View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Friday, March 28, 2025

Cerpen Aryasuta | Rapsodi Tiang Pancang

Cerpen Aryasuta




"Bangun! Sampai kapan kau mau tidur? Penjahat tengik!"


Teriakan itu menghantam kesadarannya. Matanya mengerjap melawan silaunya matahari yang menyeruak di antara celah awan kelabu. Perlahan, siluet di hadapannya berubah menjadi sosok pria bertubuh kekar dengan seragam militer lusuh dan ekspresi benci yang tak bisa disembunyikan.


Untung mendapati dirinya terikat di sebuah tiang pancang. Tiang itu berdiri tegak di tengah tanah lapang yang tandus. Debu-debu halus beterbangan tertiup angin, menggores tenggorokannya setiap kali dia mencoba bernapas. Keadaan ini terasa asing, tapi di sudut terdalam memorinya, ada sesuatu yang familiar.


Sekeliling Untung dipenuhi pria-pria berseragam dengan sorot mata yang sama – kebencian murni. Beberapa warga sipil dengan pakaian compang-camping berdiri agak jauh, mengawasi dengan campuran takut dan puas. Keheningan yang menyesakkan menyelimuti pikirannya yang semrawut.


"Mengapa aku berada di sini?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya serak dan asing.


"Cepat! Ucapkan kata terakhirmu, keparat!"


Hantaman keras mendarat di pipi kanannya, membuatnya terhuyung dalam jerat ikatan. Anehnya, rasa sakit itu tidak seberapa. Tubuhnya seolah terbiasa dengan kekerasan yang lebih hebat selama pendidikan militer. Yang lebih mengusiknya adalah kebingungan yang merayapi setiap sudut kesadarannya.


Kepalanya berputar memindai keadaan sekitar. Sebuah barisan prajurit dengan senapan siap. Wajah-wajah tanpa belas kasihan. Tanah lapang yang gersang dengan beberapa tenda pengungsian di kejauhan. Semua ini terasa seperti potongan film yang tidak berurutan.


Belum sempat dia mengatur napasnya, sebuah tendangan keras menghantam perutnya. Cairan berbau amis menyembur dari mulutnya. Tidak ada sisa makanan, hanya air liur bercampur darah. Memori samar menyergap—sudah berapa lama dia tidak makan?


Nyeri mulai menjalar dari perut ke seluruh tubuhnya. Untung semakin bingung. Dua hantaman saja sudah membuat tubuhnya nyeri luar biasa. Bagaimana mungkin? Dia adalah seorang jenderal bintang empat dengan tubuh terlatih yang seharusnya tahan banting.


Dengan napas terengah, Untung menunduk, mengamati tubuhnya sendiri. Apa yang dilihat membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Tubuhnya kurus kering, hanya tulang berbalut kulit. Rusuknya menonjol jelas di balik kain compang-camping yang dia kenakan. Tidak ada jejak otot yang selama ini menjadi kebanggaannya.


"Ini... bukan tubuhku," bisiknya tertahan.


Tiga tembakan memecah keheningan. Prajurit-prajurit di sekitarnya menguji senjata, memastikan bahwa tidak akan ada yang kesalahan saat eksekusi dimulai. Suara tembakan menggetarkan udara, mengirimkan burung-burung gagak hitam beterbangan dari pohon-pohon kering di kejauhan.


"Sudah, langsung bunuh saja!"


"Ayolah, dia seorang bajingan! Buat apa terus menunda?"


"Hei, biarkan aku yang membunuhnya!"


"Cih, akhirnya dia akan mati. Ini akan jadi awal yang baik bagi semuanya."


Teriakan-teriakan itu kini terdengar jelas. Untung mulai sadar. Dia sedang menghadapi eksekusi mati. Dia, seorang jenderal bintang empat dengan deretan medali kehormatan, akan dieksekusi seperti penjahat.


Dengan panik, Untung berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Serat tali yang kasar mengoyak kulitnya yang rapuh, tapi dia tak peduli. Bertahan hidup adalah satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini.


Usahanya dibalas dengan serangkaian pukulan dan tendangan. Satu pukulan mendarat di pipi kanan, dua di pipi kiri. Sebuah tendangan menghantam rusuknya, membuatnya tercekat. Gagang senapan dihantamkan ke kedua kakinya, mengirimkan gelombang rasa sakit yang luar biasa. Beberapa orang bahkan mulai melemparinya dengan batu.


"Apa yang kalian lakukan?" Untung berteriak dengan kekuatannya yang tersisa. "Aku ini jenderal! Aku atasan kalian! Kalian semua sudah gila! "


Sejenak, keheningan menyergap. Kemudian, tawa keras membahana di udara. Bukan tawa gembira, melainkan tawa penuh ejekan dan kebencian. Mereka menertawakannya seolah dia baru saja melontarkan lelucon paling konyol di dunia.


Dalam keadaan setengah sadar, kilasan memori menyeruak. Dirinya yang selalu berseragam lengkap dengan medali berkilauan. Tubuhnya yang tegap dan kokoh. Tatapan matanya yang ditakuti semua orang. Kekuasaannya yang absolut untuk menghukum siapa saja yang tidak disukainya.


Kini, dia hanyalah seonggok daging kurus yang menunggu kematian, tanpa kehormatan, tanpa martabat.


"Ayah, kasihan orang itu. Kenapa dia diikat seperti hewan ternak?"


Suara lembut itu menarik perhatian Untung. Seorang gadis cilik dengan gaun merah muda dan hiasan bunga di rambutnya berdiri tak jauh dari sana, menggenggam tangan seorang pria paruh baya. Wajah polosnya memancarkan keheranan dan simpati.


