Oleh Encep Abdullah
Puisi tidak disukai karena ia terlalu erat diasosiasikan dengan ketidakjelasan, kesombongan intelektual, dan aura pengangguran (George Orwel)
Zaman SMA saya menulis puisi cinta pertama kali. Itu gara-gara Markonah. Saya suka sekali sama dia. Setiap malam saya kecanduan menulis puisi untuk dia. Saya tidak bisa tidur sebelum menulis puisi. Sebab, di kamar saya banyak nyamuk.
Puisi-puisi yang saya tulis zaman itu tidak pakai teori apa pun. Saya menulis ya menulis saja. Tidak pernah terbebani bagaimana menuliskannya. Diksi apa yang harus saya tulis. Bahkan saya tulis seterang-terangnya. Sejadi-jadinya seperti apa yang saya rasakan saat itu. Karena referensi yang saya baca bukan puisi, melainkan lagu, maka puisi-puisi zaman itu seperti lirik lagu.
PERPISAHAN
Rasaku padamu masih seperti dulu
Kehadiranmu satu kata bahagia
Aku tak peduli sampai mati
Cinta yang kucari telah pergi
Saya merasa bahwa itu puisi paling keren. Pokoknya setiap saya selesai menulis puisi saya mendadak merasa tampan. Saya tidak punya guru khusus di sekolah untuk konsultasi puisi yang saya tulis. Saya malu. Saya konsultasi dengan alam bawah sadar saya sendiri.
Kalau saya baca puisi-puisi W.S. Rendra zaman puber, kok jauh sekali ya dengan puisi-puisi saya. Seperti bumi dan langit. Puisi saya jauh lebih bagus menurut saya. Tapi, kata banyak orang, puisi Rendra jauh lebih bagus. Apa itu perasaan saya saja ya? Setelah saya baca lagi, ternyata benar. Puisi saya bau tahi, puisi Rendra harum mewangi.
PERMINTAAN
Wahai, rembulan yang bundar
jenguklah jendela kekasihku!
Ia tidur sendirian,
hanya berteman hati yang rindu.
(Dalam Sajak-Sajak Cinta W.S. Rendra, Bentang Pustaka 2015)
Jelas sekali perbedaan kelas pergaulan hidupnya. Rendra sejak kecil doyan baca buku. Saya sejak kecil doyan makan ciki dan sisa-sisanya di jari, saya lamotin sampai habis. Tapi, saya tidak merasa minder. Saya tetap merasa bahwa meski puisi saya bau tahi, itu tahi saya. Saya harus ikhlas melepaskannya dalam tangki septik (septic tank).
Zaman kuliah, saya baru mulai membaca serius tentang puisi. Tentu saja serius karena puisi itu masuk daftar mata kuliah: Kajian Puisi. Hebatnya, saya dapat B atau C gitu. Bukan karena saya tidak pintar mengerjakan soal ujian, melainkan karena nama saya Encep Abdullah bukan Encup Maemunah. Pasalnya, semua nama perempuan dapat nilai A, termasuk teman saya Radani. Padahal, dia cowok. Asem! Untung saja waktu itu saya tidak hijrah pakai jilbab hanya demi mendapat nilai A dalam mata kuliah Kajian Puisi itu.
Karena nilai itu, saya marah dan protes. Saya langsung datang ke ruang dosen.
"Pak, kok penilaian Bapak kayak gini. Semua perempuan dapat nilai A. Saya boleh minta koreksian soal-soal puisi waktu ujian itu Pak?" saya menginterogasi.
"Ah, nilai kamu memang kecil. Sudahlah," jawabnya.
"Makanya Cep, kalau kuliah pakai kerudung biar dapat nilai A," ujar dosen lain.
Saya tertawa sih, tapi saya juga kesal bin gendek. Sejak itu, saya belajar puisi lebih dalam lagi. Bahkan belajar sama Bapak Dosen itu.
MENGUKIR AIR LAUT
mengukir air laut
mencari jejak-jejak ikan
di tumpukan karang-karang
seperti mencium bau ikan asin
di atas genting kehujanan
batinku terasa surut
di telan akar maut
aku akan terus dan terus mengukir
sampai merahnya berkarat,
lenyap.
