Cerpen Sapta Arif N.W.
“Pernahkah kau merasakan kesepian melahap sekujur tubuhmu?” pertanyaan itu terngiang di kepalaku.
Kini, seperti yang pernah kau ceritakan, aku menghadapi etalase kaca toko buku yang selalu kau sebut. Di dalam toko itu, aku melihatnya. Persis seperti yang kau ceritakan. Seorang perempuan bermata cemerlang. Ia memiliki tahi lalat di dagu kanan tepat di bawah lesung pipitnya yang indah. Namun, alih-alih memberanikan diri untuk masuk, aku justru mematung menghadapi bayanganku di pantulan kaca etalase.
Dalam jarak yang tak bisa dikatakan jauh itu, aku melihat bibirmu menempel di wajah perempuan itu dengan komposisi yang pas. Dan tatap mata itu, astaga! Itu adalah matamu. Mata yang selalu membuatku nelangsa lantaran mengingat bagaimana kau menghabiskan hidup dalam kesepian. Amat dalam.
Beberapa waktu lalu, kau kembali mengeluhkan soal sakit di kepalamu. Dan perihal mimpi yang berulang kali datang yang selalu membuatmu terjaga. Katamu, kau bangun mendapati tubuhmu terbaring di ruangan yang sangat sempit. Bahkan untuk bergerak saja tak bisa. Namun anehnya, kau justru bisa melihat tubuhmu terbaring kaku dengan mata yang tetap terjaga. Seperti roh yang keluar dari raga, kau melihat tubuhmu terbaring dalam peti. Sedangkan di ruangan besar itu, orang-orang melantunkan doa-doa. Mereka berdoa dengan wajah pucat, menunduk. Seolah menyimpan kerahasiaan yang sangat dalam.
Sejurus kemudian, seperti menyadari rohmu keluar dari tubuh, mereka menancapkan tatapan padamu. Melihat dengan mata penuh tuduhan, seolah menagih sesuatu yang belum kau selesaikan. Seketika, muncullah ia. Perempuan itu menuding ke arahmu. Mengatakan bahwa kau tak layak disemayamkan dalam ritual doa-doa baik. Kau pun tersentak terjaga, mendapati bayang wajah perempuan yang kau anggap sebagai putrimu dengan jelas.
Tuhan menciptakan firasat, tanda-tanda yang selalu tidak bisa kita ungkap bagaimana asal-muasalnya. Di kamarmu, dalam tubuh terbaring lemah, kau kembali menceritakan soal mimpi itu. Menganggap bahwa kesepian telah mengurai sisa umurmu secara perlahan-lahan. Kau pun kembali mengeluhkan soal sakit di kelapamu yang semakin menjadi-jadi. Katamu, seperti ditusuk dengan seribu jarum di seluruh permukaan kepala. Meskipun telah layu, tatap matamu selalu cemerlang menyebut nama perempuan itu. Dan perkara nasib ibunya, selalu saja membuatku menciptakan jeda. Dan luruhlah butiran kristal dari kelopak matamu. Kau kemudian diam, memalingkan wajah ke jendela. Ke langit dengan gumpalan awan. Seolah berharap menemukan wajah perempuan yang dulu pernah menjadi kekasihmu, ada di sana.
“Apakah kau pernah merasakan kesepian melahap sekujur tubuhmu? Seperti angsa hitam yang memudarkan warnanya di telaga yang sunyi. Di kesendirian malam yang gelap, tanpa bintang, tanpa awan, tanpa angin, hanya gelap yang lebih gelap dari pada gulita.”
Kau mencoba menegakkan sandaran tempat kau tidur, kemudian mencoba meraih sesuatu di atas meja. Namun, penyakit di tubuhmu seolah dengan sempurna menggerogoti sisa-sisa kekuatan yang kau miliki. Tubuhmu oleng dan tersungkur ke lantai. Aku berteriak, namun tak ada yang bisa mendengar. Kau pun tersenyum sebentar. Kemudian, tiba-tiba matamu mendelik. Aku baru sadar, ketika pintu terbuka, bersama dengan dokter dan perawat, IA datang. Mengenakan jubah hitam. Dengan wajah dingin, IA berjalan ke arahmu. Hari itu, sebelum napasmu ditarik hilang, kau sempat berpesan agar aku datang kepada perempuan itu. Sosok yang kau harap adalah anak kandung perempuanmu.
