Puisi Sulaiman Djaya
Puisi Quantum
Terlalu banyak teka-teki
yang tak diketahui sains di jaman ini
sebanyak kebodohan
yang diulang-ulang televisi.
Tak ada salahnya jika sains menjelaskan
bagaimana hujan membuat seseorang
begitu gembira dan jadi kemalangan
bagi yang lainnya.
Tentu sains tak bisa menjelaskan
bagaimana usia dan takdir
tak dapat dirangkum
dalam sebuah rumus matematika
atau diukur dengan tata-ruang
seukuran rumahmu.
Apakah rasa cinta itu energi
ataukah gejala perubahan suhu badan?
Itu juga tak bisa dijelaskan
oleh probabilitas kuantum
atau geometri fractal
yang kau baca di sebuah buku diktat.
Tetapi puisi memang sebuah kelainan
dari cara berpikir seorang pedagang.
Seperti februari yang menulis
embun-embun di saat kau tidur.
Bahkan sepasang matamu lebih misterius
dibanding seluk-beluk jagat-raya.
Sekali lagi bukan hukum fisika
atau mekanisme evolusi
para penyembah Darwin
yang membuat kuncup jadi mekar
tetapi cinta dan gairah
yang senantiasa menyala ikhlas
di dalam dada.
Merangkai pengetahuan
dan permainan
dengan dunia yang tanpa batas
dan tak perlu alat ukur atau rumus
yang tak sanggup menghitung
hitam pekat atau pirang
gugusan rambutmu itu.
(2015)
Humor
Bersama butir-butir gula pasir kuaduk kegembiraanku
dalam segelas jus jeruk. Rasa asam dan manis
yang silih berganti di lidah seperti bahasa yang ingin sekali
menerjemahkanmu.
Di layar-layar televisi, para da’i lebih mirip orang-orang
yang jualan firman-firman suci
demi royalti dan biar jadi selebriti. Agama pun jadi slogan
dan tak ubahnya kemasan-kemasan iklan.
Jubah mereka tak berbeda dengan seragam resmi
para pekerja birokrasi di jaman komodifikasi abad ini.
Mereka hanya mengulang-ulang demi memenuhi amar produksi
para pemilik korporatokrasi.
Bermodalkan satu dua tiga ayat mereka pun sama-sama
ingin jadi konglomerat dengan mematuhi para korporat
dan angka-angka penyiaran. Jadi orang-orang sekular baru
yang jualan nama-nama Tuhanmu.
(2015)
2 comments