Sesuatu bergejolak dalam dada Untung. Gadis kecil itu mengingatkannya pada Bunga, putri kesayangannya. Bunga yang selalu mengenakan gaun merah dengan hiasan bunga-bunga kecil. Bunga yang selalu menyambutnya dengan pelukan hangat setiap kali dia pulang dari tugas.


"Bunga..." bisiknya lirih.


Tekad untuk bertahan hidup semakin kuat. Apa pun yang terjadi, dia tidak boleh membiarkan putri kecilnya kehilangan ayah. Dia harus lolos dari situasi ini, bagaimanapun caranya.


Dengan gerakan terlatih, Untung akhirnya berhasil melepaskan satu tangannya dari ikatan. Dia menggenggam tali yang tersisa, berpura-pura masih terikat sempurna. Dalam hati, dia menghitung. Satu kali putaran lagi, tangannya akan bebas sepenuhnya. Setelah itu, dia akan merebut pisau dari prajurit di depannya dan membebaskan kakinya.


Dengan gerakan kilat, Untung memutar tangannya dan melemparkan tali ke leher prajurit terdekat. Dia mencekik prajurit itu sambil berteriak mengancam yang lainnya. Dalam sekejap, pisau yang dia incar sudah berada di tangannya.


"Mundur atau kubunuh dia!" teriak Untung, suaranya serak namun penuh otoritas.


Sebuah tembakan peluru karet menghantam bagian belakang kepalanya. Untung terjatuh, kesadarannya perlahan memudar. Suara-suara di sekitarnya semakin jauh, digantikan dengan dengungan konstan di telinganya.


Dalam kegelapan yang menyelimutinya, sebuah siluet muncul. Perlahan, sosok itu semakin jelas. Mayjen Sutoyo, salah seorang prajurit bawahannya yang pernah dia hukum mati karena tidak mematuhi perintahnya.


Sutoyo tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Untung dengan sorot mata penuh luka, kemudian membawanya ke sebuah rumah sederhana. Di sana, Untung melihat sebuah keluarga kecil—seorang wanita cantik dengan tiga anak yang masih kecil. Mereka duduk mengelilingi meja makan yang kosong, menunggu kepala keluarga yang tidak akan pernah kembali.


"Apa yang terjadi pada mereka?" Untung bertanya lirih.


"Mereka kelaparan selama berminggu-minggu setelah kau menghukum mati ayah mereka," jawab Sutoyo, suaranya dingin namun penuh luka. "Anak tertua mereka kini harus bekerja di tambang untuk memberi makan adik-adiknya."


Untung merasa sesak. Sebelum dia sempat berkata apa-apa, sosok Sutoyo digantikan oleh Mas Haryono, seorang pria yang pernah dia siksa hingga mati karena mencuri sepotong roti dari dapur markas.


Haryono membawanya ke sebuah gubuk reyot di pinggiran kota. Di dalamnya, Untung melihat sekelompok orang—tua, muda, bahkan anak-anak—dengan tubuh kurus kering dan mata cekung. Mereka duduk melingkar, berbagi sebuah kentang rebus yang tidak cukup untuk satu orang dewasa.


"Mereka keluargaku," kata Haryono pelan. "Dulu, aku mencuri untuk memberi mereka makan. Kini, mereka tidak punya siapa-siapa lagi."


Air mata mulai mengalir di pipi Untung. Satu demi satu, mereka datang. Wajah-wajah yang dulu tidak pernah dia anggap penting. Nama-nama yang dulu hanya sekadar catatan dalam daftar eksekusi. Nyawa-nyawa yang telah dia renggut atas nama keadilan dan ketertiban.


Ada 78.500 orang yang melewatinya, nyawa yang telah dia "matikan" selama kariernya sebagai jenderal. Masing-masing dengan cerita yang berbeda, tapi berakhir dengan cara yang sama—di tangan Sang Jagal berseragam militer.


Keluarga yang menanti di rumah. Mulut-mulut yang harus diberi makan. Seorang anak yang merindukan pelukan ayahnya. Istri hamil yang menunggu suaminya memberi nama untuk calon bayinya. Seorang ibu tua yang kehilangan satu-satunya penopang hidup.


Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Untung menangis bukan untuk dirinya sendiri atau keluarganya, melainkan untuk orang lain. Untuk nyawa-nyawa yang telah dia renggut tanpa belas kasihan. Untuk keluarga-keluarga yang telah dia hancurkan tanpa rasa bersalah.


"Maafkan aku." Dia terisak. "Maafkan aku..."


Kesadarannya kembali perlahan. Untung mendapati dirinya masih terikat di tiang eksekusi. Tapi kini, ada sesuatu yang berbeda. Dia telah melihat kebenaran. Dia telah mengakui kesalahannya.


Hidupnya yang selama ini berjalan tanpa belas kasihan adalah sebuah kesialan. Keadilannya yang subjektif dan absolut hanya membawa kematian dan tragedi bagi orang lain. Kematiannya mungkin tidak akan cukup untuk menebus semua dosa yang telah dia lakukan. Namun setidaknya, dia kini tahu bahwa dia memang pantas menerimanya.


"Kau sudah sadar?" teriak seorang prajurit di depannya. "Mari kita lanjutkan!"


Untung menatap prajurit itu dengan mata yang kini penuh ketenangan. "Tolong," ujarnya lirih. "Beri aku sedikit waktu untuk berpesan kepada keluargaku. Mungkin mereka tidak akan mengenaliku, tetapi aku ingin mereka tahu bahwa aku menyayangi mereka. Mereka adalah istriku, Siska Sudarwasih, dan anakku, Bunga Ria."


Prajurit itu menatapnya dengan mata membelalak. "Sekarang kau mengakui keluarga jenderal kami? Popor ini bikin kamu gila!?"


