Cerpen Lukmannul Hakim
Mendengar ucapan itu, ibunya marah. Ia tak suka jika anaknya berpenampilan gondrong. Ia beranggapan gondrong itu seperti copet, maling ataupun, tukang kriminal lainnya. Ia pun merasa aneh dengan ucapan anaknya itu, tak seperti biasanya Tayim menginginkan rambut gondrong.
"Kesambet ape sirane Yim? Dabul wong gondrong kuen," ujar Ibu Tayim.
Ada kekhawatiran dari Ibu Tayim. Ia tak mau jika anaknya dicemooh oleh tetangga, seperti dua tahun lalu. Tayim dibanding-bandingkan dengan Encut dan Entus. Mereka berdua diterima di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Di desa ini baru dua orang itu yang diterima di perusahaan besar itu, selebihnya hanya di pabrik-pabrik sekitaran Serang. Masyarakat pun menjadikan hal itu sebagai trend agar anaknya bisa kerja, seperti Encut dan Entus, dibandingkan menyekolahkan anak mereka ke perguruan tinggi.
Di pelataran gang, Tayim melewati kerumunan ibu-ibu yang sedang berdiskusi alias bergosip
"Eh, lihat tuh ada pengangguran," ujar salah satu ibu-ibu.
Tayim tetap berjalan sambil tersenyum kepada ibu-ibu itu. Menahan rasa sakit dari ucapan itu, Tayim berlari menuju rumahnya. Sore itu, Tayim melamun di bawah pohon mangga samping rumahnya. Ia terngiang ucapan "pengangguran" itu. Melihat Tayim melamun seorang diri, ayahnya menghampiri.
"Klimen Yim?"
"Boten nape-nape," jawab Tayim singkat, sambil menahan tangis. Ayahnya tahu jika anaknya ini ada masalah tapi tidak mau bercerita.
Seketika tangis Tayim meluap. Sambil memeluk ayahnya, ia bilang ingin sekali kuliah. Namun melihat kondisi ekonomi keluarga, sungguh sangat tidak memungkinkan. Apalagi untuk biaya kuliah.
Selang beberapa menit, Tayim mendadak berujar ingin menjadi penulis, seperti halnya cerita-cerita si Pitruk dan si Gareng milik teman-temannya yang sering ia baca di sekolah atau di bawah pohon mangga. Ia kepikiran ingin merantau ke kota sambil kerja, juga sambil mencari-cari komunitas untuk belajar menulis. Ada cerita yang ingin ia tuliskan, hanya saja ia belum mengetahui cara menulisnya itu. Banyak kisah sejarah dan cerita lainnya. Tapi, ia bingung memulai dari mana.
Azan magrib baru saja berhenti menggema. Jarak rumahnya dekat sekali dengan masjid, sekitar 50 meter dari rumah. Tayim dan ayahnya bergegas menuju masjid. Saat selesai salat, ia menoleh ke belakang. Di belakang ada Encut dan Entus yang baru pulang dari Jakarta.
"Kerja di mana Yim?" tanya Encut.
"Masih nganggur yah?" timpal Entus sambil meledek Tayim.
"Haha, iya nih masih nganggur,” jawab Tayim sambil buru-buru meninggalkan percakapan. Ia berpikir jika terlalu lama ngobrol. Pasti mereka akan menghina dirinya.
"Eh, Bro maaf yah, gak bisa lama-lama ada keperluan dulu," ujar Tayim pelan.
"Keperluan apa kali pengangguran ini," ledek Entus.
Di meja makan, Tayim mengungkapkan jika ia ingin merantau ke kota dan ingin menjadi seorang penulis. Mendengar hal itu orang tua Tayim memahami keputusan yang diambil oleh anaknya, meski sedikit menyakitkan harus ditinggalkan anak semata wayangnya itu.
"Silahkan Yim, langkah seorang lelaki itu panjang, kejar impianmu," tegas ayahnya.
"Kapan kamu mau pergi?" tanya ibunya.
