Cerpen oleh Fathorrozi
Mata istriku tak sama dengan mata perempuan lain. Kala siang, kornea matanya menyilaukan seperti sinar matahari. Sewaktu malam, dari pupil matanya ada yang menyemburat seperti cahaya bulan. Ketika istriku emosi seperti tempo hari, bola matanya tiba-tiba hilang, sehingga tak mampu kupandang. Jika memaksa, seperti ada bola api yang menjilat-jilat tepat di rongga bola mata itu. Jilatan api yang lapar, hendak menghanguskan apa saja yang terhampar di hadapannya.
Lensa mata istriku senantiasa bersinar kendati malam hari mati lampu. Kerap kali ia ke dapur menjerang air atau menghangatkan sayur di malam gulita tanpa bantuan alat penerang lain. Tanpa menghidupkan lampu dan tak membawa senter. Tangannya sigap meraih perabot yang dibutuhkan untuk keperluan di dapur. Tanpa ragu dan tak meraba-raba. Sesekali aku mengintip di balik pintu atau jendela kamar yang menjurus ke dapur. Sinar itu teramat benderang. Hingga dari jarak jauh, aku bisa melihat letak paku gantungan kain lap di atas tempat cuci piring.
Tak bisa kutampik keunikan mata istriku. Sewaktu mencari Icha, adik istri si bungsu, saat dibawa kabur pacar barunya --yang usut punya usut ternyata om dari garis ibu mertua-- menerobos malam yang pekat, sama sekali aku tak risau ketika lampu motor mendadak mati di tengah kebun karet dekat pemakaman umum. Cahaya mata istriku sungguh tak kalah daripada cahaya lampu motorku. Jarak ukur cahaya mata istriku sejauh mata memandang. Dan lantaran seberkas cahaya yang berasal dari mata istriku, Icha dan Om Daniel ditemukan di rerimbun kebun tebu, seberang jalan tempat lalu-lalang penduduk kampung menuju kantor desa. Tak usah kukisahkan keduanya sedang apa saat ketangkap basah, khawatir sumbu api di mata istriku kembali tersulut.
Sorot matanya setajam mata badik. Atau lebih tajam ketimbang parang jagal sapi. Seperti insiden Icha dan pacarnya di kebun tebu itu, serta-merta mata istriku menyorot bunga tebu yang sedang berayun-ayun di tengah kebun. Setiap batang tebu yang tersorot mata istriku, tertebas hingga ke pangkal. Sehingga tangan tak perlu repot menyingkirkan batang dan daun yang merintangi jalan kami.
Tak hanya itu. Mata istriku juga bisa menelanjangi siapapun. Kendati berlapis-lapis baju yang dikenakan. Acapkali istriku senyam-senyum sendiri saat ia keluar dari kamar dan menjumpai tamuku.
“Tamu Mas tadi yang katanya kerjanya enak, bayarannya banyak, lucu. Hahaha... Lucu sekali,” ia bercerita di saat tamuku yang berseragam safari itu pamit undur diri.
Aku melongo, “Kenapa?” rokok kretek kesukaan masih kugapit.
“Bayaran gede kok celana dalamnya bolong-bolong. Tepat di bagian sarang itunya. Hahaha...” ia terkekeh di teras sambil duduk di kursi plastik. “Ayamnya berkokok. Kukkuruyyuuuuk...” imbuhnya. Tawanya membuncah dan lepas.
“Hust,” telunjukku kutaruh di bibir. “Ayo, masuk!” aku ajak istri kembali ke ruang tengah, menonton liputan terbaru di televisi.
Aku mau ketawa, tapi takut dosa. Kuhimpun saja rentetan tawaku ke kaleng Khong Guan di meja tamu. Di dalam kaleng itu sudah berserakan kelakar-kelakar kami yang bersumber dari kekonyolan mata istriku. Jika telah penuh, kaleng itu akan kutuang dan kubagikan kepada sanak dan tetangga yang kurang beruntung nasibnya, agar bisa bermuka semringah dan unjuk gigi meski beberapa saat.
Tragedi tempo hari, lain lagi. Tepat lima hari dari libur kerja, bola mata istriku hilang. Berganti bola api yang kobarannya menyambar-nyambar. Sesekali meletup-letup seiring gigi-giginya yang bergemeletuk.
