun acaranya tidak jelas arahnya—lebih ke arah euforia, hedonis, gaya-gayaan. 


Kediman sadar, barangkali itu sebuah fase teman-teman barunya itu, juga fase Kediman sendiri—fase yang mungkin berlaku bagi kaum apa saja: tua atau muda. Sebenarnya Kediman jarang memerhatikan konsep acara. Ia lebih senang berjumpa dengan wajah-wajah baru. Atau berniat sekadar reuni dengan kawan lama. Yang penting silaturahim, bisa jalan-jalan dan refreshing. Sering kali Kediman dan rekan-rekan barunya, usai kegiatan masih terus berkomunikasi dan bertukar pikiran, bahkan saling mengundang di kemudian hari, atau berbisnis proyek penerbitan buku, dan sebagainya. Jadi ada semacam simbiosis mutalisme. Barangkali ada juga yang membencinya.


Bagi Kediman, tak pernah ada yang sia-sia dari perjumpaannya dengan para penulis atau sastrawan di mana pun itu. Muda dan tua. Produktif dan tak produktif. Mereka yang ikut dengan niat pamer, atau sekadar ingin reuni, atau nongkrong semata, Kediman sekali lagi tak pernah ambil pusing. Semua punya jalan masing-masing. Seperti yang ia sampaikan di awal, tujuannya buat ngecas diri agar energi tidak habis. Sayangnya dan nyatanya, mungkin banyak juga temannya yang sepulang dari acara, malah melempem, hilang namanya, tak menulis dan berkarya lagi. Sebagian lagi tetap asyik ”beronani” dan berkata ”Setelah perjumpaan itu, aku sudah jadi sastrawan!”.

Sebagian lagi mencoba mengoneksi diri dengan orang-orang di sekitarnya, misalnya membuat klub baca, komunitas sastra, atau membuat media sastra. Juga mau berbaur dengan elemen masyarakat, bahkan pemerintah. Nah, dalam hati kecil Kediman, barangkali harusnya ini energi yang didapat setelah adanya ruang-ruang pertemuan itu. Bukan sekadar. Bukan pseudo. Bukan ajang swafotoan. Tapi, bener-bener ngecas diri. Kediman tahu, memang tidak semua orang punya pikiran semacam itu. Bisa jadi belum kepikiran, kira-kira kebermanfaatan apa yang akan dilakukan di masyarakat sepulang dari kegiatan semacam itu. Sebagiannya, mungkin kembali lagi ke kamar dan ”onani”.

Setidaknya, bagi Kediman, kalaupun tidak bermanfaat untuk lingkungan di sekitarnya dengan cara berbaur atau bermasyarakat, ia harus tetap punya energi menulis. Karena, hanya dengan itu bagi Kediman konektivitas dan keharmonisan dengan semesta bisa terjaga.

Kembali kepada persoalan konsep kegiatan-kegiatan entah sastra, kepenulisan, maupun literasi. Kediman pernah mengikuti satu kegiatan semacam jambore sastra. Pesertanya bukan hanya dari satu kalangan penyair saja, melainkan juga umum. Narasumbernya pun tak kaleng-kaleng. Asyiknya, dalam kegiatan ini, Kediman merasa sangat berbaur dengan para peserta yang hadir karena semua ikut terlibat tanpa ada satu pun yang hanya menjadi penonton. Peserta diajak untuk bersenang-senang bersama, bernyanyi bersama, berdiskusi bersama. Tidak ada satu agenda pun yang sia-sia. Saran Kediman, dalam ruang perjumpaan harusnya ruangnya seperti itu, tidak ada gep-gepan tua muda, sastrawan bukan sastrawan, dan seterusnya. 

