Sumber: @Dandelion_1922 |
Teriakan itu melengking. Telingaku sampai ngilu mendengarnya. Aku penasaran. Suara itu benar-benar dekat dari tempatku bersembunyi. Kemudian aku menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara sialan itu yang telah mengangguku sepagi ini. Sudah dua malam, ketenanganku sering diobrak-abrik oleh suara-suara lengkingan manusia, dipaksa mendengarkan kegaduhan-kegaduhan yang entah, aku sendiri pun tak tahu dari mana asal suara itu.
Aku sempat curiga bahwa jangan-jangan ada manusia berbaju loreng dari kota datang ke tempat ini untuk menjemputku pulang. Bukankah manusia berbaju loreng dari kota memang doyan menimbulkan bunyi-bunyi gaduh semacam ini. Rasanya semenjak aku, si pembangkang—begitu orang-orang berdasi itu menyebutku—berada di tempat ini, bunyi yang paling sering kudengar adalah kicauan burung, atau suara kucing-kucing liar yang sedang bergulat dengan tikus berambut pirang, atau harimau lapar yang mengaung dari kejauhan sana.
Tak ada suara orang tua memarahi anaknya di sini, tak ada suara bising knalpot dan klakson para pekerja pabrik, tak ada suara penjaja makanan, tak ada suara televisi yang nyaring sedang menyiarkan pidato sang presiden atau suara teriakan semacam itu. Tidak ada. Demi Tuhan! Tempat ini, jika kau bisa membayangkan, tak ubahnya sebuah dunia lain yang hanya berpenghuni aku dikelilingi rerumputan dan pepohonan menjulang tinggi, juga ribuan binatang-binatang liar yang siap memangsa kapan saja.
Kemudian, dalam perasaan yang masih was-was, tubuh yang sudah lapuk ini, kududukan pada sebuah kursi yang juga tak kalah lapuknya. Barangkali kursi ini jauh lebih tua usianya dibanding aku. Buktinya setiap kududuki, bunyi dernyit mengoyak telingaku. Tubuhku lapuk tentu saja bukan karena dicuri usia, tetapi beban dan berton-ton rindu menindih segenap kekuatan masa muda yang kumiliki.
Lalu aku membuka sebuah buku yang sampulnya terpampang fotoku, anakku yang waktu itu masih berumur tiga hari dan tentu saja si cantik jelita istriku. Itu adalah satu-satunya harta berharga yang aku punya. Apa kabar mereka? Ah, ya ampun, tidak ada hal lain yang selanjutnya dilakukan oleh pria tolol ini selain merenung sepanjang hari, meratapi, dan menangis tak berair mata sepanjang malam. Sembari terus mengawasi sekitar, aku berdiri dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, membaringkan tubuh, dan menangis sejadi-jadinya.
***
Malam datang tanpa sepenggal kabar dari Bahar, lelaki paruh baya buruh pabrik kayu di pulau ini. Aku bertemu Bahar saat ia sedang meraung-raung menangis di bawah pohon karet. Malam itu aku keluar dari rumah pengasinganku, berjalan-jalan menembus hutan belantara di balik semak-semak di depan rumah itu. Aku ingin mencari ranting pohon yang bisa aku gunakan untuk memasak makanan esok hari nanti. Beberapa langkah sudah kutempuh, aku melihat dari kejauhan, seseorang menyenderkan tubuhnya di sebuah pohon dan orang itu sedang menangis. Suaranya membikin ngilu dan bulu-bulu romaku mendadak berdiri. Sebab tempat ini bukanlah kota, tempat sesunyi ini tak mungkin ada orang menangis sendirian. Hanya tempat yang lampunya terang dan berdiri gedung-gedung pencakar langitlah orang-orang mudah menangis. Lalu dengan perasaan setengah takut, setengah iba, aku menghampiri orang itu.
“Apa yang terjadi, Tuan?”
Tidak ada jawaban.
