Puisi Alda Merini (Terjemahan Eka Ugi Sutikno)
Hadirnya Orpheus
untuk Giorgio Manganelli
Aku tidak akan menyiapkan pernyataanku padamu
dalam ikatan tak berjarak,
tapi andai tanganmu, menyentuhku,
mungkin akan mengalamatkan pada kenangan,
aku akan berbaring, melebur
bersama ketiadaan bentuk, luluh dalam kegelapan,
sejauh yang aku bisa, sekresi penuh energi,
menjadi kacau kembali...
Orpheus, sahabat anyar dari keberadaan,
jauh dari kecapimu, tapi kali ini kau akan menada
rupa fajarku.
di ambang pintu, kau akan melembut, menenung
rahasia keheningan,
tidak sadar akan batasanku dari masa lalu,
kau akan melompat pada kebahagiaan, menggenggam esensi sunyi.
Lalu, menguatkan diri dahulu
isyarat keberadaan,
aku akan menjadi bentangan bunga persetujuan
lalu, mencari titik hubungan,
aku akan membiarkan nurani pemalu
dari kehidupan binatang
dan aku akan berkata pada diri bahwa aku tidak akan mencoba
selama kau membentukku,
yang tak bisa ditentukan dan kearifan hakiki,
sampai kepada permainan harmoni yang tak terduga
segala cara mengacu kepada kesimpulan yang genit.
Gadis: apakah ini intinya?
Bukankah aku pernah menggapainya,
lalu bukankah aku yang menghancurkannya,
kecewa, dilukai oleh keinginan diri?
Apa yang dimaksudkan oleh si gadis
berlainan dengan penanggulangan dari kesadaran?
Tepatnya adalah apa yang tidak aku inginkan bagi diriku sendiri:
menuntunku, mengabaikan segala rupaku,
pada klimaks ketakabadian...
Tapi kehadiran dari setiap penampilanku
betapa kegentingan tumbuh menyeru,
betapa lekasnya tawaran
dan solusi bergegas pada rahasia!
Lalu ketika, dari sentuhanku yang sama,
bentuk menyelat ke dalam waktu yang berbeda
yang tak sesering mungkin dan akhir yang tak biasa,
ketika, seluruh gelora “perasaan”-ku,
hanya sebuah pelengkap pada sisa derita,
lalu, ketika aku lebih suka akan kematian,
terpaku bahwa milik berada di diriku.
Tapi seseorang dapat melanjutkan kehidupan
tangan yang menggenggam dan mengemban suluh
dan seseorang dapat dengan bebas memberi
pada ketenangan yang terlupa sangat
ketika berbagai komplotan dari kami
melarut dan kembali meretrif,
ketika sumpah imanen
melingkupi kita bersama kehadiran absolut.
Kemudian, dalam wujud kedua lenganmu
aku menuang diri, kecil dan besar sekali,
memberi ketenteraman, memberi keresahan,
berkembang laju pada ketidakberakhiran.
Sunyikah Aku?
Ketika, dalam diri, gelora keintiman terbangun
yang bersumber dari segala badai ini
dan aku kokoh, luput, hidup,
lalu akankah aku sepi?
Dan mungkin aku akan tercerabut dari akar
harapan penangguhanku untuk cinta,
aku akan ingat bahwa buah dari setiap
tepi manusia adalah memori ketiadaan,
yang menerjunkanku pada kehadiran...
Tapi aku sampai menggigil dari sentuhan
tanganmu, sedari pembayatanku sehari yang lalu,
setiap tanda kehidupan yang menekanku
keadaan tanpa bentuk dalam ukuran pastimu.
Hanya Tangan Malaikat
Hanya tangan malaikat
yang tak tercela dengan sendiri, pada cintanya dengan sendiri,
mampu
menawariku pada lekukan dari telapaknya
membalikkan getirku padanya.
Tangan dari makhluk hidup
sangatlah kusut dalam benang hari ini maupun hari-hari lalu,
disesaki kehidupan dan plasma kehidupan yang bernyawa!
Tangan seseorang tidak akan bersih dengan sendiri
bagi saudaranya yang mereda pekik
kemudian, hanya tangan malaikat
yang jauh dari akar, yang mengandung kekekalan dan ketakterhinggan
dengan tenang mengayak pengakuan seseorang
tanpa menggetarkan telapak tanda kerasnya penolakan.
Maria si Mesir
(Tintoretto)
Pada ketaatan paras beningnya
mengilapkan ritmik fajar
persepsi liar,
malam berduka
hutan kesunyian
dilingkupi kuasa
gaduhnya waktu adalah kehati-hatian
digigilkan cahaya yang lekas tiba
adalah takdir dari raut resah.
Takjubnya bahasa yang berlari
dari jernihnya air menuju gegar
daya dari bengisnya nubuat!
.........
Kini dalam telapak si pertapa yang terbuka
diliputi cercah yang berkerumun
dari embun di atas tangkai-tangkai yang bersinar
mengesankan perpisahan, menggerak selamat tinggal.
Damai
Sejak maut mengambil alih kita
yang tak terjamah menit seperti roti
bahwa pencinta tidak tersengat olehnya begitu juga perempuan
pada tawaran puncak.
Di mana kehidupan, meluap dengan sendirinya,
memisahkan kita dari tubuh antara kawanan Gembala
yang terbuat dari cahaya,
maut terlahir karenamu. Mengempaskan segala derita
masa penghabisan dan hanya terlahir
bahwa mungkin saja sempat beralih dari rahim...
Meski begitu, jauhlah kita dari hasrat
yang meluap seketika
datang berjuang ke dalam hari-hari gelita
meski jika ia tercelup ke dalam kesempurnaan
dari esensi sejati
segeralah kita akan tumbang, dihancurkan oleh cahaya.
Pohon bukanlah pohon dan bunga
tidak memutuskan dirinya untuk menjadi cantik
ketika jiwa iblis mengharap kuasa.
Tapi hari kematian
ketika pencinta, pengendara kereta tempur yang suram,
membiarkan tali kekang,
ya, babak suci
akan terhampar dengan sendirinya dalam kuasa kerajaan.
Dan makna akan tersingkap,
dan segalanya berada pembaringan,
ketika semua yang tumbang akan bernapas waktu,
napas sempurna.
Kini hanya hasrat cabul
yang dapat mengambil segalanya, tapi esok
ketika maut masih gagah...
____
Penulis
Alda Merini (1931-2009) dikenal sebagai penulis dan penyair perempuan Itali yang pernah dinominasi mendapatkan penghargaan hadiah nobel selama dua kali. Puisi di atas dialihbahasakan dari bahasa Itali ke bahasa Inggris oleh Susan Stewart dari buku Love Lesson: Selected Poems of Alda Merini (2009).
Penerjemah (Inggris-Indonesia)
Eka Ugi Sutikno yang giat di Kubah Budaya dan mengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang. Selain itu ia menyibukkan diri di Kabe Gulbleg.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com