"Sebaiknya kau mati saja!"
Kau murka! Batok kepala yang masih lunak itu kau benturkan secara beruntun-runtun ke dinding keras ber-elemen cadas. Lalu, sekonyong-konyong raganya yang mungil kau empaskan di kasur tipis.
Dia hanya bisa menangis. Sedikit pun kau tak menggubris. Aku sudah muak dengan semuanya! Kau murka.
Sebelumnya kau juga sempat menendangnya secara membabi buta, hingga balita itu mengerang kesakitan. Meronta dengan tangisan. Tidak ada ampun. Secuil iba pun tak kau miliki. Amarah telah menjadi panglima di hatimu. Bayi malang itu merunggut-rungut lemas tak berdaya. Lalu kau bergegas mengambil perkakas dan membuangnya bak sampah. Marni terkapar beralas limbah.
***
Di hadapan seorang berseragam, pejuang perlindungan anak; melakukan anamnesis kepada perempuan tanggung sepertimu. Jelas ini masih ada hubungan dengan kejahatan yang kau lakukan. Masih memakai seragam khas tahanan, wajahmu tertunduk lemas bak tanaman kurang air. Sudah hampir lima jam kau mendekam sebagai pesakitan dan tak terhitung jumlah pertanyaan yang memberondongmu. Nahas, tak satu pun keluarga yang datang untuk menjengukmu.
Di hadapan petugas tersebut kau mulai bercerita, meski interogasi dari pihak penyidik sudah kau lalui, kali ini kau sedikit lega. Karena pewawancara terbilang agak ramah. Bermula dari perkenalan singkatmu dengan seorang lelaki di jaring sosial, kau terjebak napsu yang berkedok cinta. Lalu kalian menasbihkan diri sebagai seorang kekasih. Dan semenjak itu picisan kalian di mulai.
"Awalnya, dia sangat baik dan sopan. Ditambah perhatiannya, aku pun semakin menggilainya," katamu sambil membayangkan momen-momen bahagia dulu.
Kau merasa dunia hanya milik berdua. Lalu, cerita tentang surga itu tampak nyata; berlarian di taman-taman asri, bercumbu di bawah pohon-pohon yang terbuat dari emas sembari memetik buah-buahan yang menjuntai, sangat dekat untuk diraih. Tidak ada duka kecuali bahagia. Begitu gambaran surga yang kau imajinasikan dari pengetahuanmu. Persona sang Lelaki tak ubahnya oase di padang tandus hatimu. Sebagai seorang anak broken home, kasih sayang yang kau dapat bak mutiara di dasar laut. Susah dijangkau.
Sesekali senyum kecilmu mengembang, "Kami sama-sama saling mencintai. Semenjak Ibu meninggal sontak Bapak menikah lagi dengan perempuan yang dipaksa untuk menjadi ibu tiriku. Hanya dia lelaki yang bisa menjadi pelarianku …," ceritamu lancar.
Layaknya sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran, hampir semua gaya pacaran sudah pernah kalian lakukan. Mulai dari jalan-jalan, makan malam berdua, nonton bioskop hingga berada di peraduan malam dan bercumbu layaknya suami istri tidak tabu kau lakukan.
"… dia berbeda dengan lelaki kebanyakan. Karena sudah terlanjur sayang, aku serahkan semuanya, termasuk satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidupku!" air matamu mulai menggenang. Sedikit terisak, angan itu kembali melambung pada peristiwa satu tahun yang lalu.
Kalian menggelimpang di ranjang. Di ruang kamar melati dengan kipas listrik yang sudah mengibas.
Buzzz.
Angin sepoi-sepoi berbagi keluar dari sela-sela jarinya. Gemerisik, semakin menambah keintiman.
Dug! Dug! Dug!
Degup jantung sama-sama mengalami turbulensi.
Tik! Tik! Tik!
Hujan mulai menimpuk atap seng, layaknya sedang orkestra. Seketika berubah menjadi musik keras saat tetesan air berkelindan, pacu-berpacu menyisir sisi ujung atapnya. Sebagian lagi membercak di kaca hotel, mengintip di sebalik gorden dengan latar hiruk-pikuk kota yang masih sibuk.
Pssst …! Ttaar …!
Halilintar menggelegar. Kalian mendadak tuli. Kenikmatan berdesah sudah menyesaki gendang telinga.
Tang … Tang … Tang …
Suara hujan semakin menabuh atap. Semua penghuni kamar tak mengindahkan jika Tuhan sedang memperingatkan. Mereka semakin tenggelam dalam lautan kemaksiatan. Ranjang setinggi satu kaki tak henti bergoyang, gorden menggigil dikipas-kipas angin mesin. Kau menjerit lantang, sedangkan Supri semakin buas mencecap. Mendecap-decap.
Kau bergelayut, hatimu berkecamuk. Mencoba menagih janji, tapi lelaki tersebut selalu juara melontar janji.
"Buka pintunya …!" teriakan garang beberapa petugas keamanan penyakit masyarakat menyeruak ke dalam kamar. Menjeda semua aktivitas di dalamnya. Sayangnya kau dan Supri sudah berada di parkiran dan siap menikmati sisa-sisa malam di sudut kota. Menggelinding bersama kuda besi milik Supri.