Waktu itu, Oktober yang basah di studio lukis rumahmu di lereng gunung Lawu. Ketika kekasihmu datang, kau baru saja menyelesaikan lukisan potret dirimu sendiri. Kau duduk melukis di kanvas berbentuk cermin besar yang memantulkan bayanganmu sendiri. Kekasihmu bertanya, siapa pelukis yang melukis dirinya di atas kanvas yang berbentuk seperti cermin itu?
“Itu aku,” jawabmu singkat.
“Jika itu kau, kenapa kau tutup wajahmu dengan apel merah?”
“Itu adalah kau, kita adalah satu. Kita telah menyatu.”
Kekasihmu tersenyum, memperlihatkan lesung pipitnya yang indah. Ia paham betul, kau selalu menyebutnya dengan nama Apel Merah. Hal ini tentu saja merujuk pertemuan pertama kalian. Malang yang dingin, kebun apel merah, dan pertemuan yang seolah ditakdirkan Tuhan membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kau adalah pelukis dan kekasihmu adalah penulis. Dua profesi yang selalu bergelut dengan imajinasi seolah menjadi tali yang mempersatukan kalian. Namun, sayangnya kata komitmen seolah menjadi kata asing di dalam kamus hidupmu. Sedangkan, Apel Merah adalah perempuan yang selalu membutuhkan kepastian. Bertahun-tahun kalian menjalin hubungan, namun tidak pernah satu pun di antara kalian yang berani menyinggung soal ikatan. Apel Merah seolah paham akan prinsip hidupmu. Lalu kau, selalu saja, tenggelam dalam kehidupan-kehidupan fantasi yang kau ciptakan dalam lukisan.
Karyamu kian cemerlang dan agen yang kau sewa semakin sering menyelenggarakan pameran. Mulai dari satu kota ke kota lain, hingga akhirnya dari satu negara ke negara lain. Sedangkan kekasihmu, ia adalah musim yang gugur. Yang mencoba bertahan hidup sambil meluruhkan tiap helai kerinduannya padamu. Hingga pada satu titik, ia sadar, Apel Merah sebagai perempuan, bukanlah merindukanmu. Apel Merah merindukan sosok yang mampu memberikannya kepastian.
“Kita adalah satu! Kita ada—l,” belum sampai kau kembali berkata Apel Merah mengulum bibirmu. Seolah menumpahkan cairan panas di dadanya.
Hari itu, untuk pertama kalinya kalian bercinta. Hari yang kelak akan kuingat sebagai hari di mana aku dilahirkan. Hari yang selalu kuingat, ketika kalian berada di puncak klimaks tertinggi, aku muncul sebagai dirimu yang lain dari dalam lukisan yang baru saja kau selesaikan. Hari itu juga, kekasihmu pamit untuk selama-lamanya.
Kau tak akan mengira, ketika kalian menjalin hubungan yang kau anggap baik-baik saja, kekasihmu merencanakan pernikahannya dengan laki-laki lain. Tentu saja laki-laki yang bisa memberikanya kata komitmen hidup dalam ikatan pernikahan. Selepas kalian bercinta dan kekasihmu pamit dengan wajah memerah yang tak bisa diterka artinya, kau menyadari keberadaanku. Saat itu, aku duduk menyaksikan perpisahan yang kelak membuatku harus datang ke toko buku ini. Menemui perempuan yang kau anggap sebagai buah percintaan kalian.
“Kau siapa?” ucapmu kaget, menyadari kehadiranku di studio lukismu waktu itu.
“Aku adalah kau. Ah, bagaimana aku menyebutnya, aku adalah perwujudanmu yang kau lukis itu,” aku menunjuk lukisan yang baru kau selesaikan.
“Bohong! Kau pasti setan atau roh penasaran.”
