Oleh Sutri Handayani
Pagi ini seperti biasa aku berangkat kerja. Aku berdiri depan gerbang rumahku yang berada di pinggir jalan. Menunggu angkot. Tak lama angkot hijau datang. AkU duduk di pojok. Aku membuka tas dan mengambil HP. Fokus main benda itu, hingga tak sadar mobil sudah penuh dengan penumpang. Lalu, aku simpan kembali HP ke dalam tas, kemudian mengamati setiap penumpang. Saat aku menengok ke samping kiriku, laki-laki bertubuh putih dengan balutan kemeja abu-abu dan celana levis, yang membuatnya terlihat karismatik. Dia memberikan senyuman kemudian kubalas senyuman itu.
Angkot berhenti di tempat terakhir. Aku pun turun berserta penumpang yang lain. Laki-laki itu kembali memberikan senyuman tanpa aku tahu siapa dia. Aku hanya dapat membalas senyuman itu sambil berjalan menuju bus yang sedang menunggu penumpang. Perjalanan ke kantor dari rumahku memerlukan waktu sekitar satu jam. Aku hanya dua kali naik angkutan umum: naik bus dan angkot hijau menuju rumah. Akhirnya, aku sampai di tempat kerjaku.
Aku sudah merasa nyaman dengan pekerjaanku sebagai sekretaris atasanku di bidang surat menyurat ataupun kegiatan kantor. Sambil duduk bersandar aku membayangkan kembali pertemuan tadi dengan lelaki itu.
Dor!
Lisa mengangetkan lamunanku. Aku terperanjat.
"Lisa … jail ya kamu! Untung saja jantungku tidak copot!" jawabku sambil sewot.
"Ya, lagian pagi-pagi sudah melamun sambil senyum-senyum. Kamu kenapa Raysa?" tanya Lisa dengan wajah penasaran.
"Ih, kepo banget sih!" jawabku sambil nyengir dan meninggalkan Lisa yang masih menyimpan rasa penasaran.
Tak terasa Pekerjaanku sudah selesai. Aku ingin cepat pulang dengan naik angkot kembali berharap bertemu laki-laki yang memberikan senyuman kepadaku tadi pagi. Bus membawaku melaju dengan cepat. Aku sampai di terminal. Aku turun dari bus dan berjalan sambil mencari laki-laki itu. Ternyata dia sudah berdiri di halte. Segera aku menghampirinya sambil memberikan senyuman.
“ Baru pulang kerja ya?” tanyanya kepadaku.
“ I ... iya,” jawabku gugup.
Kami pun berkenalan dan bercerita ke sana kemari sehingga kami terlihat tampak akrab.
Dari perkenalan itu kami sering bertelepon, WA, makan di luar hingga tiap malam Minggu aku diapelin dengan laki-laki yang ternyata baru setahun menjadi anggota polisi di polda. Lelaki ini bernama Arfan.
Keakraban kami dengan sering berkomunikasi dan bertemu membuat kami mempunyai perasaan yang sama. Saat dia mengajakku makan malam dan mengutarakan perasaannya, aku pun menerimanya. Sungguh sangat bahagia malam itu. Kini hari-hariku seperti taman yang berbunga mekar, selalu sumringah dan bersinergi. Tak terasa, kami menjalani hubungan ini sudah lebih dari satu bulan. Aku merasa nyaman. Dan, tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk menuju ke arah yang lebih serius.
Aku melihat penampilanku di cermin agar terlihat rapi sebelum menemui Arfan yang sudah ada di ruang tamu. Seperti biasa malam Minggu dia berkunjung ke rumahku. Kusapa laki-laki itu sambil membawa minuman teh untuknya.
Kududuk berhadapan dengannya sambil senda gurau. Aku pun mengutarakan keinginanku.
"Arfan, aku boleh bicara sesuatu?" tanyaku mengawali percakapan.
"Boleh," jawab Arfan dengan santai.
"Aku ingin hubungan kita lebih serius bukan hanya sekadar pacaran. Aku mengerti profesi kamu, namun aku akan sabar menunggu asal kamu ada kepastian," ucapku dengan serius.
"Aku serius sam kamu, tapi aku tidak mau segera menikah. Aku belum mapan," jawab Arfan. "Aku janji jika pangkatku sudah bagus, aku segera melamarmu. Namun, aku harap kamu bersabar ya," jawab lagi meyakinkanku. Aku hanya mengangguk, tapi pikiranku terombang-ambing.
Semenjak pembicaraan itu, aku merasa dia semakin menjauh, tidak ada kabar, apalagi menemuiku. Mungkin dia sedang sibuk. Aku harus sabar. Aku merasakan kami jarang berkomunikasi. Arfan hanya sesekali saja menelepon, itu pun hanya bertanya kabar. Sudah dua bulan ini aku tak dengar kabar lagi darinya. Aku merasa dia sudah mempedulikanku lagi.
Sore ini angin terasa hilir-mudik menyibak rambutku. Aku nikmati udara segar di belakang rumahku sambil memandangi hanparan sawah. Kudengar HP-ku berbunyi. Aku buka WA ternyata dari Arfan. Dia mengirimi sebuah foto. Namun, betapa terkejutnya saat aku membuka foto yang dia kirim ternyata undangan pernikahan dengan perempuan lain. Dan di situ tertera kalimat,
"Maaf jika aku menyakitimu dari Arfan".
HP langsung aku matikan. Batinku terasa teriris mengingat janjinya agar aku harus bersabar. Aku bagaikan anak kecil yang mau saja dibohongi. Aku tidak peka dengan sikapnya yang berubah karena aku hanya berpikiran positif dan sabar dengan janjinya. Kenyataan memang pahit dari sebuah harapan.
Aku kuatkan diri dengan mengambil wudu. Berdoa agar kegetiran ini dapat terhapus dengan kebahagiaan yang hakiki.
____
Penulis
Sutri Handayani, anak ketiga dari tiga bersaudara. Lahir di Tangerang, 4 Desember 1987. Mengajar di MTs. Negeri 2 Tangerang. Hobi membaca buku cerita sejak kecil. Kini bertempat tinggal di Kp. Saredang RT 001, RW 003, Ds. Matagara, Kec. Tigaraksa.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com
1 comments