Puisi Fajar M. Fitrah
Bahasa Langit Petang
bacalah, dengan menyebut Tuhanmu
semata, agar hatimu terbuka...
I
di jantung kota
getir bahasa petang
tak ada kesumba tumpah di hamparan
genting, memulas retak dinding
tak ada senja mekar serupa setangkai
mawar di tengah reruntuhan
gedung flamboyan
hanya sebentang kecemasan, di mana
langit menggumpal, menyusun kumparan
awan pahit dan tebal
mungkinkah terbaca isyarat yang gaham
manakala rambu ditantang, maut
terparkir di perempatan
di bawah traffic light orang-orang
kehilangan kata, akal dan rasa
bagai para pemburu, melesatkan peluru
pada kesempatan rawan itu
dengan dada bergetar dan tuter menggeram
berebut bahu jalan, saling menerkam
demi sepetak pedestrian
II
ada gadis berbibir hitam
arang, dengan ukulele lusuh
mendendangkan kesedihan
adakah terbaca keresah
terpancar dari wajahnya
menjelang petang
di jantung kota, saat orang-orang
berhamburan, berlomba mencapai
waktu, ada isyarat rindu
seperti hijau masa lalu
III
ada yang tak tahu
ada yang berdegup syahdu
sebelum burung-burung pulang
sebelum jembatan-jembatan itu
membelah kota dan rimbun cemara
dan embus angin yang merendah
adalah bahasa
petang yang sederhana
sehabis bekerja, seusai melunasi
penat dan dahaga, percakapan
di sepanjang trotoar, bagai embun
di pucuk-pucuk pagar
dan pada tiap jeda
embus angin yang merendah
tak ada jerit klakson dan bising
knalpot yang pecahkan telinga
mungkin hanya debu dan kecemasan
menyumbat paru-paru para pekerja
IV
azan menyusuk
di antara biru langit
dan rimbun cemara
dan petang adalah bahasa yang tulus
di mana orang-orang serupa Sisipus
kembali mencipta harapan lumrah
dan mengulum senyum
sebelum degup jantung kota
diberhentikan tangan Tuhan
yang mungkin bercahaya
Di Sudut Kelab Itu
I
di sudut kelab itu
ia tampak kaku
di tengah “This One’s
For You”, kepul asap tembakau
dan bir pilsener mengucilkannya
dari kilau dada stripper
sesekali, ia melirik arloji
dan menguap. nyaris tak percaya
dalam getar ruang, panggung fantasi
dan lighting gemerlap, orang-orang
bersorak, ia justru mencicip sepi
“ini cukup kunikmati”
gumamnya
II
pukul 7
ia menggandeng afair
menelusur trotoar bagai melangkah
di antara guguran mawar
di kedai malam, layaknya tokoh lama
bercakap, menahan batuk, mengagumi
bau rumput, merapalkan model kuliner
dan brosur wisata
kemudian
memungkas percakapan dengan metafora
tentang secangkir kopi yang tak butuh gula
yang terdengar geli, yang memuja sendiri
pukul 7
ia biasa jadi avonturir
menjelajahi afair, menghirup celah
hangat, merengkuh puncak
III
kini tidak
kini ia tak biasa
karena mungkin tak bisa
tapi ia berkata “aku lelaki, langkahku
panjang, niscaya melintas zaman”
ia ingin yakin, ia butuh cermin
tapi di kelab itu, tak ada kedok
atau figura, kalender atau peta
kota, tak ada yang dikenalnya
hanya sepatah menu
mencoba akrab di telinga
dan di sisinya pasangan insomnia
saling memagut, membuatnya kikuk
dan seorang gadis dengan tatap rajuk
mengingatkannya berahi telah lapuk
IV
memang, waktu bukan vinyl hitam
di mana DJ scratching dan animo tak surut
di mana ia sanggup berpusing tanpa kerut
di mana beat Guetta dan gempa warna
menyungkurkannya pada sloki sepi
“ya, ini kunikmati” ia menggumam
sekali lagi, berusaha mengkhidmati
meski di antara sendi dan semir poni
takkan ada ledakan
Di Bhineka Jaya
-muda wijaya
selangkah dari gadis Kumbasari
siang tertahan di rumah kopi
puisi-puisi meruap dari cangkir
luka pulang ke dada penyair
Jendela Kayu
sepanjang malam
ia akan tugur di jendela kayu
menjaga rindu meski takkan
pernah ada siapa
langit dan minggu sama biru
jalan dan sepi sama beku
dan lehernya tegak
pada kutub berkarat
seperti sebuah pasak
sebelum cakar ombak
tapi akan ada kecup robusta
meski bibir fantasia
di atas lumut meja
ia sunting bunyi berita
yang merdu dan bencana
yang sumbang dan niscaya
menjadi puisi yang tersenyum lelah
di antara gigil reruntukan
dan fahrenheit yang curam
menjangkau ujung malam
seperti shelter terakhir
Gerimis Jumat
ada jendela terbuka di ujung gerimis Jumat
lambai tirainya melambungkan ingatan
ke rimbun masa silam
hanya mata itu, selamanya ibu bagi airmata
tiap subuh sujud berubah menjadi batu
tiada lebih dingin selain kening tanpa kecupan
tiada lebih kaku selain tubuh tanpa harapan
selangkah dari rumah, kaki berjalan sendiri
menuju kantor luka dan restoran penuh dusta
di pedestrian menyumpahi Beckett jadi-jadian
di atas ranjang dipeluk Godot mati-matian
dan mata itu kekal di tanah tanpa tuan
dan mata itu hanya di cermin sunyi malam
ada jendela terbuka di ujung gerimis Jumat
lambai tirainya melambungkan ingatan
ke altar yang remang
ke sebuah kisah yang tak terjangkau sejarah
Lebuh Padang Panjang
kesejukan tercipta dari daun-daun lerai
desir angin gunung, napas rerumputan
renik air yang menitis pada tubuh batu
di antara sepi hutan dan sunyi kabut itu
kedamaian terlahir bagai biru matahari
di penghujung hujan, ketika burung pagi
menabur biji cahaya. kukuh pepohonan
kembali menyerap doa dan sajak-sajak
kekekalan adalah jejak yang tak lekang
di antara bau tanah dan keringat ladang
sujud murni nestapa, menangkap desau
hutan, menghirup tuah Padang Panjang
______
Penulis
Fajar M. Fitrah, Bandung 25 Maret 1993. Menamatkan studinya di UPI Bandung, Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia. Tulisannya berupa esai, opini, dan puisi sesekali tersiar di koran lokal-nasional, media digital, dan antologi bersama. Saat ini sedang merampungkan kumpulan puisi pertama Pangkur. Bersama grup musiknya, Bob Anwar, merilis album musikalisasi-puisi Rendezvous. Sehari-hari menjadi guru di Bina Bangsa School Bandung dan mengelola label musik Komuji Indonesia.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com