“Ssssttttsss… sebentar, sejak kapan kau percaya dengan setan?”
Mendengar jawaban itu, kau pun tercenung. Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga kau mulai terbiasa akan kehadiranku yang tidak bisa disebut sebagai roh atau pun setan. Kemudian kau menamaiku sebagai Fana. Atau yang tak ada. Meski sebenarnya secara harfiah namaku bisa diartikan hilang atau hancur.
Dua bulan kemudian, Apel Merah menikah. Kabar pernikahan itu telah sampai padamu dalam bentuk undangan. Namun, bukan itu yang membuatmu mengalami dilema besar dalam hidup. Tujuh bulan selepas pernikahannya, ia melahirkan. Ah sial! Jika mengingat hari di mana kau mendapatkan kabar soal kelahiran putri Apel Merah, aku selalu ingin memaki dan meludahimu! Kau diterpa kegelisahan yang dalam. Kau minum terlalu banyak, hingga membuatmu pingsan di sebuah bar.
Hari-hari setelahnya, kau hidup seperti kehilangan arah. Mulai jarang melukis dan lebih sering menghabiskan tabungan. Hingga hari paling gelap di hidupmu pun datang. Apel Merah meninggal. Sedangkan putrinya baru berusia lima tahun. Agen lukis yang kau sewa saat itu, ternyata pernah menjadi sahabat baik Apel Merah. Dan agen lukismu itu sedikit tahu banyak tentang hubungan kedekatan kalian di masa lalu. Ia bercerita banyak soal Apel Merah dan keluarga kecilnya.
Hari itu, kau benar-benar berhenti melukis. Dan dua tahun setelahnya hingga lima belas tahun kemudian kau dirawat dan lebih sering menghabiskan obat penenang dan obat untuk penderita skizofrenia.
“Apakah kau percaya soal firasat?” beberapa hari yang lalu kau bertanya padaku.
“Kau pasti tidak minum obat lagi.”
“Aku kembali bermimpi. Mimpi yang sama. Aku yakin perempuan itu adalah buah cintaku dengan Apel Merah,” ucapmu. Saat itu, tubuhmu semakin kurus. Kau enggan makan selain buah apel yang berwarna merah tentunya. Rambutmu yang telah memutih, rontok satu per satu setiap hari. Seperti sebagai tanda penanggalan sisa usiamu.
“Bagaimana kau bisa yakin?”
“Kejadian di studio lukis di lereng Lawu, sore itu! Kau tentu ingat. Hari di mana kau lahir dan hari di mana Apel Merah—” kau diam, memberikan jeda lumayan lama.
Kemudian, kau menegakkan sandaran tubuhmu. Meraih sesuatu di atas meja. Namun, tubuhmu yang dari hari ke hari kian lemah tak mampu meluluskan keinginanmu. Tubuhmu oleng, tersungkur di lantai. Nahasnya, bukannya meringis kesakitan, namun kau justru tersenyum. Kemudian berkata, datang dan temuilah ia. Katakan padanya permintaan maafku, pada Apel Merah dan kepadanya yang sudah pasti hidup dalam kepalsuan.
Saat itu juga, aku merasakan tubuhku perlahan memudar. Bersama dengan napasmu yang hilang, aku seperti ikut ditarik ke atas. Kurasakan kegelapan sempurna. Kemudian, ketika aku membuka mata, kudapati tubuhku berada di depan toko buku yang selalu kau sebut. Lantaran matahari yang begitu terik, aku mengusap wajahku. Kemudian melihat ke pantulan bayanganku di etalase toko. Aku tersentak kaget mendapati tubuhku menjadi seekor kucing hitam yang sedang mengibas-ngibaskan ekornya.
Ponorogo, Agustus 2021
___
Penulis
Sapta Arif N.W. adalah mahasiswa pascasasrjana Unitomo Surabaya dan Asisten Dosen di STKIP PGRI Ponorogo. Aktif di komunitas MSP, Sutejo Institute, dan menjadi salah satu pendaras media lensasastra.id.
IG: @saptaarif dan @keluargaliterasi
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com