Untung tertegun. "Apa? Apakah dia... jenderal yang baik? Apa dia tidak semena-mena? Apa dia menyayangi semuanya?"


"Sinting!" teriak prajurit itu. "Kalau tidak karena jenderal, kami sudah membunuhmu sebelum kau sempat diberi tiang pancang."


Sesuatu terasa retak dalam diri Untung. Apakah mungkin...? Apakah jiwanya telah bertukar dengan seseorang? Apakah kini dia berada dalam tubuh seorang penjahat, sementara jiwanya yang asli masih hidup sebagai jenderal?


Ironis. Sang Jagal kini menjadi korban, sementara seorang penjahat entah bagaimana mendapatkan kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya.


"Baiklah kalau begitu," kata Untung pelan. "Silakan."


Prajurit itu menyelesaikan siksaan terakhirnya dengan pukulan keras di rahang bawah Untung. Dia merasakan tulang rahangnya patah, membuatnya tidak bisa berbicara lagi. Namun dia tidak peduli. Toh, dia akan segera mati.


Dalam keheningan terakhirnya, Untung teringat pada ibunya. Bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Jika keluarganya saja sudah digantikan dengan yang lebih baik, mungkin ibunya juga kini memiliki anak yang lebih baik. Sekali saja, dia ingin menangis di pangkuan ibunya sambil menikmati usapan lembut di kepalanya.


"Semoga Ibu terus hidup dan bahagia dengan anaknya," bisiknya dalam hati. "Terima kasih sudah melahirkanku, Ibu."


Suara tembakan dan rasa sakit yang amat sangat adalah hal terakhir yang Untung rasakan sebelum kegelapan abadi menelannya. Namun sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, dia melihat sebuah cahaya terang di kejauhan.


Di tengah cahaya itu, ibunya berdiri dengan senyum lembut dan tangan terulur. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Untung merasa damai.


______

Penulis


Aryasuta, karyawan swasta di Kota Kediri, kembali menyelami dunia kepenulisan setelah sekian lama tersesat dalam rapat tanpa akhir dan spreadsheet yang misterius. Pernah menerbitkan buku saat kuliah dan menulis untuk beberapa media, ia sempat berhenti menulis demi mengejar hal-hal yang katanya "lebih realistis"—hingga sadar bahwa realitas butuh sedikit bumbu fiksi. Kini, dengan semangat baru, ia berkomitmen menulis satu plot setiap hari, meski beberapa di antaranya hanya tercatat di notes ponsel sebelum tidur. Instagram : @tulisajaduluya



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Puisi-Puisi Assyifa Chalisa Nainggolan

Puisi Assyifa Chalisa Nainggolan




Tubuh Laut


di retak ombak

semilir pasir pada pantai

langkah patah

seperti cetakan 

kelak dihapus 


dari tatap terjauh

serupa lengan ibu

menimang bayi

mengusap biru yang tak utuh

di cekung mata


dan gelombang

lebur di pangkal 

ke jemari kaki

menyisa jangat

dari lesap matahari


di sebuah sore 

tak lagi hangat


2024



Surat Cinta


selembar surat cinta

terbuka di atas meja

aku enggan membacanya

hanya ketakutan yang lahir

setiap rinduku sengat padamu


selembar surat cinta

tertindih bekas mentega

apakah ada ruang tempat aku pulang?

setiap kangen menjerit

tentang pertikaian kita yang sempit


2024



Pusara Kata


ada yang berdiam di kerlip kata

saat puisi terbuka, dan kau membacanya serupa mantra

hanya ada bekas lebam, yang tersisa di lembar kertas

kau bertahan, menampung jejak murung


menghitung rajah kata yang pernah runyam di sengit kulit

melilit sakit

dan kau sibuk merakit perjalanan

rimbun hujan yang pernah berlalu dari tubuhmu


di saat itu, kata seperti rekah yang nyata

kau susun tanpa mesti berhitung akan makna


2024



Semalam Bersama Ibu


lalu kauceritakan masa kanak 

tak tanak kudekap

waktu seperti terus melilit tubuhmu

kerutan di wajah, tapi engkau tak pernah tua


ibu matamu adalah pertemuan titik yang jauh

aku yang membungkuk dari cadas waktu


2024



Pertemuan


kami telah menyusun diri masing-masing

remah cakap sekadar

limbung tatap mata dengan sejumlah tanda gemetar

bahkan saat kausantap hidangan

semuanya hanya upacara sedih


lalu percakapan melebar, mengunyah waktu bersama tissue di mulutmu

perlahan dan pasti, begitu banyak kesunyian berdiam 


di restoran,

terang cahaya lampu hanya silau kemilau

tak kunjung menuntun 


dan kami berkumur dengan minuman

cerita hal biasa

sampai waktu tertidur

dan kami meminta bill, bertanya dalam hati

melangkah lagi, pintu terbuka

masuk ke isi kepala yang telah terkunci di bilangan hari


tanpa ada sedikit rajah yang kaubelah, bagi tubuhku


2024



Solitude


gertap malam

menyeka diam

lidah masam


lepas waktu

menjemput 

puisi 

begitu sendiri


2024



Anagram


kata melintas di kepala

terjebak di ruang sempit

terjepit tanpa jerit

saling menguatkan

anyam menganyam


pada lubuk doa

menyulam cekam

dan ia butuh rumah

untuk terjaga

sekadar membaca


2024



Kota


kerlipnya selalu terjaga

tak pernah tidur pada mata

pendar cahaya


bagi setiap orang

membawa ilalang

gersang


2024


_______


Penulis


Assyifa Chalisa Nainggolan, lahir di Palembang tanggal 5 Agustus 2006. Saat ini kuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa FKIP Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Puisinya dimuat di berbagai media. Beralamat di Taman Royal 3 Cluster Edelweiss, Jl. Edelweiss X No. 16 RT. 007    RW. 011 Kelurahan Poris Plawad Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang Banten 15141.

