Cerpen Katarina Retno Triwidayati
Aku jatuh cinta dengan kopi di sini. Kopi istimewa yang disajikan lengkap dengan jadah bakar dan tempe mendoan hangat. Dan harus kukatakan, itu terjadi karenamu.
Ya, andai saja kau tahu itu.
Kau mengajakku ke tempat ini dan memesan Kopi Joss. Di sana, penjualnya mengipasi tungku.
Arang yang merah membara memberi warna di malam yang kian larut. Percikan apinya serupa gairah diam-diam yang kurasakan ketika melihatmu tertawa. Ini gila. Sangat gila.
Di atas tungku itu, ketel air ditumpangkan. Air itulah yang digunakan untuk menyeduh bubuk kopi. Aku ingat kau selalu bilang kopi ini begitu enak salah satunya karena sensasi rasa air dari ketel itu.
Pemilik angkringan mengambil alat serupa capit untuk mengambil satu arang yang sudah menjadi bara. Diketuk-ketukkannya lebih dulu arang itu, lalu dimasukkan ke dalam gelas kopi.
“Em, kau yakin minum kopi denganku?" kataku ketika pertama kali melihat cara kopi itu disajikan. Rasanya tak tega menelan kopi dengan arang di dalamnya.
Meski aromanya menggoda, aku masih saja tidak merasa yakin. Kepulan uap kopi membumbung bercampur dengan asap tembakau dari pengunjung di sebelah kita.
Hm, tentu saja aku bukan tipe orang yang sangat higenis atau sok bersih. Namun, tidak pernah tebersit di pikiranku untuk minum kopi dengan arang seperti itu.
Jangan pernah menghakimi. Kita tidak pernah pantas untuk melakukan itu.
Aku tidak menghakimi. Aku jelas menolak dituduh menghakimi.
Memang, kau tidak katakan itu. Hanya saja ekspresimu terlihat jelas bahwa kau membangun asumsi atas dasar kecurigaan bukan logika.
Aku selalu kalah berdebat denganmu, Re. Itu jelas. Entah bagaimana segala yang kukatakan bisa kau sanggah.
Aku menyentuh gelas kopi dengan ragu. Tapi pandanganku teralihkan pada piring kecil yang memisahkan kita saat itu. "Ini apa?" tanyaku.
Jadah bakar dan tempe mendoan. Kau tidak tahu? Matamu mengerjap jenaka.
Huh, tentu saja aku tahu. Aku hanya mengulur waktu untuk tidak meminum kopi itu.
Angkringan ini punya banyak menu selain kopi. Setidaknya untuk makanan ada nasi kucing, ada juga beragam sate dan gorengan.
Aku ingat kau selalu makan soto dilengkapi sate telur puyuh di depan Bank Indonesia di pagi hari. Atau makan soto lentuk dilengkapi kerupuk. Namun, untuk menemani Kopi Joss kau memesan jadah bakar dan tempe mendoan.
Aku suka jadah bakar. Lembut dan gurih. Rasanya cocok dengan kopinya.
Aku mengangguk. Tentu saja aku masih mengulur waktu. Kukeluarkan rokok dan kemudian menyalakannya.
Desir semilir angin malam sedikit pecah ketika berisik kereta terdengar. Suara itu membuatku punya waktu ekstra untuk memandangimu.
Sial. Aku ikut tersenyum ketika kutemukan senyum terukir setelah kau menyesap Kopi Joss. Senyummu menular, Re. Apa kau tak tahu itu?
Kuamati tanganmu yang terulur ke arah jadah bakar. Sialan. Aku lagi-lagi ikut tersenyum saat senyummu kembali muncul pada gigitan pertama. Sungguh seenak itukah, Re?
Kulihat jadah bakar di tanganmu tinggal suapan terakhir. Matamu berbinar dan senyum muncul meski pipimu menggembung lucu. Kau benar-benar membuat hatiku seperti bunga mekar.
Kulihat gadis di sebelahmu membawa piring kecil berisi tahu bacem. Warnanya cokelat dengan sedikit kehitaman di beberapa tempat tanda bahwa tahu itu pun telah dibakar terlebih dahulu. Persis seperti jadah bakar yang ada di hadapan kita. Warnanya putih dengan garis-garis bekas terbakar.
Bising kereta masih terdengar memberiku waktu melihatmu menelan dengan ekspresi puas. Lalu kau kembali menyesap kopi.
"Biasanya kau suka tempe mendoan," katamu mengalahkan suara kereta.
Aku mengangguk. Aku sangat suka makan tempe. Aku bilang tempe itu enak karena kandungan protein pada tempe itu cukup besar. Dari yang kubaca, dalam 100 g tempe mengandung 201 kkal energi, 20,8 g protein, 8,8 g lemak, 13,5 g karbohidrat, dan 1,4 g serat.
Aku ingat kau tertawa saat aku mengatakan itu. Katamu membawa fakta kandungan tempe dalam perdebatan enak dan tidak enak bukan hal yang masuk akal. Katamu, dasar berpikirku cacat logika. Sialan.
Tentu saja aku menyanggah. Enak dan tidak enak itu soal rasa. Pada taraf tertentu perasaan itu bisa dikondisikan, bisa dikendalikan. Tentu saja meski tak ingin demikian.
Seperti perasaanku padamu. Ah, andai saja kau tahu itu, Re.
***
Ini malam keseribu sejak malam itu, Re. Malam pertama kusesap Kopi Joss dan mengakui bahwa apa yang kau katakan benar.
Kopi ini luar biasa. Jadah bakar dan tempe mendoannya membuatku tahu mengapa senyummu terkembang.
Seseorang mengantarkan Kopi Joss lengkap dengan piring kecil berisi jadah bakar dan tempe mendoan. Kusesap Kopi Joss. Kulanjutkan mengunyah jadah bakar dan tempe mendoan.
Semua kulakukan perlahan. Sebab aku ingat kau melakukan itu pun dengan perlahan. Mirip sebuah ritual agung.
"Makan dan minum bukan sekadar menjalankan kewajiban pada tubuh. Kedua hal itu perlu dilakukan perlahan, hingga kamu bisa merasakan seluruh rasa. Tak peduli betapa sederhana makanan dan minuman yang masuk ke tubuhmu. Pada saat itu, kamu merasa hidupmu cukup," katamu. Kata-kata itulah yang mendorongku mengangkat gelas kopi dan menyesap rasa cukup itu.
Re, aku jatuh cinta dengan kopi di sini. Kopi istimewa yang disajikan lengkap dengan jadah bakar dan tempe mendoan.
Aku pun jatuh cinta padamu yang bicara soal rasa cukup. Ya, aku jatuh cinta secukupnya padamu, Re.
Mungkin itu sebabnya aku tak merasa kehilangan meski di malam keseribu aku menikmati kopi tanpamu. Ya, hanya aku dan deru kereta di Stasiun Tugu.
___
Penulis
Katarina Retno Triwidayati, penulis lepas.
Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com