Oleh Encep Abdullah
Dalam tulisan Anindita S Thayf "Membaca Tanpa Membaca" (Kompas.id, 3 Okt 2021) dijelaskan tujuan membaca adalah untuk mengerti makna sebuah teks. Ketika laku membaca diletakkan dalam bingkai tantangan maka menjadi semacam permainan yang tak akan bisa mengantar pembaca ke mana-mana, selain ke halaman terakhir.
Pernyataan ini cukup menarik dan menggelitik. Di sekolah, saya mewajibkan murid saya untuk membaca buku seminggu sekali, bikin jurnal. Kalau tak habis, tak masalah, satu buku habis tak masalah, lebih dari satu buku tak masalah. Sebagian dari mereka ada yang muak, sebagian ada yang akhirnya mulai tertarik membaca yang sebelumnya kurang bahkan tidak suka membaca, sebagian (satu dua-orang) malah kecanduan dan overdosis.
Saya tegaskan begini. Pertama, sebagian yang muak itu, tidak terus saya paksakan. Bagi saya, baca saja apa pun buku yang menjadi kesukaannya terlebih dahulu. Saya tidak mewajibkan harus buku yang begini dan begitu.
Kedua, saya senang ketika ada murid yang akhirnya mulai suka membaca saat kebiasaan seminggu wajib baca dan bikin jurnal itu. Tugas baca ini adalah "paksaan" sebagai rangsangan. Sejatinya ada sebagian dari mereka yang sebenarnya suka baca, tapi lingkungan sekitarnya tidak memberi stimulus untuk membaca buku, dsb.
Ketiga, ada anak yang sangat overdosis (pakai sangat), bahkan bisa baca lima buku dalam satu minggu. Akhirnya, saya menyetop cara baca bukunya itu. Dia hanya fokus mengejar angka, kebablasan, biar dilihat teman-temannya kutu buku. Karena tujuan membacanya di luar kendali, saya khawatir kebablasannya membaca buku berakibat dia tidak mengerjakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan dengan baik. Kabarnya, kata teman-temannya, anak itu malah jadi malas ibadah dan jarang mengerjakan tugas-tugas sekolah karena terlalu fokus baca buku itu. Hal ini saya luruskan, bahwa tugas dari saya bukan bermaksud harus begitu. Akhirnya, mereka paham.
Nah, tulisan Anindita barangkali terlalu men-generalisasikan bahwa tugas paksaan membaca saya itu kepada anak-anak adalah bagian dari paksaan membaca buku tanpa membaca. Maksud membaca buku tanpa membaca buku di sini saya tahu arahnya ke mana. Saya kira ada tujuan lain di balik itu, terutama saya pribadi sebagai orang yang pernah berhubungan langsung dengan anak-anak itu. Tapi, saya ucapkan terima kasih kepada Anindita. Tulisannya cukup mencerahkan, serta tamparan bagi kita yang selalu percaya diri sebagai pembaca, tapi sebenarnya kosong. Sayang, ada bagian tertentu yang menurut saya kurang pas sebagai tolok ukur sebuah kegagalan dalam membaca.
Anindita menjawab pernyataan saya bahwa kembali lagi kepada tujuan membaca itu apa. Menurutnya, bila kita membaca 1, 2, 3 sampai 100 buku, misalnya dalam sebulan, tujuannya apa? Menurutnya itu yang terpenting.
Ada pernyataan yang cukup mengusik pikiran saya lagi. Anindita mengatakan begini,
"... ketika membaca hanya sekadar untuk memenuhi tugas sekolah atau menyetor judul buku atau masuk ke dalam daftar teratas pembaca paling rajin, jelaslah ia tidak akan bisa mengantar pembaca tersebut ke mana-mana, selain ke halaman paling akhir. Membaca juga tidak bisa dipaksakan dengan dalih demi memperluas wawasan, apalagi pada buku-buku fiksi. Bacaan 'zona aman' atau 'zona tidak aman' hanya bisa dijembatani oleh kesadaran bahwa teks hanya akan membuktikan dirinya bernilai pada orang-orang yang menyukainya dan mau mencermatinya. Membaca di bawah todongan angka-angka, entah jumlah buku atau tenggat waktu, jelas tidak akan membuat teks terlihat menyenangkan. Ia bakal mengingatkan pada buku pelajaran."
