Oleh Encep Abdullah
Dulu saya sempat ingin ikut lomba yang diadakan Om Bos Denny JA. Hadiahnya 5 juta atau berapa begitu, saya lupa karena saking-terlalu-amat sangat banyaknya. Intinya perwakilan per provinsi ada. Wah, saya yakin, saya juga bisa dapat kalau ikutan. Tapi, entah kenapa berat sekali saya menuliskannya. Padahal istri sudah ngomel-ngomel terus minta sebuah kulkas. Saya yakin, dengan saya ikut itu, istri tidak akan ngomel lagi.
Dada saya berkecamuk. Saya tidak mau. Duh, lebih baik dimaki-maki istri daripada dimaki-maki batin saya sendiri. Saya tahu ini hal sangat membikin saya puyeng. Saya sudah mentok mencari uang. Apakah ini jalan Tuhan? Saya malah tidak yakin. Sampai saya bikin tulisan di beranda Fesbuk. Ada teman yang bilang, ikut ya ikut saja, tidak ada urusan uang itu dari mana, yang penting istrimu senyum.
Gila memang. Godaan uang macam ini teramat berat. Berhari-hari saya tidak bisa tidur karena ocehan istri. Kulkas kebutuhan penting dalam urusan perdapuran. Saya hendak ke mana mencari jalan.
Saya mendadak pengin baca buku Chairil Anwar. Di sana ada salah satu esai, kalau tidak salah berjudul "Hoopla!". Dalam tulisan itu ada kata-kata menohok batin saya: "Lebih baik tidak menulis daripada memperkosa kebenaran, kemajuan."
Saya berkali-kali baca. Istri masih ngoceh terus. Di kepala saya ada empat suara: Denny JA, Istri, Uang, Kulkas. Terus-terusan begitu. Tulisan Chairil ini menunjukkan arah bahwa saya TIDAK USAH IKUT. DUNIA TIDAK SESEMPIT YANG KAU PIKIRKAN. TUHAN MENYIAPKAN REZEKIMU DI RUANG LAIN.
Ah, saya mantap. Sehabis baca esai ini saya merasa mantap. Mencari hasil keringat tanpa keraguan di dalamnya. Biarkan mulut istri terus menggerung-gerung, meraung-raung di telinga saya. Saya tidak mau memaksakan diri mencari sesuatu yang bertolak belakang dengan ketidakmauan saya. Seperti sepasang magnet yang saling menahan agar tidak saling menempel.
Dalam kondisi terdesak, manusia sering kali memutuskan pilihan yang sebenarnya bukan atas dasar kehendaknya. Butuh penguat untuk menolak. Kata-kata Chairil menjadi penguat prinsip saya itu.
Beberapa waktu kemudian, saya mengikuti sebuah lomba cerita anak. Di sana hadiahnya 7 juta. Saya tergerak hati untuk ikut walaupun saya bukan ahli penulis cerita anak. Karena setiap malam saya membacakan cerita anak kepada anak saya, bahasa-bahasa yang ada dalam cerita itu terngiang-ngiang. Akhirnya, saya mencoba menulis. Saya cari kawan ilustrator untuk buku cerita ini. Kalau menang, kata saya hadiahnya bagi 50:50. Dan, saya dapat juara pertama. Saya 3,5 juta, teman saya 3,5 juta. Fix, saya putuskan untuk membeli "lakban" buat istri saya. Tanpa banyak cingcong, kami langsung beli kulkas seharga 3,7 juta. Malah, nombok 200 ribu lagi. Wadiaw, tapi alhamdulillah ketemu di celana dalam. Haha.
Ini benar-benar buah kesabaran. Tuhan ikut berperan, saya tidak buru-buru mengambil keputusan yang sebenarnya bukan hasil keputusan hati nurani saya.
Bahkan, saat saya awal-awal menikah, jangankan punya kulkas, tidur saja hanya pakai tikar. Suatu hari saya disuruh jadi juri cipta cerpen atau baca cerpen begitu, dan diminta satu orang lagi untuk menemani saya. Karena yang menemani saya setiap waktu adalah istri, saya pilih istri saya jadi partner juri. Selepas menjuri, ternyata honornya cukup untuk beli satu kasur empuk dengan setinggi 30 cm. Alhamdulillah, dari situ lahirlah satu anak.
Terkait masalah uang, saya juga pernah mendapat kehormatan menjadi salah satu pemuda inspiratif di bidang sastra. Tentu saya sangat bangga. Saya dapat uang. Saya dapat predikat "inspiratif". Pokoknya itu keren tak terbantahkan. Suatu hari saya mendapat surat dari bapak polisi, bahkan dua kali, dan disuruh menghadap ke kantor mereka terkait honor predikat kehormatan itu dari sebuah lembaga kesenian. Ternyata, uang yang saya dapatkan itu dikorek-korek, apakah benar saya tanda tangan dan mendapatkan uang itu. Karena, lembaga kesenian (baca: oknum) yang memberi saya predikat sebagai pemuda inspiratif di bidang sastra itu ternyata terendus kasus korupsi. Waduh! Untung uang itu tidak disuruh dikembalikan karena pada saat saya menerimanya, memang sesuai dengan prosedur. Alhamdulillah.
Kalau berbicara masalah uang, tak akan pernah habis. Tapi, dari pengalaman macam ini, saya jadi lebih berhati-hari mendapatkan rezeki, khususnya uang. Jangan sampai harga diri saya terinjak-injak hanya karena memberhalakan uang.
Sebenarnya, hari ini saya mau libur dulu menulis di kolom ini. Tapi, saya tidak bisa. Saya kepingin curhat ini. Semoga Anda dapat menerimanya dengan senyum yang lebar dan hati yang penuh renungan.
Kiara, 4 Januari 2022
____
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di NGEWIYAK.