Cerpen Eri Setiawan
Ada sebuah masjid kecil di dusun itu. Bangunannya tampak sangat kokoh. Catnya juga tidak kalah cantik dengan rumah-rumah penduduk sekitar yang rajin dipoles dan dielus-elus. Kalau dilihat dari depan, bangunan masjid itu tampak seperti musala karena lebarnya benar-benar menyerupai ukuran musala. Namun, kalau dilihat dari sisi kanan atau kiri, bangunan itu cukup panjang, berbeda sedikit dengan panjang musala.
Ketika baru selesai dibangun, sejumlah kamitua cukup bingung mana yang lebih pantas, apakah akan diberi sebutan musala atau masjid. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Seorang kamitua yang cukup lihai dalam hal kelaziman dan ketidakmengapaan menyarankan supaya bangunan itu dijadikan masjid saja. Katanya, tak apa sedikit umpel-umpelan, yang penting sekiranya masjid ini cukup untuk menampung empat puluh jemaah. Katanya lagi, daripada hari Jumat jauh-jauh pergi ke masjid desa, mending dimanfaatkan saja bangunan ini ala kadarnya, tapi sebaik mungkin. Sejak itu, bangunan itu resmi dinamai sebagai Masjid An-Nur. Sejak saat itu pula, orang-orang sangat gembira.
***
Menjelang waktu Zuhur, seorang tua terlihat berjalan begitu pelan. Kadang-kadang terhenti. Mematung sejenak, kemudian kembali bergerak. Kalau batuknya sudah bertukas-tukas, ia akan kembali tercerai langkahnya. Kadang-kadang, dalam perhentiannya itu, ia suka tengok kanan-tengok kiri. Entah, apa yang ia ingin tahu atau ia terjemahkan.
Kini ada yang sedikit berbeda dari perjalanannya. Tak biasanya ia mengabdikan diri pada langit. Memandanginya cukup lama dan tenggelam. Bersusah-susah menahan nyerinya sengat matahari yang menusuk kedua mata hampir purnanya. Ia justru kemudian memakai trik orang mengintip supaya dapat lebih lama bertatap muka dengan matahari. Ia juga berulang kali memegang kedua telinganya. Kadang-kadang ditutuplah telinga kiri, dibiarkan telinga kanannya melompong. Begitu juga sebaliknya. Entah kegelisahan apa yang tengah mendekam di kepala dan batinnya.
Tiga langkah kemudian, beberapa burung menyaksikan ia berjalan lebih lekas. Bungkuk tubuhnya yang hampir sempurna itu tak terlalu terlihat kesusahan. Napasnya sebisa mungkin diirit-irit. Sampai pada suatu pertigaan jalan, ia diberhentikan oleh pertanyaan seseorang.
"Mau ke mana, Ki?"
"Mari ke masjid, Mas," jawabnya dengan nada mulai terengah-engah.
"Aduh, Ki. Saya belum mandi. Saya juga sudah ditunggu Kang Jamin di perkebunannya.
"Tidaklah mengapa, Mas. Saya tak kuat lagi kalau harus mengumandangkan azan. Matahari sudah tepat di atas kepala, tapi sampai saat ini belum ada yang azan."
"Tapi, Ki ...."
"Ya, sudah. Hati-hati, Mas."
Usai mengelap kerut dahinya, ia kembali berjalan setahap demi setahap. Kedua bibirnya tersenyum amat tipis, sementara kedua matanya tampak berlinang. Ia teringat sejumlah tahun silam tatkala jalan yang dilaluinya ramai dengan para lelaki bersarung dan berkupluk. Mulai dari usia belia, remaja-remaja segar, usia paruh baya, sampai yang ubannya sudah liar memutih. Ada pula remaja perempuan yang raut wajahnya senang sekali ketika menggandeng ibu dan adiknya menuju ibadah. Bunyi khas mereka tak pernah lenyap dari kepala seorang tua itu, apalagi saat ia sampai di bibir masjid.
"Ni, tak ada yang lain?"
"Tak ada, Ki. Mungkin ...."
"Ya, sudah. Kita mulai saja jemaah ramai-ramai ini."
"Maksud, Aki?"
"Lihat di sebelah kiri, pojokan. Ada beberapa cecak tengah bersiap-siap ikut menghadap Sang Pencipta."
Perempuan tua itu sedikit kebingungan. Tapi, lama-lama memahami gurauan laki-laki tua itu.
"Tak perlu azan? Atau mau kupaksa anak laki-laki yang tengah main layang-layang itu?"
"Tak usah. Ia mungkin tengah menghibur dirinya. Kini orang-orang haus akan hiburan. Mengumandangkan panggilan dan menghadap Tuhan tak mungkin menjadi hiburan. Saya akan azan, tapi lirih."
"Baiklah, Ki."
Seorang tua itu tiba-tiba mengurungkan niatnya sejenak. Ia berbalik badan. Tubuhnya tampak makin membungkuk ketika itu.
"Ni, nanti di waktu Asar, kalau kau ingin salat di masjid ini, salatlah saja. Jangan tunggu saya. Saya akan kemari saat menjelang salat Magrib."
"Aki mau berkunjung ke masjid desa?"
"Bukan, Ni. Saya mau istirahat.”
