Esai Panji Pratama
Saya berlari ke sayap kanan. Meskipun tidak berteriak, saya melambai-lambaikan tangan. Teman satu tim saya melihat ke arah saya, lalu langsung mengoper bola dengan cepat. Saya sempat mengedip lambat karena gugup. Entah di mana bolanya, saya tidak kuasa melihat. Pokoknya, dalam pikiran saya, yang terpenting adalah menendang langsung saja. Saya yakin gendang telinga saya mendengar sayup-sayup suara, “Masuk … Pak Eko …!”
Saya belum sempat membuka mata. Namun, tiba-tiba teman saya yang tadi mengoper bola berteriak,
“Mantul!”
Baru mata saya terbuka.
“Loh, kok? Masuk atau mantul?”
Mungkin ucapan teman saya itu didengar oleh tim lawan. Kebetulan, pertandingan futsal ini hanya main-main tanpa wasit. Kontan saja, salah satu anggota tim lawan yang juga teman saya bilang,
“Mantul, tuh!”
Saya semakin heran. Kening saya dikerut-kerutkan. Rasanya, saya mencetak gol, tetapi kok agak membuat kesal juga nih sepertinya.
“Mantul bagaimana, bukannya masuk tadi?”
Tiba-tiba pertandingan berhenti. Teman-teman bertanya kenapa saya jadi tiba-tiba emosi. Saya bilang saya pasti emosi, kok teman-teman satu tim bukan membela gol, malah bilang “mantul”. Sejak itulah, dunia benar-benar hening selama dua detik hingga mendadak meledak tawa semua pemain dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya.
Saya pun terdiam. Saya minta rehat sejenak untuk membuka kitab paling mutakhir dalam dunia aplikasi android: KBBI. Penasaran saya tidak terjawab karena memang tidak ada pengertian yang sama seperti yang saya duga terhadap kata “mantul”. Adapun kata yang saya duga itu adalah memantul. Berasal dari kata dasar pantul, yang berarti ‘bergerak balik karena membentur sesuatu atau karena refleksi atau menganjal (seperti bola dilemparkan ke dinding)’; ‘mengambul’; ‘melenting’.
Kata ini sering kali disalahgunakan oleh para penggunanya menjadi mantul, dengan alasan menyingkat dari memantul. Tragedi bahasa ini sering terjadi dan senasib dengan verba-verba yang kata dasarnya berawalan [p] dan bertemu imbuhan me- lain, antara lain pagut menjadi magut, pajang menjadi mejeng, pampang menjadi mampang, atau pancar menjadi mancer. Bahkan ada pula beberapa nomina yang ikut-ikutan instan seperti pacul --> memacul --> macul.
Ada beberapa sebab yang menjadikan perubahan pengucapan kata tersebut. Jika diteliti dari pembentukan bunyi bahasanya, ada tiga faktor utama yang terlibat, yaitu (1) sumber tenaga, (2) alat ucap penghasil getaran, dan (3) rongga pengubah getaran. Nah, dari sinilah, kita mengenal daerah artikulasi, yakni daerah pertemuan antara dua artikulator. Beberapa kata yang dihasilkan dari pertemuan antara bibir atas dan bibir bawah (kedua bibir terkatup) disebut bilabial, misalnya saja kata-kata yang berawalan huruf [p], [b], [m]. Bisa jadi pembentukan kata-kata dalam bahasa Indonesia terpengaruh oleh faktor alamiah ini, misalnya saja pati menjadi mati.
Selanjutnya, faktor pertama pula yang mempengaruhi nasalisasi. Keunikan pembentukan beberapa kata dalam bahasa Indonesia ini bersangkutan dengan bunyi bahasa yang dihasilkan dengan mengeluarkan udara melalui hidung, yaitu m, n, ng, dan ny. Nah, dalam nasalisasi konsonan, kita bisa temukan nasalisasi konsonan yang tidak bersuara (luluh), contohnya konsumsi + me- = mengonsumsi (konsonan /k/ luluh), taat + me- = menaati (konsonan /t/ luluh), sapu + me- = menyapu (konsonan /s/ luluh), populer + me- = memopulerkan (konsonan /p/ luluh). Sayangnya proses nasal ini sering kali pilih-pilih. Beberapa kata seolah tabu untuk dinasalkan, seperti kata memopulerkan karena terbiasa menggunakan kata mempopulerkan.
Terakhir, sepertinya pengaruh bahasa daerah adalah alasan lain terjadinya pembentukan bahasa dari [p] ke [m] ini. Beberapa kata dalam bahasa Sunda contohnya, biasanya memengaruhi pengguna bahasa Indonesia untuk mengikuti cara pembentukannya. Kata meuli (beli) dan muter (putar) contohnya.
Oke, saya tahu kenapa saya bisa salah persepsi dengan ucapan teman saya sewaktu main futsal tadi. Kata mantul yang diucapkan teman-teman saya bukanlah dari kata memantul. Jadi apa dong? Teman saya, membuka kamus gaulnya dan memperlihatkan padanan kata mantap betul yang diakronimkan menjadi mantul.
Waduh, apa pula ini?
Penulis
Panji Pratama, penulis novel dan pemerhati bahasa.