Oleh Encep Abdullah
Sumber: Instagram |
"Assalamualaikum Kak? Mau nanya, aku bisa nulis nggak ya, Kak?"
"Waalaikumsalam. Maaf ini dengan siapa? Kok nanya sama saya? Coba tanyakan pada rumput yang bergoyang."
"Ya Allah Kak. Ini aku, ... Kak."
"Oh, .... Kirain Anya Geraldine."
"Ye, Kakak nih."
"Ada apa kamu tiba-tiba nanya gitu? Lagi galau ya?"
"Enggak Kak. Aku tuh lagi ikut lomba nulis novel. Tapi waktunya cuma tiga puluh hari doang. Ya galaulah Kak. Bisa gak ya aku tuh?"
"Bisa."
"Kalau ceritanya jelek gimana Kak?
"Kalo bagus gimana?"
"Kak, aku kirim cerpenku ya. Coba sampean nilai ya Kak? Koreksiin dong Kak. Kakak kan pinter, penulis betulan."
_______
Itulah percakapan WA saya dan dia, anak didik saya, adik saya, tidak tahu anak siapa. Saya yakin dia akan baca catatan ini. Dia dulu datang kepada saya, lalu mendadak menghilang. Sekarang mendadak datang lagi, dan pasti akan hilang lagi. Apakah saya sedang di-ghosting?
Kalau dia bertanya kepada saya bisa menulis atau tidak, ya saya juga bingung. Yang lucu bentuk pertanyaannya itu loh, "Aku bisa nulis gak ya Kak?" Dalam hati saya pengin jawab, "Aku bisa jawab gak ya?" Tapi, malah jadi ikut lucu.
Bentuk pertanyaan Anya Geraldine ini, eh si dia ini, bisa saya tafsirkan lebih dari satu makna. Dia bertanya macam itu karena (1) dia tahu kalau dia bisa menulis, tapi butuh keyakinan dari orang lain, (2) tulisannya memang jelek dan dia memang butuh pencerahan, (3) dia ingin menunjukkan bahwa dia punya tulisan yang dianggapnya bagus dan saya harus tahu, (4) dia iseng.
Kalau dia itu nomor (1), dia cuma basa-basi saja dengan pertanyaannya itu. Misalnya, saya tahu saya bisa menulis, tapi saya butuh sosok yang minimal sudah teruji daya tahan tubuhnya untuk men-acc bahwa saya penulis. Tapi, langka sebenarnya orang seperti ini. Kalaupun ada, biasanya buat ngetes orang yang dia tanya. Saya pernah juga seperti itu, kadang saya geli mendengar ceramah orang yang saya tanya itu. Saya lihat si Anya Geraldine ini tidak ada indikasi ke sini.
Kalau dia itu nomor (2), dia memang harus diselamatkan. Di sini dia memang sadar bahwa dia butuh bimbingan. Tapi, dia tidak yakin apakah tulisannya itu bagus atau tidak. Nah, saya yang lebih tahu, tulisannya memang jelek. Tentu, saya harus kasih motivasi ala Mario Encep Abdullah. Kalau tulisannya banyak jin jahatnya, harus saya rukyah. Orang awam seperti ini butuh perhatian. Jangan diabaikan, kasian. Kalau diabaikan biasanya akan lari ke guru yang lain yang belum tentu tahu karakter dia. Dia minta tolong kepada saya karena dia tahu kapasitas saya sebagai siapa dan posisi dia juga siapa. Padahal sebelumnya sudah sering saya berikan wejangan dan contoh bahwa tulisan yang bagus itu begini dan begini. Dulu, mungkin dia cuek, sekarang karena ada semacam kebutuhan, dia kembali.
Kalau dia itu nomor (3), itu seperti saya banget yang dulu, dulu ya, selalu ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa tulisan saya bagus, terlepas saya anak bawang atau bukan. Saya pernah mengirimi surel kepada penulis muda berbakat waktu itu, Wa Ode Wulan Ratna. Saya masih kuliah dan saya masih belajar. Wa Ode menjadi pembicara di Pusat Dok. Sastra H.B. Jasin waktu itu. Saya tertarik dengannya dan ingin berkenalan jauh. Salah satu caranya adalah saya menunjukkan kepadanya bahwa saya punya cerpen, dia harus tahu.
Saya bilang mohon koreksi cerita saya. Saat itu, saya sudah menganggap cerita-cerita saya itu sudah keren karena sudah dimuat di koran. Saya sih yakin, dia pasti akan bilang cerita saya bagus. Dan, ternyata saya salah. Dia bilang saya masih awam. Jujur, dalam hati, saya tidak terima dibilang awam karena meskipun saat itu saya masih belajar, cerpen saya sudah dimuat di koran loh. Anjir, saat itu segitunya otak kampret saya. Kalau saya ingat itu, saya malu bukan main.
Saya merasa hebat, tapi sebenarnya nol. Maklumlah masih remaja. Begitu pun saat saya bikin sebuah judul yang keren bangetlah pokoknya, saya mau pamer kalau saya habis baca buku ini dan itu, tapi ternyata guru saya tahu kalau saya cuma mau pamer. Hebat sekali dia. Pun saat saya kuliah, saya rajin menyodorkan karya ke dosen biar mereka tahu kalau saya bisa menulis dan wajib dapat nilai A. Tapi, pret semua itu! Nggak ngaruh.
Pun saya pernah sok caper dengan penulis-penulis besar bangsa ini. Biar apa, biar bisa dapat endors. Anying! Padahal saya hanya "merasa" bahwa karya saya bagus, sebenarnya sih iya kalau kata Aksan Taqwin Embe dan Yudi Damanhuri --yang ngefans saya. Nah, dari pernyataan ini kayaknya si Anya Geraldine yang sedang saya bahas di atas tidak ada indikasi ke nomor (3) ini.
Kalau dia itu nomor (4), dia kurang kerjaan. Tapi, kalau saya masih jomlo, saya pasti bakal ladeni sampai titik darah penghabisan.
"Aku bisa nulis nggak, Kak?" tanyamu. Kita nggak abadi.
Pontang, 7 Mei 2021