Esai Eka Ugi Sutikno
Suatu siang, saya bersama seorang kawan sedang duduk di muka mini market. Kami menghabiskan waktu untuk menunggu kawan yang lain, sambil meminum kopi dan mengisap rokok kretek. Beberapa waktu kemudian, si yang ditunggu pun datang: perawakannya tinggi dengan bahu yang bidang. Parasnya putih makin sempurna dengan matanya yang sipit. Meski seperti itu, kawan yang satu ini sama sekali tidak memiliki garis keturunan Tionghoa. Ia adalah kawan internasional kami yang ingin menghabiskan beberapa tahun untuk menyelesaikan studinya. Ia berasal dari negara sakura.
“Hai. Bagaimana kabar kalian? Apakah saya sudah menjadi orang Indonesia?”
Sebenarnya ucapan tadi merupakan sindiran dan merupakan salah satu stereotip buruk mengenai Indonesia. Akan tetapi kami lantas terbahak-bahak dan seolah tanpa mempedulikan kritik mengenai orang-orang Indonesia yang sering terlambat. Lantas. Apakah orang Indonesia memiliki tabiat yang sering terlambat ketika berjanji, terlambat datang ke sekolah, sampai ke tempat kerja, hingga terlambat menetapi rapat.
Di belahan bumi lain, sebut saja Dani, ia adalah diaspora yang sudah menetap di Amerika Serikat selama dua tahun. Awalnya ia mengeluh karena begitu sulit mendapatkan pekerjaan. Bukan karena ia tidak pintar, juga bukan imigran gelap, maupun tak berpendidikan. Melainkan ia selalu saja kalah bersaing dengan orang India. Menurut pewawancara yang sekaligus menjadi manager perusahaan bahwa orang Indonesia sama halnya dengan orang Meksiko. Mereka lamban dan sering datang terlambat. Tidak seperti orang India. Mereka cekatan, tepat waktu, dan perhitungan.
Kedua fenomena di atas merujuk kepada stereotip yang serupa, yakni terlambat. Tentu saja, stereotip mengacu pada pemberian identitas bahwa ia, manusia Indonesia, sering terlambat dan mungkin saja tidak dapat dipercaya untuk bekerja sama, ya, karena keterlambantannya itu. Lalu apa yang dinamakan stereotip (stereotype)? Mengapa dan bagaimana seseorang mendapatkan stereotip?
Stereotip memberikan cara yang cepat dan sederhana untuk mengklasifikasikan orang yang berasal dari budaya lain (Hurn & Tomalin, 2013). Cara penilaian ini begitu spontan dan sempit sehingga tidak memungkinkan adanya variasi penilaian. Apabila melihat contoh pertama di atas, stereotip tampak biasa dan tidak berbahaya karena cara penilaian ini ditampakkan melalui wajah yang humor, akan tetapi tetap sedikit menyakitkan karena sudah menilai secara keseluruhan bahwa orang Indonesia sangat suka terlambat. Stereotip memang dapat menyakitkan bagi orang yang dialamatkan. William Shakespeare melalui Merchant of Venice-nya menggambarkan adanya stereotip buruk terhadap orang Yahudi. Di sana kita dapat melihat bahwa orang Yahudi dikenal sebagai manusia yang perhitungan, pelit, dan menjijikkan. Melalui penilaian sempit ini akhirnya akan berujung kepada prasangka rasial yang terus menerus diulang sehingga konflik horisontal akan terlihat sebagai sesuatu yang riil dan dilembagakan oleh sekelompok orang.
Stereotip juga digunakan sebagai alat untuk menertawakan budaya lain, misalnya aksen. Orang Banyumas tentu memiliki bahasa yang hampir sama dengan orang Jawa Tengah, akan tetapi yang menjadi kontras adalah logat atas tekanan fonetik bahasanya. Orang Banyumas hingga Kebumen ini boleh jadi akan dikucilkan karena memiliki logat yang aneh, lucu, atau bahkan memalukan sehingga identitas atas gaya ucap ini mereka sembunyikan apabila mereka berada di luar daerahnya.
Maka terdapat banyak alasan mengapa orang melakukan hal yang stereotip terhadap budaya lain. Pertama, untuk cepat memproses informasi baru mengenai seseorang atau situasi tertentu. Kedua, untuk mengatur pengalaman sebelumnya. Ketiga, untuk menekankan perbedaan antara mereka dan individu atau kelompok lain (misalnya untuk menyampaikan bahwa "kami" lebih unggul dari "mereka"). Kelima, untuk membuat prediksi mengenai perilaku orang lain. Kelima, untuk menyederhanakan hidup mereka (Jackson, 2014).
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tindakan stereotip merupakan embrio atas lahirnya chauvinisme (merasa budaya sendiri lebih baik daripada budaya lain) dan rasisme. Hal tersebut disebabkan oleh pembentukan opini yang seringkali tidak akurat, memiliki sedikit fakta yang mendasar, dan terlalu mudah menyederhanakan nilai atas budaya lain. Akan tetapi, apakah seseorang yang menilai itu memiliki budaya yang lebih unggul dari orang yang "diejek"? Sayangnya, orang yang memiliki perspektif buruk terhadap budaya lain malah besar kepala dan terus memberikan sosialisasi kepada orang yang satu ras atau suku bahwa budayanya "lebih baik" daripada budaya yang lain. Sehingga pandangan tercela ini akan lebih membahayakan ketika terjadi konflik seperti yang terjadi di Rwanda, di Amerika Serikat atas Asian Hate-nya, hingga Jerman atas fobia terhadap imigran.
Daftar Pustaka:
Hurn, B. J., & Tomalin, B. 2013. Cross-Cultural Communication (Theory and Practice) (1st ed.). Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1057/9780230391147
Jackson, J. 2014. Introducing Language and Intercultural Communication. In Introducing Language and Intercultural Communication (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315848938
___
Penulis
Eka Ugi Sutikno tinggal di Serang, Banten. Selain mengajar di beberapa universitas ia menyibukkan diri di Kubah Budaya dan Kabe Gulbleg.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com.