Oleh Encep Abdullah
Saya pernah menulis kata mutiara "Menulis itu seksi!" kepada seorang emak-emak. Besoknya suaminya menelepon saya.
Saya menulis itu sebenarnya spontan. Dalam buku yang saya edarkan, tidak boleh ada kata-kata yang sama--meskipun tetap saja ada. Sungguh, mencari kata-kata buat pembaca itu cukup sulit, bahkan lebih sulit ketimbang menulis buku itu sendiri.
Oke, balik lagi ke persoalan di atas. Jadi, gara-gara saya menulis kata-kata itu, suami si emak-emak itu langsung mengatakan saya begini dan begitu.
"Apa maksud Anda? Anda menghadiahi buku buat istri saya?"
Saya bilang bahwa itu bukan buku hadiah, melainkan memang istrinya membeli dari saya. Dan, tidak ada maksud apa-apa saya menuliskan itu. Saya bilang bahwa "seksi" di situ bukan ditujukan buat istrinya atau buat penulis pada umumnya, melainkan kepada "pekerjaan menulis" itu sendiri-- saya sendiri juga nggak tahu kenapa harus ada kata seksi di situ, emang brenghong.
"Anda itu kan guru, juga sudah punya istri, punya anak. Masa menulis kayak gitu kepada istri saya."
Duh, saya bingung harus jawab apa. Saya tidak mau menjelaskan banyak hal terkait itu. Saya langsung minta maaf saja atas kata-kata mutiara yang ternyata bukan mutiara itu. Saya tidak bisa menjawab apa-apa karena saya memang bingung harus jawab apa. Ia mengartikan makna "seksi" seperti apa yang ada di sebagian kepala laki-laki pada umumnya. Padahal, saya juga kurang hafal sosok istrinya itu, meski mungkin pernah sekali dua kali bersua dalam suatu urusan forum guru. Tapi, saya tidak pernah membayangkan wajahnya, apalagi keseksiannya.
Selepas itu, istrinya WA meminta maaf kepada saya karena suaminya menelepon dan menegur saya. Dia bilang bahwa wajar suaminya marah karena bukan berlatar belakang sastra, apalagi penulis. Jadi, mengartikan kata itu sesuai makna aslinya. "Padahal saya tahu, bukan," katanya lagi.
Saya juga tidak memaksakan suaminya itu harus tahu maksud kata di balik kata-kata saya itu. Atau memaksanya untuk belajar menulis dan sastra. Hal ini murni kesalahpahaman.
Biasanya saya selalu menulis kata mutiara begini "Hidup adalah kisah yang harus dicatat. Kelak anak-cucumu membutuhkannya." Kata-kata yang saya lemparkan kepada rekan saya itu, rasanya cuma sekali itu saja saya tulis. Nah, setelah kena damprat itu, imajinasi saya malah lebih liar, pengin menulis lebih lagi dari itu kepada beberapa orang. Misalnya begini, "Menulis itu kayak lagi buka baju, adem!" atau "Menulis itu kayak habis boker, brot enak!" atau Menulis itu kayak indahnya malam pertama manten baru!" Atau "Menulis itu bikin otakmu mesum, waspadalah!" atau "Menulis itu bikin kau cepat mati dan masuk neraka!"
Kira-kira, apa yang bakal terjadi? Tapi, saya buka orang gila kayak Anda. Itu hanya ada dalam khayalan saya saja. Setelah peristiwa "seksi" itu, saya jarang ngasih kata-kata di awal buku. Ada yang beli buku, langsung saya paketin saja. Kecuali kalau memang pembeli buku saya itu maksa minta. Itu pun saya harus mikir dua kali, terutama pembeli emak-emak. Jangan sampai malah kata-kata itu menyakitinya.
Kok, beban saya setelah menulis buku malah makin berat. Kudu mikirin kata-kata buat mereka. Saya harus menyiapkan stok seribu kata-kata mutiara sebelum buku saya lahir. Nah, bisa jadi nanti kata-kata itu dikumpulkan jadi satu buku "Kumpulan Kata Mutiara Encep Abdullah". Setelah jadi, saya harus mencari lagi kata-kata baru buat pembeli buku saya itu. Edan! Mampus aja lu ke baskom, kapan kelarnya!
Tapi, saya juga berkaca dan banyak belajar dari kata-kata mutiara beberapa rekan penulis yang pernah saya beli bukunya. Bahkan, yang lebih "tragis", jangankan kata mutiara, satu huruf pun nggak. Saya cuma dikasih tanda tangan dan tanggalnya doang, tok cuma itu. Misalnya Sutardji Calzoum Bahri, Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Afrizal Malna, Maman S Mahayana. Mereka tidak memberi banyak kata. Mungkin itu kurang penting. Tanda tangan mereka, barangkali sudah sangat mewakili kata-kata itu. Bahkan Afrizal Malna, jangankan tulisan tangannya, tanda tangannya saja tidak jelas dan sangat absurd (sayang dokumentasinya tidak ada, buku itu dibawa jin sepertinya, saya tidak melihatnya lagi).
Di bawah ini saya akan sertakan beberapa dokumentasi kata-kata + tanda tangan penulis dalam buku yang pernah saya beli. Sebagian buku lagi yang bertanda tangan, dipinjam orang, atau hilang entah ke mana.
Dari semua dokumentasi kata mutiara dari penulis itu (atau saya sebut apa ya selain kata mutiara, sebenarnya saya masih ragu apakah sebutan itu tepat karena seperti apa yang saya rasakan, bukannya mutiara malah rongsok), saya sungguh terharu dan terpukau membaca untaian kata Yuditeha.
To: Mas Encep A.P.
Kelembutan hati tak akan menjatuhkan harga diri, bisa jadi justru memeliharanya.
9/1/19
Yuditeha dalam bukunya Imaji Biru
Juga
To: Mas Encep A.P.
Dakwa tanpa bukti adalah kejahatan, tapi kejahatan yang lolos dari bukti adalah dua kali kejahatan.
9/1/19
Yuditeha dalam bukunya Tjap
Baru kali ini saya menemukan kata-kata yang benar mutiara. Dan, kata-kata itu saya amini karena perawakannya pun sesuai dengan apa yang ia ujarkan dan katakan. Sehat selalu Mas Yuditeha, saya sangat tersentuh akan kelembutan sikap Mas Yudi dalam menulis dan ber-laku di media sosial.
Selain itu, ada satu penulis yang membuat hidup saya jadi lebih sumringah. Kata-kata dari Langlang R.
Buat Om Encep Abdullah yang ganteng.
Langlang R dalam buku Kiamat Masih Lama
Ada juga kata-kata yang cukup berpotensi bikin centong dapur melayang. Misalnya kata-kata Niduparas Erlang.
18 Desember 2015
U/Encep Abdullah
Mari mencintai istri-istri kita ...
Salam Lada
Niduparas Erlang dalam buku Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar
Bahaya! Semoga istri saya belum dan jangan sampai baca buku yang pernah saya dapatkan gratis dari Nidu ini. Apalagi sampai baca kata mutiaranya.
Sebentar, sepertinya istri saya lagi ngorek-ngorek buku di kamar sebelah. Tadi saya lupa merapikan beberapa buku yang jadi referensi tulisan ini. Termasuk buku Nidu.
Doakan, semoga kami baik-baik saja.
Kiara, 26 Okt 2021
___
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com