Oleh Encep Abdullah
Saya pernah punya tetangga seorang aktivis sosial. Ia mencari orang-orang kurang mampu yang terkena musibah penyakit skala menengah ke atas. Saya lihat kerjanya. Videonya di YouTube. Saya sangat terharu. Padahal terlihat dari fisik, preman. Hatinya masyaallah.
Pernah suat hari kami ngobrol panjang dan lama di gardu. Bahkan hingga azan subuh tiba. Saya hanya mendengar kisahnya, perjuangannya, kata-kata yang begitu kaya dan bergizi. Di kepala saya berkelabatan pertanyaan, siapa dia, siapa gurunya, apa bacaannya. Kok bisa secerdas ini, penuh kata mutiara dan hikmah.
Karena penasaran, saya pun memberanikan diri bertanya--kami memang tidak terlalu dekat, meskipun ia tetangga saya, ia jarang ada di sini, ia tinggal di Jakarta, di sini hanya sebagai rumah singgah kalau main ke Serang. Saya tanya buku apa yang ia baca. Ia menjawab bahwa ia bukan pembaca buku. Saya kaget. Dalam hati, saya tidak percaya. Ah, masa secerdas ini bukan makhluk pembaca. Ia menjawab lagi bahwa bacaannya adalah kehidupan dengan terjun langsung ke lapangan melihat segala persoalan. Gurunya adalah pengalaman sehari-hari. Terutama pengalaman keras didikan orang tuanya. Saat usia muda ia disuruh pergi dari rumah dan nyari hidup sendiri di luar, tanpa bawa baju ganti dan uang yang cukup. Tapi, ia bisa hidup. Saya tidak mau menyebut ia orang mana. Anda kira-kira sendiri saja.
Dalam hati, saya malu bukan main. Saya yang ngaku-ngaku pembaca dan penulis ini, sudah sejauh mana, berbuat apa untuk orang lain. Saat melihat orang lain menderita, terkena penyakit dan bencana, butuh pertolongan, ia dengan sigap ke lapangan. Saya, kadang hanya menonton. Lalu, menuliskannya ala-ala mewek dan pura-pura empati. Tapi, tidak membantu apa-apa. Saya malu dengan bacaan saya. Pembaca tapi tidak peka terhadap persoalan sosial. Kayak puisi W.S. Rendra dalam "Sajak Sebatang Lisong": Apakah artinya renda-renda kesenian, /bila terpisah dari derita lingkungan./Apakah artinya berpikir, /bila terpisah dari masalah kehidupan.
Saya takzim kepada tetangga saya itu. Saya seperti upil dalam hidup ini. Sibuk sendiri. Autis jadi penulis. Kurang peduli kepada lingkungan. Tapi, hal semacam itu tidak berlarut menyerang hidup saya. Sembari berbenah dalam dunia nyata, saya juga menyadari, tetangga saya itu iqra langsung ke lapangan, sedangkan saya juga iqra dengan kehidupan melalui kata-kata yang tertuangkan. Dua-duanya menumbuhkan kesadaran. Menjadi sempurna saya kira tidak bisa. Namun, sebagai manusia, mengambil pelajaran bisa dari mana pun. Namun, tetap saja saya merasa ciut saat di hadapannya. Padahal orang lain merasa saya hebat dan mereka ciut di hadapan saya karena kata mereka saya penulis. Nah, bermula dari situlah kesombongan saya hadir. Saya sangat khilaf. Namun, kenyataannya, bagi saya, saya malah takzim bertemu dengan para penulis, karena bagi saya mereka bacaannya banyak. Tapi, saya menyadari, tidak semua penulis juga pembaca dan mampu memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Banyak juga penulis yang gagal dan goblok. Pembaca yang gagal dan tolol. Atau jangan-jangan kita ada di dalamnya. Termasuk saya. Silakan definisikan sendiri tolol dan goblok Anda sebagai pembaca buku dan penulis yang katanya uwow.
Barusan saya berbincang dengan Sul Ikhsan, Pemred Ngewiyak. Kabarnya, belum lama ini, ia kena prank kawannya untuk ikut MLM. Di sana ia suguhi banyak retorika dan penuh imajinasi "kekayaan berlimpah ruah". Ia merasa dirinya seperti orang goblok ada di tempat itu. Ia bilang keterjebakannya itu seperti anak kecil yang dirayu-rayu orang dewasa yang bakal dikasih permen satu karung. Ia bilang, apa gunanya baca filsafat, apa gunanya baca yang berat-berat, buku-buku keren. Katanya, ia seperti ditampari buku-buku bacaannya itu. Ia merasa sudah tak tahan ada di tempat itu. Ia menyuruh temannya untuk berpura-pura menelepon agar ia bisa segera kabur dari situ. Ia melihat yang lain banyak yang begitu antusias mendengar orang itu beretorika. Mereka terpengaruh. Sul Ikhsan tidak. Ia berjuang mati-matian menjaga idealismenya yang katanya sebagai pemikir, filsuf. Walaupun di tempat itu ia menunduk, mengangguk, dan bilang "ya, ya, ini program yang sangat bagus, bagus sekali," dalam hatinya ia berkata "taik, anjing, apa-apan ini."
Orang-orang yang pandai beretorika itu terus menggempur memengaruhi pendengarnya. Tampak seperti seorang kutu buku dan punya seabrek guru. Tapi, sebenarnya mereka juga jadi "korban" atas retorika orang lain. Mereka disuruh menulis, pasti gagap. Mereka ampun-ampunan. Sayang sebenarnya, kata-kata mereka mubazir. Itu dalam pikiran saya sebagai penulis. Dalam hati mereka pun barangkali sebaliknya, ah pintar menulis, tapi tidak peka untuk membantu. Sibuknya hanya di kamar. Peristiwa-peristiwa itu hanya jadi objek tulisan, padahal yang dibutuhkan adalah pertolongan.
Tapi ingat, bila seorang penulis terketuk hati terjun ke lapangan, ia akan jauh lebih dalam memaknai kehidupan. Ada dua cara, ada dua jalan yang ditempuhnya: pertolongan dan catatan kehidupan. Catatan-catatan inilah yang bisa menginspirasi banyak orang tanpa pembaca harus melihat langsung bagaimana si penulis itu bekerja, menolong sesama.
Tapi, di abad serbaklik ini, sebagian penulis malah terserang penyakit MLM. Demi kebutuhan hidup, mereka memberi kabar gembira kepada khalayak.
Komunitas EmElEm membuka Pelatihan Kelas Menulis Novel Angkatan Pertama dengan biaya 10 juta. Bagi yang bisa mengajak 50 peserta akan mendapat hadiah umrah gratis!
Uwow!
Kiara, 14 Des 2021
____
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com