Aku menunggu reaksi orang itu sembari menelusuri tubuhnya dengan sinar cahaya dari senterku. Aku khawatir. Bisa saja orang itu adalah jelmaan siluman yang kemudian menikamku. Sebab ini adalah hutan. Bukan kota yang kebanyakan orang-orang baik dan mulia tinggal.
“Tuan?” panggilku lagi dengan nada suara yang sengaja kupelankan.
“Siapa Anda?” tanya orang itu dengan suara berat.
“Aku Daeng, Tuan. Aku tinggal di belakang hutan itu, di rumah gubug itu.”
“Kau orang-orang pemberontak ya?” tanyanya lagi, tanpa wajahnya ia palingkan ke arahku.
“I...ya, Tuan. Dari mana Tuan tahu?” kataku sangat berhati-hati, darahku mulai berdesir cepat.
Kemudian orang itu membalik tubuhnya, menatapku dengan tatapan mata yang tak terjemahkan. Aku lihat orang itu sudah sepuh, tetapi urat wajahnya berotot dan perawakan tubuhnya kulihat masih kekar.
“Ikutlah denganku,” katanya dengan suara yang berat. Suara yang banyak sekali kisah hidup di dalamnya.
“Ke mana, Tuan?” tanyaku lagi dengan suara yang lirih. Rasanya aku ingin melarikan diri waktu itu.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, barangkali kau membutuhkan informasi ini,” katanya sambil berdiri dan ia kini sudah berhadap-hadapan denganku. Ia kemudian mengelap sisa-sisa air di matanya dengan ujung jarinya.
“Tunggu, Tuan! Apakah aku boleh bertanya terlebih dahulu kepada Tuan?” kataku setelah menghela nafas panjang.
“Apa?”
“Kenapa Tuan menangis dan bagaimana Tuan bisa tahu bahwa aku adalah seorang pemberontak?” ia membalas dengan senyum yang bijaksana. Aku semakin tak mengerti.
“Yang akan aku tunjukkan ini ada hubungannya dengan pertanyaanmu. Ayo, anak muda, ikuti saja aku. Aku tidak akan menyakitimu. Barangkali kau sudah terlatih menderita di sini. Kalau begitu, apa lagi yang kau takuti pada dunia yang berengsek ini apabila kau sudah banyak sekali mengalami penderitaan?”
Kata-katanya seketika menghujam dadaku. Bayang-bayang masa lampau yang nyaris mati-matian kulupakan, mewujud kembali dalam bentuk kemarahan yang membuncah di kepalaku. Orang tua ini seperti tahu sekali seluk-beluk tempat ini dan bagaimana segala macam kehidupan berlangsung di hutan ini.
“Aku Bahar. Usiaku enam puluh tahun. Mari ikut aku! Siapa tadi namanu? Da... Daeng? Benarkah?” Orang itu menyalamiku.
“Iya benar, Tuan Bahar, aku Daeng,” aku membalas dengan memberikan tanganku yang bergetar.
“Kau tak usah memanggilku 'Tuan'. Aku bukan bangsawan, bukan juga hartawan. Aku hanya seorang buruh pabrik kayu. Panggil saja aku Bahar. Di hutan, tak ada nama panggilan semacam itu, yang membedakan si tua dan si muda. Kita sama-sama orang yang terlempar dari kehidupan yang menyenangkan,” katanya bijaksana. Aku hanya mengangguk.
Kemudian aku mengikutinya. Sepanjang perjalanan, ia bercerita banyak sekali tentangnya, tentang tempat ini, dan bagaimana negara memperlakukan orang-orang pembangkang seperti kami. Ia ternyata adalah seorang penyair dan aktivis hak asasi manusia yang kabar kehilangannya kutahu beredar di mana-mana. Dan apabila kau kuberitahu ia, tentang orang ini, aku pastikan kau juga akan terkejut-kejut. Ia adalah orang yang selama ini kita cari. Fotonya, puisi-puisinya, semangat perlawanannya, beredar di mana-mana. Ia diasingkan oleh rezim orde baru lantaran membuat puisi yang sok melawan pemerintahan orde baru. Bahar mengaku sangat geram dengan rezim waktu itu. Sehingga ia terus-menerus melakukan demonstrasi dan perlawanan-perlawanan melalui puisi.