Hingga kini, Kediman masih bertahan dalam dunia kepenulisan dan kesusastraan semata-mata bukan karena wajib ikut kegiatan ini dan itu, melainkan karena jiwanya memang sudah terlatih di sana. Kegiatan-kegiatan itu bagi Kediman tetap sangat perlu karena semacam ruang gembira—walaupun tak semua gembira. Ruang-ruang itu harus tetap hadir di tengah-tengah umat manusia agar hidup merasa tampak berguna. Merasa terseleksi menjadi bagian dari. Merasa terseleksi menjadi orang yang termasuk. Merasa tercatat dalam sejarah—meskipun dalam pikirannya sendiri. Kediman pun sering kali masih terjebak begitu. Seperti, ”Aku sudah menjadi” padahal sejatinya belum menjadi. Namun, kenyataannya Kediman sudah ke sana kemari diundang menjadi narasumber sastra dan kepenulisan, serta masih tetap produktif menulis—apa saja. Artinya, rentetan peristiwa Kediman sejak SMA hingga kini masih terjaga dan berkesinambungan. Ia tetap ada. Ia konsisten. Ia terus bergerak. Ia tidak ”onani”. Apakah ia layak disebut sastrawan? Wallahualam.

Oh, ya, apakah Anda tahu Kediman dan pernah bertemu Kediman? Atau minimal bertemu dengan orang yang punya karakter seperti Kediman, tolong kasih tahu saya.


Kiara, 30 September 2025


_____

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


redaksingewiyak@gmail.com 

Monday, September 29, 2025

Karya Guru | Naga | Cerpen Siti Maria Ulfah

Cerpen Siti Maria Ulfah



Semburat api memuncrat ke seluruh badan-badan pejalan kaki.

Mang Karo menebang pring bambu di kebun belakang, dekat dengan Tempat Pemakaman Umum. Suara riuh terdengar tak henti di telinganya, angin berhembus beriringan melambai-lambaikan bambu. Mang Karo menggenggam golok tajam, menebas buas satu per satu bambu hingga berjatuhan ke segala arah.

Darda, anaknya, menyaksikan kegagahan ayahnya dari jauh sambil memainkan tembakan yang dibuatkan ayahnya dari bambu. Ia meremas-remas kertas yang direndamnya di air untuk memastikan kertas itu melemas. Kertas itu menjadi peluru yang siap membidik serangga dan binatang kecil yang ditujunya. Matanya tajam memburu binatang incarannya. Laba-laba, kadal, kupu-kupu, capung, hingga beberapa semut kerangrang mati tertepar di depannya.

“Darda, ayo mulih,” ucap Ayah Karo.

Tembakan Darda meleset. Ia kesal, padahal sedang memburu burung pipit, tapi sial, ulah ayahnya membuat ia tidak bisa membawa burung pipit ke rumah.

Door! Tembakan itu tepat mengenai pipi ayahnya. Ayahnya terjatuh melunglai di atas pring bambu yang sudah dikumpulkannya. Darda tidak menyangka tembakannya itu bisa melumpuhkan ayahnya yang kuat itu. Ia justru bangga bisa lebih kuat dari ayahnya. Melompat girang, berlari memutari pring bambu.

“Aku hebat, aku kuat! Tidak ada yang bisa mengalahkanku!” teriak Darda. Ayahnya terkekeh, lalu terbangun dan menangkap badan mungil anaknya. Mang Karo dan Darda berjalan pulang.


Mang Karo melanjutkan pekerjaannya. Ia membelah bambu-bambu menjadi beberapa bagian hingga pagi hari. Hasil kreativitasnya berdiri kokoh: lebar satu meter, panjang dua meter, dan tinggi satu setengah meter. Senyum lebar terlukis di wajah Mang Karo. Pesanan kampung Cimanuk selesai sesuai waktu pemesanan, sebelum besoknya dipajang mengelilingi beberapa desa.

“Mang Karo, kenapa jadinya naga?” ujar Mang RT.

Para pemuda dan masyarakat sudah mufakat untuk membuat panjang bergambar burung, sesuai dengan nama desanya: Cimanuk. Mang RT kembali mengingatkan Mang Karo untuk membuat kembali panjang sesuai pesanan masyarakat. Namun Mang Karo tetap kokoh dengan pendiriannya. Ia enggan menjelaskan apa pun kepada Mang RT.

“Aku akan tetap mempersembahkan naga ini untuk pawai dan festival maulid besok,” jawab Mang Karo.