WA 081517887357



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Puisi Terjemahan | Puisi- Puisi Philip Levine

Puisi Philip Levine (Penerjemah: Karst Mawardi)




Berapa Harga Bumi


Robek ke dalam cahaya, kau bangun menggeliat 

di telapak tangan seorang wanita. Terbagi menjadi dua, empat, 

terparut oleh angin, engkau tak lain kehidupan 

yang menggairahkan di sepanjang perut 

segumpal batu. Diam di kolam membeku

kaubilas surga dengan satu desahan.


Berapa harga bumi adalah satu manusia.

Sebidang tembok keji ambruk dan mawar-mawar 

bergegas dari giginya; pada genggaman

orang lapar itu, timun-timun melelapkan

hidup mereka lebih dalam, di bawah kuku-kukumu

samudra mengerang dalam ranjangnya.


Berapa harga bumi.

Padang es besar tergelincir 

dan pembuluh-pembuluh yang pecah dari satu bola mata

terkejut di bawah cahaya, satu tangan ditanamkan

dan kubur merekah naik 

dalam sinaran matahari dan bergerak di jalan-jalan.


Yang Tidak Diketahui


Los Angeles mendengungkan 

satu lagu kecil — 

truk-truk menyusuri 

jalan pesisir itu

menuju Monday Market 

sesak dengan wajah-wajah kecil

yang berkedip dalam gelap. 

Ibuku bermimpi 

dekat jendela terbuka.

Pada papan pengering piring itu

punuk-punuknya yang kelabu terpanggang

tidak tersentuh, oven itu

menggebrakkan rahang besinya,

tetapi ini sudah berakhir.

Di hadapannya pada meja itu

ditata bagi begitu banyak orang

gelas apinya

padam.

Foto-foto yang kekanak-kanakan itu, 

surat-surat dan kartu-kartu itu 

berhamburan pada akhirnya. 

Orang mati itu terbakar sendirian

menjelang fajar.


Kepal Tangan


Besi tumbuh di kegelapan, 

ia bermimpi sepanjang malam 

dan tak akan mampu. Setangkai bunga 

yang membenci Tuhan, seorang anak

mencabiknya, yang satu ini

tak akrab pada apa pun.

Jum’at, larut,

Detroit Transmission. Andai aku hidup 

selamanya, cahaya kabur pertama

dari fajar akan membanjiriku

di sungai-sungai kecil yang dingin

di utara Pontiac.

Tadinya lapang tetapi tidak lagi.

Kuncup amarah, sulur 

berbelit kehidupanku, di sini

pada pagi yang dipalsukan

diisi dengan apa pun -- air,

cahaya, darah -- kecuali yang mengenyangkan.


Namaku


Seorang anak melihat namaku melewati 

awan-awan merah muda yang bergerak perlahan 

ke arah matahari terbenam, dan ia berkata, 

“Philip Levine?” seolah-olah bagaimanapun 

ia semestinya mengenali nama itu atau 

maknanya, dan begitulah aku hidup pada hari lainnya 

tetapi hanya sebagai suara itu dan sehembus 

napas berbau susu coklat. Malam itu 

huruf-huruf kehilangan satu sama lain dalam gelap, 

dan tatkala hari baru menyingsing hanya 

terdapat huruf “L” dan “e” yang 

telah bersanding bersama, sekarang berputar-putar di atas 

Ontario mencari sepatah kata benda maskulin 

dalam bahasa Perancis. Kedua huruf “P” besar dan kecil 

telah turun di Sungai Detroit 

sebagai, yang hidup, aku tak pernah berpikir untuk melakukannya

dan tenggelam bagai roda-roda yang terberai berputar 

dan berputar tanpa gandar hingga mereka 

tiba untuk beristirahat di dasar yang sunyi 

di sebelah kacamata hitam Morgan Sang Bajak Laut 

yang berhiaskan permata dan hancur berkeping. Huruf “v” 

lain kisah, putus asa untuk penceritaannya.

Huruf “h” tak pernah gembira melakukan hal-hal begitu sedikit.

Tiga huruf “i”, setelah lelah menjadi 

bahkan sebagai bagian terkecil dari sesosok manusia, pergi

mencari tiga kaki baru. “l” kecil 

dan “e” lain saling meraba-raba satu sama lain 

bagai sepasang kekasih di dalam neraka dan bersama angin 

mengembuskan udara sarat belerang

dari Del Ray, Michigan, melalui jiwa mereka

mereka berada di neraka. Itu menyisakan hanya

satu “n”, yang pernah tinggal bersamaku 

dengan nyaman seolah-olah itu adalah “my nose”

atau untuk mengatakan “notorious” kepada dunia

yang lupa bahwa aku terlahir untuk membuat masalah.

"n" itu ada di sana sekarang, keras kepala dan setia,

melalap asap yang memualkan dari tempat-tempat pengolahan bir

dan menenggak cordial exotis yang bocor

dari seribu satu toko pelat kromium

yang menjadi tempat tinggalku. Segala hal dariku berjejal

dalam “n” kecil itu, ketakutanku, harapanku,

kenanganku yang gemerlap tentang hujan, air mata

yang tak pernah kupelajari untuk menyerah dan sedikit

yang menitik dengan sendirinya, bekas luka

pada bahuku, seluruh gigiku yang tanggal,

sendawa panjang yang kuwariskan pada setiap fajar,

segala hal dariku berimpit dalam satu huruf yang mengatakan 

“nothing” atau “nuts” atau “no one” atau “never”

atau “nobody gives a shit.” Tetapi mengatakannya 

dengan gaya seorang anak lelaki rajin yang belajar

bicara sambil mengisap sebatang sigaret atau mengorek

hidungnya tepat ketika prokantor melambung di hadapannya

ke sebuah surga dari kata-kata tanpa makna.