Puncaknya adalah pada Mei 1998 saat ia bersama kawan-kawan aktivisnya ikut serta dalam demonstrasi besar-besaran. Lalu, tahun-tahun setelah itu, namanya menjadi buronan orang-orang berbaju loreng. Ia sudah puluhan kali keluar masuk kota dan hutan di belahan negara ini. Hingga akhirnya namanya tercatat sebagai “orang hilang” di berbagai media. Dan sampai detik ini pun tidak ada yang tahu keberadannya. Dan di tahun ia hilang, aku ingat bahwa aku masih sangat belia, di mana di dalam kepalaku masih menganggap bahwa dunia adalah tempat hidup yang paling menyenangkan.
Aku benar-benar merinding mendengar pengakuannya. Sebab untuk membuatku percaya, ia sampai menunjukkan luka dan memar-memar di sekujur tubuhnya, menunjukkan aku sebuah karya puisinya yang ia tulis dengan darahnya sendiri dan bertitimangsa tahun 1999, dan beberapa lembar foto yang ia kumpulkan selama masa pelariannya. Ia juga menceritakan siapa saja dalang dari penculikannya, penculikan aktivis-aktivis lain. Ia tahu aktor-aktor yang berada di belakang layar negara ini dan bagaimana tokoh-tokoh yang berwibawa itu mengendalikan sistem politik, sosial, dan budaya di negara kita. Dua puluh tahun lebih, ia hidup dalam cengkraman negara. Sebab ia adalah kunci dari kekacauan di negeri ini. Jika ia membuka suara, maka, dapatlah dipastikan bahwa kekacauan besar-besaran akan terjadi dan stabilitas politik negeri ini berantakan.
Ia akhirnya diasingkan di tempat ini dan kemudian dipekerjakan sebagai buruh. Orang-orang tak mungkin mengenalnya, sebab wajahnya telah dirombak habis-habisan oleh para loreng, dibuat sedemikian rupa sehingga tak akan ada yang mengenalnya. Selama ini, ia tak pernah diizinkan berinteraksi dengan siapa pun. Maka malam ini, ia menangis. Ia merindukan segalanya. Sama sepertiku di sepanjang malam. Sekuat apa pun ia dalam menjalani hidup di bumi yang indah ini, makhluk berperasaan seperti dia memiliki air mata yang perlu sekali-kali dikeluarkan.
“Kita sudah sampai,” katanya setelah kami menerobos ke dalam hutan, melewati sungai-sungai dan pohon-pohon yang menjulang tinggi.
“Tempat apa ini?” tanyaku sembari memerhatikan tempat ini. Kami berdua berdiri di sebuah bukit yang seratus meter di bawah kami terbentang hamparan yang persis seperti sekumpulan makam orang-orang mati.
“Ini kuburan?” tanyaku lagi padanya yang matanya mulai basah.
“Tempat ini adalah tempat orang-orang berdosa tidur,” ia menghela nafas, “Orang-orang pembakang yang tidak taat aturan negara dibunuh dan dimakamkan di sini,” imbuhnya.
“Siapa saja orang-orang di sini?” tanyaku lagi.
“Banyak sekali tokoh dan aktivis yang barangkali kau kenal namanya. Mereka adalah aktivis hak asasi manusia, aktivis yang memperjuangkan lingkungan, aktivis yang memperjuangkan perempuan, aktivis yang memperjuangkan hukum.”
“Tetapi aku heran, mengapa kau tak dibunuh?”
“Selama kita masih dibutuhkan, kita tidak akan dibunuh. Kau tahu aktivis-aktivis pascareformasi yang hari ini berkeliaran bebas di kota-kota, mengapa mereka tidak diasingkan atau dibunuh? Ia jelas masih dibutuhkan untuk alat politik mereka. Dan satu lagi, aktivis-aktivis hari ini berperut buncit, jadi untuk apa mengasingkan aktivis yang masih doyan dengan makanan?”
