Puisi Maulidan Rahman Siregar
Aku Mencintaimu Tapi Aku Masih Miskin
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya
bahwa aku akan menjadi sadboy
dan hidup dalam tahun-tahun panjang
dengan cara mencintaimu setiap detik
sambil terus istiqomah bekerja
memasak sajak dan menikam waktu
yang kemudian jadi namamu
cinta padamu jualah yang membuatku
kurang tidur & kurang makan
cinta padamu jualah yang menyelamatkan
pada setiap perjuangan ini
Tuhan sepertinya sedang piknik, cintaku
tapi yakinku, doaku selalu menuju
dalam sesak separah ini
apakah masih boleh aku meminta
kepulanganmu, kekasih?
sungguh, dalam gigil sesakit ini
berkelumit segala di luar tubuhku
dalam apa pun, sungguh
aku selalu melihat dirimu
menyalib tubuh miskinku
2021
Aku Sayang Kamu Tapi Kau Sudah Meninggal
Ke pusar waktu
kuhantam-hantam seluruhku
hingga yang tersisa hanya
sekelumit mau
aku adalah keping -keping peluru
diremuk sesuatu yang kemudian lalu
tinggal kau kokang saja itu senjata
arahkan tepat ke bagian muka
hingga aku jadi tinggal nama
tapi aku tidak akan mati
tak pernah ingin mati
sebab seluruhku adalah waktu
sekeping datang sekeping lalu
dan berhitunglah hingga hitungan ketiga
aku sudah muncul dalam tiada
dan menjadi kamu
menjadi waktu
menjadi apa yang kau sebut ingatan
menjadi kekal
menjadi lampu malammu
2021
Orang Mati
Orang mati,
lagi,
hari ini
lalu-lalang di beranda
seperti angin tua
orang mati,
lagi,
hari ini
dan jutaan stiker
emoticon dan seikat sajak
mengiringi kepergiannya
orang mati,
lagi,
hari ini
dan lampu tidurmu
masih terang menyala
akhir-akhir ini
pagi memang makin jarang
kelihatan
dan kau tarik lagi selimutmu
dan kau bunuh lagi segala
yang kau mau
orang mati,
lagi,
hari ini
dan jenazahnya memanggil
namamu
lekas-lekas kau menutup kuping
lekas-lekas kau sembunyi
ke dalam seribu tahun ketakutanmu
2021
Sedih Sekali Rasanya
Kematian datang bersama orang yang tak kukenal, ayah dan ibu sudah selesai duluan
bilik ini, ruangan sempit ini, sedih sekali rasanya
di sampingku seseorang sudah selesai duluan
handphone sialan ini berbunyi
untuk urusan apa lagi?
aku sudah tak merasakan apa-apa lagi saat tubuhku digotong,
tapi yang menyenangkan: tak ada tangis
aku tak didatangi oleh orang-orang yang tak kukenal, selain mereka yang menggotongku ini
sudah pukul berapa ini
ambulans kenapa belum datang?
sayup, komunikasi itu terbuai di udara
di ujung jauh, masih ada suara tivi yang berisik
orang merokok dekat tulisan dilarang merokok
dan seorang satpam yang panik -ia sudah ingin pulang-
ambulans datang
bunyinya sudah hilang duluan
tubuhku dimasukkan ke dalam
ada beberapa yang ikut serta
sebagian lagi, tinggal
di dalam bangsal sialan itu, masih ada 1-2 yang tak dapat oksigen
"sudah ada kabar dari keluarga?"
"dia anggota keluarga terakhir, ..."
hanya angin dan bunyi napas orang yang tak kukenal di sampingku, seingatku, tak ada yang menuntunku mengucap syahadat, tak apa
ambulans sialan ini musiknya juga tak ada
"ayolah, aku butuh lagu untuk menemaniku menuju tiada, jazz atau dreampop mungkin..." mereka rasanya tiada mendengar
tanah sudah dilubangi seukuran tubuhku sesampainya ambulans di pemakaman, benar-benar seukuran tubuhku,
"ayo cepat turunkan, kita harus cepat balik lagi menuju rumah sakit, di sana masih banyak yang membutuhkan kita..."
"tapi ini mayat tidak mau dikuburkan, om. badannya memberat, tak bisa digerakkan."
lalu aku mendengar bunyi doa, dalam sekali doanya...
tubuhku dikubur di samping liang kubur yang sudah diberi kode kalau akan ada yang dimasukkan lagi setelah ini, aku sedih tapi untuk apa
2021
_________
Penulis
Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, 3 Februari 1991. Bekerja dan menetap di Padangpariaman. Puisinya tersebar di beberapa media, massa. Buku puisinya yang telah terbit, Tuhan Tidak Tidur Atas Doa Hamba-Nya yang Begadang dan Menyembah Lampu Jalan.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com