Cerpen Lilin Mey
Hidup memang tidak bisa kita minta, mau terlahir menjadi apa atau siapa. Kalau sangat mujur kita terlahir di keluarga yang kaya hingga apa-apa tersedia, bahkan nasib baik telah tersaji semenjak pecah rahim ibu. Namun bisa sangat berbalik arah.
Sebut saja Yusril. Namanya sengaja aku samarkan agar suatu saat ketika anaknya membaca cerita ini, tidak timbul kemarahan yang tidak bisa kutebus dengan sebuah buku. Ia sebenarnya bisa saja menuliskan kisah hidupnya sendiri. Akan tetapi, mungkin saja dia akan keberatan menceritakannya. Karena bagaimanapun idealisme tidak akan membuatnya menjual sebuah penderitaan, apalagi penderitaannya sendiri.
Kami bertetanggaan, bisa dikatakan menjadi teman setelah tanpa sengaja sama-sama menyukai merangkai kata. Hanya yang membedakan untuk bisa merangkai kata, ia cukup menguras tenaga bapaknya untuk terus mengangkat kuat-kuat ratusan kelapa sawit seharinya. Sementara aku, cukup hanya membaca materi dari orang-orang yang berlagak pintar atau memang sebenarnya pintar di sosial media, entah aku tak punya waktu untuk menyelidiki kepintaran mereka.
Aku dan Yusril suka berbincang-bincang mengenai orang-orang di dunia sastra yang semakin banyak menjual idealismenya. Merelakan kehilangan waktu membaca dan menulis hanya untuk duduk lebih dari delapan jam di depan meja kantor. Menghitung untung-rugi di pasar, bahkan ada yang sepertiku. Merelakan jari-jariku untuk menguliti buah-buahan serta menggilas biji kacang sebagai bumbu rujak daripada bermanja-manja dengan kata di papan mesin ketik.
Kuingat bagaimana amarah menyala di matanya. Ketika berhari-hari aku tidak datang ke toko bukunya, bahkan menuliskan satu kata saja tidak. Api di mata itu sampai akhirnya menyala, membakar mulutnya dan menjadikan kata-kata yang keluar adalah api.
"Orang-orang seperti sampean iki yang nantinya membuat mati dunia kepenulisan," serunya begitu sampai di depan pintu rumahku.
Sampai juga kakinya sampai ke depan pintu. Aku yang pada saat ini sedang menghitung berapa modal untuk kubawa ke pasar sedikit terkejut.
"Setidaknya aku dan anak-anakku tidak mati hari ini, Yus," ujarku yang lumayan jengkel juga mendengar kata-katanya. Lebih pedas daripada harga cabe rawit yang mulai mendekati angka delapan puluh ribu per kilo.
"Kau dan anak-anakmu memang tidak mati, tapi pikiranmu yang tumpul seperti pisau Madura lima ribuan, tak diasah gampang berkarat."
"Anjing …."
Hahahaha
Kami tertawa bersama-sama. Entah sesungguhnya apa yang kami tertawakan, mungkin bisa benar kami menertawakan nasib satu sama lain.
Pagi merayap, matahari bersinar cerah Menyinari dari cela-cela pohon mangga di depan rumahku. Sinar itu menyinari punggung Yusril meninggalkanku dan kembali ke dalam rumah yang sekaligus toko buku serta ruang kerjanya, untuk selanjutnya tidur. Tidak seperti orang lain, Yusril selalu menghindari sinar matahari. Sementara pagi ini matahari bersemangat mengiringi langkahku pergi ke pasar.
Jika orang lain tidak pandai menyembunyikan kemiskinan dan kelaparan, Yusril sangat pandai dalam menyembunyikan itu. Bahkan anak dan istrinya tidak mudah bersuara meskipun suara-suara nyanyian keluar dari perut keempatnya. Ia seperti terlahir dengan bakat pencipta kisah bahagia, tidak hanya untuk orang lain bahkan lebih untuk dirinya sendiri.
Aku mengaguminya karena hal itu. Sering ia menuliskan penderitaan saudara-saudara kita di garis batas, di Negeri Timur di mana setiap hari-harinya adalah nyeri. Kata per kata kuperhatikan ketajaman diksinya, rima, dan roh yang ditiupkan di setiap syair-syairnya. Ia tahu betul bahwa penindasan berkedok apa pun itu adalah sebuah kejahatan.