“Bukankah kau kunci dari stabilitas politik negeri ini? Maksudku, aku yakin ketika kau keluar dari tempat ini dan membeberkan semuanya, negeri ini akan porak poranda, 'kan?"
“Betul! Untuk alasan itu aku masih diberikan kesempatan hidup. Sebab keberadaanku masih diperebutkan oleh dua kubu besar di negeri ini. Kubu pertama, jelas menginginkan kematianku. Tetapi kubu kedua menginginkan aku hidup untuk sewaktu-waktu aku dijadikan alat mereka melakukan perlawanan dan revolusi. Maka atas diplomasi mereka, aku dibiarkan hidup dan mati dengan sendirinya.”
“Orang-orang yang mati di kuburan ini adalah orang-orang yang sudah tak ada keuntungan apa pun bagi mereka. Sudah berani-beraninya melawan mereka, sedikit pun tak memberi keuntungan pada mereka. Kalau begitu untuk apa hidup? Dan barangkali selanjutnya adalah kau anak muda. Bersiap-siaplah.”
Aku tersentak mendengar perkataanya.
“Lalu mengapa kau diasingkan di tempat ini? Yang aku tahu, orang-orang yang tinggal di tempatmu itu adalah orang-orang yang punya kasus serius,” katanya keheranan.
“Maksudmu?”
“Tempatmu itu sebelumnya sudah dihuni oleh puluhan orang yang berbeda. Kesemuanya adalah tahanan politik negara yang kasusnya jelas bukan kasus recehan. Orang-orang yang pernah diasingkan di sini adalah aktivis kunci yang dianggap mengancam mereka.”
Aku menoleh ke arah wajahnya, menatap matanya sekilas, kemudian menunduk.
“Aku seorang jurnalis,” kataku lirih.
“Pantas saja,” katanya, aku kemudian menghela nafas.
“Pada 24 September 2019, negeri ini kembali diduduki oleh petahana. Kekacauan bermula saat beberapa Undang-Undang baru dirancang dan direvisi. Rakyat dan ribuan mahasiswa mengamuk di depan gedung dewan. Sebagai jurnalis, aku tertarik mencari akar permasalahan aksi besar itu. Akhirnya aku berhasil melacak informasi dan berhasil masuk ke dalam ruang investigasi mereka. Dan di sana, demi Tuhan, aku banyak mendapat informasi yang selama ini tak pernah dibeberkan ke permukaan publik. Informasi yang aku dapat dari sana tentang skenario berengsek mengenai skandal investasi, pemindahan ibu kota, pembungkaman aktivis, dan kejahatan-kejahatan lain aku tulis dan aku buat propaganda. Sontak publik geram membaca tulisan-tulisanku dan semakin mengamuk pada mereka. Publik marah terhadap rezim itu dan nyaris pelantikan presiden gagal digelar.”
“Bersiap-siaplah kalau begitu,” katanya sembari tersenyum kecut, “Lalu apakah kau sudah berkeluarga?” tanyanya lagi. Aku mengangguk dan dadaku mendadak sesak.
“Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu. Tetapi, mulai sekarang kau harus ingat baik-baik perkataanku. Melawan negara berarti kau harus siap untuk hidup di pengasingan dan kecil sekali kemungkinan kau kembali lagi ke rumah. Kecuali kau menyerah dan mengakui bahwa kau tidak akan ikut campur lagi di dalam kejahatan mereka dan kau mulai berjanji untuk menjalani kehidupan yang normal seperti orang-orang lain pada umunya.”
“Tetapi ini kan negeri demokrasi, Bung! Ini negeri merdeka, kan?” kataku agak marah.
“Apa katamu? Demokrasi? Merdeka? Hahahaha,” ia tertawa, “Kemerdekaan adalah nasi dimakan menjadi tahi.”
