Yth. Gubernur DKI Jakarta Bapak Anies R. Baswedan, Ph.D.
Yth. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bapenas, Bapak Dr. Ir. Suharso Monoarfa
Ysh. Ketua Dewan Pembina Yayasan Hari Puisi Indonesia, Bapak Rida K Liamsi
Ysh. Ketua Yayasan Hari Puisi Indonesia Bapak Maman S. Mahayana beserta seluruh jajaran pengurus YM Dubes Indonesia untuk Azerbaijan 2016--2020
Ysh. Atase Kebudayaan Portugal, Mr. Filipe Delfim Santos
Ysh. Para Sastrawan, khususnya para penyair dan hadirin tamu undangan yang berbahagia, baik yang hadir langsung di sini maupun yang hadir secara daring,
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Selamat malam dan salam sejahtera bagi kita semua,
Puji syukur kita haturkan kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan nikmat sehat yang masih kita terima. Semoga sehat kita adalah sehat yang afiat. Sehat yang akan senantiasa memberikan peluang kepada kita untuk terus berbuat baik dari satu waktu ke waktu berikutnya. Amin. Merupakan sebuah kehormatan bagi saya diundang Yayasan Hari Puisi Indonesia untuk menyampaikan Pidato Kebudayaan. Padahal, saya bukanlah penyair dan bukan juga sastrawan atau sarjana kesusastraan. Puisi yang pernah saya buat pun hanya untuk memenuhi tugas sekolah. Kualitasnya pun pasti hanya ala kadarnya.
Sebelum masuk kepada inti persoalan yang akan saya paparkan dalam pidato ini, saya ingin sejenak melakukan refleksi tentang puisi. Puisi? Ya, puisi! Sebab, saya hadir di sini diundang oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Ini adalah salah satu penggalan pengalaman pribadi yang betul-betul sempat membuat saya bingung. Sejak masuk sekolah dasar dan memulai belajar bahasa Indonesia ketika duduk di kelas tiga, lalu berlanjut sampai selesai sekolah menengah atas, sepertinya hanya satu puisi yang pernah saya baca, pelajari, dan ingat. Guru-guru kami, di sekolah tempat saya belajar pada jenjang SD sampai SMA itu, seingat saya, tidak pernah mengajarkan atau meminta kami untuk menengok lalu membaca puisi-puisi lain. Apakah puisi yang satu itu? Mungkin hadirin sudah dapat menebaknya, bukan? Itulah puisi hebat karya tokoh sastrawan Chairil Anwar, yaitu Aku. Mengapa dengan puisi itu kok saya malah menjadi bingung? Jawabannya sangat sederhana. Akan tetapi, saya akan menjawabnya dengan beberapa pertanyaan dulu. Apakah waktu itu, pada tahun 70-an dan 80-an kurikulum pengajaran bahasa Indonesia hanya mencatat dan menganjurkan guru untuk mengajarkan puisi Aku? Lalu, mengapa Aku? Ada apa dengan puisi lainnya? Atau memang saat itu puisi yang paling cocok untuk diajarkan kepada para murid adalah puisi Aku; demi membangun patriotisme? Masih ada memang beberapa pertanyaan lain. Yang terakhir dari rentetan pertanyaan itu adalah apakah hanya karena saya terpajan kepada satu puisi itu saja, lalu saya menjadi sangat tidak bersemangat atau menjadi tidak pernah tahu akan adanya puisi-puisi lainnya?
Akibatnya, saya tidak tahu banyak tentang puisi. Waktu itu, memang tidak banyak tersedia atau bahkan tidak ada buku kumpulan puisi di perpustakaan sekolah kami. Ini sangat berbeda dengan luasnya pemajanan saya kepada karya-karya novel atau cerita pendek. Banyak di antara novel dan cerpen itu yang sangat saya sukai; bahkan sampai kini masih bisa dengan mudah mengingat alur ceritanya. Akan tetapi, tampaknya, kesimpulan saya tersebut tidak sahih sebab banyak juga murid-murid seangkatan saya yang bahkan menjadi pemuisi hebat. Saya saja mungkin yang kuper alias kurang pergaulan. Mohon maaf, kalau pengantar pidato ini lebih seperti curhat.
