Cerpen John W. Jakes
Ini ruangan yang
sangat biasa. Ada empat dinding, langit-langit, dan lantai. Tetapi ini ruangan
baru bagi Thompson karena ia tidak pernah melihat sebelumnya. Ia berdiri
santai, mengamati ruangan tersebut. Ada sebuah meja di tengah-tengah ruangan.
Meja itu berwarna abu-abu, tetapi Thompson tidak dapat mengenali terbuat dari
apa meja itu. Seorang Bapak Tua berjanggut tipis duduk di balik meja tersebut.
Sebuah lilin menyala di wadah yang terbuat dari kuningan di atas meja.
"Permisi,"
ujar Thompson.
Bapak Tua itu
melihat Thompson. Ia menatap Thompson lama sekali. Malah, Thompson sampai
tidak ingat kapan Bapak Tua itu tidak melihatnya.
"Kau suka
cerita horor, baiklah," kata Bapak Tua itu. "Makanya kau ke sini.
Semua orang di dunia ini menyukai cerita horor yang seru setidaknya sekali
seumur hidup."
"Ya,"
ujar Thompson dengan kelegaaan samar, "kurasa itu alasanku ke sini."
"Baik,"
kata Bapak Tua itu. Tangannya menggapai ke bawah meja. Ke mana, Thompson tidak
tahu. Tidak kelihatan begitu saja. Tidak ada tarikan laci. Lalu tangannya
muncul lagi, memegang sebuah kartu berwarna putih. Lalu kedua tangan itu
menghilang lagi. Kali ini kedua tangan itu memegang pulpen yang ujungnya
terbuat dari besi saat muncul kembali. Ada tinta di dalam pulpen itu. Tinta itu
bersinar dengan kilau kebiruan dalam cahaya lilin.
"Nama?"
kata Bapak Tua.
"James
Thompson."
"Lahir?"
"Tiga
Maret, sembilan belas nol dua. Apakah ini penting?"
Bapak Tua itu
tampak kesal. "Tentu saja. Kami harus mencatat semua data, agar kau bisa
menjadi anggota penuh."
"Anggota
penuh apa?" tanya Thompson. Ia memperhatikan bahwa pulpen itu tampak
selalu penuh tintanya.
"Klub Buku
Horor, tentu saja," jawab Bapak Tua. Ia menggores kartunya dengan
pulpen, menulis semua informasi yang Thompson berikan. Lalu Bapak Tua menaruh kartu dan pulpennya di bawah meja. Kedua tangannya kembali kosong.
"Semuanya
sudah diurus," ujar Bapak Tua. "Kau sudah diterima."
"Benarkah?"
kata Thompson nyaring. Ia mulai heran apakah keanggotaan klub ini eksklusif.
Lilinnya terus menyala, tetapi ukurannya tetap sama.
"Hm, buku
jenis apa yang ada di sini? Maksudku, bisakah kau beri tahu beberapa judulnya?
Dracula, Frankenstein, atau semacamnya?"
Bapak Tua tertawa lagi, kali ini seperti mengomeli anak kecil yang sangat bodoh.
"Oh, tidak, Tuan Thompson. Kami menyajikan kisah horor sungguhan dan
nyata. Kami tidak pernah menggunakan produk bekas."
Kedua tangan Bapak Tua itu ke bawah meja lagi. Thompson heran apakah ini semacam permainan.
Kedua tangan itu kembali ke atas meja membawa sebuah buku. Bukunya tipis,
ukurannya sekitar tiga puluh sentimeter persegi. Sampulnya berwarna putih.
Jari-jari Bapak Tua meraba sampul buku yang telah diletakkan di atas meja.
"Kulit
manusia," kata Bapak Tua dengan ceria. "Sampul yang sangat
bagus."
"Hmm …
ya," ujar Thompson. Ia melirik sampul itu. Dengan huruf balok di sampul
itu tertulis, Cerita Paling Seram di Dunia. Dengan huruf yang lebih kecil, di
sudut kanan bawahnya, tertulis, James Thompson, 3 Januari 1953.
"Oh, itu,
kan, hari ini," ujar Thompson.
Bapak Tua melambai. "Sebuah formalitas. Kami selalu mencatat di buku ketika ada
anggota baru yang bergabung. Agar tidak hilang."
"Oh,"
ujar Thompson. "Apakah aku ... baru saja mulai membaca?"
Bapak tua itu
menggelengkan kepalanya dan ia bangun dari duduknya. Ia mengambil buku itu dengan
salah satu tangannya, dan tangan yang satunya memegang lilin. "Aku akan
mengantarmu ke salah satu ruang baca kami. Kami menyediakan ruang baca istimewa
untuk digunakan para anggota kami."
Thompson tidak
berkomentar. Ia mengikuti Bapak Tua itu. Mereka masuk melalui sebuah pintu
masuk di salah satu dinding yang tidak pernah Thompson lihat sebelumnya. Tetapi
pintu itu ada di sudut yang redup, sulit untuk melihat dengan jelas.
Mereka berjalan
menuruni lorong yang panjang. Di setiap sisi lorong terdapat pintu-pintu yang
tertutup. Cahaya lilin menciptakan bentuk-bentuk bayangan yang bergerak di
dinding.
"Jeritan
apa itu?" tanya Thompson, sedikit bingung. "Kedengarannya berasal
dari balik pintu-pintu ini."
"Benar,"
jawab si Bapak Tua. "Ini adalah Klub Buku Horor, kau tahu. Semua anggota
kami memiliki minat yang aktif dalam bacaan mereka. Mereka berpartisipasi.
Mereka ketakutan. Ini sungguh buku yang horor, bukan?"
"Begitukah?"