Aku pernah beberapa kali bertanya apa yang didapatkannya dari tulisan-tulisan seperti itu. Bahkan pernah sesekali aku meniru gaya tulisannya, bukan pujian atau honor dari penerbit yang kudapat, melainkan sebuah nasihat. Bahwasanya tulisan seperti itu tidak akan menarik para pembaca, justru malah menghadirkan kecaman dari pihak yang merasa terdiskriminasikan.
"Kemampuan itu adalah bakat. Nyali adalah tekad, dan kau tak diberkahi yang satu itu."
"Anjing …."
Iya bilang begitu, sebab setelah tulisan pertamaku itu. Tidak lagi satu tulisan serupa kubuat lagi. Tidak hanya tak menghasilkan apa-apa, justru menghasilkan penangkapan kalau-kalau sudah bersinggungan dengan pemerintahan. Aku bersyukur sebab aku cukup bisa menuliskan cerita-cerita selain itu. Sehingga aku tidak perlu memaksakan idealisme untuk terus membuat orang-orang menyukai tulisan-tulisanku.
Kupikir aku sudah tidak bisa lagi menulis dengan baik. Apalagi setelah rujak jualanku semakin dinikmati oleh masyarakat sekitar rumah. Melalui pesan singkat WhatsApp, pesanan langsung, bahkan pre-order, pesanan-pesanan itu datang setiap waktu. Karena hal itu muncul perbedaan di antara kami. Pertemananku dengan Yusril mulai merenggang. Ia masih saja terus mengata-ngataiku salah satu dari orang-orang yang menjual idealisme, dan tak henti-hentinya berbicara. Aku telah cukup sabar mendengar kata-katanya membuatku mulai menanam amarah di mata. Tetapi saat ini yang bisa kulakukan hanya menghindarinya, ada rasa takut juga jika nantinya api di mata ini bisa turun ke mulut dan membakar kebaikan kata-kata yang saat ini masih kumiliki.
Pernah sekali Yusril, kuberi rujak daganganku. Aku sengaja datang dan memberikan sisa dagangan sore itu. Karena sejak beberapa hari ini kulihat tak sekalipun ada pembeli di toko bukunya. Di dalam rumahnya yang tidak terlalu besar itu. Ia masih tidur. Sementara angin dari cela-cela rumah membawa suara tangis dan rengekan istri yang membuatku begitu kedinginan. Aku hampir terjatuh dengan piring di pegangan tangan.
Ia marah kepadaku karena menghinakan mereka dengan sepiring rujak dan mengatakan aku tidak boleh menjadi temannya lagi. Tentu saja aku tak terpengaruh, bagiku dia tetaplah teman, tetangga, dan senasib.
"Untuk dapat hidup, aku tidak perlu melacurkan istri dan anak-anakku. Terlebih-lebih menjual kemiskinan dengan berlama-lama duduk di depan meja, belajar tips dan trik bersilat lidah, serta menghitung kurang-lebihnya kehormatan yang bisa diuangkan. Sungguh sebuah kematian sastra yang sesungguhnya," begitu katanya.
Itu terakhir kalinya sebelum Yusril menjual rumah tempat tinggal untuk diberikan kepada istrinya, sebagai harta bersama. Istrinya memutuskan pulang ke desa bersama kedua anaknya, setelahnya memberikan peran suami kepada lelaki lain yang mau mengangkat tinggi-tinggi pacul guna penghidupan mereka.
Sehingga yang tersisa hanyalah setumpuk kesedihan, dan aku sangat sedih karena sahabat, tetangga, dan senasibku sendiri jatuh karena cara pandang hidupnya.
Setahun kemudian, saat ceritaku sampai ke meja redaksi. Sampai pula kepadaku kabar bahwa Yusril telah berpulang karena penyakit bronkitis akut yang dideritanya. Lelaki yang malang. Lewat pesan singkat aku mengirimkan pesan singkat kepada teman-teman pesastra, ucapan duka cita mengalir deras untuk Yusril. Ucapan itu tidak ada artinya lagi. Saat ini ia kadung tenggelam dalam duka dan tumpukan bunga-bunga yang kubeli dari honor ceritanya.
"Kau tak perlu melacurkan istri, anak-anak, dan kesedihan-kesedihanmu, Yus. Biar aku saja …."
Surabaya, 8 April 2022
_______
Penulis
Lilin Mey adalah nama pena perempuan kelahiran Surabaya. Penyuka sepi dan sendiri. Ia menulis untuk meluahkan segala rasa.
Jejaknya bisa dilacak di akun instagram @lilinmey. Bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin (Mey Farren).