"Katanya kalian sudah menikah?" tanya petugas tersebut kembali menjeda lamunanmu.
Gesturmu berubah, kau duduk tidak tenang, wajah yang bertopeng anonymous dan nyaris tertutup semua, hanya menyisahkan mata yang mendadak menyipit. Dengan tangan yang mengepal-ngepalkan, kau berbicara dengan nada agak tinggi, "Janji hanya tinggal janji …! Lelaki brengsek itu pergi setelah mendapati perutku terisi!"
"Tapi …," terdiam, lalu ia berbicara lagi sambil meringis, "… dia kembali lagi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Itu pun tak lama?"
"Maksudnya?"
"Rumah tangga tidak atas dasar cinta hanya semakin mengorek luka," tandasmu lalu pikiranmu kembali menerawang.
Di tengah kehamilanmu, sedikit pun lelaki itu tak memberi perhatian sebagaimana yang kalian rasakan, kala pacaran. Hamil dalam keadaan keterpaksaan, tak lebih sakit dari menanggung malu cibiran orang-orang. Ditambah rasa sakit atas kekerasan rumah tangga yang juga kau terima dari Supri, semakin membuat jiwa terguncang.
"Apa dia membantumu saat proses persalinan?" tanyanya lagi berusaha memahamimu.
"Tidak sama sekali. Sejak saat itu, dia pergi lagi entah ke mana?"
"Terus, apa motif hingga kau sengaja mencelakan bayi tak berdosa tersebut?" penasaran. Kau kembali tertunduk lemas, air matamu belum berhenti. Meski gagap kau masih berusaha untuk menceritakan semua kejadiannya.
***
Pagi itu mendung, kau tampak kurang tidur. Hampir semalaman suntuk bekerja. Ini semata untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak semata wayangmu. Namun anak yang belum genap setengah tahun itu, tak berhenti merengek-rengek. Ratapannya seolah menyesaki isi rumah. Kau belum terbiasa dengan suasana seperti itu.
"Diam! Tak ada rasa terima kasih sedikit pun. Semalaman aku bekerja. ini semua untuk memenuhi kebutuhanmu!" kau marah. Tak berhenti di situ, cacian dan makian juga tak urung kau lontarkan kepada darah daging sendiri
Dasssss!
Terjanganmu langsung menjatuhkan bayi itu ke lantai. Meradang. Kau menjadi kesetanan.
"Itu untuk bapakmu yang sudah menelantarkan kita!" cemoohmu, "Bapakmu tidak tahu betapa terpukulnya aku!" pekikmu, lalu segera menghampirinya. Tak lama kau langsung melayangkan pukulan ke arah tubuh lemahnya.
"… Dan itu untuk nenekmu yang dulu selalu merundungku! Kakekmu yang juga tidak pernah menyanyangiku!" sekonyong-konyong kau bercekikikan tanpa ada penyesalan. Pun, setelah bayi malang tersebut tak berkutik lagi. Darah daging berubah menjadi seonggok daging berdarah.
"Pergi …! Biar pergi kalian semua? Pergilah kau, Marni….!" teriakmu histeris dan menyisakan lebam di tubuh bayi yang masih merah. Lalu menjatuhkan diri di atas tubuh mungil tersebut dan tak berhenti mencium-cium pipinya.
"Maafkan Ibu, ya, Nak!" katamu, namun tak berhenti sampai di situ, kau kembali meluapkan akumulasi emosi dari mosaik-mosaik masa lalu yang kelam, dengan cara menggetil tubuhnya yang mungil. Tapi bersamaan juga perasaan cemas tengah menghampirimu, bayi yang dalam keadaan setengah bernyawa itu mengundang ketakutanmu. Tak pikir panjang lagi, kau langsung meraih kantong kresek dan memasukkan bayinya. Dalam perasaan kalut ia masih sempat berbisik kepada bayi malang tersebut.
"Kuberi kau nama, Marni? Agar kau tahu betapa susahnya menjadi Ibu seorang, Marni!"
Dan Marni mulai meninggalkan bayinya di dalam kubangan sampah.
***
"Siklus itu benar terjadi, tidak hanya dari penelitian. Marni telah membuktikan sendiri, bahwa sekitar sepertiga dari anak korban kekerasan dapat menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari," terang petugas perlindungan anak kepada salah satu oknum pihak berwajib.
____
Penulis
Eko nama panggilan dari nama pena ES. Ayata yang lahir di Pedamaran, sebuah desa di kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Seorang Karyawan Swasta penyuka sastra dan seni, baik menulis, melukis dan film. Karya cerpennya termaktub dalam beberapa antologi bersama dan media sastra. Serta beberapa novel, antara lain: Pasukan Hujan (2018), novel Sialang dan Kubu Terakhir (2019) yang menjadi novel pilihan Festival Sastra Bengkulu (2019) dan sinopsis pilihan Scene (2021). Serta novel terbaru berjudul Hewan itu Bernama Manusia yang baru selesai dirampungkan. Selain itu kesibukan penulis mengelolah beberapa komunitas menulis dan penerbit indie.
Pos-el: ekosaputraayata81@gmail.com
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com