Salt dan Oil


Tiga lelaki muda dengan pakaian kerja yang kotor 

dalam perjalanan pulang atau menuju sebuah bar 

ketika pagi menjelang siang. Ini bukan 

sebuah foto, ini satu momen

dalam kehidupan sehari-hari di dunia,

satu momen yang akan berlalu menjadi

biografi yang tak ditulis

dari kotamu atau kotaku

kecuali jika momen itu membeku dalam cetakan halus

dari sepasang mata kita. Aku memutar kepala

untuk membaca koran pagi dan kehilangan

kata-kata. Aku pergi ke jalanan 

selama satu jam atau lebih, berjalan perlahan

bahkan untuk pria seusiaku. Aku membeli

sebuah apel tetapi tidak memakannya.

Wanita tua yang menjualnya berkata 

mengenai tekstur dan getirnya, ia

tertawa dan pembuluh-pembuluh pada pipinya nampak coklat.

Aku memandang ke sungai ketika waktu 

menolak untuk bergerak. Sementara itu ketiganya

mulai memudar, menyerahkan

nama-nama dan suara-suara mereka, aura dari

asap dan pelumas mereka, aroma anggur tajam mereka. 

Kita harus menamai salah satunya untuk mengabadikannya, 

kita akan menamainya Salt, si tinggi pirang 

yang sepasang pergelangan tangannya terluka, yang merahasiakan 

sesuatu, serapah atau air mata, dan mengibaskan 

rasa lelah, sepasang mata birunya 

membengkak karena tak dapat tidur, kata-katanya 

porak-poranda pada tandukan dari napasnya.

Kita dapat pergi ke katedral 

dari masa kecilnya dan menangkap kembali

suara-suara yang adalah miliknya, kita dapat 

merebut kembali dirinya dari ambang api,

tetapi kemudian kita akan kehilangan yang lainnya,

seseorang yang kita panggil Oil, karena Oil

tengah merenung di celah-celah sempit

antara masa lalu dan masa kini, Oil bertahan

dalam arsip-arsip jam yang terkunci.

Sepucuk surat darinya memproklamirkan, “Presidenku

yang Terhormat, saya lebih memilih tidak . . .”

Satu lengannya tersampir menutup punggung 

Salt, mulutnya lebar oleh tawa, 

rambut hitam mengaburkan dahi, 

ia ulurkan tangan kanannya, terbuka 

dan kotor untuk mengurus rantai berkarat, 

laher yang rekat pada as, sepasang tangan berparut 

dari orang tak dikenal, tiada yang 

tak dapat ia lakukan. Kedua orang ini bukan 

sepasang saudara, yang satu tinggi dan serius, 

berhidung panjang persis bangsa Slavia, bermata putih pudar, 

mulut yang terengah tersinggung oleh surat kabar 

lalu lintas, sedang yang satu lagi bersenang-senang 

bersama kami di waktu pagi menjelang siang ini 

di surga. Jika kau bertanya padanya, 

“Apakah kau meredakan air yang bergolak?” 

ia akan tersenyum dan menggoyangkan kepala tampannya, 

tidak yakin dengan maksud ucapanmu. Jika kau menanyakan 

sumber kegembiraannya ia akan mengangkat bahunya 

yang berisi dan menggulirkan sepasang matanya 

ke atas ke tempat di mana daun-daun berputar 

menerima angin, dan burung-burung kota berwarna kelabu 

bergegas terbang ke arah mangsanya, dan awan-awan pipih 

menuliskan wasiat-wasiat samar mereka 

di udara. Sesaat 

energi yang menjadikan diri mereka 

sebagaimana adanya memecahkan cahaya siang 

ke dalam sepasang mata kita, dan ketika kita melihat 

kembali mereka telah tiada dan nampak sunyi 

itu jalanan, bertukar hari menjadi 

malam, dan berlangsung musim gugur 

di ini tahun. “Lelaki ketiga,” 

kau bertanya, “siapa lelaki ketiga 

dalam foto itu?” Tidak ada 

foto, tidak ada misteri,

hanya Salt dan Oil

dalam kehidupan sehari-hari di seluruh dunia,

tiga lelaki muda dengan pakaian kerja yang kotor

dalam perjalanan mereka di bawah selingkar halo

dari awan-awan yang tercabik dan burung-burung kota yang amat lapar.

Ada asap dan pelumas, ada 

lelah milik pergelangan tangan, ada suara tawa,

ada huruf yang macet pada jam 

dan bau tajam buah apel, sungai 

melancar di sepanjang tepiannya, kini

lebih gelap tinimbang langit yang turun

untuk terakhir kalinya menyebarkan berlian-berliannya

ke dalam perairan hitam ini yang mengandung

hari yang telah berlalu, malam yang akan tiba.


______ 


Penulis

Philip Levine (lahir pada 10 Januari 1928 di Detroit, Michigan, A.S.—wafat pada 14 Februari 2015 di Fresno, California) adalah seorang penyair Amerika yang hidup di kalangan pekerja urban. Ia memenangkan banyak sekali penghargaan bergengsi dan menjadi U.S. poet laureate (2011–12). Dalam puisinya Levine mencoba untuk bicara mewakili mereka yang kecedasannya, emosinya, dan imajinasinya dibatasi oleh kondisi pekerjaan yang kasar dan membosankan. Puisi-puisinya menawarkan gambaran grafis tentang kota-kota yang kelabu, percakapan dan tindakan yang tak berarti, penghinaan halus, perampasan, dan keputusasaan. Levine menulis dalam bentuk sajak bebas dan dalam larik-larik dengan ritme yang bervariasi, dan bahasanya jelas. Kendati perhatian Levine pada kebrutalan kehidupan modern, ia juga menulis puisi tentang cinta dan sukacita. Dari banyaknya buku kumpulan puisi karyanya, antara lain: On the Edge (1963), They Feed They Lion (1972), Ashes (1979; pemenang National Book Award), dan A Walk with Tom Jefferson (1988). 


