Esai Neneng Hendriyani
Saya gregetan sekali saat mendengar Ira Kusno mengatakan "Endonesia Raya" dalam acara debat capres dan cawapres tempo itu. Sontak saya terpikir, apa kita ini memang orang Endonesia bukan Indonesia? Padahal jelas sekali ditulis bahwa negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seharusnya presenter atau siapa pun harus mengucapkan Indonesia, bukan Endonesia. Mengapa demikian? Karena presenter merupakan salah satu orang yang memiliki peran penting dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila ia salah, maka dapat dibayangkan berapa banyak pemirsa yang akan mengikuti jejaknya dan ikut latah mengucapkan kata "Endonesia".
Di lain kesempatan saya pun sering mendengar orang berkomentar,
"Maklum Endonesia gitu loh."
Tiap kali kita diskusi tentang berbagai hal yang sedang hangat di masyarakat, misalnya, tema korupsi gencar dilakukan para pemimpin daerah baru-baru ini. Lawan bicara kita senantiasa melontarkan kalimat seperti itu untuk meyakinkan bahwa pendapatnya benar dan sahih. Coba saja amati kalimat yang sering ditemui di warung-warung kopi anak muda zaman sekarang.
"Ya elah, begitu aja repot. Endonesia gitu loh. Kalau enggak begini, bukan Endonesia."
Pengucapan Endonesia sambil disertai tawa di warung-warung kopi itu menimbulkan makna yang berbeda. Seolah-olah di negara yang bernama Endonesia, hal seperti itu adalah wajar dan lazim terjadi. Apa iya begitu?
Pada kesempatan yang berbeda, saat masih menjadi anggota paduan suara wisudawan pun, salah seorang kawan melafalkan kata Indonesia dengan Endonesia, tanpa ragu. Kebetulan ia berposisi sebagai penyanyi sopran. Alhasil lengkingan suaranya terdengar sangat jelas sehingga kami berhasil membuat rektor dan tamu undangan melirik ke arah kami. Awalnya kami bangga sekaligus bahagia dilirik sedemikian rupa. Ternyata kami salah. Lirikan yang disertai senyum manis tersebut bukanlah bentuk apresiasi yang kami nantikan. Selesai acara, pelatih memarahi kami habis-habisan lantaran berstatus mahasiswa, tapi masih belum bisa membedakan lafal i dan e.
Belum lagi pengalaman mengajari anak-anak SMK. Selama lima belas tahun, mereka membuat saya bingung. Sering kali mereka cuek saat lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Mereka bersikap masa bodoh. Mungkin karena mereka terbiasa membaca kata Indonesia dengan Endonesia sehingga rasa cinta tanah air yang seharusnya melekat di jiwa mereka, luntur, pun lagu tersebut tidak didengarkan dengan baik. Mereka bersikap seolah-olah lagu tersebut bukanlah lagu kebangsaan negara mereka.
Berbagai kejadian yang saya temui di dalam pergaulan sehari-hari tersebut membuat saya malu. Alih-alih ingin mendengarkan acara debat capres dan cawapres, saya justru berlari ke arah tumpukan buku lawas. Rasa penasaran mengusik hati. Saya merasa tidak nyaman mendengar kata Endonesia berulang kali di ruang dengar saya.
Sebagai orang awam yang tidak begitu mendalami bahasa nasional, saya jadi berpikir keras. Benarkah kata "Indonesia" ini dibaca "Endonesia"? Bukankah huruf "i" dibacanya juga "i"? Begitu pula huruf "e" harus dibaca "e"? Kedua huruf yang sama-sama anggota huruf vokal tersebut memilliki bunyi hurufnya sendiri. Bunyi yang jelas dan membedakan dari huruf-huruf yang lain. Bunyi yang tidak boleh ditukar seenaknya sendiri. Apalagi untuk sebuah kata yang memiliki makna luar biasa, seperti Indonesia.
Benar apa yang disampaikan pelatih paduan suara saya sembilan belas tahun lalu. Sungguh memalukan sekali bahwa hingga hari ini ternyata mayoritas penduduk Indonesia masih belum bisa melafalkan kata Indonesia dengan benar. Masih sering salah pengucapan huruf "i" dengan "e".
Masih di depan tumpukan buku masa kuliah dulu, pikiran dan ingatan saya berlari ke masa di mana bunyi akhiran -kan acap kali dibaca dengan bunyi "ken" oleh beberapa petinggi negara yang berasal dari Jawa. Apakah ini bentuk dari kesalahan berbahasa seperti kasus untuk kata Indonesia di atas? Menurut saya tidak. Mereka yang mengucapkan kata-kata yang berakhiran -kan dengan bunyi "ken" tersebut secara kebahasaan tidaklah salah seratus persen. Sebab pelafalan ini terjadi di ranah dialek.
Menurut KBBI V, pelafalan adalah 'cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa'. Seperti yang kita ketahui bersama, bangsa Indonesia memiliki lebih dari 666 bahasa daerah dengan segala karakteristiknya. Para pengguna bahasa daerah ini sering kali secara alamiah membawa dialek bahasanya saat bercakap-cakap dalam bahasa nasional sehingga yang muncul persis seperti yang terjadi pada para petinggi negara tersebut. Kita tidak bisa menyalahkan mereka untuk kondisi yang seperti itu. Bila kemudian bunyi "ken" tersebut menjadi budaya di kalangan pejabat itu adalah hal yang berbeda. Ada beragam alasan yang mendorong mereka melakukannya. Alasan ini dipaparkan dalam bahasan code switching (alih kode) dan code mixing (campur kode) di dalam linguistik.
Beberapa guru Bahasa Indonesia di sekitar saya sering kali mempermasalahkan hal ini. Padahal ini beda kasus. Dialek bahasa seseorang adalah ciri khas dari mana ia berasal. Dan hal ini tidak bisa dihilangkan dengan serta merta. Ia bukanlah hal yang patut dinilai salah dan benar dalam penggunaan bahasa Indonesia. Seperti yang terdapat dalam KBBI V, dialek adalah 'variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (misalnya bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu'. Jadi, jelas berbeda sekali dengan kasus di mana huruf "i" dibaca "e".
Dari kasus pelafalan kata Indonesia menjadi Endonesia ini, akhirnya saya berani mengatakan bahwa saya adalah orang Indonesia, bukan Endonesia. Sampai hari ini pun lagu Indonesia Raya diucapkan Indonesia Raya, bukan Endonesia Raya. Bila masih diucapkan Endonesia Raya maka Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan pernah maju. Hal ini lantaran antara tulisan dan pengucapan tidak pernah bersatu. Antara pikiran dan tindakan masih belum selaras dan sejalan. Oleh karena itu, marilah kita kembali menjadi orang Indonesia, bukan Endonesia.
Penulis
Neneng Hendriyani, guru Bahasa Inggris SMAN 4 Cibinong.
1 comments