Puisi Louise Glück
Kereta Chicago
Kendaraan yang berada di depanku
Bergerak payah: tapi si Tuan bertengkorak
Gundul yang bersandar lengan itu berada di muka. Sementara si anak
Mendapatkan kepalanya berada di tungkai ibu lalu terlelap. Racun itu
Menggantikan udara.
Lalu mereka duduk–seperti lumpuh yang mendahului maut
Dan memaku. Jejaknya melekuk ke selatan.
Aku melihat selangkangan si perempuan itu bergetar … kutu yang mengakar di rambut bayi.
Puisi Louise Glück
Telur
I
Dengan mobil semuanya pergi.
Tertidur di mobil lalu lelap
Seperti malaikat di pemakaman bukit pasir,
Menghilang. Daging untuk sepekan
Sudah membusuk, kacang polong
Terkekeh di polongnya: kami
Mencuri. Lalu di Edgartown
Aku mendengar perutku
Yang menggulung di tempat tidur bayi …
Mencuci sempak di Atlantik
Menyentuh lautan matahari
Seperti cahaya yang memancar
Yang ingin menelan air.
Setelah Edgartown
Kami melintas ke arah yang berbeda.
II
Di kejauhan
Tangan laki-laki yang besar itu adalah alat pembersih
Yang berkerumun, si pemakan daging,
Dan si pemangsa. Di bawahnya yang
Menetes putih, melucuti
Tongkat sihirnya yang terbuka,
Aku melihat banyak lampu
Menyatu di dalam gelasnya.
Obat Dramamine. Kau biarkan dia
Merampokku. Tapi
Berapa lama? Berapa lama?
Aku melihat alat dapur dari masa silam
Tubuhku meregang seperti sebuah robekan
Kertas.
III
Selalu saja aku merasakan laut di malam hari
Yang menghempas hidupku. Oleh
Ceruknya jaring
Di teluk ini, dan seterusnya. Berbahaya.
Dan seterusnya, mati rasa
Dari kebasan arak bourbon
Napasmu
Aku menyimpul …
Di seberang pantai itu ikan
Berdatangan. Tanpa kulit,
Tanpa sirip, rumah tangga
Yang telanjang dari tengkorak mereka
Yang tak berubah, menumpuk
Bersama sampah-sampah lain.
Sekam, sekam. Banyak bulan
Yang bersiul dengan mulut mereka,
Melalui karang yang terengah-engah.
Bongkahan daging. Lalu terbang
Seperti banyaknya planet, apitan cangkang
Dentingan yang membabi buta
Dari gelombang Veronika …
Benda itu
Menetas. Lihat. Tulang-tulangnya
Membungkuk memberi jalan.
Gelap. Gelap.
Ia membawa semangkuk tangkapan
Dari potongan-potongan bayi.
Puisi Louise Glück
Hari Bersyukur
Di setiap ruang yang diliputi bocah
Tanpa nama Selatan Yale itu,
Ia adalah adik perempuanku yang bernyanyi Fellini
Lalu menelepon
Sementara kami terus memindahkan sepatu botnya yang terbuang
Atau duduk lalu mabuk. Di luarnya, di suhu
Dua puluh derajat, seekor kucing liar
Merumput di halaman rumah kami,
Yang sedang mencari sampah. Ia menggores ember.
Tak ada suara lain.
Tapi terus menyiapkan makanan pelipur
Dan melimpah itu di dekat kompor. Ibuku
Menggenggam tusuk sate.
Aku melihatnya menyelipkan kulit
Seolah ia rindu masa muda, sementara potongan bawang
Mengaburi salju di atas maut yang bercabang.
Puisi Louise Glück
Ragu
Hidup ini hanya untuk menatapmu dan
Menyisikanku. Perkelahian itu
Seperti ikan tangkapan dalam diriku. Melihatmu berdenyut
Di dalam sirupku. Melihatmu ketika lelap. Dan hidup untuk menatap
Semua, ya semua yang memerah
Sampah. Sudah selesai?
Persoalan ini menghidupiku.
Kau hidup di dalam diriku. Ganas.
Cinta, bahkan kau tak menginginkanku.
Puisi Louise Glück
Sepupu dan Bulan April
Di bawah biru langit, di tengah sayur rhubarb yang berjongkok di halaman belakang
Sepupuku terkekeh bersama bayinya yang menepuk
Bagian kepala botaknya. Dari jendela ini aku meraih selasih,
Kilau silika, cokelat sienna yang melewati brokat tanah
Rempah tarragon dan berhenti di bawah naungan pigura
Garasi. Kipas zamrud
Yang gugup rimpang meluncur di lutut sepupuku
Ketika ia membungkuk menaikturunkan bayinya.
Aku merajut sweter untuk anak keduanya.
Seperti, bermil-mil turun demi makan malam, tak mendengar kasur goyangnya
Bersama murka lalu mengira ini adalah waktu agar ia terbaring dan terkunci tantrum …
Oh, seperti gerak di kedalaman tubuhnya yang hinggap. Di antara ungu
Azalea, yang mengelilingi seluruh taman
Kini, bersama anak laki-lakinya ia melalui apa yang aku jedakan
Untuk menangkap, di fase kuncup dini, di atas rumput yang tumbuh.
________
Penulis
Louise Glück lahir di New York tanggal 22 April 1943. Ia mendapatkan anugerah Nobel Sastra tahun 2020. Beberapa puisi di atas diterjemahkan dari buku Firstborn (1968).
Penerjemah
Eka Ugi Sutikno yang kini aktif di Kubah Budaya, menjadi anggota Kabe Gulbleg, dan mengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang.