Oleh Encep Abdullah
Beberapa hari ini beranda Fesbuk saya disesaki postingan tentang menulis novel dalam 1 hari. Juga menulis puisi dalam waktu 5 menit. Bagi saya, menulis cepat atau menulis lama sama saja. Menulis cepat tidak bakat. Menulis lama juga tidak bakat.
Saya pernah mendengar, konon Sapardi Djoko Damono menulis puisi fenomenalnya "Aku Ingin" hanya dalam waktu lima menit. Saya sih nggak kaget. Biasa saja. Bisa jadi memang benar dia menulisnya hanya dalam waktu lima menit. Tapi, saya yakini proses pengendapan di kepalanya bisa jadi sudah sejak lama. Jadi, saat dituangkan langsung terkonsep. Maka, jadilah!
AKU INGIN
Sapardi juga beruntung, kepopuleran puisinya itu disebabkan peran Ari Malibu dan Reda Gaudiamo yang menggubahnya dalam bentuk musikalisasi puisi. Jadi, lima menit atau pun berapa menit, tidak ada hubungannya dengan kualitas. Bisa jadi bagus, bisa jadi memang ambyar. Bergantung sepak terjang si penulis itu sendiri. Nggak mungkin dong anak saya, misalnya, usia lima tahun bisa menulis puisi macam "Aku Ingin" itu.
Kalau puisi ditulis dalam waktu singkat sih saya katakan lagi mungkin bisa dilakukan. Tapi kalau ada yang menulis novel dalam waktu singkat, gue belum bisa percaya. Antum punya wafak apa bisa menulis secepat itu?
Saya pribadi memang belum pernah menulis novel (serius sampai selesai). Tapi, saya pernah mencoba menulis novel remaja selama satu minggu. Itu tanpa riset data serius atau apa. Hanya mengandalkan catatan harian, ingatan masa lalu, dan imajinasi. Dan, hasilnya amazon! Sampai sekarang tidak saya lanjutkan karena memang sudah sumeh bin mentok. Mungkin sudah ada lima tahunan novel remaja itu mengendap di laptop saya. Hidup segan mati tak mau.
Suatu hari, saya membaca manuskrip novel teman saya (karena saya diminta menulis endors). Saya tercengang membacanya. Kerangka novelnya tertata rapi dari awal cerita sampai akhir. Sangat Serius. Bahkan, risetnya tidak main-main untuk dituangkan dalam satu bab. Saat sudah jadi buku, novel itu memang keren. Bahkan saat ini masuk 20 Besar Karya Terpilih Nongkrong.co. Semoga mendapat tempat terbaik ya, Bro.
Kembali lagi kepada konsep menulis novel satu hari atau apalah itu. Bagi saya memang mustahil. Apalagi setelah membaca kerangka manuskrip kawan saya. Rasanya saya mikir-mikir lagi buat meluncurkan novel saya yang belum rampung-rampung itu, yang (baru) saya kerjakan berturut-turut selama satu minggu itu. Isinya kayak taik kebo. Parah!
Kalau baca buku-buku proses kreatif terkait novel, tentu sudah sering saya lakukan. Tapi, baru kali ini saya dapat tamparan melihat dan membaca langsung kerangka sebuah karya (novel) sebelum diterbitkan. Wajar saja sampai saat ini saya belum bisa menghasilkan novel, wong waktu dan pikiran saya terbagi banyak dengan kesibukan ini dan itu. Dalih klasik sebenarnya agar tidak dikatakan "MALAS BERPIKIR".
Menulis apa pun itu dalam jangka waktu yang lama, sebenarnya sungguh sangat menyiksa. Semua energi arahnya akan ke sana meski tak diarahkan ke sana. Kecuali energimu memang sengaja dihabiskan untuk itu. Kau kerjanya cuma menulis. Nggak ada yang lain. Bahkan boker aja mungkin kau tahan. Bagi saya, seorang kuli di beberapa instansi, agak kerepotan membagi energi itu. Tapi, memutuskan berdiam diri tak melakukan kegiatan menulis pun adalah hal yang dilematis. Diteruskan menghabiskan energi. Dihentikan (bukan menunda ya) sangat disayangkan. Maka, dengan cara menunda menulis adalah pilihan terbaik.
Saat menulis catatan ini, sebenarnya saya juga sedang menunda pekerjaan menulis saya (tugas dari salah satu instansi untuk menulis artikel ilmiah tentang organisasi menulis saya). Saya mau memulai, tapi bingung mau memulai dari mana. Saya belum menemukan benang merah. Saya merasa sudah menunda berhari-hari. Tapi, bagaimana saya hendak memulai kalau bahan belum sepenuhnya siap. Motor nggak ada bensin, ya nggak jalan. Ibaratnya begitu.
Namun sejatinya, alam bawah sadar saya yang lain berkata, saya bukan sedang menunda-nunda menulis kok, melainkan sedang mencari waktu yang pas kapan akan memulai. Memang, saat ini saya sedang pelan-pelan mengumpulkan bahan-bahan itu. Sebagian bahan sudah terkumpul. Tapi judul masih melayang-layang di udara. Belum saya ikat. Dan, saban hari pikiran dan energi saya cukup habis memikirkan benang merah yang akan saya tulis itu.
Saya memaksakan diri membuka laptop, memaksakan untuk memulai. Tapi, nyatanya belum bisa. Karena alurnya belum terkonsep. Menunda bukan berarti tidak dikerjakan, atau berhenti untuk dikerjakan. Menunda menulis menurut saya bukanlah hal buruk, malah harus dilakukan bila memang bahan belum siap dan pikiran juga belum siap. Bila dipaksakan, hasilnya pasti tidak akan maksimal (mungkin karena memang belum deadline dan mepet banget waktunya, tunggu nanti kalau waktunya sudah mepet, jurus bismillahi paksakan akan keluar).
Jadi penulis memang serba membingungkan. Mau apa, bagaimana, begini, dan begitu, tapi kalau memulainya saja tak tahu dari mana, yo susah. Tapi anehnya, kenapa saya bisa menulis catatan ini. Padahal energi saya juga lumayan habis mengetik tulisan ini di HP. Kalau saya gunakan waktunya untuk menulis artikel ilmiah itu, padahal kan lumayan.
Bagi saya, menunda-nunda menulis catatan ini justru malah akan lebih membebani pikiran saya. Karena, yang sedang ingin saya tulis dan mood saya saat ini memang menulis catatan ini. Sejam atau lima jam ke depan belum tentu saya punya mood yang sama atau waktu luang yang sama untuk menuliskannya. Ini juga mumpung dua anak dan satu istri saya tidur malam lebih awal, jadi saya manfaatkan menulis catatan ringan ini. Selasa pagi sudah harus dipublis di kolom Proses Kreatif.
Catatan ini saya tulis pukul delapan malam. Selesai pukul sebelas malam. Lebih cepat daripada tulisan saya yang berjudul Oi, Kompas dan Nasib Penulis Kata Mutiara yang butuh waktu lama karena mencari data dulu. Bahkan ada juga catatan Proses Kreatif saya yang cukup pendek, tapi pembacanya malah banyak, judulnya Puisi Itu Anu.
Bagi saya, menulis lama atau menulis cepat tidak berpengaruh terhadap karya yang saya lahirkan kalau kemampuan menulis saya rendah. Kalau saya menulis cepat dan hasilnya bagus, anggap saja sebuah keberuntungan. Kalau saya menulis lama dan hasilnya ternyata tetap buruk, itu sih kebangetan. Haha.
Menulis lama itu sebenarnya indah bila dikerjakan sesuai prosedur dan sesuai hati nurani. Menulis cepat meskipun hasilnya indah, tapi bila tidak ada "rasa" dan "ruh" di dalamnya, malah saya seperti tak merasa melahirkan apa-apa. Bisa jadi orang lain memuji, tapi hati saya mengingkari pujian itu. Saya tak merasa ada proses berdarah-darah di sana. Tidak ada cinta di sana. Tidak "aku" di sana. Bahkan tidak ada "Dia" di sana.
Salam olahraga!
Kiara, 8 November 2021
___
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com
2 comments