Oleh Encep Abdullah
Betapa dada saya sesak membaca kisahmu itu, Dik. Rasanya bertahun-tahun saya mengajarimu bagaimana membaca dan menulis dengan baik. Saya melihat potensimu. Saya jungkir balik agar kau menjadi sesuatu. Akhirnya, kau pun menang lomba menulis dan karyamu dimuat di media dengan honor yang lumayan.
Dada saya sungguh remuk, Dik. Saya tak menyangka, kau tak pernah menganggap keberadaan saya. Kau masuk dunia yang saat ini kau raih ternyata bukan karena saya. Saya terlalu percaya diri dan GR bahwa impianmu terwujud saat ini karena jasa-jasa saya.
Semua salah. Kau terinspirasi orang lain yang sama sekali tak menyentuhmu secara langsung dalam sebuah ruang. Kau mendamba-dambakannya, memujanya, bahkan ingin menjadi sosok sepertinya. Tapi, selama kau ingin menjadi dia, kau bersama saya, dibentuk oleh saya. Namun, dalam catatanmu, tak satu kata pun kau ucapkan kepada saya, bahkan mengingat-ingat apa yang pernah saya sampaikan kepadamu selama bertahun-tahun itu pun sama sekali tak ada.
Saya pikir mungkin ini yang disebut "Kacang Lupa kepada Kulitnya". Namun, setelah saya merenung kembali, sepertinya ada yang salah dalam diri saya. Saya ternyata bukan sosok guru yang baik meski sudah membawamu pada titik ini. Saya berharap pengakuan. Padahal itu racun. Guru terbaik tak pernah berharap apa pun dari muridnya. Saya sakit, Dik. Sakit sekali membaca kisahmu itu. Banyak nama yang kau sebut, tapi tak satu kata pun nama saya kau sebut.
Dik, maafkan saya. Ternyata saya belum mampu menjadi guru yang bisa menancapkan "iman menulis" di lubuk hatimu yang paling dalam. Suara-suara saya ternyata hanya buih. Saya terlalu pongah menganggap diri sebagai "teladan", sebagai "pemengaruh". Terima kasih sudah mengajari saya bagaimana bersikap. Saya harus belajar lagi dari puncak kehidupan ini: keikhlasan.
Tapi, kalau saya jadi kamu, Dik, saya tidak akan melakukan hal sekonyol ini. Tidak akan menyerahkan sebuah tulisan yang isinya jelas bisa menyakiti hati sang guru. Terutama guru baperan seperti saya. Saya akan membaca dengan cermat sebelum saya berikan kepada sang guru.
Seseorang bilang kepada saya bahwa hal itu lumrah bagi setiap anak yang sedang berkembang. Toh, ilmu yang disampaikan oleh saya pasti akan berguna dan relevan bagi perjalanan si murid yang menapaki dunia yang satu frekuensi dengannya.
Bukan perkara itu yang saya maksud. Saya punya guru menulis, saya juga punya idola di luar guru saya. Tapi, saya tidak pernah melupakan jasa guru saya itu walaupun pikiran saya terinspirasi kepada sosok lain yang sepertinya ingin sekali belajar bersama mereka. Betapa manusia sering kali gagal memaknai hal-hal kecil, yang remeh temeh, guna meraih capaian setinggi-tingginya itu hanya karena minimnya ucapan "terima kasih".
Kepadamu saya ucapkan terima kasih. Catatanmu akan terkenang. Sepanjang jalan kenangan.
Serang--Tangerang, 25 April -- 3 Mei 2022
______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku kolom proses kreatifnya yang sudah terbit Buku Tanpa Endors dan Kata Pengantar (#Komentar, April 2022). Silakan kalau tertarik bisa pesan langsung kepada penulis 087771480255.