Thompson merasakan bulu kuduknya mulai berdiri. Tiba-tiba keheranan baru
menyerangnya. "Apakah itu satu-satunya buku yang kau bawa?"
"Ya,"
jawab Bapak Tua itu. "Kami membuat banyak edisi. Ini cerita yang paling
seram di dunia, kau mengerti. Yang paling seram yang pernah diketahui
seseorang. Oleh karena itulah semua anggota kami membacanya."
Lorong itu
tampak panjang tak berkesudahan. Pintu-pintu berlalu. Jeritan-jeritan semakin
samar, jeritan-jeritan baru muncul menggantikan. "Kapan tempat ini
tutup?" tanya Thompson.
"Aku berada
di sini setiap saat," kata si Bapak Tua. "Anggota baru selalu
berdatangan. Mereka biasanya tinggal cukup lama. Bukunya sangat menarik."
"Pasti,"
ujar Thompson.
Akhirnya mereka
tiba di sebuah pintu. Bapak Tua itu berhenti. Ia terlihat menarik pintu itu dan
pintunya terbuka, padahal tidak ada pegangan pintu. Ia mempersilakan Thompson
masuk.
Di ruang baca
itu terdapat sebuah kursi dan sebuah meja. Di atas meja terdapat sebatang lilin
yang belum dinyalakan. Si Bapak Tua menyalakan lilin itu dari lilin yang
dibawanya.
"Sederhana,"
ujar Bapak Tua, menjelaskan ruangannya. "Tetapi berfungsi. Kau hanya
perlu menikmati sebuah cerita horor."
"Oh, terima
kasih," Thompson tergagap. Bapak tua itu meletakkan bukunya di meja.
"Apakah ... hm ... apakah aku perlu membayar atau memberi tip?"
tanya Thompson canggung.
"Oh, tidak.
Para Pendiri sudah mengurusnya."
"Hm, para pendiri. Masih hidupkah?"
"Oh, tentu."
"Pasti
mereka menyukai cerita horor, membuat tempat seperti ini."
"Mereka
memang menyukainya," Bapak Tua meyakinkan Thompson. "Baiklah,
semoga kau suka bukunya."
Bapak Tua itu
berjalan keluar dan menutup pintu. Thompson mengatakan, "Baiklah,"
sebanyak dua kali, melihat bahwa tidak ada yang mendengar, ia tertawa kecil dan
duduk di kursi. Ia mengambil buku itu, bulu kuduknya berdiri sekali lagi. Ia
pun mulai membaca.
Ceritanya sangat
pendek. Ia menyelesaikannya hampir sekejap mata. Dan cerita ini memang
benar-benar seram. Terlalu seram malah. Ia menutup bukunya dan bangkit.
Wajahnya terasa sangat pucat. Ia pergi menuju pintu. Ia berusaha membukanya.
Pintunya tidak mau terbuka.
"Bapak,"
panggilnya. "Bapak, Pak." Ia berteriak memanggil Bapak Tua itu dan
tidak berhenti untuk memikirkan teriakan-teriakan lainnya yang terdengar di
lorong. Ia berharap Bapak Tua itu datang, dan akhirnya datang.
Suara Bapak Tua terdengar melalui pintu, "Ya?"
"Aku tidak
suka buku ini," kata Thompson.
Bapak Tua tidak berkata apa-apa.
"Dan
pintunya terkunci. Aku mau keluar."
"Tidak
bisa."
"Apa
maksudmu tidak bisa? Lagipula tempat macam apa ini?" nada bicaranya
mengancam, marah, dan lemah.
"Kau sudah
menjadi anggota sekarang." Ini sudah final.
Thompson merasa Bapak Tua itu sudah pergi. Ia berteriak, "Bapak! Pak!" Tidak ada
jawaban. Thompson kembali ke meja. Perutnya mulas. Ia membuka buku itu. Ia
membaca lagi ceritanya. Ia tidak tahan untuk tidak membacanya. Ada semacam daya
pikat pada buku itu. Ia mulai melihat horor yang sesungguhnya dalam cerita itu.
Setelah membaca
lagi untuk yang kelima kali, ia mulai menjerit. Semua orang menjerit. Jadi,
mengapa ia tidak? Lagi pula, ia terhanyut dalam cerita itu, perutnya terasa
dingin. Lilinnya terus menyala, tetapi ukurannya tetap sama.
Matanya
menunjukkan tatapan ekspresi kemarahan ketika seluruh makna dari apa yang ia
baca memenuhi pikirannya. Kemudian ia menjerit, dan terus menjerit ....
Ia menjerit dan
membaca secara bergantian. Dan setiap kali ia membaca, ceritanya semakin seram.
Keseraman cerita horor ini terlalu luas untuk direnungkan.
Ia tidak merasa
lapar, haus, atau mengantuk. Ceritanya terlalu seram.
Thompson
berhenti menjerit dan membuka bukunya lagi, mungkin untuk ribuan kalinya. Ia
sudah mengantisipasinya sekarang, mengantisipasi jeritan yang akan ditimbulkan.
Lilinnya terus
menyala. Thompson membaca cerita dari buku bersampul kulit manusia yang
bertuliskan namanya itu. Dia membaca dengan sangat cepat. Ceritanya sangat
pendek.
Kau sudah mati.
___
Ket:
Naskah asli berjudul The Most Horrible Story karya John W. Jakes dan diterjemahkan oleh Nisa Khoiriyah dengan judul Cerita Paling Seram.
Biodata
Penerjemah
bernama lengkap Nisa Khoiriyah, atau lebih akrab disapa Icha. Lahir di
Pandeglang dan berdomisili di Cilegon. Karya-karya terjemahannya sudah
diterbitkan oleh penerbit BasaBasi dan Bhuana Ilmu Populer (BIP) Gramedia.