"Besok siang," jawab Tayim dengan mantap.
Cuaca hari itu benar-benar panas, Tayim bergegas meninggalkan rumah, ia dibekali nasi dibungkus dan uang 100 ribu oleh ibunya. Itu pun celengan yang sudah lama ibunya simpan.
***
Angin berkesiur. Daun-daun kering yang ada di pelataran alun-alun kota Bandung, sambil menyelonjorkan kakinya itu, Tayim bingung hendak ke mana. Di sudut barat alun-alun, ia melihat diskusi sekelompok orang. Ia ikut duduk dan mendengarkan dengan saksama.
"Dari tadi saya liat, Akang sangat tertarik dengan diskusi ini," ucap lelaki berbaju hitam dengan kulit jauh lebih putih dari Tayim.
"Iya nih Kak, saya boleh gabung di komunitas ini? Saya pengen sekali belajar menulis," ujar Tayim.
Sejak bergabung dengan komunitas ini dan tinggal di markas komunitas dengan gratis, beberapa bulan kemudian, Tayim mendapatkan beasiswa kuliah, hasil ia mengikuti salah satu lomba menulis bergengsi di Kota Bandung.
***
Selesai kuliah, Tayim kembali ke kampung halamannya. Ia memiliki ambisi untuk mendirikan komunitas di desanya agar ilmunya bisa bermanfaat bagi masyarakat.
Tayim melihat "bocah" kembar Encut dan Entus bermain gaple di gubug warung Bi Jul.
"Dari mana aja kamu Yim?" tanya Encut.
"Biasalah nih abis main," jawab Tayim.
"Beuh gaya amat kamu ini Yim, pengangguran juga," ledek Entus.
Tayim tersenyum mendengar ucapan Entus.
"Kalian berdua gak kerja?" Tayim bertanya balik.
"Kami dipecat Yim," jawab Encut.
"Berarti kalian pengangguran dong, hahaha…."
"Iya nih. Kamu abis dari mana Yim?" tanya Encut penasaran.
"Aku baru selesai kuliah di Bandung," jawab Tatim santai.
Mendengar hal itu muka Entus memerah, menahan malu akibat ucapannya itu.
"Nanti temenin aku ke kantor desa, yah."
Jam satu siang Tayim, Encut, dan Entus menuju kantor desa. Tayim berencana mendirikan komunitas literasi di desanya itu. Namun ada halangan baginya untuk mendirikan komunitas itu. Ada kekhawatiran dari pihak desa, lantaran ia beranggapan seperti halnya anak-anak KKN yang mendirikan taman baca masyarakat (TBM), setelah beres KKN taman baca masyarakat itu ditinggalkan begitu saja tanpa adanya tindak lanjut. Tayim berjanji akan serius membangun komunitas literasi ini, ia berharap pihak desa pun ikut terlibat. Akhirnya kedua pihak menyetujui dibentuknya komunitas literasi itu, namanya komunitas "Kolam".
Enam bulan kemudian Tayim serta teman-temannya itu mengadakan kegiatan diskusi literasi besar-besaran, hingga menghadirkan bupati, tokoh-tokoh literasi.
"Keren si Tayim, bisa ngundang bupati berkunjung di desa ini," ucap ibu-ibu dulu yang menghinanya.
Sebelum acara tersebut, Ibu Tayim meminta agar rambutnya dicukur rapi. Sama seperti dulu alasan yang diberikan ibunya itu.
"Nggih Mak, mengkin Tayim cukur rambut, ba'da acara niki," ujar Tayim sopan.
Selesai acara tersebut Tayim menepati janjinya, dicukur rapi.
***
Satu bulan setelah acara itu, Tayim dan kepala desa ditangkap polisi karena korupsi uang kegiatan diskusi literasi besar-besaran. Encut dan Entuslah yang melaporkan hal itu kepada polisi.
Serang, 30 September 2021
___
Penulis
Lukmannul Hakim, siswa SMAN 1 Ciruas.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com