***
Menjelang waktu Magrib seorang tua terlihat berjalan lambat-lambat. Kadang-kadang terhenti. Mematung sejenak, kemudian kembali bergerak. Kalau batuknya sudah bertukas-tukas, ia akan kembali terputus langkahnya. Kali ini, batuk-batuknya makin menjadi-jadi. Bergerak sedikit, penyakitnya nggogrok kembali. Sementara, napasnya menjadi lebih mudah terengap-engap, seperti mau habis tak ada sisa. Kali ini dalam tiap perhentiannya, ia tak lagi suka tengok kanan tengok kiri. Ia justru lebih suka menghadap tanah dan bebatuan di bawah mata sayunya. Kalau batuknya sedikit mereda, ia sempatkan diri untuk melamun sebelum mulai berjalan kembali.
Bunyi khas cekikian para remaja bersarung dan bermukena dan suara-suara entakan sandal para lelaki paruh baya benar-benar melekat di kepalanya. Kadang-kadang ia berjalan dengan lebih kuat. Mencoba mengikuti gaya orang-orang itu seperti di waktu dulu ketika jalanan masih ramai. Dengan susah payah ia meniru semirip mungkin meski pada akhirnya ia tak kuat lagi dan berjalan lambat seperti biasa. Sementara, air matanya tak dapat terbendung lagi. Berkali-kali ia mesti terhenti. Tak hanya sebab lelah dan batuk, tapi juga sebab mengelap air matanya.
"Mau ke mana, Ki?" Seorang paruh baya tiba-tiba menyadarkan lamunannya.
"Mari ke masjid, Kang, salat Magrib sebentar lagi. Saya tak kuat azan." Suaranya terdengar amat ngos-ngosan.
"Aduh, Ki. Saya sangat lelah di ladang seharian. Baju saya juga amat kotor. Tak pantas menghadap Tuhan."
"Tidaklah mengapa. Saya tak kuat lagi kalau harus mengumandangkan azan. Maukah sebentar saja singgah di masjid?"
"Tapi, Ki ...."
"Ya, sudah. Hati-hati, Kang. Salam buat anak-anakmu. Kapan-kapan, ajaklah mereka kembali meramaikan masjid."
Ia kembali berjalan lambat-lambat. Ia tak lagi suka melamun di perjalanan. Sepertinya, ia benar-benar sudah tak sabar lagi untuk sampai di masjid.
"Ni, tak ada yang lain? Biasanya Magrib tak sesunyi ini."
Sesampainya di masjid, ia kembali menanyakan suatu hal yang sama kepada perempuan tua yang sama."
"Tidak ada, Ki. Sepertinya, nasib Magrib sudah sama sunyinya seperti waktu-waktu yang lain."
Laki-laki tua itu hanya tersenyum kecil, lalu kedua matanya mencoba tegap menghadap pojok-pojok masjid. Melihat cecak-cecak itu makin banyak, ia kembali tersenyum sedikit lebih lama.
"Saya azan dulu, Ni. Maukah tolong saya, hidupkan dan keraskan volume mikrofonnya?"
"Aki mau azan pakai mikrofon? Aki sudah lebih sehat?”
"Entah, kali ini saya ingin sekali mengumandangkan azan dan didengar oleh mereka. Paling tidak jika tak ada manusia yang berkunjung, saya dapat menambah jumlah cecak yang mau beribadah," ucapnya sangat terbata-bata, napasnya pun tersengal-sengal.
Perempuan tua itu kemudian tersenyum kasihan, lalu lekas-lekas menghidupkan mikrofon dan memutar volumenya.
"Silakan, Ki."
Perempuan tua itu kemudian berbalik badan. Belum sempat melangkah, tatapan kedua matanya dipenuhi dengan seonggok tubuh yang tergeletak tepat di hadapannya. Napasnya lepas, darah tak lagi mengalir dalam diri seorang laki-laki tua itu.
"Aki! Ya, Tuhan! Inalillahi wainna ilaihi roji'un."
Berbalik badanlah ia kembali. Dalam sedu yang merenggut batinnya, ia melanjutkan niat seorang tua yang belum dituntaskan.
"Allahu akbar, Allahu akbar ....”
Azan bercampur tangis berkumandang menembus rintik gerimis sandekala. Sedu sedan yang beriringan dengan ayat-ayat panggilan salat, memukul telinga dan relung batin orang-orang. Tak perlu waktu lama, orang-orang mulai berdatangan. Alangkah terkejutnya.
***
Ada sebuah masjid kecil cukup tua di dusun itu. Bangunannya mungkin masih cukup teguh. Catnya mulai memudar. Kalau dilihat dari depan, bangunan masjid itu tampak seperti musala karena lebarnya benar-benar menyerupai ukuran musala. Namun, kalau dilihat dari sisi kanan atau kiri, bangunan itu cukup panjang, berbeda sedikit dengan panjang musala. Jika ditengok isi dalamnya ketika waktu salat tiba, empat puluh hari setelah kematian seorang lelaki tua, maka yang dipikiran bukanlah tentang musala atau masjid, tetapi kembalinya sunyi dan sujud khusyuk seorang perempuan tua yang ditemani ribuan cecak, diam menghadap kiblat.
Januari 2022
_______
Penulis
Eri Setiawan, lahir di Banjarnegara pada 23 Januari 1993. Sekarang bermukim di Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas dan mengajar di SMP Negeri 2 Pengadegan, Purbalingga. Gabung di Komunitas Penyair Institut Purwokerto. Novel pertamanya yang ditulis berjudul Bujuk Dicinta Kenangan Pun Tiba. Selain itu, ada beberapa tulisan seperti puisi dan cerpen yang dibukukan bersama penulis lain. Ada pula beberapa karya sastra yang termuat di koran maupun media daring.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com