Esai Bagus Styoko Purwo
Bumi dan seisinya disediakan khusus untuk umat manusia. Di langit tertinggi, bantahan malaikat atas penciptaan manusia pertama Tuhan buktikan dengan kesanggupan dia menyebutkan nama-nama ciptaan-Nya. Mahasuci sang Pencipta yang selalu menciprati hikmah di balik kemahaan-Nya.
Sejarah kehidupan manusia pada periode kemunculannya adalah menyuburkan keturunan, membuat garis-garis tangan sesuai apa yang saat itu dapat diperbuat. Catatan sejarah menjelaskan nomaden adalah jalan hidup mereka. Kalau kita sempat membaca kitab suci, Bapak Adam dan Ibu Hawa adalah perantara berkembangnya populasi manusia untuk tujuh keturunan. Garis keturunan mulai terlihat dari situ.
Lalu pengisahan para nabi dan rasul memperjelas zaman berlangsungnya kehidupan. Misi utama umat manusia sampai dengan sekarang adalah memperindah dunia. Secara makna boleh diartikan mengada-adakan yang sebelumnya tidak ada, membagus-baguskan yang sebelumnya tidak arstistik atau yang sejenis dari itu-asal sesuai dengan hajat besar manusia: laba.
Membahas laba membahas juga alat pengaitnya. Laba adalah kepuasan kuantitatif atas pencapaian selama satu putaran waktu. Apa pun yang telah berlangsung atau akan berlangsung, diam-diam ada laba di dalamnya. Di belakang setiap keputusan ekonomi juga labalah pemicunya. Perdebatan sengit dipelopori oleh laba, maka laba adalah sentral dari bahasan utama kehidupan kita.
Orang-orang bekerja motivasinya perolehan laba. Sebut gaji, upah, honorarium atau yang semakna menggiurkan dari itu. Profesionalitas memperkuat daya kinerjanya untuk menggaet laba. Bekerja secara profesional begitu linear dengan laba yang menggoda. Kalau bekerja sedari awal tidak berangkat dari ketulusan, dinamika batin dan kesadaran si pekerja berputar sampai menemukan cahaya terang bahwa bekerja yang sejati itu bla bla bla, bahwa ada loh yang esensial ketimbang profesionalisme. Ada yang ingin menambahkan lagi ....
Diam sejenak di kisah yang terbilang unik dan saya tidak yakin apakah itu pernah ada atau hikmah isapan dari penulisnya: seorang penjual cendol umumnya senang jualannya cepat habis. Bersyukur sekali bisa pulang sebelum asar habis. Setidaknya ia bergembira sesaat menerima pesanan melimpah dari pembeli yang mendadak menyetop gerobak cendolnya.
"Kalau cendol ini Bapak beli semua, bagaimana dengan pembeli lain ingin juga membeli?"
Laba maksimal tidak menjadi orientasi dagangnya.
"Kan dagangan Abang saya borong semua. Enak, jadi bisa pulang agak siang," tanggap pembeli seolah menyadarkan peran sebagai pedagang keliling.
Pemahaman yang tidak biasa menjadi keyakinan kokoh dalam diri abang cendol. Saya merasa ia tidak sedang bertransaksi secara wajar. Ia seperti mendapat penjagaan dari materialisme. Keumuman pulang membawa laba tidak lebih agung daripada menjaga ketenteraman batin. Batin yang tenang rupanya dengan membatasi hasrat diri terhadap kalkulasi rupiah ke rupiah. Membagikan kebahagiaan dengan menyediakan cendol segar kepada para pembeli lainnya. Abang cendol dalam kisah pendek itu mampu menembus kesadaran bapak pembeli yang sesampainya di rumah menyesali adanya seselip serakah di hatinya. Bagi Anda yang pernah mendapati kisah ini anggaplah sebagai penguat ingatan diri tentang bekerja versi takaran cendol.
