Cerpen Ade Ubaidil
Di sepanjang lorong itu, ia hanya menggumamkan kalimat yang sama berulang-ulang. Dalam kesendiriannya, ia terus melangkah menuju ruang pelayanan laboratorium. Sesuai instruksi dari perawat, ia harus mengambil sampel darah milik kakaknya. Ia mengantre, lalu saat tiba gilirannya ia menyebutkan nama kakaknya. Tak berselang lama si suster memberikan sampel darah dalam tabung seukuran ruas jari orang dewasa.
“Mas tolong bawa ini ke Bank Darah, ya, samping tempat pengambilan obat itu,” ujar seorang suster muda kepada Agus. Bocah lima belas tahun itu hanya mengangguk. “Semua salinan dan kelengkapan data seperti kartu identitas, kartu berobat, dan kartu jaminan kesehatan mohon disiapkan, nanti tinggal diserahkan saja ke perawatnya,” tambahnya lagi. Agus mengatakan terima kasih lalu melenggang pergi.
Sejak kecil Agus terobsesi kakaknya. Selisih usia di antara mereka nyaris dua belas tahun. Agus pernah terkagum-kagum sewaktu sedang menonton televisi berdua dengan kakaknya. Band Dewa 19 sedang tampil saat itu dalam sebuah acara musik di stasiun televisi swasta. Band memainkan intro lagu lebih dulu. Tiba-tiba, dengan yakin kakaknya berseru kepada Agus, “lagu Risalah Hati ini,” katanya. Agus sempat menyepelekannya. Bagaimana mungkin, baru suara gebukan drum dan petikan gitar per sekian detik itu kakaknya bisa tahu.
“Sotoy,” seloroh Agus sekenanya. Namun saat menit berikutnya siapa sangka, tebakan kakaknya benar.
Di mata seorang bocah, pengalaman semacam itu adalah sesuatu yang luar biasa. Agus membayangkan andai ia melakukan hal serupa di hadapan teman- temannya, pasti mereka bakal terkesan, pikirnya. Lantas, sejak saat itu ia mulai menggemari musik yang disukai kakaknya. Apa yang dilakukan kakaknya, sebisa mungkin ia tiru. Karena baginya, kakaknya adalah orang terkeren yang ia kenal. Dan ia bangga akan hal itu.
Suster yang melayaninya tersenyum. Ia meminta Agus untuk menunggu, sementara ia mempersiapkan kebutuhan untuk pasien lain yang lebih dulu mengantre.
Bagi Agus, sejauh ini pelayanan untuk pasien umum maupun peserta jaminan kesehatan dirasa sama saja. Ia sendiri belum melihat perbedaan sejak pertama kali masuk rumah sakit itu. Sementara ibunya dibayang-bayangi oleh ucapan tetangga yang berobat menggunakan jaminan kesehatan bakal dianaktirikan.
“Bagaimana kalau rumah sakit menolak merawat Hari?” benak Agus kembali mengingat kejadian sehari sebelum mereka berangkat ke rumah sakit.
“Dicoba dulu saja, Mak. Kenapa pesimis begitu? Toh, Bapak tiap bulan rajin membayar iuran untuk kartu jaminan kesehatan kita sekeluarga,” kata bapaknya berusaha menenangkan.
Akhirnya malam hari lalu kakak Agus dibawa ke rumah sakit diantar oleh Mang Dikin, paman Agus, pakai mobil bututnya.
“Butut-butut begini, ada gunanya juga, kan, mobil Mamang, Gus?” Agus terkekeh mengingat ucapan pamannya itu. Menurutnya, Mang Dikin adalah paman yang paling dekat dengan dirinya dibanding pamannya yang lain.
“Atas nama Hari?” suara suster menggaung dari pelantang. Agus sempat kaget. Lekas ia buyarkan lamunannya dan segera bangkit lalu berjalan mendekat ke depan jendela. “Hb pasien cukup rendah, di bawah 8. Di dalam kotak ini ada dua kantung untuk transfusi darah pasien. Masnya tanda tangan dulu di sini, ya.”
Suster menyodorkan cooling box berukuran sedang. Lalu memberikan salinan surat keterangan setelah ditandatangani Agus.
“Terima kasih, Sus,” ucap Agus santun. Ia bergegas membawa kotak itu dengan hati-hati sesuai yang disampaikan oleh suster sebelum ia pergi.
