Resensi M. Nanda Fauzan
Judul: Nyamnyong
Penulis: Encep Abdullah
Penerbit: #Komentar
Tahun: Februari 2021
Ukuran: 12 x 18
Tebal: 140 hlm.
ISBN: 678-623-7630-60-9
Hasil pembacaan atas Nyamnyong, karya Encep Abdullah Paling tidak dua dasawarsa terakhir, geliat penulisan prosa kita—terutama cerita pendek—terasa sekali disesaki oleh kehendak untuk mengambil jarak pada segala yang konvensional. Berusaha melompat, atau mungkin melampaui, aturan-aturan dan formula yang kaku dan beku. Bahwa dalam cerita pendek, paling tidak ada unsur-unsur tertentu yang "wajib" terpenuhi. Para kreator kita—untuk tak menyebutnya sastrawan—bertungkus-lumus mengolah produk yang sama sekali berbeda baik dalam tataran bentuk maupun tema.
Barangkali, tradisi demikian dimulai sejak Cala Ibi, novel rumit yang menceritakan dirinya sendiri, sejenis metafiksi yang sadar bentuk (lihat kritik sastra Bramantio atas novel Nukila Amal ini, dalam Sayembara DKJ 2009). Atau dalam pengertian yang agak longgar, cerita-cerita pendek gelap khas Danarto dan olahan dialog pingpong ala Putu Wijaya boleh juga dimasukkan dalam jajaran peneroka. Upaya percobaan itu senantiasa harus diapresiasi. Sebab; pertama sebagai penolakan terhadap sesuatu yang final (sebagaimana yang saya ungkap di awal), kedua berpotensi medan medan pertempuran yang menagih segala keterampilan para pendekarnya—yang bukan sekadar—untuk tampil beda. Encep ada pada posisi itu.
Sejak membaca cerita pendek berjudul "Solilokui Strukturalisme Cerita Pendek dan Kematiannya di Tangan Cerpenis", telah terbaca bahwa Encep sedang mencoba-coba bentuk baru, dia menuangkan ceritanya dalam fragmen-fragmen yang mengacu pada struktur konvensional prosa: judul, plot, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain sebagainya.
Percobaan Encep hampir memukau. Di sana bisa kita temukan eksperimen yang bukan sekadar mengambil jarak pada yang mapan, tetapi sekaligus berusaha membuat parodi atasnya, atau dalam bahasa yang lebih kasar; menelanjangi sembarimengolok-olok. Di bagian "Judul" narator cerita Encep menyebut beberapa contoh judul prosa dari Putu Wijaya dan Benny Arnas, yang begitu kontradiktif; yang satu singkat-padat sementara yang lainnya panjang bukan kepalang. Dan praktik itu terus dilakukan di seluruh tubuh cerita. Dalam bagian "tokoh dan penokohan" ia mengungkap kecenderungan pilihan nama-nama tokoh, bahwa “tidak mau memberi nama tokoh seperti Ken, Boy, Jessen, atau berbau-bau barat” tetapi lebih tertarik pada “Durakhim, Sarkim, Somad, Juned, Gora”.
Saya menikmati cerita itu, sangat menikmati. Ada kenakalan, kegenitan, keberanian, meski kadang-kadang menjadi ajang atraksi yang menampilkan keluasan wawasan Encep sendiri. Tetapi, tokoh utama dalam cerita ini dibikin polos tak berdaya, dan narator dengan segala ungkapan-ungkapannya lebih terlihat sebagai sosok yang "banyak bacot".
Apabila rumus mendasar dari lelucon adalah posisi tak setara, di mana yang satu tampil sebagai pesakitan sementara yang lain jagoan, maka cerita ini berhasil membuat saya terhibur dengan cara yang elegan, rapi, cerdas, dan menjengkelkan.Tetapi sebatas pada cerita ini. Sementara pada cerita yang lain, saya sepakat dengan hasil pembacaan (Beliau menggunakan istilah "pemindaian") Kang Rois Rinaldi di kata pengantar, yang mengajak kita sejenak bertanya-tanya: “untuk apa?” pada kegemaran Encep membuat plesetan. Sebab, untuk disebut lucu pun belum, sementara masuk dalam kategori mengejek (baik dalam konotasi yang buruk atau yang baik) pun tidak. Meski begitu, Encep adalah penulis yang mapan dalam urusan teknik. Dan untuk membuat percobaan—terlebih yang radikal—para penulis memang harus melewati tahap craftmenship yang mendasar, membuat cerita yang konvensional. Ibarat pelukis, mereka tak mungkin langsung terjun pada gaya ekspresi yang macam-macam dan njlimet, tetapi belum mapan pada gaya realis.