Saya kurang setuju bila tugas membaca di sekolah juga seperti dianggap "sebelah mata". Bahwa ternyata, sebenarnya hal demikian juga bisa mencetak manusia macam nomor dua yang saya sebutkan di atas. Biarkan mereka yang asal membaca atau membaca tanpa membaca itu menikmati prosesnya dengan cara mereka masing-masing. Jadi, paragraf Anindita yang saya kutip di atas itu khawatir menimbulkan sikap pesimis bagi para guru atau siapa pun yang sedang menggencarkan minat dan menularkan virus bacanya. Semoga, tidak banyak yang salah paham maksud "membaca tanpa membaca" yang dimaksud itu.
Untuk sebagian pembaca kelas berat, wacana "membaca tanpa membaca" sangatlah satire dan menampar. Bagi mereka yang masih pemula, saya kira tidak cocok menyandang gelar "membaca tanpa membaca" itu. Terlalu dini untuk divonis sebagai pembaca yang gagal. Saya yakin, Anindita juga bermula dari sosok pembaca yang gagal. Karena dia berproses, jadilah seperti sekarang ini, bahkan dikenal sebagai penulis kondang.
Anindita membalas pernyataan saya itu.
"Mungkin di situlah posisi kita berbeda. Seperti yang saya tulis, tujuan membaca adalah teks itu sendiri, memahami, mengakrabi, berdialog dengan teks dan menghasilkan teks baru. Bukan berada di luar teks: meningkatkan minat baca, mencari nilai, kenaikan pangkat, mengejar target, dll. Maka saya katakan apa tujuan membaca itu?"
Bagi saya meningkatkan minat baca, mencari nilai, itu bagian dari proses mereka yang belum suka baca atau memang harus dipaksa agar mulai mencintai buku sebagaimana agar memulai mencintai ilmu. Tujuan di luar teks itu pun tidak selamanya buruk. Saya kira harus dibedakan mana membaca sebagai proses untuk membaca (dengan benar) bagi pemula, mana membaca sebagai sesuatu yang memang harus dikritisi, yakni membaca (seorang dewasa) yang sering kali tidak membaca dengan benar.
Anindita menjawab lagi bahwa tujuan membaca teks itu sendiri, maka paksaan tidak diperlukan. Akan berproses dengan sendirinya. Tapi kalau membaca memang perlu dipaksa, baginya tidak masalah, karena masing-masing bisa punya posisi berbeda. Tapi posisi dia tetap: tidak perlu dipaksakan (membaca) baik di rumah, sekolah, tempat kerja maupun di penjara.
Bagi saya justru membaca buku harus dipaksa sebagaimana wajibnya menuntut ilmu. Karena tidak semua manusia lahir dari rahim pembaca, dari buku-buku, dari lingkungan kutu buku, maka mereka harus diciptakan agar kebudayaan membaca tak sebatas milik mereka yang kaya, yang punya uang, yang punya perpustakaan sendiri, yang dekat dengan toko buku, yang memang sudah dekat dengan buku-buku sejak kecil.
"Encep, silakan kalau mau memaksa orang untuk membaca. Masing-masing punya pilihan. Posisi saya tetap."
Saya tidak balas lagi pernyataannya karena pernyataan itu sudah menutup diskusi. Dan, saya juga sudah buntu mau menyatakan apa lagi.
Sebelum menulis catatan ini, yang ada di kepala saya dan terus membayangi saya, yaitu sebuah judul "Menulis Tanpa Menulis"--mengadaptasi dari judul Anindita itu. Tapi, untuk menuliskannya seperti apa, saya belum kepikiran memulai dari mana. Di otak saya sebenarnya sudah terkonsep untuk menjabarkan sesuatu. Sayang seribu sayang, saya ngeblank. Saya cuma bisa menuliskannya dalam pikiran saya sendiri. Lalu saya merenung, apakah ini yang disebut "Menulis Tanpa Menulis?"
Saya pun jadi teringat sebuah percakapan dengan seorang Mbak-Mbak (atau Emak-Emak?).
"Mas Encep, saya mau menerbitkan buku?"
"Boleh Mbak. Kirim aja naskah Mbak ke email saya."
"Tapi Mas, tulisannya masih ada di dalam otak saya."
"Ya udah gini aja. Otak Mbaknya yang dikirim ke email saya."
Tentu, pernyataan terakhir itu saya jawab dalam hati: sebuah jawaban tanpa jawaban. Setelah percakapan itu, saya pun tertawa lepas. Sangat puas. Benar-benar puas.
Eh, Mbak-Mbak itu bukan kamu kan?
Kiara, 19 Okt 2021
_____
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim karyamu ke
redaksingewiyak@gmail.com