Penerjemah

Karst Mawardi, lahir di Banjarmasin pada 28 Juni 1999. Bekerja di salah satu sekolah dasar di Kota Banjarmasin. Di samping kesibukannya, ia juga melakukan studi untuk mempersiapkan naskah puisinya, Tendensi.



Sumber Teks Asli Puisi

1. Berapa Harga Bumi (How Much Earth) dari laman: https://www.poeticous.com/philip-levine/how-much-earth   

2. Yang Tidak Diketahui (The Unknowable) dari laman: https://www.best-poems.net/philip_levine/the_unknowable.html 

3. Kepal Tangan (Fist) dari laman: https://www.best-poems.net/philip_levine/fist.html 

4. Namaku (My Name) dari laman: https://www.poetryfoundation.org/poetrymagazine/browse?volume=134&issue=6&page=5

5. Salt dan Oil (Salt and Oil) dari laman: https://www.poeticous.com/philip-levine/salt-and-oil#google_vignette 


Sumber biodata 

Biodata penyair Levine  dikutip dan diterjemahkan dari: 

https://www.britannica.com/biography/Philip-Levine-American-poet 



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Thursday, March 27, 2025

Esai Fileski Walidha Tanjung | Bangsa Religius yang Rajin Korupsi

Esai Fileski Walidha Tanjung 





Pada sebuah konferensi filsafat di Prancis, Jean-Paul Sartre pernah berkata, "L'enfer, c'est les autres", neraka adalah orang lain. Kalimat ini, yang diucapkan dalam konteks eksistensialisme, terasa relevan dalam membaca paradoks besar di negeri ini: sebuah bangsa yang begitu religius, tetapi tetap terjebak dalam lingkaran korupsi yang seolah tak berujung. Indonesia, dengan masjid-masjid yang penuh setiap Jumat, gereja yang khusyuk setiap Minggu, dan ritual keagamaan yang begitu meriah di ruang publik, tetap menjadi rumah bagi kasus-kasus korupsi yang mencengangkan. Seakan-akan, moralitas hanya menjadi ornamen, bukan prinsip yang mengakar dalam kehidupan.


Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche dalam karyanya Beyond Good and Evil pernah menyinggung bahwa agama sering kali digunakan bukan untuk mencapai kebajikan sejati, melainkan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana religiusitas di Indonesia lebih sering beroperasi sebagai simbol dan identitas ketimbang sebagai pedoman moral yang benar-benar dijalankan. Para pelaku korupsi sering kali tampil dengan citra religius—mengenakan peci, berhijab, atau menyelipkan ayat-ayat dalam pidato mereka—tetapi di saat yang sama, mereka terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan bangsa.


Max Weber, dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, berargumen bahwa etika kerja dan moralitas yang kuat dalam sebuah masyarakat sering kali berkorelasi dengan kemajuan ekonomi dan rendahnya korupsi. Jika kita bandingkan dengan Denmark atau Norwegia—negara-negara dengan tingkat religiusitas rendah tetapi memiliki indeks persepsi korupsi yang tinggi—kita bisa melihat bahwa kejujuran dan integritas tidak selalu bergantung pada agama, tetapi lebih pada nilai-nilai etis yang diinternalisasi dalam sistem sosial.


Ada celah besar antara ritual dan moralitas. Agama di Indonesia sering kali dijalankan sebagai bentuk kepatuhan sosial, bukan sebagai dorongan internal untuk hidup jujur dan beretika. Hal ini yang membuat korupsi tetap subur meski setiap Jumat khotbah di masjid menyerukan kejujuran, dan setiap Minggu di gereja diajarkan tentang kasih dan keadilan. Agama menjadi semacam performativitas sosial, bukan transformasi batin yang sejati.


Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menuliskan bahwa absurditas terbesar manusia adalah ketika ia tahu sesuatu itu salah tetapi tetap melakukannya. Dalam konteks ini, absurditas itu begitu kentara dalam masyarakat kita: mereka beribadah dengan penuh penghayatan tetapi tetap mencurangi sistem ketika ada kesempatan. Mereka mencela korupsi di depan publik tetapi melanggengkan nepotisme dalam lingkup pribadi.


Neurosains modern memberikan wawasan menarik tentang fenomena ini. Dr. Suzy Yusna Dewi, SpKJ, Subsp AR (K), MARS, Kepala Unit Neuroscience, Mental Health, and Human Performance di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, menjelaskan bahwa korupsi dapat dipahami melalui tiga fungsi eksekutif otak: pengambilan keputusan berbasis etika, kendali diri, dan pemaknaan hidup. Ketika ketiga aspek ini tidak selaras, seseorang dapat tetap menjalankan ritual keagamaan tanpa merasa bersalah saat melakukan kecurangan. Dengan kata lain, seseorang bisa religius secara ritualistik, tetapi secara moral lumpuh. 


Namun, apakah ini hanya masalah individu? Tidak. Sistem yang korup akan melahirkan individu yang korup. Antonio Gramsci dalam teori hegemoni kultural-nya menjelaskan bahwa kekuasaan yang korup tidak hanya menindas secara fisik, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif yang menerima korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Jika seorang pegawai negeri melihat atasannya mencuri tetapi tetap dihormati, kesadaran yang terbentuk bukanlah "korupsi itu salah", melainkan "korupsi adalah bagian dari permainan yang harus dimainkan dengan cerdas".


