Oleh Encep Abdullah
Saya akui, dalam berbicara di forum tatap muka, di mana pun itu, rasanya saya kurang begitu vokal. Bahkan keseringan diam. Bukan berarti saya tidak bisa berpendapat. Ada beberapa hal yang membuat lidah saya kelu untuk mengungkapkan sesuatu. Ini bukan cuma sekali, melainkan berkali-kali.
Pertama, saya tak mampu berbicara karena status saya di forum "bukan siapa-siapa". Saya tak punya banyak kuasa berbicara. Porsi saya sangat tipis. Mereka tahu latar belakang saya. Masa kecil saya. Atau kebodohan dan kepolosan saya zaman dulu. Kadang tampak direndahkan. Anggapan saya masih "anak kecil" atau orang yang tak mampu bersuara itu menjadi penghalang saya berbicara. "Ah, bocah, ngomong apa sih!"
Kedua, saya diam karena mereka tak tahu latar belakang saya, siapa saya, bahkan mereka tidak memberikan kesempatan kepada saya untuk berbicara. Kalau saya berbicara lantang lebih dulu, bisa jadi saya dianggap lancang dalam forum.
Ketiga, saya diam karena tidak tahu persoalan. Rasanya harus berhati-hati sekali dalam memberikan pendapat. Kalau berkomentar tanpa tahu persoalan bakal dikatakan sotoy. Saya pernah semacam itu, tampak bloon. Maka, sikap kehati-hatian ini perlu. Saya kadang harus tahu permasalahan terlebih dahulu. Bahkan, sampai forum selesai saya tidak berbicara apa-apa. Karena tanpa saya bicara, permasalahan pun ternyata selesai. Kembali lagi di sana. Saya tidak berpengaruh terhadap forum. Tapi setidaknya saya jadi tahu persoalan dan bisa mengambil pelajaran.
Keempat, saya sulit berbicara karena melihat mitratutur. Melihat dengan siapa saya berbicara, itu sangat penting. Adakalanya, dalam forum, ada orang-orang tertentu yang bebal diberikan kritik dan saran. Diberikan masukan seolah dianggap menyerang. Padahal, masukan dan kritikan dalam forum adalah hal wajar. Bila sosok yang dikritik dalam forum orangnya mudah tersinggung, apalagi brutal atau bahkan selalu memandang negatif apa yang saya utarakan, saya mendadak jadi orang paling bego sekecamatan. Semua yang benar adalah ia. Saya cuma remahan rengginang.
Kelima, saya diam karena sering kali pendapat yang diutarakan tidak pernah dianggap ada bahkan tidak pernah ditindaklanjuti. Saya pernah memberi saran kepada seseorang bahwa harusnya begini dan begitu. Saya anggap bahwa apa yang saya sampaikan ini adalah solusi yang terbaik. Bahkan sudah dipikirkan masak-masak. Tapi, masukan saya tidak pernah dianggap ada. Sering kali hanya menjadi kentut, sepintas lewat. Sudah panjang lebar berbicara, tapi tidak ditanggapi. Sungguh terlalu.
Keenam, saya diam karena apa yang dibicarakan dalam forum tidak berguna bagi kehidupan saya. Forum itu tidak memberikan saya efek apa-apa. Saya sering kali mengikuti kegiatan forum diskusi. Forum itu sangat ramai, tapi jiwa saya tidak ada di situ. Lalu, untuk apa saya berbicara?
Ketujuh, saya takut apa yang saya bicarakan ini bukannya menyelesaikan masalah, malah akan menyakiti dan menambah masalah. Meskipun saya tahu bahwa solusi yang saya sampaikan ini sesuai pada jalurnya. Lalu, untuk apa saya bicara kalau nanti ia akan membenci saya?
Kedelapan, saya diam karena situasi dan kondisi yang kurang nyaman di dalam forum. Misalnya kepala puyeng, perut mules, kebelet pengin boker atau pipis, atau sudah tidak mood karena diskusi terlalu lama. Atau gejala teknis, misalnya tidak ada mikrofon padahal ruangan sangat megah, atau mikrofon rusak, ruangan terlalu berisik, dan sebagainya.
Kesembilan, saya tidak berbicara karena memang karakter saya pendiam. Itu hal yang tidak bisa diganggu gugat.