“Hei anak muda, dengarkan aku! Kalau kau diberi kesempatan untuk pulang, misalnya Tuhan yang Mahabaik itu mengantarmu ke rumah, kau harus ajarkan kepada anak-anakmu untuk jadilah manusia-manusia yang normal. Sekolah, bekerja, ibadah yang rajin, menikah, dan menunggu mati di rumah kontrakan dengan cicilan menumpuk bersama istri dan anak-anakmu. Jangan sekali-kali ikut campur dengan negara.”
Aku diam saja. Mataku yang kosong-melompong itu kuarahkan pada sekumpulan makam dan kepalaku pusing membayangkan bagaimana kehidupan mereka. Lalu tiba-tiba kita berdua terkejut, ada sorotan cahaya dan bunyi sepatu terdengar mendekati tempat ini.
“Cepat lari! Nanti kita bertemu lagi di tempat kau menemukan aku. Kau pergi ke arah kiri, ikuti saja jalan setapak itu, nanti kau sampai ke tempat pengasinganmu” katanya berbisik sembari meninggalkan tempat ini dengan membungkuk dan pergi ke arah kanan. Aku mengikuti perintahnya dengan dada yang penuh ketakutan.
***
Semenjak saat itu, Bahar menjadi temanku di hutan ini, juga sekaligus informan yang selalu menceritakan kekacauan di luar hutan sana. Aku banyak diajarkan teknik bertahan hidup dan selalu dinasihati untuk menerima kehidupan ini dengan lapang dada. Ia juga bersedia menjadi tukang pos untuk aku mengirim surat kepada istri dan anakku. Mereka tentu senang menerima surat dariku. Sebab semua orang, termasuk istri dan anakku mungkin mengira aku telah mati. Aku katakan saja pada mereka bahwa aku baik-baik saja dan akan segera pulang. Walaupun aku sendiri tidak tahu kapan aku pulang. Sebab negara jelas-jelas mewaspadai aku dan tak mungkin melepaskan aku sebelum aku berjanji tak ikut campur dalam urusan mereka. Memang benar kata Bahar, bahwa selama kita melawan mereka, kita akan tetap berada di tempat ini. Tetapi, demi Tuhan, aku tak akan menyerah. Aku akan berusaha terus melawan dengan sekuat tenagaku yang tersisa.
Suatu hari, Bahar mengajakku menjelajahi hutan ini, menunjukan tempat-tempat yang jarang sekali media ceritakan, memperkenalkan aku dengan orang-orang yang bernasib sama dan hidup bergerilya di hutan ini.
Tetapi dua malam ini, aku tak melihat batang hidungnya. Biasanya sesekali waktu, siang atau sore, ia ke rumah ini untuk sekadar membawa makanan dan memberiku informasi. Aku sudah mencarinya ke tempat pertama kali aku menemukan Bahar. Tetapi nihil, ia tak ada di sana. Ke mana dia?
Di luar hujan mulai turun, dingin masuk melalui lubang angin di kamarku. Setelah dua malam aku mendengar suara-suara lengkingan yang aneh itu, aku cemas dan hatiku benar-benar merasa tak tenang. Pekerjaanku adalah mondar-mandir di rumah ini memerhatikan segala penjuru tempat ini dengan hati-hati. Sebab Bahar selalu memberi tahu aku untuk tetap waspada karena sewaktu-waktu malaikat maut pasti datang ke rumah ini. Aku kemudian memejamkan mata, menidurkan kantukku yang sudah tak bisa kutahan lagi. Aku hanya berharap besok bisa bertemu kembali dengan Bahar.
“Hei, anak muda!” aku menoleh ke sumber suara itu.
“Bahar? Kemana saja kau?”
“Perjuanganku sudah selesai. Kau harus lanjutkan perjuangan ini!” katanya sembari tersenyum dan meninggalkanku.
“Bahar! Mau kemana kau? Tunggu aku!” aku berteriak-teriak, kemudian terbangun dan mendapati dua orang berbaju loreng berada di samping ranjangku.
Serang 19 Oktober 2019
Penulis
Sul Ikhsan, penulis buku cerita Nadran.