Di sini, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah religiusitas yang kita anut benar-benar membawa kita lebih dekat pada keadilan, atau hanya menjadi ilusi yang kita pelihara untuk membenarkan diri sendiri?


Di titik ini, kita harus bertanya: apakah agama di negeri ini benar-benar menjadi jalan menuju kebajikan, ataukah ia hanya menjadi sekadar panggung tempat kita memainkan peran suci yang berjarak dari realitas? Jika agama sekadar menjadi ritual tanpa substansi, maka ia tidak lebih dari topeng yang dikenakan di hadapan publik, sementara di baliknya, wajah kejujuran telah pudar. Jika moralitas tidak dihidupkan dalam tindakan nyata, lalu untuk apa kita memuja nilai-nilai yang kita khianati sendiri?


Barangkali, kita perlu menggeser cara pandang terhadap makna religiusitas. Religiusitas sejati tidak terletak pada seberapa sering seseorang melafalkan doa, tetapi pada seberapa dalam nilai-nilai moralnya tertanam dalam setiap keputusan yang ia buat. Religiusitas tidak boleh berhenti sebagai identitas kolektif yang dipakai untuk meraih legitimasi sosial, melainkan harus menjadi prinsip etis yang memandu tindakan, bahkan ketika tidak ada yang melihat.


Sejarah telah menunjukkan bahwa perubahan besar dalam masyarakat tidak pernah dimulai dari seremoni atau pidato kosong, melainkan dari pergeseran kesadaran individu. Mungkin, revolusi yang kita butuhkan bukanlah revolusi politik atau ekonomi semata, tetapi revolusi batin—suatu pergeseran dari religiusitas yang hanya simbolik menuju religiusitas yang substansial.


Lantas, bagaimana kita ingin dikenang oleh generasi mendatang? Sebagai bangsa yang sibuk membangun masjid dan gereja, tetapi membiarkan keadilan runtuh di bawah kaki para pemimpin yang rakus? Ataukah sebagai bangsa yang benar-benar menghidupkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari, di dalam dan di luar ruang ibadah?


Pertanyaan ini bukan sekadar renungan akademis, tetapi panggilan untuk bertindak. Jika kita menginginkan bangsa yang bersih dari korupsi, maka kita harus lebih dulu jujur pada diri sendiri: apakah kita sudah benar-benar menghidupkan nilai-nilai yang kita klaim kita yakini? Atau kita hanya sedang memainkan peran dalam sandiwara besar, di mana Tuhan hanya menjadi penonton yang kita abaikan setelah tirai ditutup. 


______

Penulis


Fileski Walidha Tanjung, adalah seorang penulis dan pendidik yang aktif menulis esai, puisi, dan prosa di berbagai media.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com

Friday, March 21, 2025

Puisi-Puisi Polanco S. Achri

Puisi Polanco S. Achri




Kepada Duryudana, Anakku

 

Oh, Duryudana, Anakku, mestilah dirimu tahu, bahwa seorang bisa

hidup tanpa mata; tetapi tiada bisa bila tanpa kenangan di kepala.

Dan kenangan yang kupunya, Duryudana, hanya sebuah sahaja,

hanya perjumpaan dengan seekor ular purba: ular yang sama

dengan yang suguhkan Khuldi pada Hawa. Digigitnya

sepasang mataku dan berkata seolah sabda: Oh, Drestarata,

yang akan dirimu lihat, di kehidupan nanti, hanya pertunjukan

berwarna merah, pertunjukan yang basah oleh darah; dirimu

lebih butuh sepasang telinga dibanding sepasang mata lebih butuh

menyimak suara dibanding saksikan lakon-cerita yang amat gulita

yang amat menyiksa!

 

(2019—2025)

 

 

Sepasang Mata yang Buta

 

            1.

Oh, Dewa-dewa yang gemar menunggu, telingaku

masih bisa mendengar suara; lidahku masih bisa bersabda;

dan sepasang tanganku masih bisa meraba benda; bahkan

hidungku masih bisa mencium aroma duka. Akan tetapi,

kenapa para tetua Astina tiada rela bila diriku, Drestarata,

menjadi raja—selama Pandu, adiku, masihlah ada?

 

            2.

Aku bisa mengingat suara Gandari; bisa meraba

tubuh halus-sintalnya; bisa mencium aroma wangi

kembang tubuhnya; bisa merasa lembut bibir serta

yoninya. Akan tetapi, sekalian tiada percaya jika

aku, Drestarata, adalah suami Gandari; hanya

karena tiada dapat genap kubuktikan, di balik kain

penutup matanya, tertulis nama Pandu, tertulis nama

saudaraku yang dikutuk pandita tua tersebab suatu tabu.

 

            3.

Meskipun buta sepasang mata, aku tetaplah manusia

yang bisa menangis dan menjatuhkan airmata; tetaplah

manusia yang bercita bebas dari derita, dan berharap kuat

kala maut datang menjemput—meski datang begitu lembut.

 

(2019—2025)

 

  

Kepada Gandaraiku

 

            1.

Mata adalah gerbang hati, kata seorang pandhita sakti. Lalu,

bila tertutup matamu, dengan kain tebal itu, oh, Gandariku,

bagaimanakah pula caranya masuk ke dalam sepi hatimu?

Memang buta sepasang mataku tapi sungguh terbuka

bagimu senantiasa. Karenanya, dirimu bisa masuk

ke dalam hatiku dengan sesuka. Dan cinta, Gandariku,

tiada buta seperti yang dirimu kata—sehingga dirimu mesti

menggenapi dengan mengikat kain di sepasang mata. Cinta,

Gandariku, adalah bisik yang menggoda; adalah bisik

yang membuat seorang buta, sepertiku, terjatuh ke dalam

palung yang teramat maha . . .