Berikut kisah lengkapnya:
Semenjak libur kerja, kegiatanku hanya ngopi, rebahan dan sesekali baca buku. Tetapi lebih banyak rebahan. Kadang di kursi panjang ruang tamu, kadang pula di ranjang kamar lantai dua. Lebih sering di ranjang, sekalian menghindar dari pantauan istri. Di ruang sepi yang tanpa rengekan anak dan teriakan istri itu aku merasa aman dan nyaman. Tangan kiriku tak pegal setiap saat pegang handphone. Telunjuk dan jempol kanan tak bosan men-scroll layar di dinding Facebook dan feed Instagram, ke atas dan ke bawah. Setelah mentok sampai ke bawah, ke atas lagi. Disegarkan, lalu digeser ke bawah lagi. Demikian seterusnya hingga tertangkap di mataku sebuah nama dengan foto yang tak asing lagi. Teman cewek saat SMP dulu. Lebih tepatnya mantan. Ya, mantan teman curhat. Sudah lama mengajukan pertemanan setelah sekian hari kuketik namanya di menu pencarian Facebook, konfirmasi baru saja ia lakukan. Dan di hari itu, lima belas menit yang lalu ia menulis di berandanya: mending aku hidup sendiri ketimbang berdua tapi selalu tersakiti. Jariku menggulir layar ke bawah, terdapat foto anak kecil imut dengan caption: "Selama ini aku bertahan karenamu".
Aku tak berani berkomentar. Keinginan untuk ikut campur urusan keluarganya kusimpan rapat-rapat. Aku tak habis pikir. Padahal seusai ia lepas kontak dariku semasa lulus SMA, kudapati kabar ia bahagia sekali menerima pertunangan Faril, teman sekelas kami yang dijuluki Si Raja Tega. Dan tentu anak imut di foto itu adalah buah dari cintanya.
Kugulir layar ke bawah dan terus ke bawah, banyak sekali curahan pedih Ningrum yang terlukis di bentangan kanvas akun medsosnya. Sekujur tubuhku serasa disiram air panas. Ingin komentar, tapi kutahan. Takut diketahui umum, lebih-lebih istriku atau suami Ningrum. Kuambil jalan aman lewat jalur pribadi. Kuawali dengan basa-basi; tanya kabar, aktivitas, dan lain sebagainya hingga merembet ke perkara keluarganya. Pendek kata, kurang lebih dua tahun terakhir ini Ningrum bagai hidup di penjara, bahkan di neraka. Faril sering tak ngasih belanja, suka mukul dan mabuk saat pulang kerja.
Kuberikan kepadanya nomor WhatsApp, “Jika sekali-kali kau butuh aku, silakan kirim pesan. Jangan telepon, istriku selalu mengawasi.”
Hanya hitungan menit dari itu, Ningrum menghujaniku dengan beberapa pesan. Memintaku untuk membantunya keluar dari belenggu prahara. Kubantu ia mencarikan solusi jitu. Mulai level ringan hingga level berat kutawarkan. Namun, di akhir percakapan ia menyodorkanku level paling berat; memintaku menikahinya. Secepat itu? Kelimpungan menderaku. Sambil menyandarkan punggung, aku menimbang akibat baik-buruknya.
Tiba-tiba tembok yang kusandar terasa panas. Hawa kamar gerah. Aku mandi peluh. Selang beberapa detik, kuketahui gejala itu berasal dari mata istriku. Biji matanya lenyap. Bara api berloncatan dari matanya. Berhamburan menyerangku. Aku tak kuasa mengelak. Istriku semakin membelalak. Matanya kian memuntahkan semburan api. Api-api semakin tak terkendali menyerbuku. Aku mengerang sekuatnya. Api terus melumat tubuhku. Sebelum kupingku hangus, terdengar suara istriku,
“Selamat tinggal, Suami Serong!”
Ledokombo, 24 Januari 2022
_____
Penulis
Fathorrozi, penulis di berbagai media. Bermukim di Ledokombo, Jember.
Naskah dikirim ke
redaksingewiyak@gmail.com