Cerpen Kapsah
Di atas sungai kecil di ujung sebuah kampung, ada satu dari dua rumah dengan bangunan sederhana. Di sana ada seorang gadis. Gadis kampung delapan belas tahun. Gadis itu bernama Duryanti, ia bekerja sebagai pengasuh, asisten rumah tangga, penjaga warung makan atau apa pun yang ia bisa lakukan karena tak ada pekerjaan lain yang lebih baik untuk seorang lulusan SMP, kecuali orang tuanya punya jutaan uang untuk memasukannya menjadi karyawan pabrik seperti kebanyakan orang di kampungnya.
Duryanti bukan anak pertama, ia anak ketiga dari tujuh bersaudara. Semenjak kedua kakak laki-lakinya menikah dan sudah tidak tinggal di rumah lagi, ia yang harus membantu orang tuanya, bertanggung jawab atas keempat adiknya yang masih kecil-kecil. Bapaknya hanya tukang becak di pasar dan ibunya rela kuli sebagai tukang angkut batu bata dari gubuk tempat pembakaran menuju mobil. Tentu pendapatannya tidak pasti dan tidak seberapa.
Suatu hari, sekitar pukul 14.00 WIB ketika semuanya sedang istirahat sejenak dari aktivitasnya masing-masing, kecuali Duryanti yang belum pulang menjadi tukang asuh di kompleks tidak jauh dari kampungnya, keluarga Duryanti dikejutkan dengan kedatangan mobil ambulans yang diiringi polisi. Ibu Duryanti kaget dan terkejut bahkan penghuni rumah di sebelah mereka pun ikut keluar karena penasaran. Anak-anak ramai bersepeda mengikuti mobil ambulans itu, mulai masuk kampung sampai akhirnya berhenti di depan rumah sederhana di atas sungai ujung kampung tersebut.
“Assalamualaikum…” Ibu RW dan Bu Kader mengawali.
“Waalaikumsalam…” jawab Marti.
“Bu, ini saya mengantar pihak puskesmas bermaksud ingin melihat kondisi anak Ibu yang paling kecil,” lanjut Bu Kader menjelaskan.
Dipersilakan masuklah semua oleh Marti, Ibu Duryanti. Bu RW, Bu Kader, petugas puskesmas, dan sopir ambulans yang menenteng beberapa kantong plastik berisi cemilan balita, susu, vitamin, dan lainnya. Mereka semua duduk di tikar yang sudah disiapkan, kecuali Pak Polisi yang masih tetap berada di luar, mungkin karena melihat keadaan dalam rumah yang lumayan sempit. Tidak lama lagi Marti menyuguhkan minum serta kerak goreng sebagai jamuan seadanya.
“Anak Bapak dan Ibu mengalami gizi buruk,” ujar petugas puskesmas.
“Ini ada bantuan dari puskesmas untuk anak Ibu setiap bulannya. Semoga kondisi anak Ibu lekas membaik dan tolong lebih diperhatikan lagi ya Pak, Bu,” tambahnya sembari memberikan bungkusaan-bungkusan di plastik yang ditenteng Pak Sopir ambulans tadi.
Marti dan suami seperti menahan tangis dalam hati. Anaknya yang berusia hampir lima tahun harus mengalami gizi buruk, pertumbuhannya kurang baik, badannya kurus, namun perutnya buncit dan matanya celong, kulitnya kering, tidak terlihat segar dan ceria seperti anak-anak yang lain. Sedangkan tiga anak lainnya perlu biaya untuk sekolah. Namun, ini adalah bagian dari hidup yang mereka harus jalani.
Dengan keadaan keluarga yang memprihatinkan, Duryanti nekat berhenti dari tempat kerjanya dan pindah kerja ke kota yang tawaran upahnya lebih besar dan berharap bisa mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Namun perlahan-lahan ia berubah. Ia yang hanya tamatan SMP kemudian merasa sudah mampu mencari uang. Kurangnya perhatian dari orang tua, menjadikannya terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Apalagi ketika ia bekerja di kota, gaya hidupnya di kampung berubah hingga akhirnya ia hamil di luar nikah. Untuk menggugurkan rasa malu, keluarganya menikahkan Duryanti dengan lelaki yang menghamilinya, meski kemudian Duryanti langsung ditinggalkan oleh si lelaki itu. Duryanti menjadi bahan omongan orang sekampung bahkan sampai bayi dalam perutnya lahir.
Sejak lahirnya bayi perempuan tanpa bapak itu, Duryanti mulai mengurung diri di dalam rumah. Ibunya menerima cucu tanpa bapak itu dengan ikhlas sembari memunguti dengan diam dan pedih omongan orang sekampung. Sepuluh hari setelah melahirkan, malam itu cuaca dingin, hujan turun berjam-jam disertai angin dan petir, listrik pun malam itu padam.
“Ibuuu!” teriak Duryanti dari kamar. Bayi mungilnya diam, tak bernyawa. Ibu Duryanti menangis tak percaya. Bapak Duryanti berdiri pasrah. Adik-adiknya terbangun dan berdiri memenuhi pintu kamar. Tidak ada sosok bapak untuk anak itu sampai merenggut nyawa.
“Anakku kaget mendengar suara petir,” Duryanti berusaha menjelaskan.
Ditimangnya bayi mungil itu oleh neneknya. Kakeknya memanggil sanak keluarga dan tokoh masyarakat hingga setelah subuh terdengar kabar lewat speaker masjid kampung yang memberitakan meninggalkan bayi Duryanti. Sebagian sibuk mengurus jenazah dan persiapan pemakaman bayi tak berdosa itu, Duryanti dan kakaknya mencari si bapak yang ia panggil jahanam untuk hadir dan mengazani anaknya di pemakaman. Ia pontang-panting ke sana kemari mencari informasi keberadaan suaminya yang ia sebut jahanam itu, namun nihil.
Sebelum zuhur bayi Duryanti sudah selesai dimakamkan. Ibunya menguatkan dirinya sendiri kalau ini bagian dari takdir hidup yang harus dijalani. Bapaknya menangis tanpa suara tidak percaya hidupnya seberat ini. Hatinya sudah pedih dan tergores cukup dalam. Hidupnya yang sulit, anaknya yang paling kecil terdiagnosis gizi buruk, kala mendengar Duryanti hamil masih tergiang dan membekas. Setelah sudah sedikit bisa menerima kenyataan, kematian bayi Duryanti mengingatkan semua kepedihan selama ini, pedih yang mendalam.
Setelah seminggu bayinya meninggal, ia kembali pergi kerja ke kota. Bapak dan Ibu Duryanti tidak bisa melarang karena memang untuk menanggung keempat adiknya saja sudah berat apalagi harus menanggung Duryanti. Namun, baru sekitar sepuluh hari bekerja, Bapak Duryanti meminta anak pertamanya, yaitu kakak Duryanti untuk menelepon dan meminta Duryanti untuk pulang. Bapak dan ibu Duryanti seolah murka, marah, pedih, kecewa, dan tak percaya, rasanya ingin memenggal atau menggantung leher anaknya itu. Kakaknya seperti ingin menginjak-injak Duryanti saat kebenaran dan pengakuan Duryanti bahwa malam itu Duryanti mencekik bayinya sendiri.
Dia meluapkan semua kemarahan, kesedihan dan dendamnya pada laki-laki yang ia sebut jahanam.
___
Kapsah, penulis lepas.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com