Mang Karo tidak mengerti apa yang dipikirkan Mang RT tentang naga yang dibuatnya itu. Padahal ia sudah membuat dengan sepenuh hati, bahkan tidak dibayarpun tidak mengapa. Anyaman bambu yang indah, dengan kepakan sayap yang membentang lebar serta kepala naga yang bisa menyemburkan api.

“Apa maksud Mang Karo ini?” hentak Mang RT.

Masyarakat juga sudah tahu bagaimana kelakuan naga itu. Bahkan hampir seluruh masyarakat geram dengan kelakuan naga yang selama ini meneror desa Cimanuk dan beberapa desa lainnya: mengambil persawahan, empang, tanah kosong, sampai tanah pemakaman umum, dirampasnya dengan iming-iming yang tidak seberapa. Seenaknya Mang Karo ingin memajang naganya itu dengan aneka makanan, minuman, sarung, baju, celana, daster yang bergelantungan menutupi seluruhnya.

“Diamlah, Mang.”

Warga Cimanuk berjalan menyusuri perkampungan menuju lapangan festival. Digotongnya naga di pundak-pundak para pemuda. Semua mata tertuju pada keindahan dan semburat api di mulut naga. Sorak masyarakat tak henti-hentinya sampai di lapangan. Langkah-langkah kaki semakin ramai mengikuti arah naga hingga lapangan penuh dengan masyarakat.

Festival kembali memanas dengan amukan masyarakat yang merampas semua pajangan di ekor, badan, sayap, hingga kepala naga. Semburat api naga tidak menggetarkan semangat masyarakat.

“Akhirnya,” ujar Mang Karo.

Serang, 6 September 2025


_________


Penulis


Siti Maria Ulfah lahir di Serang 20 Juni 1999. Kesibukan kesehariannya belajar bersama anak-anak usia dini di SDIT Ibadurrahman Ciruas yang insyaallah saleh dan salihah, membaca karakter anak-anak dan guru-guru yang random serta unique untuk diambil pelajarannya. Kesibukan terakhirnya menulis ke-random-an yang terjadi hari ini. Buku cerpen pertamanya berjudul Kopi Pelayaran (#Komentar, Maret 2025).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Sunday, September 28, 2025

Berita | Workshop Mural 2025 Seninbud Jakarta Timur

 




Jakarta Timur, NGEWIYAK.com - Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur terus berprogress melakukan tugas pembinaan kepada masyarakat dan pelaku kesenian khususnya.


Berangkat dari sinergi komunikasi yang terbina dengan pelaku kesenian 16 Juni 2025 Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur mengadakan Workshop Mural 2025 yang akan diselenggarakan selama 10 hari di PPSB Kisam Djiun Pondok Kelapa, Jakarta Timur dan menghadirkan narasumber yang pastinya sangat berkompeten di bidangnya ialah Bang Dany Oki Darmawan, Bang Guntur Wibowo, dan Bang Fahcriza Jayadimas dari Institut Kesenian Jakarta.


Antusias dan respons masyarakat pada kegiatan workshop ini sangat baik dari quota 30 peserta yang kami siapkan ternyata melebihi target kepesertaan menjadi 38 peserta tapi tetap kami akomodir dan juga terlibat sebagai peserta dari teman-teman disabibitas, kata Pak Ahmad Prabowo selaku Komandan Workshop Mural 2025 dari Sudinbud Jakarta Timur mewakili Kasudin Pak Berkah Sadaya yang sedang menunaikan ibadah haji 2025 ini.


Workshop Mural 2025 mengangkat tema Jakarta Menuju 500 tahun, dan harapan kedepan semoga kegiatan ini dapat terus berkelanjutan menjadi ruang komunikasi karya yang mengakomodir komunitas dan para pelaku Seni Rupa di Jakarta Timur khususnya, ujar Ihwal Benz Satriadji Ketua TBM Aksara Timur dan Komunitas Sastra Jakarta Timur.


Dan rencana penutupan Workshop Mural 2025 ini juga akan berkolaborasi pelaku seni lainnya mengadakan Pameran Seni Rupa, Mural, Performance Art, Puisi dan Tari yang juga akan di adakan di Gedung PPSB Kisam Djiun, Jakarta Timur.