Sampai sedewasa ini saya masih sering kebablasan memaknai bekerja sebagai profesi. Ketika mendapati penugasan terbayang jumlah yang masuk ke rekening di awal bulan. Selesai pekerjaan otomatis tebersit lagi tawaran pekerjaan yang menyebabkan tambahan ke rekening. Keuntungan menjadi pertimbangan dasar sebuah pekerjaan dilaksanakan. Lumrah. Sebab keahlian bukan sesuatu yang murah, remeh, apalagi ditukar dengan ungkapan terima kasih. Tapi pada medan kejadian tertentu, keuntungan berbentuk pengakuan, testimoni atau portofolio kiprah justru dicari-cari.
Kepenatan karena bekerja, kejenuhan karena rutinitas pekerjaan, atau disorientasi pekerja - pemicu yang menghubungkan semua itu tidak adanya spirit bekerja. Saya boleh artikan itu sebagai cahaya yang menerangi ruang pekerjaan. Kondisi temaram tidak jelas apa-apa yang ada di sekitar. Kondisi gelap malah menghentikan langkah pencarian apa-apa yang bisa terjamah. Sedapat mungkin cahaya memberikan rasa yakin terhadap apa-apa yang akan dikerjakan.
Bekerja, pekerjaan, selanjutnya dengan model pemaknaan apa yang tepat guna sesuai dengan kondisi zaman. Saya tawarkan pendekatan modern dan pendekatan risalah agama.
Pendekatan modern sejalan dengan temuan-temuan empiris tentang pengaturan kinerja manusia. Manusia yang produktif mengacu pada indikator: usia, keterampilan diri, dan lingkungan kerja. Usia muda sarat dengan progresivitas. Idealisme mencolok dan sebagai seragam usia muda. Keterampilan terbentuk melalui training, workshop dan jam terbang di bidang yang sama. Lingkungan kerja merupakan praktik organisasi antarsesama yang menghubungkan bagian dengan bagian. Lingkungan kerja yang sehat tidak memelihara persaingan sengit dengan motif menjatuhkan bagian lain. Pendekatan modern selalu mengacu saling menguntungkan. Pemberi kerja mendapatkan sumber daya manusia, pekerja mendapatkan kompensasi finasial. Sekilas sama rata.
Pendekatan risalah agama menyadarkan peran manusia diciptakan untuk beribadah semata. Beribadah yang dipahami kemudian tidak melulu ritual vertikal. Segala tindakan yang difokuskan kepada sang Pencipta, itulah bentuk ibadah.
Bekerja sebagai ibadah belum begitu populer dijadikan pedoman. Apa untungnya menganggap bekerja sebagai ibadah? Yang diperlukan di dunia adalah uang, bukan balasan pahala. Memang hidup manusia terbatas, karena itu kumpulkan uang sebanyak-banyaknya, bekerja sekeras-kerasnya agar jalannya nikmat dunia tidak dilalui oleh mereka yang giat siang malam.
Pekerja yang menjadikan pekerjaan sebagai jalan ibadah, mereka memperoleh dua tujuan sekaligus. Kalau pun mereka kaya, maka kekayaannya itu karena keberkahan ibadah dalam bekerja. Dan seandainya mereka mati ketika merampungkan pekerjaan, maka kematian mereka begitu mulia karena tetap menjalankan misi utama sebagai ciptaan-Nya.
Jalan lain bekerja agar kita tidak merasa sumpek karena keterbatasan dari banyak sisi. Gaji tidak seberapa, tapi enak dijalani. Karier biasa saja, tapi target-target duniawi terpenuhi, tidak merasa payah mengejar materi namun berkah turun tak henti-henti. Bagaimana kalau kita maknai bekerja sebagai panggilan dalam diri untuk menjalani misi ciptaan, menyakinkan itu sebagai prinsip bekerja maka saya wajib menguatkan terus. Dan jalan lain bekerja untuk para pekerja, kembali pada jatah masing-masing.
Penulis
Bagus Styoko Purwo, penikmat bacaan dan mengajar di SMK Ananda, Bekasi dan PTN.