Hadirin yang budiman,
Kalau kita merujuk kepada awal mula kejadian manusia, kita menemukan data bahwa bahasa adalah hal paling pertama yang diajarkan dan dianugerahkan Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya itu. Waktu itu, makhluk bernama malaikat pun belum diberi pengetahuan tentang ekspresi bahasa yang bisa digunakan untuk menamai atau menyebutkan alam sekeliling. Pengetahuan itu justru baru diberikan kepada makhluk baru berjulukan manusia. Sebab, sejak awal perencanaan Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia memang akan dinobatkan menjadi khalifah-Nya. Sebagaimana kita ketahui, pemberian pengetahuan itu tujuannya adalah untuk menyebutkan nama-nama ciptaan Tuhan yang ada di sekeliling manusia, yang mungkin berwujud (riil, nyata, dan kasat mata alias tangible) atau takberwujud (ideal, abstrak, dan takkasat mata alias intangible). Kemampuan untuk menamai atau mengenali adalah awal dari pemerolehan ilmu pengetahuan. Sementara itu, ujung atau puncak dari pengetahuan adalah hikmah. Dari perspektif ini, kita bisa menyimpulkan bahwa bahasa lahir bersamaan dengan lahirnya manusia dan kemanusiaan. Dengan kemanusiaan itu, maka lahirlah peradaban. Adapun peradaban, itu bisa kita jadikan rujukan paling nyata tentang kristalisasi ilmu pengetahuan yang berkembang di bawah naungan hikmah itu tadi. Dengan demikian, peradaban itu tidak berkembang liar tanpa kendali.
Sampai saat ini, masih banyak bahasawan yang terus meneliti untuk memastikan mana yang lebih dulu terjadi, apakah bahasa atau peradaban itu? Diskusi di kalangan mereka tetap seru dan menarik untuk diikuti. Walaupun tidak selalu bisa dipersamakan analoginya, tampaknya akan selalu muncul pertanyaan yang mirip dengan situasi itu, yaitu apakah ayam atau telur yang ada duluan? Jawabannya pasti selalu memutar, bagai menghasta kain sarung, kata pepatah Minang. Akan tetapi, apa pun yang duluan, yang lebih pasti adalah di meja makan kita akan tersaji telur ayam dengan berbagai jenis olahannya, bukan?
Hadirin yang berbahagia,
Bahasa selalu dikatakan memiliki dua sisi, yakni wujud lahir (bentuk atau struktur) dan wujud batin, yaitu makna. Demikian pula halnya kemanusiaan. Ada wujud kasar ragawi kita sebagai manusia, yaitu badan yang secara jasadi terkait dengan hal ihwal manusia. Akan tetapi, ada pula sisi kemanusiaan kita yang tidak kasat mata, yakni perwujudan sebagai khalifah di muka bumi, yang lebih mencerminkan hakikat dan fungsi yang sejatinya diperankan oleh manusia itu tadi. Dengan, dan/atau melalui, ekspresi bahasa, manusia menerangkan dan mewujudkan keberadaannya, baik keberadaan jasad ragawi maupun keberadaan karsa yang sifatnya memang abstrak, kemudian mereka mengklaim karyanya. Melalui bahasalah segala gagasan dan pikiran (karsa) dan karya itu tergambarkan. Ketika ada karsa dan karya, maka di situ akan ada bahasa yang harus digunakan untuk menyampaikan karsa dan karya itu.
Wujud atau ekspresi bahasa bisa sangat beragam, walaupun makna yang dikandung oleh ekspresi yang beragam itu sesungguhnya tunggal saja. Demikian pula halnya, wujud yang tunggal dari sebuah ekspresi bahasa sangat berpotensi untuk dimaknai secara berbeda-beda. Dalam pandangan para filsuf bahasa, penentu perbedaan pemaknaan terhadap sebuah ekspresi bahasa itu adalah penutur, mitra tutur, dan konteks pertuturan (Allan, 1986). Konteks ini kemudian diuraikan lebih jauh lagi menjadi seting pertuturan, esensi rujukan yang dituturkan, dan lingkungan tekstual dari sebuah tuturan. Ketika variabel-variabel itu dilekatkan secara utuh kepada sebuah tuturan, barulah kita menemukan makna hakiki dari tuturan itu. Dengan demikian, pemaknaan tuturan tidak bisa bebas dari konteks, penutur, dan mitra tuturnya. Adapun penutur, mereka akan menggunakan ekspresi bahasa untuk menyatakan pikiran, keyakinan, kepercayaan, penilaian terhadap sebuah gejala alam atau peristiwa yang sudah, sedang, dan/atau akan dihadapi dalam hidup penuturnya. Dengan atau melalui bahasa pula, kita semua sebagai penutur bahasa akan menunjukkan rasa sayang, cinta, penghargaan, simpati, empati, bujukan, hasutan, curiga, benci, permusuhan, perlawanan, penghinaan, atau bahkan fitnah terhadap orang lain.