Saya tidak pernah merasa bahwa saya ini bodoh. Saya akui Tuhan memberikan jalan lain kemudahan saya dalam berkomunikasi, yaitu menulis.
Ada seseorang yang bilang bahwa ia tidak bisa berdiskusi di forum WA karena ia tidak pandai menulis. Waduh, ini lawan yang berat. Apakah saya harus membalasnya dengan tulisan, sedangkan ia membombardir dengan lisan. Saya keder kalau berbicara karena akan mudah terpancing emosi. Kalau menulis, saya perlu pikir panjang apakah yang saya sampaikan ini sudah tepat atau belum. Ternyata baginya tulisan saya keliru. Ia lebih senang duduk bersama, ngobrol tatap muka. Setiap permasalahan harus bertatap muka. Saya tahu, kalau tatap muka saya kalah. Saya tidak bisa berbicara face to face karena saya tahu lawan saya siapa. Atau saya akan berbicara kalau saya tahu lawan bicara saya siapa.
Saya cenderung tidak mau berhadapan dan berdebat melalui tatap muka atau lisan. Saya ingin menyampaikan sesuatunya secara tertulis. Saat menulis, pikiran dan ide kreatif saya dalam memecahkan suatu masalah bisa lebih terarah. Saat berhadapan langsung, saat ia memotong pembicaraan saya, saya tidak bisa apa-apa. Tapi, ia juga tahu bahwa kelemahannya adalah menulis.
Jadi, kudu piye?
Ini yang terjadi dalam kehidupan saya sebagai penulis. Saya bisa salah paham dengan apa yang ia katakan. Ia bisa salah paham dengan apa yang saya tuliskan. Wah, mumet.
Suatu hari ada yang menulis informasi.
Assalamualaikum wr wb...... Pemberitahuan... Sehubungan di KAMPUNG IKATAN CINTA. Telah berjalan kegiatan SANTUNAN JANDA.. yg kegiatan nya ber gilir tiap bulannya dari rt 01 s/d 20. Maka untuk acara santunan bulan ini jadwal nya di rt 10 yg akan di laksanakan di JALAN CINTA. Pada HARI : MINGGU TGL 07.-11-21. JAM. 10.OO.wib s.d. selesai..UNTUK itu bagi bpk Ibu yg mau BERBAGI.pada PARA JANDA Silahkan datang pada acara tersbt. Atau mau menitipkan pada panitia yg nanti akan keliling ke tiap tiap rumah. TERIMAKASIH. WASSALAM.
(Redaksi disesuaikan)
Otak saya mendadak seperti benang kusut. Saya sangat terganggu dengan banyaknya kesalahan tanda baca itu. Saya tidak nyaman melihat tulisan macam itu. Saya seolah sedang melihat penampilan saya sendiri: rambut semrawut, muka kusut, pakaian compang-camping, sendal putus sebelah, udel ke mana-mana, belahan pantat asoy-geboy.
Saya sedang membayangkan. Saya balas pakai suara.
"Pak, tulisan Bapak perlu dirapikan!"
Ia balas juga pakai suara.
"Jangan mengkritik. Saya sudah menulis sekuat tenaga. Maklumi saja. Saya bukan guru bahasa Indonesia!"
Saya kalah telak di sini. Saya rapikan tulisan undangannya. Saya kirim lagi kepadanya.
Assalamualaikum wr. wb.
Yth. Warga Kampung Ikatan Cinta
di Tempat
Sehubungan di Kampung Ikatan Cinta telah berjalan kegiatan "Santunan bagi Janda" yang kegiatannya bergilir tiap bulannya per RT, bulan ini penanggung jawab santunan adalah RT 10. Acara insyaallah dilaksanakan pada
hari, tanggal: Minggu, 8 November 2021
pukul: 10.00 s.d.11.30
tempat: Masjid Al-Taqwa
Bagi Bapak/Ibu yang mau berbagi rezeki langsung kepada para janda, silakan datang langsung pada acara tersebut. Bila hendak menitipkan santunan, silakan hubungi panitia.
Atas perhatian dan kerja sama Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.
Wassalam.
Ketua RT 05
Kediman
Dia pun menjawab dengan tulisan.
MUucihkhg!?!!?
Duh, ada yang punya Bodrex?
Kiara, 17 Nov 2021
___
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com