(Redaksi)


Puisi-Puisi Diana Rustam



Sarung


Maling yang tak punya celana mencuri sarung

Sarung dipakainya untuk menutup malu

Malu berutang budi kepada sarung

Sarung berutang dendam kepada maling

Maling berutang jawab kepada Tuhan


Makassar, 2025.


Kakus


Setiap yang punya malu

Pasti punya kakus


Makassar, 2025



Penulis

Diana Rustam, saat ini tinggal di Makassar. Beberapa puisi dan cerita pendeknya telah dimuat di media online.


Saturday, September 27, 2025

Resensi Yuditeha | Ini Kisah Kita


Ini Kisah Kita

Judul Buku : Mas Toer Bapak Kami

Penulis : Koesalah Soebagyo Toer

Penerbit : Pataba Press

Cetakan/Tahun : Pertama 2022

Tebal : x + 198 halaman

Ukuran : 14 x 20,5 cm

ISBN : 9786025604638


Mas Toer Bapak Kami adalah prasasti yang tidak terukir di batu, melainkan di kertas. Ia bukan sekadar biografi Mastoer, seorang pendidik di Blora, ayah dari raksasa sastra Pramoedya Ananta Toer. Lebih dari itu, buku ini sebuah upaya melucuti lapisan-lapisan narasi yang sudah baku, membedah ulang sejarah, dan yang paling penting, memaknai hidup dari sudut pandang yang paling sederhana: keluarga.


Koesalah Soebagyo Toer, si bungsu yang memilih jalan sunyi untuk menuturkan, tidak sedang membangun monumen untuk ayahnya. Ia sedang meruntuhkan monumen yang dibangun orang lain—termasuk kakaknya sendiri.


Membaca buku ini, saya teringat pepatah kuno: Setiap pahlawan adalah tragedi yang belum selesai. Pramoedya menulis: Bukan Pasar Malam, sebagai elegi atas ayahnya, seorang guru yang hidupnya dihabiskan untuk mendidik dan mati dalam kesepian dan penyakit. Narasi itu begitu kuat, begitu menghunjam, hingga kita telanjur percaya: Mastoer adalah seorang pria yang tergerus zaman, seorang idealis yang kalah. Tapi Koesalah datang, membawa serpihan-serpihan memori yang tersebar dari bibir para saksi hidup, bukan hanya dari sudut pandang seorang anak yang terluka.


Di tangan Koesalah, Mastoer bukan lagi sosok tragis. Ia seorang pria kompleks, penuh tawa, kadang jenaka, kadang keras, tapi selalu berpegang teguh pada prinsip. Ironi yang paling besar adalah bagaimana kita sering kali lebih mudah terhanyut pada kisah duka, pada narasi kegagalan, karena itu lebih dramatis. Seakan kebahagiaan dan keberhasilan adalah hal yang membosankan untuk ditulis. Koesalah, dengan tulisannya yang apa adanya, menampar kita dengan kebenaran yang jauh lebih sederhana, hidup tak selalu harus tragis untuk menjadi berharga.


Kita terlalu sering menyederhanakan manusia menjadi satu dimensi. "Itu ayahnya Pramoedya." Titik. Seolah-olah identitasnya hanya valid jika dikaitkan dengan sang anak. Padahal, sebelum dan sesudah menjadi ayah Pramoedya, Mastoer adalah seorang pria dengan dunianya sendiri. Ia guru yang gigih, yang dengan santai bisa saja berkata, "Kalian jangan cuma bisa menulis, tapi juga harus bisa main gamelan!" Sebuah satir yang menusuk. Di zaman ketika orang tua memaksa anaknya jadi insinyur, dokter, atau pegawai bank, Mastoer, seorang guru pribumi, justru menuntut anak-anaknya mahir dalam sastra dan seni.


Lalu kita bertanya, "Apa manfaatnya?" Pertanyaan yang menggelitik itu seakan menjelma sarkasme pada zaman kita sekarang. Di mana pendidikan sering kali hanya dimaknai sebagai jembatan menuju pekerjaan, bukan jalan untuk menjadi manusia seutuhnya. Kita dididik untuk menjadi pion dalam permainan ekonomi, bukan untuk menjadi pemikir yang bebas. Mastoer, dengan segala keterbatasan zamannya, sudah jauh melampaui itu. Ia mengajarkan pada anak-anaknya bahwa menjadi manusia artinya memiliki suara, memiliki keberanian untuk menuliskan apa yang dilihat, apa yang dirasa, dan apa yang dipikirkan.