Pada era digital dan disruptif saat ini, bahasa dan kemanusiaan sedang mengalami salah satu ujian terberatnya. Nilai-nilai fitrah manusia alias kemanusiaan kini seolah sedang dicabik-cabik oleh penggunaan bahasa yang sering kali tidak patut dan layak, jauh dari hakikat tujuan penciptaan bahasa itu tadi. Sepertinya, banyak pengguna bahasa tidak menyadari bahwa menggunakan bahasa adalah laksana memainkan pedang bermata ganda. Di satu sisi, pedang bisa digunakan untuk memotong, membelah, atau meluruskan benda-benda yang bengkok. Akan tetapi, di sisi lain, pedang juga bisa melukai, menusuk, bahkan membunuh kalau digunakan pada saat terjadi perang atau konflik.
Kalau kita memperhatikan kondisi di sekeliling kita, sepertinya kita sedang diberi sajian tontonan yang memilukan. Martabat kemanusiaan atau peradaban manusia yang teramat luhur sepertinya sedang jatuh menuju titik terendah dalam sejarah perkembangan manusia. Ujaran-ujaran yang secara khusus bermuatan kebencian begitu mudah terlontar dari pikiran para pengguna bahasa, yang seolah tidak bisa dikendalikan. Ekspresi kebencian itu kini diwujudkan dalam kemasan multimodal, kombinasi atau perpaduan yang sangat kompleks di antara teks, suara, gambar, dan gerakan. Hasil olah bahasa itu dapat disebarkan dengan sangat cepatnya ke seantero jagat raya melalui jalur transmisi digital yang salurannya sangat beraneka. Tidak jarang, kita menyaksikan seorang atau sebuah kelompok mencela seorang atau kelompok lainnya. Padahal, peradaban manusia sejatinya berkembang—dan memang telah berkembang—dalam suasana berbahasa yang sehat. Ia tidak dibangun atau didirikan di atas landasan kemarahan, tetapi di atas bantalan kasih sayang dan cinta, yang kemudian menjadi pangkal tumbuhnya kesehatan raga dan jiwa. Berbahasa yang sehat akan mengalirkan energi kebaikan, yang kemudian menjadi modal untuk berpikir tentang ikhtiar untuk menaikkan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, kesehatan berbahasa adalah fondasi atau bahkan menjadi prasyarat untuk berkembangnya peradaban. Bagaimana mungkin sebuah peradaban yang luhur akan dapat dibangun melalui ekspresi bahasa yang penuh dengan borok? Pasti hal itu bagaikan menggantang asap atau bagai pungguk merindukan bulan.
Hadirin yang budiman,
Kini kembali ke masalah puisi. Pemahaman terdangkal saya tentang puisi adalah bahwa puisi yang baik alias bernilai tinggi merupakan wujud kristalisasi gagasan penulisnya tentang makna dari sebuah hakikat kemanusiaan. Melalui ekspresi bahasa yang ringkas, sebuah cita-cita ditampilkan ke hadapan sidang pembaca atau pemirsa. Namun demikian, ada atau bahkan sering sekali ditemukan, para penyair atau pemuisi terjebak di dalam upaya untuk hanya mengolah wujud lahir ekspresi bahasa, tetapi justru mengesampingkan hakikat. Akibatnya, puisi hanyalah merupakan onggokan kata-kata indah yang tidak mudah dimengerti oleh manusia awam. Untaian kata-kata dalam puisi seperti ini hanya merupakan hasil dari “permainan” mengolah kata-kata semata. Padahal, pesan utama yang menjadi hakikat tidaklah sampai kepada sidang pembaca atau pemirsa yang bisa saja umumnya adalah orang awam itu tadi. Istilah kekiniannya adalah puisi itu sent atau terkirim, tetapi tidak delivered alias diterima. Dalam kaitan ini, sepertinya gerakan untuk membumikan bahasa puisi bisa menjadi salah satu tantangan besar bagi para penyair atau pemuisi. Dalam pandangan saya, sudah saatnya para pemuisi itu tidak lagi hanya berpikir untuk tetap berada di sidratul muntaha alias di kesakralan kahyangan atau di tamansari nirwana dan asyik bermain dengan kata-kata yang teramat indah yang bertebaran di benak-benak mereka. Alih-alih berada di sana, mereka harus turun ke bumi dan menyapa sidang pembaca dan masyarakat yang menanti bisikan dan sentuhan semangat para pemuisi. Inilah tampaknya jenis puisi yang akan menggugah rasa lalu bisa tampil menjadi penyemangat pemberdayaan untuk menciptakan peradaban luhur nan agung berikutnya. Puisi pemberdayaan seperti ini akan berisi esensi dari hakikat kemanusiaan. Artinya, ada sebuah keniscayaan ketika para penyair atau pemuisi menyapa khalayak ramai dan mengajak mereka bangkit untuk menyempurnakan kemanusiaannya. Hal inilah, saya pikir, yang justru lebih utama daripada hal-hal lainnya tentang puisi.
