Puisi Isbedy Stiawan ZS
KOTA-KOTA YANG NGACENG
: jokpin
Kota-kota yang ngaceng dan
bersinar di balik kain
sarungmu. Meski
sembunyi tapi aroma amis
oleh cahaya yang tak pernah
mati seakan menggoda. Aku betina
yang menerka-nerka di dalam
kain sarung. Seribu kota tegak
ya, kota-kota yang mencari
pasangan untuk bercinta
Di balik kain sarung yang berkibar
serupa bendera di tiang halaman
rumah, terbayang kota-kota impian
sangat ngaceng untuk kucintai
habishabisan. Kota yang menjelma
sebab paras perempuan. Tegak
dan kaku
begitu tajam dan sangat dingin
Kanal yang berpinak saling pagut
membawaku ke dalam luka
dan percintaan dari seorang
kesepian
Kota-kota akan hidup
walau dikunci dan tak seorang pun
dilarang masuk ke balik sarungmu
menjilati kesunyian
2018-2020
Catatan: Jokpin, sapaan akrab penyair Joko Pinurbo, penyair asal Yogyakarta ini dikenal salah satu kumpulan puisi “Di Bawah Kibaran Sarung” (penerbit IndonesiaTera, 2001)
DARI MASA LALUMU
Pergilah dan kenanglah jika ada
yang bisa diingat. Sebab kini
kau adalah busur, kau akan
menentukan untuk menancapkan
kaki di mana; apakah tubuhmu luka
memar, ataupun gembur segar. Aku
tidak lagi bisa meletakkan mata
angin di depanmu. Segala
maya!
Kau sendiri mengarahkan langkah,
mata busur, jarak dengan matahari
atau bulan. Sesukamu dan cermat
bukankah kau tak mau sekarat?
Di lain tempat kau memulai
usah ingat masa silam
karena bukan lagi milikmu
Aku sudah membuat jejak
arah jalan ada di dirimu;
kau kini menancapkan kaki
di mana kau mau, dan mata angin
yang engkau inginkan
: persis di depan matamu
Aku hanya menikmati
di sini. Dari masa lalumu
SEORANG PELAYAN TURUT MENARI
Laki-laki itu tak lupa kapan
ia datang ke kedai itu. Lalu
selembar kertas masih bersih
dan sebuah pulpen diletakkan
di meja, dekat kertas. Tak lama
tangannya meraih pena, menari
di lembar kertas
Dan seorang pelayan turut
menari. Naik ke dalam kertas
milik lakilaki itu. Puisi menari
tarian di dalam puisi
Secangkir kopi hangat
melepaskan asap di sana, kata-kata
menggumpal jadi gumpalan bola
terbang. Ruang bau asap, penuh
oleh kalimat; dari jalan-jalan
sampai keheningan
Di meja tumpukan baris tumpah
baju lakilaki itu basah. Ia lupa
di rumah tak ada yang mau
mencuci dan mengeringkan
Tiada perempuan menunggu
menjemur bajunya, membawa
puisinya ke pasar lelang
PADA HARI KETIGABELAS
Pada hari ketigabelas
bulan yang basah selalu
kau antarkan payung
kau ingin rambutku
tak kuyup; di hari yang
mestinya mataku cahaya
rambutku rapi bagai padi
sebelum dipanen
Di hari ketigabelas itu
usai berkencan malam
ruang amat kelam
(lampu mati, di negeri ini
seperti jadi langganan)
aku pamit ke lain kota
kau datang bawakan
payung, langit mendung
lalu rinai
lalu hujan
lalu menderas
Aku mabuk karena Cinta
“Aku sakit oleh luka,
hibur aku satu lagu.”
1 Maret 2021
SEPERTI ORANG KAPAL
Adakah yang tersisa dari jejakmu
di sebaris jalan dikerubungi belantara,
ilalang rangas, licin dan ancaman macet
sebelum kau sampai puncak itu
Ia mengekal pada dirimu
ia merayumu jadi puisi
ia ingin dibebaskan,
bukan lagi orang penjara
Ayo, bebaskan dia
seperti kau bebaskan
hewan dan pepohonan
Jadi teman perjalanan
seperti orang kapal itu
yang menulis puisi laut
— di lautan, selama berlayar —
untuk merayakan hidup
Di depanmu air terjun
kenapa kau ngungun?
____
Penulis
ISBEDY STIAWAN ZS, lahir dan sampai kini menetap di Tanjungkarang, Lampung. Ia menulis puisi, cerpen, esai, dan karya jurnalistik. Saat ini sudah merampungkan trilogi buku puisi bertema kematian, kritik, dan pandemi covid yakni Burungburung dan Kisah Lain, Buku Tipis untuk Kematian (siap diterbitkan basabasi Yogyakarta), dan Musim Kabung.