I/ Mati dalam Kematian
Dengan terhuyung-huyung Halimah berlari ke dalam hutan sembari membawa segenap perih-pedih di ulu hatinya. Ia terus berlari meski tubuhnya membentur batang-batang pohon berulang kali. Wajah Halimah begitu muram, matanya mencelang—penuh garis-garis kontras. Mata yang menggambarkan kepedihan, kesukaran, dan penderitaan. Berjuta kata: rutukan, kesakitan, terbungkam di balik bibir Halimah yang terkatup. Wajahnya kering serupa tanah-tanah ladang yang retak, bahkan dua bola matanya tak mampu menitikkan air mata, tak seperti mata-mata cua-nestapa pada umumnya.
Halimah yang sedari tadi berlari akhirnya sampai pada ujung batasnya dan tersungkur ke tanah di dekat sungai yang dipenuhi bebatuan. Ia terbaring—terlentang, kaku. Bibirnya menganga menahan bongkahan kata. Barangkali kesakitan telah mengiris ujung lidah Halimah hingga ia tak bisa memuncratkan kata-kata rutukan yang membusuk di hatinya.
Ia masih mematung—terbaring di atas semak belukar bantaran sungai. Bumi mulai gelap. Mata Halimah mulai mengeluarkan cahaya yang tersulut purnama. Wajah Halimah pucat pasi dengan ukiran muram-murung-kering. Halimah yang masih dalam posisi terbaring mulai mengenang nasib gurunya—Misja yang mati tragis lantaran hidup tidak normal.
Halimah yang takzim pada Misja memilih menceburkan diri ke dalam sungai Jiongjing. Barangkali dengan kematian, Halimah bisa mendapatkan maaf dan senantiasa dianggap sebagai murid oleh Misja di alam sana. Tubuh Halimah tenggelam, mengguling, terseret arus yang deras. Halimah merasakan paru-parunya sesak. Benturan-benturan yang memuncratkan darah di kepalanya mambawa ia pada kegelapan yang pekat. Saat kematian datang, mata Halimah masih mencelang mengeluarkan urat merah saga. Barangkali begitu dalam rasa kecewa Halimah pada orang-orang kampung, sampai di dalam kematiannya saja ia belum merasa tenang-tenteram-damai.
II/ Jeritan-Jeritan Seorang Perempuan
Halimah yang tengah menumbuk-numbuk kayu berumbung, pasak bumi, kulit duku, dan beberapa jenis bunga pada sebuah alu di beranda rumahnya tiba-tiba didatangi kerumunan orang yang menampakkan wajah beringas. Masing-masing dari mereka membawa senjata tumpul. Halimah yang ketakutan menodongkan pisau yang tergeletak di sisi alu.
“Halimah, kami tak bermaksud buruk kepadamu. Kami hanya ingin mengusir roh jahat yang bersemayam di tubuhmu,” ujar Sibunyo—sesepuh kampung yang berdiri di barisan depan.
“Kau itu sakit Halimah dan harus segara diobati sebelum hidupmu itu seluruhnya dikuasi oleh roh jahat,” ujar Suduki—dukun paling hebat di kampung yang tengah berdiri di sisi Sibunyo.
“Aku baik-baik saja, jangan menuduhku macam-macam. Tidak ada roh jahat di sini, jadi cepatlah kalian semua pergi!” Halimah berkata dengan terbata-bata sembari terus menodongkan pisau belatinya.
Orang-orang kampung mulai mengendurkan urat-urat wajahnya. Senjata-senjata tak lagi diacung-acungkan. Mereka saling bertanya satu sama lain lantaran tak memahami percakapan-percakapan yang ada.
“Halimah, kami akan bersikap baik kepadamu, jika kau rela untuk menyerahkan diri untuk diobati, itu saja,” Sibonyo berkata sembari mendekati Halimah.
“Dasar iblis! Kau sudah memanfaatkan jabatanmu untuk membohongi penduduk kampung,” Halimah berlari lalu menusukkan belatinya ke perut Sibonyo.
Sontak orang-orang kampung itu terkejut mendapati cucuran darah yang muncrat dari perut Sibonyo. Halimah terus mendorong sembari memutar-mutarkan belatinya semakin dalam. Sibonyo masih berusaha menahan tusukan belati yang merobek-mengorek organ dalam di perutnya. Namun, cucuran darah yang terus mengalir membuat Sibonyo menjadi lemah-lunglai. Tetapi, Halimah masih terus mendorong belatinya dengan penuh kekesalan, dendam, dan amarah.
Beberapa detik sebelum tubuh Sibonyo terjatuh, Halimah diserbu oleh orang-orang kampung. Lantaran menghindari pisau yang digenggam Halimah, gerombolan warga itu memantekkan batang kayu pada tempurung kepala Halimah yang memuncratkan darah.
