Oleh Encep Abdullah
Suatu hari Sutono Suto menulis di kolom komentar Fesbuk Asa Mulchias,
"Dulu saya deg-degan kalau hari Minggu. Hari di mana cerpen, puisi, bertebaran di media sosial. Sekarang nulis di mana pun, kapan pun. Hari Minggu nggak spesial kayak dulu."
Komentar ini membuat saya bernostalgia dan kangen dengan apa yang juga saya alami sebelum media sastra daring berjibun "menyerang". Zaman kuliah, saya rajin SMS tukang koran, "Kang, jangan lupa belikan koran Minggu ya". Koran itu diantar hari Minggu atau Senin ke rumah, berbarengan dengan koran Republika pesanan Bapak--orang tua saya pesan Republika cuma hari Minggu, saya juga aneh, padahal beliau tidak mencari kolom sastra, yang saya tahu karena ada kolom "Islam Digest", selain hari Minggu setiap hari Bapak berlangganan koran lokal di sekolah, tapi tidak pesan koran lokal hari Minggu.
Deg-degan pemuatan karya memang khusus hari Minggu. Maka, wajar Mas Bamby dan kawan-kawan membuat Grup Fesbuk Sastra Minggu. Hari pestapora para sastrawan koran. Grup yang sejak 2013 saya ikuti ini menjadi grup yang perlu diikuti oleh para penulis yang siap bergelut di media massa.
Media seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Tempo, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, serempak memuat karya sastra pada hari Minggu. Sebagian koran lokal pun melakukan hal sama. Suatu kali Kompas mengubah hari pemuatan puisi ke hari Sabtu (kini almarhum), cerpen tetap hari Minggu (kompas.id terbit Jumat). Tempo pun ikut pindah pemuatan karya ke hari Sabtu (kini hanya versi digital koran.tempo.co). Akhirnya, beberapa media pun ikut berpindah pemuatan ke hari lain. Termasuk kolom yang sering saya isi di Pikiran Rakyat, yaitu kolom "Wisata Bahasa", yang awalnya terbit Minggu, kemudian pindah ke hari Kamis kalau tidak salah, dan terakhir (sekarang) pindah ke hari Sabtu.
Pemindahan ini, untuk sebagian koran, barangkali ada hubungannya dengan jatah hari libur redaksi. Mereka juga manusia, butuh liburan dan hiburan. Mereka memberi bacaan "hiburan" di hari Minggu, tapi mereka malah "bekerja". Kalau bagi Saut Situmorang, makna "hiburan" di sini tidak berarti seperti "hiburan" yang pembaca artikan, tetapi bacaan-bacaan bergizi yang membuat manusia menjadi kaum berpikir. Dengan bacaan "berat" dan bergizi itu, masa depan hidupnya akan "terhibur" (baca: bahagia).
Saat saya menjadi penulis kolom opini koran lokal, saya hampir setiap hari beli koran. Bukan sungguh-sungguh niat beli koran, melainkan mengecek apakah ada tulisan saya yang dimuat di sana. Kalau tidak ada tulisan saya, kadang tidak saya beli, kecuali kalau ada uang lebih. Kalau dimuat, kadang utang kepada teman dan beli dua atau tiga buat arsip.
Saya rajin membeli koran-koran Minggu itu di kota saat Mamang Koran langganan saya sudah tidak jualan koran lagi. Saya berangkat subuh hari karena kalau siang bisa kehabisan stok. Kini, masa-masa itu sudah tidak dilakukan lagi. Saya sudah jarang baca koran bahkan beberapa tahun terakhir ini.
Selain beli koran, saya juga sudah jarang menulis di koran lokal itu, juga media sastra lainnya. Padahal, kalau saya fokus menulis setiap hari. Deg-degan saya pasti bakal lebih sering, bahkan melebihi yang dulu karena media sastra saat ini tidak hanya memuat karya di hari Minggu. Termasuk di ngewiyak.com, redaksi sengaja memuat hari Jumat agar hari Minggu libur. Tidak mengurusi persoalan pemuatan. Padahal bisa saja dijadwal, tapi tahu sendiri redaktur sastranya selalu mengirim draf karya pada malam Kamis atau Jumat pagi, mereka ingin serius baca berkali-kali. Redaksi memindahkan pemuatan karya di hari aktif sekolah atau kerja. Tidak semata untuk hiburan dan liburan. Sastra perlu ada di hari agung. Karena saya Muslim, hari agungnya Jumat. Jadi, sebelum Jumatan, mari kita berjamaah membaca kolom sastra di ngewiyak.com.
Oh, iya Mas Bamby, kan pemuatan sastra sudah tak lagi khusus hari Minggu, Grup Fesbuk Sastra Minggu nggak diganti saja menjadi Sastra Kapan Saja atau Sastra Hari Anu dan Anu gitu? Haha ....
Sehat terus buat Mas Bamby dan para Admin Sastra Minggu.
Kiara, 16 Nov 2021
___
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com