Resensi Muhtadi ZL
Judul Buku: Muslimah Yang Diperdebatkan
Penulis: Kalis Mardiasih
Penerbit: Buku Mojok
Tahun Terbit: Cet. 11, Juli 2021
Spesifikasi Buku: xii+202 Halaman
ISBN: 978-602-1313-93-5
Dalam tatanan sosial, perempuan selalu berada di posisi terendah, meski secara fenomenologis, bisa dibenarkan, tetapi tidak secara dialektis. Seakan-akan relasi perempuan dalam kultur sosial menjadi batu sandungan untuk mewujudkan regulasi sosial yang bertujuan menjadikan laki-laki sebagai the lord dalam tatan sistem sosial di masyarakat. Sehingga, tidak ayal apabila perempuan selalu tidak pernah sampai ke batas minimum, batas paling rendah di mana perempuan tidak memiliki ruang gerak bebas untuk menyuarakan persepsi atau gagasannya.
Padahal kita ketahui bersama bahwa populisme perempuan di abad ke-21 satu ini sangat pesat perkembangannya. Dengan populisme tersebut, seharusnya perempuanlah yang memegang tampuk kekuasaan sosial di masyarakat, dalam artian segalanya harus diatur perempuan, mengingat populisme perempuan melonjak pesat dari tahun ke tahun. Pun tidak masalah, apabila perempuan harus dikonstruksi-endosentriskan dengan peranan laki-laki dalam menjalankan regulasi sistem sosial.
Walaupun secara harfiah, perempuan dan laki-laki bisa dikompetitifkan untuk merebut tampuk kekuasaan sistem sosial, akan tetapi hal tersebut tidak etis melihat perempuan yang terlampau jauh—secara kekuatan fisik—di bawah laki-laki. Namun, tidak menutup kemungkinan, hal tersebut akan terjadi, entah kapan? Untuk mewujudkannya, tentu perlu presisi yang objektif dalam memandang perempuan. Karena bisa saja, di satu sisi perempuan mampu melaksanakannya, di satu sisi pula, perempuan tidak mampu mengeksekusinya.
Dari ketidaksetaraan inilah yang membuat, Kalis Mardiasih, mengangkat tema-tema perempuan dalam artikel lepasnya yang terangkum dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan dengan mampu menarik diskursus baru terkait bagaimana sebenarnya peranan perempuan dalam tatanan kultur sosial di Indonesia. Di mana perempuan selalu menjadi objek kekerasan laki-laki, terlebih yang sudah menikah atau menjalin hubungan rumah tangga. Walaupun memang benar, tidak hanya Indonesia saja perempuan mendapat perlakukan keras dari kaum Adam, di beberapa negara pun juga demikian. Bahkan mereka lebih mengalami kerusakan fisik dan psikologis. Perempuan yang memiliki perasaan cemburu tidak layak dibungkam dengan pemaknaan teks yang tidak adil gender. (Hlm. 55)
Narasi perempuan dalam artikel ini bisa dibilang dominan. Karena memang, Kalis Mardiasih, untuk beberapa tahun fokus mengkaji perempuan. Sehingga tidak mengherankan, apabila dirinya yang juga kaum Hawa patut merasa iba kepada perempuan yang mendapat perlakuan tidak baik dari laki-laki. Untuk keseluruhan, esensi artikel yang ditulis, Kalis Mardiasih, hendak menyuarakan kesetaraan gender, di mana perempuan juga harus memiliki posisi dan porsi yang sama sebagaimana laki-laki.
Karena memang, ada beberapa perempuan yang memiliki kriteria—bisa jadi ini berlaku bagi semua perempuan—untuk menjadikan seorang laki-laki sebagai teman hidupnya. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai macam alibi-alibi tertentu, misal yang paling menonjol ialah mendapat perlakuan baik, kasih sayang yang tulus dan kesetiaan untuk "perempuan"-nya seorang. Karena hal yang paling ditakuti ketika memilih laki-laki sembarangan, perlakuan kasar sangat mungkin akan diterima oleh perempuan yang tidak begitu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan realitas dan emosional. Perempuan yang mulia mampu menghargai dirinya sendiri dengan memilih laki-laki yang berpengetahuan.(Hlm.143)
Sehingga tidak heran apabila buku ini sampai dicetak 11 kali, mengingat substansi yang disuguhkan dalam buku ini sangat bermutu, karena ada beberapa artikel yang secara spesifik membahas teologi dan kajian fikih perempuan yang dikira cukup menggelitik serta layak untuk diangkat ke permukaan sebagai bahan diskursus untuk meningkatkan imunisasi ideologi kita sebagai manusia "terpelajar" agar kita tidak mudah menyalahkan perempuan yang tidak sama pekaian, adat dan tatakramanya dengan perempuan yang mafhum kita ketahui. Pun juga kita tahu bahwa, feminimisme yang dalam situasi sebetulnya bermakna keadilan. (Hlm. 184)
Wallahu a’lam bisshawab.
_____
Penulis
Muhtadi ZL. Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah (HES) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur.