Oleh Encep Abdullah
Dalam sebuah catatan proses kreatif, Pram pernah menulis bahwa menjawab proses kreatif menulis bukanlah hal gampang. Proses kreatif adalah pengalaman pribadi yang sangat pribadi sifatnya. Setiap pengarang mempunyai pengalamannya sendiri, sudah terumuskan atau belum. Bagi Pram dalam menulis ada sebuah ruang yang ia sebut sebagai “pulau mistikum”. Pulau di mana kawula meleburkan diri pada Gustinya, pulau di mana sang waktu berhenti bekerja, dan kerja kreatif di dalamnya merupakan keimanan.
Membaca itu saya teringat Malkan Junaidi, penulis yang selalu menghibur dan mengedukasi, khususnya saya, di Facebook. Catatan di media sosialnya selalu memberikan warna kebudayaan. Kadang satire, kadang ngelucu, kadang sadis, kadang moderat. Apa pun yang ia sampaikan selalu menarik saya baca. Suatu hari ada seseorang yang bertanya kepadanya yang sebenarnya juga tebersit ingin saya tanyakan sejak dulu. Ini sebuah catatan yang ditulis oleh Bung Malkan sendiri di FB-nya pada 22 Nov 2021.
"Kenapa orang seperti Mas Malkan, yang punya hampir semua kualitas yang layak untuk dikenang sebagai seorang maestro di bidang sastra, pemikiran, dan persoalan-persoalan ke-Islam-an (secara ia adalah santri) tidak memantapkan jalan hidupnya di keahliannya itu? Katakanlah, ia memilih jalan sebagai cerpenis atau penyair yang rutin mengirimkan karya ke media-media berbayar, atau menekuni menulis buku, seperti para penulis yang lain itu. (....) Bahasa Inggris-nya keren, tulisannya jernih, rapi, dan mendalam, pemahaman fiqih dan agamanya mantul. Mas Malkan itu emang gak ada lawan." [anonim]
Saya baca jawaban Bung Malkan sampai tuntas. Jarang saya menemukan penulis seperti ini. Pertama, sebagai seorang yang intelektual, ia sangat rendah hati. Ia menganggap dirinya belum mumpuni di bidang yang disebutkan dalam pertanyaan itu. Padahal, kalau Anda baca sendiri apa yang sering ia tulis dalam catatan FB-nya, selalu bernas. Ia selalu menyampaikan apa yang memang perlu disampaikan. Bukan untuk gaya-gayaan atau apa pun—meskipun harus saya katakan juga bahwa Bung Malkan ini agak “genit” dan “seksi” sebagai selebgram terutama saat mengunggah video sebagai kuli bangunan. Baginya susuatu yang mengganjal perlu diluruskan sekalipun ancamannya adalah bertambahnya musuh atau pemblokiran akun. Kedua, ia punya kemantapan diri. Bung Malkan memantapkan diri mencintai sastra sepenuh hati, bahkan sejak remaja. Saya sangat yakin bacaannya sangat luas sehingga mempengaruhi jalan pikirannya. Ia sangat menghormati keagungan sebuah nilai karya sastra. Seperti juga yang Pram bilang, semakin tinggi kecintaannya terhadap sastra, sebenarnya tak lain karena semakin tinggi nilai sentaknya pada kesadaran dan tanggung jawab. Di “pulau mistikum” itu seorang Malkan bekerja. Kerja kreatifnya merupakan sebuah keimanan. Keimanan itu membentuk kemantapan dirinya. Kemantapan itulah yang mengubah pandangannya terhadap banyak hal, terutama terkait makna buku. Ia mengatakan “Apa fungsi buku jika bukan untuk meningkatkan pengetahuan, menggugah kesadaran, dan menghadirkan hiburan? Dan jika fungsi itu bisa diwakili oleh tulisan pendek macam Anda baca ini, untuk apa merajut teks yang jauh lebih panjang?”
Apa yang Bung Malkan sampaikan bagi saya merupakan respons atas pengalaman hidupnya. Kembali kepada Pram lagi bahwa setidaknya pengalaman yang tidak intensif tidak cukup untuk melahirkan sebuah ilham dalam kerja kepenulisan. Jangankan yang tidak intensif, yang intensif saja kadang tidak sadar bahwa ia mendapatkan ilham. Nah, Bung Malkan ada pada dua itu: pengalaman intensif dan peka menangkap dan mengeksekusi ilham.
Terakhir, Bung Malkan memilih FB sebagai media menulis. Menulis memang bisa di mana saja. Namun, kebanyakan orang ingin terlihat prestisius dengan memaksakan diri menulis di media cetak atau media digital. Bukan berarti ia anti-media macam itu. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa, dengan media apa pun, bila karyanya punya kualitas maka akan diperhitungkan oleh pembaca. Kalau saya analogikan, Bung Malkan ini seperti Reza Rahardian, tak perlu banyak cingcong dan publikasi, toh kualitas keaktoran seorang Reza itu memberi kesan tersendiri ketimbang mereka yang banyak narsis, tapi nol bakat. Dalam dunia kepenulisan banyak semacam itu, menujukkan diri kepada publik, tapi tidak diimbangi dengan kualitas diri yang mumpuni. Ia seperti tampak intelektual, padahal kosong, kayak saya.
Saya sendiri kadang takut melontarkan sesuatu ke publik yang malah itu bisa menjadi boomerang buat diri saya sendiri. Saya tidak mampu bertanggung jawab atas apa yang saya tulis. Saya tidak bisa mengontrol napsu saya agar bisa dikenal banyak orang. Tapi, biar bagaimana pun, saya bersyukur menjadi pengarang. Karena dengannya, saya tidak menjadi manusia yang sekadar manusia, guru yang tidak sekadar guru, ayah yang tidak sekadar ayah, suami yang tidak sekadar suami, tetangga yang tidak sekadar tetangga. Seperti Malkan Junaidi, kuli yang tidak sekadar kuli. Budi Darma pernah mengatakan sekiranya begini, tukang becak menangkap kehidupan “tok” sebagai sebuah realita kehidupan, tapi tukang becak yang berlabel sebagai pengarang tidak sampai di situ. Ia punya perenungan lain yang lebih mendalam, tidak sekadar sebagai sebuah realita kehidupan. Wiji Thukul misalnya, ia melahirkan banyak imajinasi dan kesadaran diri di luar dirinya sebagai buruh dan anak seorang tukang becak.
Saya tidak bisa seperti Wiji Thukul atau seperti Bung Malkan yang barangkali pernyataan sikapnya penuh dengan risiko. Saya mau memilih jalan aman saja. Saya teringat pesan seorang tua bekas globe trotter yang hobi mengeloni The Story of Philosophy Will Durant, ia bernama Jamhur dan pernah melontarkan nasihat kepada Pram: … Pram, tulisanmu bakal mengutuki kau sendiri, dia akan jadi hakim dan jaksamu sekaligus, yang bakal memburu-buru kau seumur hidup; jangan, Pram; hiduplah dalam keamanan, dalam kedamaian, tanpa hakim, tanpa jaksa; jangan tambahi beban diri; hidup mudamu sudah terlalu banyak ditelan penjara; kau diperlukan oleh dirimu sendiri.
Saya tak tahu hendak ke mana arah tulisan ini sebenarnya. Intinya, jos buat Bung Malkan!
Pontang, 30 Nov 2021
___
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com