 

2.

Duh, Gandari, apa dirimu masih sesali, sebab istri Pandu

bukan dirimu menjadi? Jika iya, sesalilah yang ingin disesali.

Akan tetapi, kini, Gandari, jawablah tanyaku, apa dirimu yakin,

Pandu dapat genap memandu? Apakah karena matanya dapat

melihat dan terbuka, lantas dengan serta merta segala soal

jadi tepat untuk dikata, diterka dan dilaksana?

 

(2016—2025)

 


 

Sabda Sengkuni kepada Duryudana sebelum Pertempuran Akbar

 

Keponakanku, mestilah dirimu tahu, bahwa masa depan

adalah sebuah permainan tebak-tebakan, bahwa masa kini

adalah sepasang dadu, dan masa lalu adalah tangan gaib

yang mengocok sepasang itu! Kemenangan, bagimu,

Keponakanku, seperti yang diajarkan tetua-tetua itu,

bukanlah pilihan; tetapi suatu keharusan. Namun,

izinkan aku bertanya padamu: Apa asyiknya bertaruh

pada sesuatu yang pasti akan dimenangkan? Perjudian

yang demikian tiada mengasyikan! Sungguh, setelah

kalah seratus kali, dan dirimu masih betah untuk percaya,

bahwa ada kemenangan sesudah itu, maka sungguh dirimu

adalah keponakanku! Karenanya, pertaruhkanlah semua.

Pergilah ke ibundamu, Keponakanku, minatalah ajian itu.

Andaipu kalah, marilah kita kalah dalam kemegahan!

 

(2020—2025) 

 


Adegan setelah Membuka Kain Penutup Mata guna Putra Tertua

 

Saat kain penutup mata kubuka, kupandang tubuh telanjang putraku

yang tertua, Duryudana; dan jadilah kebal tubuhnya—sebab sakti netraku

yang telah bertapa. Akan tetapi, betapa bergetar hati kala dikatanya:

 

Ibunda, seluruh tubuh sahaya kini telah kebal, sebab telah dipandang

sakti netra yang memancar. Akan tetapi, Ibunda, bukankah hati sahaya

tiada genap dipandang sepasang itu mata? Karenanya, apabila ada

lembut jarum kenai hati sahaya, tetaplah sahaja sahaya akan dapati luka.

 

(2024—2025)

 

 

Dua Perempuan di Bawah Pohon yang Kering Tanpa Daun

 

            Nimas Gandari, apakah benar kiranya, di balik penutup matamu,

            tertulis nama suamiku, tertulis nama Kanda Pandu?

 

Oh, Rayi Kunthi, apakah benar pula kiranya, sebelum berjumpa

dengan Pandu, dirimu telah membuang putra—yang adalah

Adipati Angga, lelaki yang dikenal sebagai Karna putra Radha?

 

Nimas Gandari, apakah dirimu pernah bermimpi menikahi

Kanda Pandu dan melahirkan Pandawa berjumlah seratus satu?

 

Oh, Rayi Kunthi, apakah dirimu pernah membayangkan, pabila

menikahi Drestarata, seorang yang ingin meminjam sebelah mata,

dari pujangga istana, hanya supaya bisa melihat wajah istrinya?

 

Sebuah mantra yang dikata anugerah telah membawa musibah, telah

membawa serangkaian susah. Andai mantra itu tiada diberi padaku,

mungkin sahaja tiada akan benar aku menderita—

 

Menyesalah, Rayi Kunthi. Sesalilah yang mesti disesali. Namun,

semua tiada bisa diulangi kembali, tiada genap bisa diperbaiki. Aku,

Gandari, hanya bisa menyesali juga mengutuki. Sedih ini hanya

sejenis bukti: kita manusia biasa, meski melahirkan anak-anak dewa.

 

(2019—2025)

 

 

Bhisma sebelum Perang Akbar Dimulai

 

Apabila kupilih tahta dan jadi seorang raja Astina, juga

tiada jadi pandita-petapa, apakah perang di Kurusetra

bisa dicegah terlaksana? Apabila tiada kuangkat sumpah

berganti nama, apakah perang ini kan tetap terlaksana?

Oh, Dewi Gangga, Ibunda yang kucinta, kenapa dadaku

kering selalu? Oh, Amba, apabila aku bercinta denganmu

apa perang ini bisa sirna? Ah, apakah benar sabda itu,

bahwa yang bisa menyembuhkan asmara hanya

perang agung yang begitu maha?

 

(2024—2025)


 

Adegan yang Lain, Percakapan yang Lain

 

Aku tiada mau ke Kurusetra, Krisna, sebab ada

perang lebih besar yang harus kumenangkan.

 

Perang di dalam hatimu? Itu hanya umpama,

Arjuna. Itu hanya sanepa, hanya bunga bahasa.

 

Ya. Memang umpana, memang sanepa,

bunga bahasa. Dan itu seperti ucapanmu, Krisna.

 

(2024—2025)

 


 

Percakapan Akhir Drestarata dan Gandari sebelum Sirna

 

Apakah setelah kita mati segala derita

akan sungguh-sungguh berhenti?

 

Setelah mati, barangkali hanya lega,

hanya kembali menjadi Hampa.

 

Apa dirimu bisa membayangkan

warna neraka, Suamiku?

           

Aku bisa melihat dengan jelas surga,

Gandariku.

 

(2024—2025)

 

______

Penulis


Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Ia menulis puisi, naskah drama, dan esai-esai tentang seni. Selain menulis, terkadang, ia menyutradarai pertunjukan teater dan menguratori pameran. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan Instagram: polanco_achri.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com