***
Semua bermula ketika Hari akhirnya pulang ke rumah setelah tiga malam menginap di kediaman temannya. Hal itu dianggap wajar dan kedua orang tuanya tidak bisa melarang.
“Mau cari kerja,” ucapnya sewaktu meminta izin.
Namun, malam itu kondisi Hari tampak lesu. Seorang ibu selalu lebih tahu kondisi anaknya bahkan sebelum diceritakan.
“Jangan keseringan begadang, Ri. Lihat sekarang, kamu jadi kurus begini,” kata ibunya lembut.
Sementara Hari berjalan masuk tak menghiraukannya. Ia lebih fokus pada batuknya yang sulit dikontrol.
“Minum air hangat, ya, Emak masakin.”
Sepanjang malam, Hari batuk tak henti-henti. Ia sekamar dengan Agus. Batuknya betul-betul membuat tidur adiknya terganggu. Agus terbangun dan mendapati dahak yang keluar dari mulut kakaknya berwarna merah.
“Emak, Kang Hari batuknya berdarah,” seru Agus seraya memberikan segelas air hangat yang sudah disediakan oleh ibunya. Hari biasanya akan marah dan meminta Agus untuk tidak berisik. Akan tetapi, malam itu ia seperti tak memiliki daya. Maka kemudian bapaknya lekas menghubungi Mang Dikin.
Setelah sehari dirawat di rumah sakit, dokter menyatakan Hari terkena penyakit emfisema. Penyakit ini, menurut keterangan dokter, menandakan bahwa alveoli rusak, melemah, dan akhirnya pecah. Kondisi ini mengurangi luas permukaan paru dan jumlah oksigen yang dapat mencapai aliran darah. Hari adalah seorang perokok berat. “Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok,” selorohnya suatu ketika pada adiknya yang masih kecil.
“Ini pasti gara-gara kamu sering bergadang dan jarang berolahraga,” ucap Emak setibanya Agus di pintu kamar isolasi.
“Iya, Mak, Hari minta maaf. Hari salah nggak mau ngedengerin Emak,” ucap Hari. Ia dirawat di ruangan khusus sendirian dan tidak boleh sembarang orang menjenguknya.
“Mak, darah buat transfusinya udah Agus kasih ke dokter. Katanya setengah jam lagi ke sini,” terang Agus yang tampak kelelahan.
“Ya, udah, kamu sini makan dulu sama Emak.”
“Maaf, ya, Gus, Kang Hari udah bikin kamu kerepotan,” suara Hari terdengar lemah. Agus mengangguk kecil lalu duduk di tikar sebelah ibunya.
Tiga puluh menit berlalu. Dokter bersama dua orang perawat masuk ke ruangan. Mereka melakukan apa yang menjadi tugasnya. Agus dan ibunya mempersilakan. Sementara bapaknya izin pulang, ia mesti bekerja di sebuah bank sebagai penjaga keamanan.
***
Malam kian larut. Hari dan ibunya sudah terlelap. Agus terbangun dari tidurnya setelah bermimpi tentang keranda. Entah pertanda apa. Kepalanya terasa sedikit berat. Ia keluar dari kamar isolasi. Di sepanjang lorong begitu sunyi. Kamar tempat kakaknya dirawat berada di paling ujung ruangan. Ia semakin khusyuk dengan kesendiriannya. Ia duduk terpekur, menyandarkan punggungnya ke dinding rumah sakit. Di sudut pintu masuk kamar isolasi, tanpa sengaja ia melihat beberapa serangga sekarat. Ada yang berputar-putar, ada yang terkapar, ada yang kaku tak bergerak, begitu banyak. Ia tahu ini pasti suatu pertanda, tapi ia tak betul-betul paham pertanda apa ini?
─teruntuk Asep Jumhuri, yang bahagia di sisi-Nya.
Cilegon, 30 Juli 2021
___
Penulis
Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon. Ia relawan di Rumah Dunia. Buku terbarunya sebuah kumpulan cerpen berjudul Sahut Kabut (Indonesia Tera, 2021). Arsip tulisan lainnya bisa dilihat di: www.quadraterz.com. Kini ia aktif mengelola Rumah Baca Garuda. Aktif bermedia sosial di FB dan IG @adeubaidil.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com