****
Halimah tersadar dan mendapati tubuhnya tak berbusana. Ia bangkit dan melihat bercak darah dari selangkangannya. Raut wajah Halimah seketika dipenuhi garisan-garisan kenestapaan. Halimah memeluk kedua kakinya sembari menangis tersengguk-sengguk. Beberapa saat kemudian, terdengar derit pintu kamar yang dibuka oleh Suduki. Halimah yang masih dalam keadaan telanjang menggeser tubuhnya perlahan ke arah dinding bilik sembari menutup mata dengan tangan kiri dan memberi tanda dengan menjulurkan tangan kanananya ke arah Suduki.
Suduki berjalan mendekat dan langsung menikam Halimah. Kepala Halimah ditetak dengan siku tangan kanan Suduki. Halimah mulai lunglai dan tak berdaya saat seluruh tubuhnya dijilati oleh Suduki. Secuil daging Halimah yang masih menyisakan darah di masuk-sesakkan ular Suduki yang jalang. Ular itu semakin dalam merangsek pada tubuh Halimah. Jeritan-jeritan kesakitan Halimah terdengar serupa desahan-desahan kepuasaan di telinga Suduki yang membuatnya semakin bersemangat menggerogoti tubuh Halimah.
Ular Suduki pun memuncratkan bisa di dalam tubuh Halimah. Mereka terkulai lemas lalu tertidur di atas lantai bambu rumah panggung dengan posisi tubuh Suduki merengkuh utuh tubuh Halimah. Beberapa saat kemudian kembali terdengar derit pintu. Sibunyo yang perutnya masih berbalut perban menyatroni Halimah dan Suduki. Mata Suduki kaget melihat Sibunyo berdiri di depannya.
“Tidak sengaja aku tertidur usai bermain-main dengan perempuan edan ini. Maafkan aku yang telah membuatmu berjalan sendiri kemari,” ujar Suduki sembari bangkit.
“Jangan membicarakan hal yang tidak penting. Aku sudah tidak tahan ingin menancapkan ularku pada tubuh perempuan jalang ini. Lebih baik kau buatkan aku teh hangat untukku,” Sibonyo mempertegas nafsu binatangnya yang membuncah.
Suduki pun beranjak keluar meninggalkan tubuh Halimah yang masih tak sadarkan diri lantaran kepalanya ditetaki terus menerus oleh Suduki saat upacara perkawinan. Sibunyo dengan cepat langsung melepas seluruh pakaiannya dan melepas-lesakkan ularnya di tubuh Halimah. Tubuh perempuan muda yang bercita-cita membuat bangga ibunya dan memajukan pemikiran kolot kampungnya.
Orang-orang kampung mulai mempertanyakan perkembangan kewarasan Halimah yang sudah berbulan-bulan dikurung di kediaman Suduki. Namun, Suduki dan Sibonyo selalu menjawab bila roh jahat Halimah sangat kuat dan berbahaya dan butuh waktu lama untuk mengobatinya.
III/ Hukum Manusia
Halimah tumbuh menjadi perempuan yang berbeda dengan perempuan pada umumya di kampung ini. Saat teman-teman sebayanya sibuk melangsungkan pernikahan muda dengan pasangan pilihan orang tua mereka masing-masing, Halimah malah kabur ke kota. Halimah menolak pinangan Sibunyo—sesepuh kampung yang tersohor dan amat disegani. Halimah pergi meninggalkan ibunya yang sudah mulai sakit-sakitan. Di kota, Halimah bekerja di salah satu perguruan tinggi warisan Belanda. Ia bekerja sebagai tukang sapu. Namun, ia diizinkan mengikuti kelas perkuliahan oleh para dosen setelah pekerjaannya selesai. Namun, hanya masuk kelas, tak diabsen apalagi mendapatkan ijazah. Itu pun dengan syarat harus duduk di lantai, tetapi bagi Halimah diperbolehkan mengikuti pelajaran orang-orang bangsawan saja sudah sangat bersyukur. Sebab belum tentu kaum buruh-miskin lain bisa duduk mengeja ilmu pengetahuan. Paling-paling jadi jongos tuan tanah yang buncit perutnya.
Halimah beruntung pernah belajar membaca-menghitung kepada Misja. Dengan bekal itu, Halimah bisa memahami setiap pelajaran dan tugas-tugas yang dosen berikan. Halimah selalu mencuri waktu untuk membaca buku di perpustakaan, menulis prosa di kamarnya yang sempit. Halimah, sangat menyukai pelajaran soal kesehatan. Ia bercita-cita ingin menjadi dokter. Barangkali cita-citanya mudah untuk dicapai apabila ia dilahirkan dari keluarga bangsawan, sebab penguasaan ilmu-ilmunya tak diragukan. Bahkan banyak mahasiswa yang meminta bantuan mengerjakan tugas-tugas kuliah yang mereka anggap sulit. Barangkali bukan sulit, melainkan enggan mencari akar jawabannya seperti yang dilakukan Halimah di setiap waktu senggangnya. Sebab, yang mereka kerjakan usai kelas perkuliahan hanya mengobrol-memamerkan kekayaan orang tua mereka masing-masing. Tahun demi tahun Halimah lewati di kota ini. Sampai tiba waktunya Halimah harus pulang. Sebab ia mendapat kabar ibunya tengah terkapar di pembaringan.
Halimah pun meninggalkan kota yang menyimpan kotak-kotak mimpinya. Ia kembali ke kampung halaman yang penuh mata parang penebas impian muda-mudinya. Di kampung, ia tak kuasa menahan air mata mendapati ibunya yang sakit parah. Ia duduk dengan tubuh memeluk ibunya yang tak berdaya.
"Syukurlah kau datang, Nak. Ibu sangat merindukanmu.”
“Mak, di kota Halimah belajar ilmu-ilmu kedokteran orang-orang bangsawan, Mak. Halimah pasti akan menyembuhkan, Mak.”
“Tak perlu kau obati, Mak. Mak sudah di ujung gerbang kehidupan. Halimah, maafkan Mak kalau selama ini Mak berbohong padamu."
“Tidak, Mak. Mak tak pernah berbohong pada Halimah. Halimah sayang, Mak.”
“Halimah, bapakmu itu belum mati. Bapakmu itu orang yang dulu melamarmu."
“Maksud Mak, Sibunyo?”
"Benar anakku. Dulu saat Mak masih gadis, Mak sedang mencari rempah-rempah untuk mengobati kakekmu yang sakit, tetapi Mak dianggap edan. Para dukun murka pada Mak. Mereka menyulut emosi orang-orang kampung. Lantaran Mak enggan memabawa kakekmu berobat pada dukun-dukun itu. Mak pun disekap di rumah Sibunyo berbulan-bulan. Di sana, Mak disetubuhi Sibunyo berkali-kali sampai Mak mengandungmu, Halimah.”
IV/ Tak Ada Irisan Mesra di Kepala Manusia
Halimah berjalan menyusuri kampung untuk sekadar menghibur diri, lantaran seminggu yang lalu ibunya meninggal. Beberapa kali Halimah saling melempar senyum pada orang-orang yang berpapasan di jalan dengannya. Di tengah perjalanan Halimah mendapati Paroh yang berperut buncit beserta suaminya berjalan keluar dari rumah dukun Suduki. Wajah Paroh begitu pucat pasi.
“Ada urusan apa Mak Paroh datang ke rumah dukun Suduki?” tanya Halimah memberhentikan langkah kaki pasutri itu.
“Mak sedang mengandung, Nak Halimah. Namun, sudah dua tahun bayinya tak mau keluar. Rahim Ibu sering mengalami pendarahan. Kata Suduki, kandungan Ibu terserang roh jahat."
“Boleh aku memeriksa perutnya, Mak?”
“Silakan, Nak."
Halimah meraba-raba lalu menempelkan telinganya pada perut buncit ibu itu.
“Mak, yang ada di perut Mak itu bukan bayi, melainkan penyakit ganas. Orang kota menyebut penyakit ini dengan sebutan tumor. Mak harus segera dioperasi untuk mengeluarkan daging tumor itu sebelum semakin membesar dan menggerogoti tubuh Mak."
“Bagaimana cara Mak dioperasi, Nak.”
“Besok Mak puasa, nanti lusa Mak datang ke rumahku. Halimah akan membantu mengangkat daging tumor itu, Mak.”
Esok harinya Paroh datang ke rumah Halimah untuk dioperasi. Dengan peralatan seadanya yang dibawa dari kota, Halimah dengan cekatan membelek perut Paroh. Lalu mengiris, mengangkat daging tumor sekepal tangan orang dewasa. Sedangkan Rasman—suami Paroh hanya memandang cemas, melihat tubuh istrinya dibelah-iris.
Detak-detik waktu pun menjadi mencekam di kamar Halimah. Beberapa saat kemudian daging tumor pun berhasil diangkat. Halimah menjait kembali irisan pada perut Paroh. Pasangan suami istri itu terkaget saat Halimah menunjukkan daging hitam pekat yang tertanam di perut Paroh.
Setelah kejadian itu berita keberhasilan operasi yang dilakukan Halimah dengan cepat menyebar luas. Orang-orang kampung berduyun ingin berobat pada Halimah dan mulai meninggalkan praktik-praktik dukun. Namun, saat orang-orang kampung itu hendak ke rumah Halimah untuk berobat. Tersebar kabar bila Paroh meninggal dunia. Para dukun yang dipimpin Sibunyo pun menuntut pada Halimah yang telah membunuh si Paroh. Halimah sempat membela diri, tetapi, karena masif ujaran kebencian yang dilancarkan oleh Sibunyo dan para dukun membuat orang kampung menjadi antipati pada Halimah. Bahkan orang-orang kampung mempercayai jika Halimah telah dirasuki roh jahat. Sejak saat itu Halimah hanya menghabiskan waktu menumbuk-tumbuk tumbuh-tumbuhan obat yang ia cari di hutan seorang diri.
Banten, 4 Juli 2020
Biodata Penulis
Ma’rifat Bayhaki lahir di Serang, tinggal di Serang, sekolah di Serang. Mahasiswa aktif Untirta, FKIP, Jurusan Pendidikan Sejarah. Anggota Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar). Senang makan kue lapis legit.