Banyak sekali ilmu dan teori tentang bagaimana menulis puisi. Saya semakin tertarik. Saya terus belajar dan berusaha bermetamorfosis dari karya anak sekolah menuju karya anak kuliah.
Di kampus saya jatuh cinta kepada banyak wanita. Saya playboy kelas teri. Akhirnya, puisi saya makin banyak karena selalu tersakiti. Sayang, saya larut dalam buaian. Puisi-puisi saya jadi makin cengeng. Malah dimuat di kolom remaja. Ahay!
HUJAN
Entah kerinduan apa
yang masih bermukim di kelopak matamu
seperti gerimis yang mengalir ritmis
di ujung lancip dedaunan
ingin lagi kulukis hujan di tubuhmu
melampiaskan hasrat kerinduanku yang mencuat
menerjemahkan segala isyarat
yang berkarat
aku tanpamu ibarat hujan tak berawan.
Februari 2012
(Dimuat di Analisa Medan, Rabu, 11 Feb 2015)
Saya tak berhenti sampai di situ. Saya belajar lagi. Sampai akhirnya 2014 saya memutuskan untuk bikin buku puisi sendiri Tuhan dalam Tahun.
Sebenarnya puisi-puisi ini tidak mendapat izin untuk diterbitkan oleh Bapak Dosen itu. Untuk apa katanya. Saya juga tidak tahu. Saya hanya ingin membukukan kenangan bersama para mantan. Maka, dengan paksaan, lahirlah buku puisi itu. Puisi yang saya tulis kurun waktu 2009--2014.
Selepas lahir buku itu, saya masih terus belajar bagaimana cara menulis puisi yang baik. Saya jatuh cinta lagi, tapi dengan perasaan yang jauh lebih dewasa sehingga puisi-puisi jadi lebih dekat dengan KUA.
YAN II
1/
yan, coba kau rayu tuhan supaya ia mengerti maksud kita berdua
mencintai alis dan bulu mata yang tak bisa diujarkan dengan kata-kata
2/
yan, masih inginkah kau menaruh benang kusut di kepalamu
merusak pikiranmu di antara cinta yang berlabuh di hatimu; di hati kita
3/
yan, dengarlah suara tuhan dalam salatmu yang kadang tak khusyuk itu
atau sesekali kau rekam suaranya sebagai bukti ada jawaban yang ia berikan
4/
yan, aku tak bisa menunggu terlalu lama pada hari-hari tak bernama
ingin kusegerakan persembahanku menjadi bagian umat nabiku juga nabimu
5/
yan, kapan kita kemasi pecintaan ini dalam cinta yang indah menuju tuhan
menuju jalan yang sudah kau tulis dalam pikiranmu menjadi ratu di singgasana
6/
yan, semoga tuhan mendengarkan puisi ini.
2014
(Dimuat di Pikiran Rakyat, 22 Juni 2014)
Puisi ini lahir dari kejujuran hati yang paling dalam. Saya bangun dengan bahasa yang se-asyik mungkin (baca: puitis). Puisi ini pun berjodoh di koran Pikiran Rakyat. Saya merasa memang puisi ini lahir dari hati dan ditulis dengan diksi yang tidak buruk-buruk amat. Saya harus pede bilang begitu. Sejak itu, saya merasa terpuaskan menulis puisi yang tercipta karena hati dan berakhir dengan kata-kata yang menyentuh hati pula. Terutama hati saya sendiri. Bodo amat dengan hati kamu.
Melewati masa itu. Saya menikah. Beranak dan berbahagia. Saya agak kesulitan menulis puisi tentang rasa sakit dan harapan. Saya menjauh dan berjarak dengan perasaan saya sendiri. Kali ini, saya bergaul lebih dekat dengan kamus. Saya cuma ngotak-ngatik bahasa yang saya kumpulkan dari kamus dan Tesaurus Bahasa Indonesia. Bahkan waktu itu, saya menargetkan harus bisa bikin satu puisi dalam sehari dari kata-kata yang sudah saya susun itu. Gila nggak tuh!
Sebagian puisi setelah menikah ini saya bikin tanpa pengalaman "batin" saya. Tidak lahir dari gejolak saya sebagai penyair. Saya iseng-iseng saja. Mencari puisi alternatif selain yang sudah-sudah. Hasilnya ternyata ...
