Esai Eka Ugi Sutikno
Entah kenapa saya terheran-heran ketika ada seorang anak muda yang berkata bahwa ia tidak berbudaya. Di satu sisi, awalnya, saya tidak menanggapinya secara serius. Naasnya, saya sering teringat dan bertanya-tanya, “Memangnya berbudaya yang ia maksud apa ya?” Pernyataan yang ia lontarkan menjadi tidak jelas untuk saya. Pasalnya ia diminta oleh saya untuk datang ke komunitas kami lalu ia menolak dengan alasan "tak berbudaya." Mungkin kata budaya itu sendiri menjadi hal yang sangat elite dan adi luhung. Kalau pun iya, kira-kira se-elite dan se-adi luhung apa ya kira-kira?
Dalam peristiwa lain, saya menemukan sebuah tulisan yang berisi "Korupsi bukan budaya kita". Boleh jadi kata budaya di sini adalah sebuah tindakan yang merujuk kepada bukan milik "kita", yakni melakukan korupsi atau maling itu sendiri. Lalu, saya juga mendapatkan ajakan dari "Ayo, budayakan membaca!" di beberapa grup WhatsApp. Nah, budayakan di sini memiliki posisi yang sama dengan contoh di atas. Akan tetapi, kasus pertama masih menjadi teka-teki untuk saya. Akan tetapi, boleh jadi, secara pragmatis, budaya yang dimaksud adalah “Kamu bukan golongan saya” atau “Kamu bukan kelas saya.”
Kasus-kasus di atas ini membawa saya kepada sebuah ruang dialog mengenai definisi yang lagi-lagi harus dijawab sesederhana mungkin. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan bahwa budaya bukan sebuah pemikiran semata maupun fenomena di depan mata saja, melainkan budaya "budaya" sendiri dapat merujuk kepada sebuah tindakan yang memiliki kandungan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan mana tindakan yang baik dan tidak. Hal ini mengapa budaya sendiri memberitahu kita untuk tidak mengumpat kepada orang lain, agar selalu peduli dengan sesama, buang air besar di toilet, tidak kentut sembarangan, menggunakan teknologi sebaik mungkin sampai anjuran untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Dengan begitu, kita akan melihat definisi budaya sebagai muara keragaman (diversity) perilaku.
Apabila seperti itu, lalu mengapa dan apa gunanya kita mempelajari budaya? Sebelum menjawab secara singkat dan tidak rumit, hal ini tentunya untuk merayakan bahwa di kehidupan kita memiliki perbedaan untuk bersikap, cara untuk menikah di satu tempat dengan tempat yang lain tidak serupa, cara untuk makan orang Jepang, Indonesia, dan orang Eropa tidak seragam, sampai cara petani untuk memperlakukan alam yang dipastikan berbeda. Hal ini terjadi karena di setiap tempat memiliki nilai-nilai yang mendasarinya.
Saya memiliki pendapat bahwa dengan mempelajari budaya setidaknya kita tidak akan lagi mengatakan bahwa orang Medan itu kasar, orang Palembang dan India itu pelit, orang Jawa itu lebih baik daripada orang Indonesia Timur, budaya Barat itu lebih unggul daripada budaya Asia, orang Sunda itu doyan nikah dan suka makan lalapan seperti kambing. Stereotip-stereotip inilah yang harus kita hentikan karena tidak selamanya yang kita tuduhkan kepada budaya lain benar. Boleh jadi kita belum mengetahui dengan betul-betul budaya luar sehingga kita menikmati tuduhan yang kita arahkan kepada budaya lain secara kontinu.
Dengan memahami budaya lain berarti menganalisis strategi untuk mengoptimalkan komunikasi yang baik dengan orang-orang dari budaya lain dan mengatasi hambatan komunikasi lintas budaya. Terdapat sebuah contoh ketika laki-laki Jerman yang menikahi perempuan Indonesia dan mereka menjadi diaspora di Kanada. Di setiap harinya mereka gunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa utama, akan tetapi berdiskusi dengan bahasa Indonesia juga tidak jarang mereka lakukan. Yang paling menarik adalah ketika si laki-laki memberikan komentar mengenai istrinya yang merujuk kepada kebanyakan orang Asia. Bahwa banyak orang Asia selalu memiliki alat penanak nasi atau rice cooker di rumahnya. Kejadian ini menjadi hal yang unik bahwa bagaimana nasi menjadi makanan utama dan menjadi alat untuk mengenang negaranya. Ini adalah salah satu contoh dari keberagaman yang kemudian menjadi tantangan. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah pasangan ini siap menerima perbedaan yang tidak terduga-duga? Dan apakah Anda yang membaca tulisan ini siap untuk menerima perbedaan di antara kalian?
____
Eka Ugi Sutikno tinggal di Serang, Banten. Selain mengajar di beberapa universitas, ia menyibukkan diri di Kubah Budaya dan Kabe Gulbleg.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com