Cerpen oleh Heru Sang Amurwabumi
Dada
pemimpin Kabuyutan Mangir itu berdegup kencang. Masih terlintas dengan jelas
dalam ingatannya, bagaimana dia mengusir dua utusan Mataram yang mengirimkan
surat kepadanya. Surat dari Panembahan Senopati yang menginginkan agar Mangir
menyatakan takluk.
Sebagai
pemangku kabuyutan yang telah diakui sebagai sebuah tanah sima—bebas pajak dan memiliki hak otonomi—sejak era Demak, Wanabaya
merasa berhak menolak keinginan Mataram. Mangir, sejak dipimpin buyutnya, tak
pernah diusik oleh penguasa Jawa. Seharusnya, memang begitulah hak sebagai
tanah sima.
“Kau tak pantas disebut sebagai
menantu, Wanabaya!”
“Tidak. Aku tidak salah! Apa yang aku
lakukan adalah dharma dalam menjunjung kedaulatan Mangir!”
Dua
sisi batin Wanabaya bertikai. Pemimpin Kabuyutan Mangir itu dihadapkan pada dua
pilihan sulit: memenuhi perintah Panembahan Senopati untuk menghadap ke
Mataram, atau tetap bersikukuh tinggal di Mangir.
Dalam
kecamuk badai kebimbangan, Wanabaya melangkahkan kaki menuju sanggar pemujaan.
***
Setelah
naik takhta dengan gelar Panembahan
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa, Danang
Sutawijaya memperluas wilayah kekuasaan Mataram dengan menaklukkan kadipaten,
kademangan, dan kabuyutan di Jawa bagian tengah dan timur. Namun, seorang
pemimpin kabuyutan yang tak jauh dari pusat kadhaton, Ki Ageng Wanabaya justru menolak
menghadap, apalagi menyatakan kabuyutannya tunduk kepada Mataram.
Bukan
tanpa alasan Wanabaya bersikap demikian. Selain Mangir adalah tanah sima, Wanabaya merasa memiliki kekuatan yang
siap diadu dengan Mataram.
“Wanabaya
memiliki tombak yang tak kalah digdaya dibandingkan Kiai Plered, Anakmas,” ucap Ki Juru Martani.
“Benarkah,
Paman?”
“Benar.
Kiai Baru Klinting namanya.”
“Apa
yang menjadi peluruh kedigdayaan tombak itu?”
“Tali
Kemben!”
Panembahan
Senopati tersentak. Namun, kemudian dia manggut-manggut. Ucapan Ki Juru Mertani
yang sudah kenyang asam garam peperangan, termasuk mengatur siasat untuk dirinya
ketika menghabisi nyawa Adipati Jipang, Arya Penangsang, tak perlu dia ragukan
lagi.
“Lalu,
menurut Paman, apa yang harus kulakukan?”
“Wanabaya
masih perjaka. Pastilah kelemahan dia terletak pada hati. Kirimlah seorang
wanita seusianya untuk membuat pemimpin Mangir itu kasmaran, sekaligus
melunturkan kedigdayaan Kiai Baru
Klinting dengan tali kemben,” Ki
Juru Martani mengangkat sembah.
Pertemuan
hari itu diakhiri dengan sebuah siasat untuk menaklukkan Mangir.
Sehari
kemudian, sebuah rombongan kecil bergerak menuju Mangir. Rombongan yang terdiri
dari putri Panembahan Senopati sendiri; Retno Pembayun yang berdandan layaknya
seorang waranggana; Adipati Martalaya
yang menyamar sebagai Ki Dalang Sandiguna; Ki Jayasupanta; Ki Sandisasmita; Ki
Suradipa yang ketiganya berpura-pura menjadi penabuh kendang, kempul, dan gender. Ikut pula bersama mereka seorang senopati wanita, Nyai
Adirasa.
Syahdan,
menjelang senja, iring-iringan rombongan itu memasuki Kabuyutan Mangir. Bak
gayung bersambut, kabuyutan itu sedang mengadakan sesembahan puja syukur kepada
Sang Pencipta dalam wujud Merti Dusun—puja
syukur sebagai ungkapan terima kasih atas hasil panen yang berlimpah.
Pemangku
Kabuyutan Mangir dengan sukacita menerima rombongan Ki Dalang Sandiguna. Mereka
diminta menginap sekaligus mementaskan pergelaran wayang kulit di sana.
Retno
Pembayun melemparkan tatapan liar ke arah Wanabaya. Sekar Kadhaton Mataram itu
merasa satu jurus telah berhasil menyasarkan sebuah siasat ayahnya: Panembahan
Senopati. Wanabaya menunduk, serta merta dia mengalihkan pandangan mata. Retno
Pembayun hanya tersenyum kecil penuh kemenangan. Malam harinya, tarian gemulai
dari waranggana jejadian itu
benar-benar telah meruntuhkan benteng pertahanan Wanabaya.
Keesokan
harinya, tanpa menunggu lama, Wanabaya meminang Retno Pembayun.
***
Setelah
membersihkan wajah, kedua tangan, dan kaki, Wanabaya memasuki ruang pemujaan. Dia
mendekati prapen yang berada di sudut
ruangan, lalu membakar segumpal kemenyan. Seketika asap mengepul disertai aroma
wangi dupa.
Asap
dupa itu menggulung sekujur tubuh Wanabaya. Tiba-tiba dia mengambil posisi
duduk siddhasana, lalu kedua
tangannya sempurna tertangkup dalam sikap anjali
mudra. Segala pikiran dia pusatkan pada satu titik hampa. Seiring embusan
napas yang kian datar, jiwa Wanabaya hanyut dalam keheningan alam semesta. Tak
ada lagi yang bisa dia lihat, kecuali dirinya sendiri yang kini tak lagi
berwujud pemangku Kabuyutan Mangir maupun menantu penguasa Mataram.
Mendadak
Wanabaya melihat rambutnya dijambak oleh Panembahan Senopati, lalu membenturkan
kepalanya ke singgasana yang terbuat dari batu. Sesaat Wanabaya menggelepar.
Darah bercucuran membasahi wajahnya. Disusul gerakan dua senopati Mataram yang
dengan cepat menyabetkan tombak ke dadanya. Wanabaya tak sempat menjerit.
Sebuah
kecupan lembut di kening, membangunkan Wanabaya dari semadi. Ketika membuka
mata, sosok pertama yang dia lihat adalah Retno Pambayun.
Sekar
Kadhaton Mataram itu tersenyum. “Ayo Kangmas, ikuti aku. Kita berangkat. Tak
perlu ada yang kau risaukan lagi. Percayalah, kematian adalah jalan kembali
yang paling indah.”
“Apakah
kau akan membawaku tunduk kepada penguasa Mataram?”
Retno
Pambayun hanya menjawab dengan seuntai senyum.
Wanabaya
bangkit. Ia mengikuti langkah istrinya. Tiada lain yang bisa ia lihat, kecuali
sebuah lorong bercahaya putih. Jalan menuju rumah Sang Mahasuci. (*)
Catatan:
Kemben = Bra tradisional Jawa.
Waranggana = Penari, biduan Jawa.
Kempul, gender =
Jenis gamelan Jawa.
___
Penulis
Heru Sang Amurwabumi, pendiri Komunitas Pegiat Literasi Kabupaten Nganjuk. Tulisan-tulisannya telah dimuat di media massa. Pernah menjadi anggota redaksi Harian Umum BERNAS. Cerpennya Mahapralaya Bubat, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.
Kirim karyamu ke
redaksingewiyak@gmail.com