Esai Bandung Mawardi
Di depan mata, buku tampak lusuh. Buku itu berjudul Robohnja Surau Kami (1956) karya AA Navis. Halaman-halaman kertas buram terbuka, terlihat bekas jamur dan coretan. Di urutan awal, cerita gubahan AA Navis berjudul “Robohnja Surau Kami”. Cerita berketerangan: Bukittinggi, Maret 1955. Puluhan tahun lalu, cerita itu menggemparkan dan mengagumkan.
Pengetahuan masalah pencantuman Bukittinggi belakangan diketahui dalam tulisan berjudul “Proses Penciptaan” disodorkan AA Navis untuk mengingat segala hal. Tulisan bertahun 1978. Pembaca ikut mengenang: “Pada tahun 1955 itu, saya dikucilkan oleh bos saya di Jawatan Kebudayaan Sumatra Tengah. Tidak diberikan pekerjaan apa-apa. Daripada saya keluar kantor, yang nanti bos saya bertambah marah dan daripada saya duduk termenung-menung nganggur sambil melihat teman sejawat sibuk dan hati sakit sendiri, saya ambil mesin ketik, saya menulis dan menulis terus.” Ingatan itu ditafsir AA Navis selaku pegawai kantor sedang menderita, tapi bergirang dengan mesin tik.
Ingatan belum rampung: “… Pak M Sjafei yang datang ke kantor saya, asyik ngobrol dengan bos saya. Bahan obrolannya itu, akhirnya saya jadikan bahan cerita pendek. Olah sana-sini, akhirnya jadi cerpen ‘Robohnya Surau Kami’.” Kita berpikiran bahwa cerita dikerjakan di kantor. AA Navis mengetik, bukan menulis menggunakan bolpen. Mesin tik milik kantor digunakan untuk menggubah sastra ketimbang murung dan sebal atas perlakuan atasan.
Mesin tik bersejarah. AA Navis menjadikan benda bercerita, tak selalu diketuk bersuara mengerjakan urusan-urusan kantor. Kita menduga mesin tik menghasilkan cerita itu punah. Berkah terperoleh dari marah cap birokrasi. Cerita itu dimuat dalam majalah Kisah. Sekian bulan berlalu, cerita gubahan AA Navis dipilih sebagai cerita terbaik dalam penghargaan Kisah (1955). Kita pun paham, Bukittinggi itu alamat kantor, bukan rumah.
Situasi dan pengalaman berbeda terjadi di rumah. AA Navis dan mesin tik bersekutu dalam membuat cerita-cerita. Ada pihak ketiga: istri. Pengisahan: “Di kala saya sedang mengetik sebuah cerita, biasanya istri saya ikut duduk di hadapan saya. Setiap lembaran kertas yang selesai saya ketik, ialah pembacanya yang pertama… Adakalanya ia tersenyum jika kisah itu dirasakannya lucu, adakalanya ia pun terharu jika ada kisah yang menyedihkan.” Kita pastikan AA Navis adalah pengarang mengetik, bukan memegang bolpen atau pensil menulis di lembaran kertas.
Kita berurusan benda atau teknologi-menulis dalam babak-babak kehidupan para pengarang tenar di Indonesia, dari masa ke masa. Mesin tik diakui menjadi benda (paling) berharga dan bermakna dalam pengabdian dan pembuktian bersastra. Pada masa 1950-an, mesin tik masih benda “pujaan” bagi pengarang-pengarang bermula miskin atau kere.
Kita ingin turut menghormati Titis Basino sekian hari lalu pamitan dari dunia dan kita. Ia pun bermesin tik. Di tulisan berjudul “Bergurau atau Mencela Lewat Mesin Ketik”, Titis Basino (1984) bercerita: “Kesederhanaan cara berpikir saya amat berbalikan dengan kehidupan yang disajikan oleh suami saya. Ini menimbulkan konflik batin tersendiri. Tapi semua pulasan itu langsung hilang kalau saya sudah duduk di depan mesin ketik: saya merasa lepas dari kehidupan saya sehari-hari.” Titis Basino seperti mengadakan ritual bersama mesin tik.
Kita berimajinasi gerak jari-jari Titis Basino. Suara-suara terdengar dari mesin tik. Kertas pun bersuara. Ritual agak berisik. Benda itu membuat Titis Basino “kerasukan” menghasilkan cerita-cerita. Pengakuan mengejutkan: “Biasanya saya mengetik tanpa aturan, seenaknya dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Tanpa spasi.” Kita mengandaikan membaca lembaran ketikan tanpa spasi mungkin pusing.
Pengalaman miskin ditampilkan di Jogjakarta. Linus Suryadi AG merasa takjub saat membaca majalah Horison pada 1969. Ia tergerak menulis puisi. Pada 1970-an, ia berkenalan dengan Umbu Landu Paranggi: pengasuh sastra di mingguan Pelopor Yogya. Pada 1984, Linus Suryadi AG mengenang masa awal berpuisi: “Beberapa kali saya serahkan tulisan tangan kepadanya, tapi tak pernah dimuat.” Ia berharap mendapat komentar atau petuah Umbu Landu Paranggi. Kita mencatat mula-mula puisi itu tulisan tangan, belum berwujud hasil ketikan.
Babak berbeda pada 1978. Linus Suryadi AG singgah ke rumah Umar Kayam. Di situ, ia melihan mesin tik menganggur. Ia berani “menganggu” alias menggunakan mesin tik milik Umar Kayam. Si pemilik berujar: “O sedang kumat?” Percakapan pendek itu terbukti. Dulu, Linus Suryadi AG berucap: “Saya sedang menulis prosa lirik. Kalau nanti jadi untuk Pak Kayam Saja.” Pada masa 1980-an, umat sastra di Indonesia sempat ramai dengan penerbitan Pengakuan Pariyem. Buku diterbitkan Sinar Harapan itu memang memuat keterangan persembahan untuk Umar Kayam.
Sosok besar dan memberi warisan besar memiliki cerita berbeda, bukan mesin tik tapi mesin-tulis. Budi Darma (1981) dalam tulisan berjudul “Mulai dari Tengah” mengisahkan masa menghasilkan novel berjudul Olenka. Ia melanjutkan studi ke Amerika Serikat, lumrah bersama benda-benda ajaib belum tentu ada di Indonesia.
Keterangan pengarang: “Dilihat sepintas lalu, kepengarangan saya tergantung pada mesin-tulis dan suasana-baik-untuk-menulis. Dan memang, jarang hadirnya saya di masa lampau akibat kemelaratan saya. Tidak seperti sekarang, dulu tidak sembarangan orang dapat memiliki mesin-tulis dengan mudah. Tanpa mesin-tulis, sering kali otak saya macet dan imajinasi saya yang sudah telanjur menggebu-gebu terpaksa gugur dengan sendirinya.” Kita berharapan mesin-tulis itu masih ada untuk masuk museum sastra dan acuan pengisahan tentang pengarang besar di Indonesia. Begitu.
_______
Penulis
Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi. Penulis buku Silih Berganti (2021), Titik Membara (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Bersekutu: Film, Majalah, Buku (2021), Dahulu: Mereka dan Puisi (2020), Pengutip(an) (2020), Terbit dan Telat (2020), Pengisah dan Pengasih (2019).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com