Rangkain percobaan itu juga tertuang dalam cerita-cerita lainnya. Tetapi, harus digarisbawahi, bahwa beberapa cerita tak seekstrem "Strukturalisme Cerita Pendek dan Kematiannya di Tangan Cerpenis". Lihat, misalnya, "Solilokui Seekor Cicak", dan "Siapa yang Membangun Masjid?". Godaan untuk menulis yang liyan “Sudah, tiga kali,” demikian jawaban Encep ketika ditanya apakah dirinya pernah mampir atau melancong ke Baduy. Pertanyaan ini saya ajukan sebab, bagi saya, di antara semua cerita yang dikumpulkan dalam Nyamnyong, cerita ini satu-satunya yang mengandung banyak lubang dalam tubuhnya. Apabila tak dibarengi dengan teknik apik menyisipkan nilai-nilai budaya lokal dengan begitu soft (misalnya, adegan si pemuda Kanekes naik mobil, yang adalah larangan bagi komunitasnya) barangkali "Cerita Cinta Orang Kanekes" hanya akan menjadi naskah FTV yang tipikal.
Encep sebagai "Outsider", sebetulnya bisa mengolah dimensi ke-manusia-an tokohnya tanpa tendensi. Bahwa manusia adalah manusia adalah manusia adalah manusia, entah lahir di Kanekes, Zimbabwe, atau Timbuktu. Manusia selalu punya potensi untuk melakukan kesalahan dan kebaikan, berbudi baik atau buas (dengan standar moral apa pun).Tak ada yang bisa sepenuhnya jahat, tak ada yang mungkin sepenuhnya baik. Singkat kata tak ada yang sepenuhnya suci, kecuali Nabi Muhammad saw. Yang terhampar dalam "Cerita Cinta Orang Kanekes" adalah pelanggengan terhadap stereotip, over generalisasi. Bahwa orang Kanekes senantiasa polos, sehingga ia mau terjebak pada cinta yang—sebetulnya ia sendiri sadari—begitu platonis.
Dan bahwa orang tua di kota, yang tumbuh dengan hiruk pikuk modernitas, punya kegemaran menjatuhkan penghakiman pada kelompok lain. Dan sejumput kontradiksi lainnya. Dalam dunia nyata, stereotip semacam itu dengan mudah ditepis oleh data dan fakta jika hendak mengambil contoh ekstrem, kita akan temukan paradoks—yang diam-diam berusaha kita ingkari. Seorang pemuka agama mencabuli muridnya, sementara seorang preman membantu nenek-nenek menyeberang di lampu merah. Seorang bocah dari desa tak acuh pada lingkungan, sementara pemuda dari kota bergiat menanam pepohonan. Dan lain sebagainya. Tetapi perkara semacam itu memang lazim terjadi, terutama tatkala penulis berusaha memajalkan imajinasi terhadap sesuatu yang liyan, berusaha menulis adat, tradisi, kearifan lokal yang sama sekali jauh dan asing. Segala yang ia tulis kadangkala direcoki oleh framing media, oleh tatapan yang bias, sehingga keinginan untuk memuja tokoh yang autentik (Kanekes, dalam konteks Encep) dan mencela tokoh yang tereduksi oleh sengkarut modernitas (orang tua si perempuan dalam konteks Encep) bisa hadir.
Encep, begitu juga saya dan kalian semua yang membaca dan menghadiri diskusi ini, patut mempelajari apa yang dilakukan oleh Honore de Balzac, umpama, seorang pemuka aliran realis di Eropa, tatkala ia menulis tentang Jawa dalam Voyage de Paris à Java (Kembara dari Paras keJawa, terjemahan penerbit Mooi). Ia belum pernah menginjakkan kaki ke Nusantara, ke timur jauh, apalagi ke Jawa. Tetapi, mampu mengimajinasikan dan menuangkannya dengan cara yang jujur, lugas, dan indah. Empat kata untuk Encep dan Nyamnyong.
Saya sebenarnya ingin membuat catatan agak panjang, sebab ini adalah buku yang menarik. Tetapi, karena waktu dan segala kesibukan saya hanya bisa membuat catatan ringkas tak lebih dari seribu kata. Maka, segala yang ringkas itu akan coba saya ringkas lagi, dalam empat kata yang kiranya representatif.
Encep dan Nyamnyong= Elegan, cerdas, menarik, dan hampir.
Serang, 27 Maret 2021
Biodata Penulis
M. Nanda Fauzan, penulis lepas.