SAHIFAH HAYAT
hidupku sekadar kenduri berduri
ber-saru pada Tuhan
aku yang beternak jangak
memang layak digonjok
layak dipedar-i
keganaranku lamat-lamat mengakar
pada akal pikiranku yang lapuk
meleja ketakwarasanku sendiri
otakku melindap di makan rayap
meski Kau redut—menyangkak hati
aku butuh taklimat-Mu.
Ciruas, 2016
ZAN
zus, adakah kesangsian yang mendera-deru
keasinganmu mengembara di tanah Tuhan ini?
melakoni jejak yang entah-berantah
tersara-bara seperti kaca tanpa kata
berserak-sepai di kedalaman matamu
zus, hidup ini hanyalah sekadar dahiat
bila kau tak berkemas memburas jasadmu
pada Zat semesta yang membengkokkan
tulang rusukmu
aku tak bisa meluruskannya
kata pepatah: bisa patah!
zus, keterasinganmu hanyalah ilusi
dari kesangsianmu sendiri
kita—seperti kata Chairil—
hanyalah pengembara di negeri asing
barangkali di bangsal hayat ini
kau harus lebih berdekat jarak
merapal ratib; mengubah nasib
kepada-Nya
Ciruas, 2016
(Dimuat di Rakyat Sultra, Sulawesi Tenggara, 8 Oktober 2016)
Kok bisa begitu ya. Keren sih. Tapi kok aneh. Saya tidak merasa saya sedang ada dalam puisi itu. Saya malah mencari-cari sendiri makanya apa. Gimana ini, kok penulisnya sendiri tidak tahu apa yang ditulisnya sendiri. Semprul!
Ada juga puisi yang saya ikut sertakan dalam lomba. Aih, menang.
PERIFRASIS
lampu-lampu takkan menyala
kala daya lebih rendah kadarnya
kau pun tutup usia
beristirah sunyi dalam tanah
serupa busur melepas anak panah
mengena tubuh luka penuh nanah
lampu-lampu akan menyala
kala daya lebih tinggi kadarnya
kau pun tutup usia
beristirah sunyi dalam tanah
serupa busur mencumbu anak panah
mengena tubuh seksi penuh gairah
—barzah!
2015
(Juara I Cipta Puisi 2016 Untirta)
Saya merasa telah kehilangan penderitaan sejak menikah. Saya bahagia. Saya kesulitan menulis puisi yang berdarah-darah. Menulis puisi untuk Tuhan pun, sebenarnya sudah cukup banyak. Kalau saya tulis lagi, yang terjadi hanyalah pengulangan diksi yang itu-itu saja. Saya jadi jenuh. Saya tak lagi berdoa dengan puisi, saya kembali berdoa sesuai dengan doa-doa yang saya hafal sejak kecil.
Saya pun mandek menulis puisi. Saya kebingungan sendiri harus menulis apa dan bagaimana. Kalau saya ingin kembali, saya ingin balik ke masa SMA yang culun, tidak begitu terbebani dengan teori dan eksplorasi. Saya hanya fokus kepada si doi, bukan fokus menata puisi.
Saya keder di ruang sunyi. Mencari guru puisi pun ujung-ujungnya yang diajarkan akan begitu-begitu lagi. Malah saya yang menjadi guru orang lain. Mereka sih jadi, lah saya gini-gini aja.
Saat baca buku, juga akan sama. Kadang pengin ikuti gaya-gaya orang itu. Ngapain ikut-ikutan gaya mereka. Nanti nggak otentik.
Akhirnya kebingungan ini semakin menjadi. Bagaimana cara saya kembali menjadi penyair dengan versi saya sendiri, dengan gaya bahasa saya sendiri?
Setelah saya baca ulang buku puisi saya Tuhan dalam Tahun itu, ternyata saya sudah kebingungan sejak dulu.
Dalam buku itu saya menulis puisi begini.
PENYAIR BINGUNG
?
Tuhan, selamatkan saya dari ujian puisi ini!
Kiara, Sehari Setelah Milad, 21 September 2021
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim karyamu ke
redaksingewiyak@gmail.com