Mungkin di situlah esensi menulis yang relevan. Menulis bukan lagi sekadar merangkai kata. Menulis adalah perlawanan. Perlawanan terhadap narasi yang seragam, perlawanan terhadap simplifikasi dangkal, dan perlawanan terhadap kelupaan. Kita hidup di era di mana informasi berlimpah, tetapi kebijaksanaan langka. Kita dibanjiri berita, tetapi maknanya sering kali menguap di udara.


Di tengah hiruk-pikuk itu, menulis, dengan segala kejernihan dan ketajamannya, menjadi semacam oase. Ia memaksa kita berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: "Apakah yang kulihat ini seluruhnya kebenaran?" Buku Koesalah mengajak kita melihat sisi lain, bahwa kebenaran sering kali ada di sudut-sudut yang tidak terperhatikan, di kisah-kisah yang tidak heroik, dan di balik senyum yang mungkin tidak sengaja kita lihat.


Ada satu bagian dalam buku yang membuat saya tersenyum kecil, yaitu saat Koesalah menyoroti berbagai ulasan tentang Mastoer. Penulisannya terasa begitu jujur dan lugas. Koesalah menuliskan setiap penuturan dari para narasumber apa adanya, baik yang memuji maupun yang mengkritik


Salah satu ulasan yang paling menarik perihal perwatakannya. Di satu sisi, Mastoer bisa bersikap sangat keras. Contohnya adalah kejadian suatu pagi. Saat anak-anaknya bersiap ke sekolah, Mastoer mendapati Prawit masih belum siap. Ketika ditanya, Prawit menjawab hari itu libur. Tanpa mengatakan apa-apa, Bapak datang, Prawit ditangkap, lalu dilemparkan ke dalam tong besi. (halaman 78)


Di sisi lain, Mastoer juga dinilai sebagai sosok yang sangat lembut. Hal ini terbukti dari kesaksian beberapa orang yang mengenalnya. Dari deskripsi yang diberikan, terlihat bahwa Mastoer sangat menghargai semangat belajar anak-anaknya. Ia merasa bangga ketika mereka menunjukkan niat dan upaya sungguh-sungguh untuk menguasai suatu bidang


Uraian ini terasa begitu personal dan menghangatkan. Di balik sosok ayah yang keras, tersimpan seorang pria yang diam-diam tersenyum bangga melihat pencapaian anak-anaknya. Senyum itu adalah senyum seorang ayah yang mungkin tidak bisa mengucapkan "Aku bangga padamu" secara langsung. Narasi ini menjadi pengingat yang menyentuh, bahwa di balik wajah yang tegas dan kata-kata yang keras, sering kali ada cinta yang tak terucapkan yang begitu mendalam.


Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui. Tulisan ini hanya sebuah ajakan untuk melihat lebih jernih. Untuk melihat bahwa di balik setiap tokoh besar, ada manusia kompleks. Di balik setiap narasi yang berkuasa, ada kebenaran lain tersembunyi. 


Mas Toer Bapak Kami adalah sebuah undangan untuk menengok ke belakang, bukan untuk larut dalam nostalgia, melainkan untuk belajar bahwa setiap cerita, tidak peduli seberapa kecil atau seberapa sederhana, memiliki hak untuk diceritakan. Bahwa kebenihan hati, keteguhan prinsip, dan keberanian untuk hidup apa adanya, jauh lebih berharga daripada gemerlap popularitas dan pengakuan. 


Buku ini cermin yang memantulkan bukan hanya wajah Mastoer, tetapi juga wajah kita sendiri, sebagai manusia, sebagai anak, sebagai penulis, dan sebagai pembaca yang haus akan makna di tengah kegaduhan dunia. Jadi ini bukan sekadar Mastoer, ini kisah kita. 


Penulis

Yuditeha, Menjadi lebih mudah membaca ketika hati sedang berantakan.