Pemahaman saya berikutnya tentang puisi adalah bahwa layaknya kristal yang berharga, puisi akan lahir dan diperoleh melalui sebuah proses yang tidak serta merta; tidak ujug-ujug. Bisa kita bayangkan bagaimana sebuah proses olah karsa dan rasa bergumul untuk menghasilkan sebuah karya cerdas, bernas, dan sarat nilai. Di sana pasti ada ketelatenan, keuletan, keteguhan, dan tentu saja cita-cita dan pengharapan serta optimisme. Semuanya pasti baru akan bisa berpadu menjadi utuh dalam rentang waktu yang cukup panjang, yang difasilitasi melalui proses belajar dan terus-terusan berlatih. Tidak mungkin penyair besar berkarakter lahir dari sebuah proses tiba-tiba (instan), sebab mereka bukanlah mi atau jenis makanan cepat saji. Karya besar akan lahir dari proses yang besar pula, untuk menggodok gagasan-gagasan besar. Ia tidak lahir dari proses sesaat, terburu-buru, dan dangkal, atau jauh dari hakikat.
Yang ketiga adalah bahwa karya-karya besar para penyair tidak pernah ditujukan untuk hidup pada zamannya saja. Karya besar diproyeksikan untuk bisa hidup melintasi zaman. Bukan hanya untuk dihafal wujud lahir bahasanya semata, melainkan juga untuk dimengerti pesan hakikat yang terkandung di dalamnya. Bahkan, sebuah karya besar yang sarat nilai sangat memungkinkan untuk menjadi rujukan untuk pengembangan peradaban kemanusiaan yang senantiasa dinamis itu. Bagaimanapun, kita semua pasti memahami bahwa bahasa merupakan salah satu entitas kehidupan dalam peradaban manusia kini yang dinamikanya paling tinggi, sedinamis para penuturnya. Dinamika bahasa sudah bisa dipastikan akan secara kuat memengaruhi karya sastra; puisi pasti termasuk di dalamnya, yang akan menerima pengaruh itu. Namun demikian, perubahan itu tidak boleh kemudian merobohkan tatanan yang sudah dibangun secara kokoh dan indah dalam rentang waktu yang panjang serta disepakati bersama sebagai karakter atau jati diri karya sastra berupa puisi itu. Sejatinya, perubahan yang dilakukan justru harus diarahkan untuk menunjukkan tingkat adaptabilitas tinggi sebuah jenis karya sastra. Bagaimanapun, ketidakmampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi akan merupakan isyarat bahwa puisi akan memasuki gerbang kematiannya. Adaptabilitas yang paling dinantikan tentu saja adalah bahwa puisi hendaknya dapat menjadi inspirasi untuk pemberdayaan kemanusiaan sebagaimana saya sebutkan sebelumnya. Untaian kata-katanya haruslah tidak mudah usang apalagi langsung mati ketika sudah terpajan kepada sidang pembaca dan pemirsa. Demikian pula isinya yang berupa pesan tentang hakikat kemanusiaan haruslah semakin mendekatkan manusia kepada kemanusiaannya untuk kemudian meraih hikmah. Dengan cara seperti ini, para penyair atau pemuisi akan tetap berada dalam suasana berkarya yang menyuguhkan pemikiran-pemikiran besar dan mendalam. Selain itu, cara seperti ini akan menjadi bukti paling sahih bahwa para penyair tidaklah hidup sendirian di ruang-ruang privatnya sambil menikmati kebebasan imajinasi dan pikirannya. Alih-alih melakukan itu, mereka berbaur di dalam pergumulan gelanggang pembangunan karakter pribadi, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. Dengan cara seperti itu pula, maka puisi akan bisa menjadi suluh kehidupan masyarakat. Semoga.
Demikian Pidato Kebudayaan yang dapat saya sampaikan di forum yang amat terhormat ini. Pidato ini sekadar ungkapan rasa dari saya yang tidak banyak mengenal puisi khususnya dan sastra pada umumnya. Akan tetapi, tidak ada salahnya kalau diterapkan kaidah sebagaimana disebutkan di dalam pepatah yang dirumuskan dengan baik oleh Ebiet G. Ade, yaitu “jangan lihat siapa bicara, tetapi dengar apa katanya”. Satu kaidah lainnya adalah “kalau tidak bisa dilakukan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya”. Wallahu ‘alam.
Mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Jakarta, 28 November 2021
____
Pidato kebudayaan ini disampaikan dalam acara Yayasan Hari Puisi Indonesia, bertempat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 28 November 2021.
Penulis
E. Aminudin Aziz, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com