Cerpen Achmad Al Hafidz
Di utara kota terdapat Desa Telaga De La Muerte. Di sana bau busuk menyeruak di mana-mana, di pipa saluran, di sumber mata air, di selokan, mengalir di perairan sawah, di sumur, sampai bermuara ke timur laut. Orang-orang hidup dengan bau busuk. Mereka tak pernah mengeluh meskipun teh yang mereka seduh tiap pagi bersumber dari air dan tanah yang sama. Komunis-komunis dibantai sebab tidak percaya Tuhan. Tubuh mereka tergeletak di jalan-jalan. Mereka dipukuli ramai-ramai di kantor kecamatan oleh orang-orang yang imannya takut digerogoti paham komunis. Darah merah tidak seperti bendera yang ternyata lebih pekat dari yang aku kira. Jika tak diamuk massa, tubuh mereka biasa dibiarkan di kebun, pinggir jalan, atau hanyut di sungai. Ada pula yang dikarungi karung panen padi, diikat di kepala sebelum dieksekusi beramai-ramai oleh mereka yang terhasut emosi atau surat kabar. Mereka harus mati, tak boleh tertinggal satu pun, halal untuk dibunuh, dikasihkan makan anjing, cacing, kalajengking, belatung, dan ayam jika mau melihat kemaluan mereka dipatuk.
Di Desa Telaga De La Muerte, pelancong yang lewat selalu memakai masker dan kacamata hitam agar mereka tidak melihat mayat di mana-mana. Sementara penduduk asli terbiasa beraktivitas dengan keadaannya. Mayat haram dikuburkan di pemakaman umum sebab tak menerima rumah terakhir mereka dihuni manusia tak percaya Tuhan. Jadi biarkanlah membusuk terkena udara, angin, dan semoga melebur dengan tanah segera. Bagi mereka yang mencoba melindungi teman, keluarga, sahabat, istri, suami, atau anak yang berbeda pandangan ideologi itu, mereka lebih najis dari mereka. Dihinakan seumur hidup tak boleh sekolah, tak usah jadi PNS, tak usah menjadi bagian dari penduduk atau laporkan saja agar mereka dibuang ke Digul atau Pulau Buru. Kepala Desa Telaga De La Muerte yang terhormat pernah berkata, "Yang tak bisa sekolah jadi petani saja biar orang-orang benar terpenuhi kebutuhan makannya atau menggembala kambing saja biar kami makan sate".
Dua puluh dua tahun di Desa Telaga De La Muerte tak hilang bau busuknya. Semakin hari pencopet, preman, pencuri, kecuali koruptor dibuang di ladang tebu desa. Tubuh mereka dibiarkan saja seperti dua puluh tahun lalu. Kata warga, mereka bukan penduduk sini. Kali ini kolonel yang diutus entah dari mana membungkus kepala mereka dengan karung. Digeletakkan di bawah pohon beringin atau disemak belukar yang tak tersentuh aktivitas manusia. Penduduk Telaga De La Muerte seperti tak selera dan tak peduli. Air yang mereka gunakan mandi, mencuci, dan beribadah menyatu dengan darah. Sop sayur yang mereka masak untuk makan siang, hasil tanah dan air berdarah. Orang-orang yang mati di hutan sebelah utara Telaga De La Muerte, dibiarkan saja di kolam darah dan tak pernah ditemui mayatnya. Tempat itu disakralkan untuk mereka yang mau mengasapi hutan dengan menyan, barangkali dapat nomor togel.
Manusia lebih-lebihnya hanya boneka Tuhan. Di dalamnya dimasukkan roh setan yang kadang kelakuannya iblis. Tetapi, ingin menjadi Tuhan untuk orang lain, juga tidak untuk menjadi hamba bagi dirinya sendiri. Sungguh aneh tempat yang merupakan tragedi pada masanya tidak dibuatkan monumental sebuah tragedi, malah ditakuti penduduk sekitar. Katanya tempat itu kerajaan jin, Damin, warga yang tak tahu menahu, yang ia ketahui cuma bertani bilang "Beberapa tahun lalu ada truk besar yang membawa semen untuk dikirimkan ke daerah alas Lamin utara Desa Telaga De La Muerte". Aku tak percaya, mungkin hanya orang-orang dahulu yang takut ke tempat tragedi massal. Sungguh ketidaktahuan yang dilestarikan sampai sekarang.
Bahkan ketika waktu kecil bersama-sama dengan kawan lain, aku menyempatkan diri bersepeda, anak-anak selalu penuh dengan keingintahuan. Damin yang waktu itu sedang ngarit di pinggir jalan hutan jati melarang kami. Kata orang, bila sudah masuk alas lamin tidak akan kembali. Begitu juga dongeng tentang Modin desa sebelah yang katanya dijadikan suami bagi ratu penghuni kerajaan jin di utara Desa Telaga De La Muerte. Sang Modin hanya bisa kembali jika keluarganya mengadakan hajatan saat anaknya mantu. Konon saat sang Modin datang, ya makan ya minum, bahkan memberikan amplop jutaan rupiah saat anaknya mantu.
Damin, hanyalah satu-satunya orang yang masih waras setelah tragedi berdarah puluhan tahun tersebut. Ia selalu pura-pura nggendeng. Setiap hari kerjanya cuma memberi makan kambing yang ia beli dari hasil minta-minta 500 perak atau jika ada yang dermawan memberinya 50.000 untuk makan. Belasan tahun Damin tidak mandi, katanya kalo kena air bikin kukur-kukur. Entah sejak kapan Si Damin nggendeng. Kata tetangga, ia begitu karena melihat istrinya ketahuan berselingkuh dengan tetangga yang katanya seorang perangkat desa puluhan tahun lalu.
“Damin, dulu petugas keamanan desa. Bejo hidupnya saat Damin memergoki istrinya selingkuh lalu pura-pura gila. Sekarang tiap hari ia mengelilingi Desa Telaga De La Muerte dengan bau kecut ke mana-mana. Kalo ndak nggendeng, Damin sudah pasti ikut jadi korban di kolam utara desa. Cuma ya itu kebablasan sampai sekarang,” kata Tumin teman seangkatan Damin.
Hari ini datang manusia yang tidak terkira jumlahnya mereka banyak mengenakan seragam loreng berlatih baris berbaris. Tanpa senjata kecuali mulutnya yang membakar emosi orang sekitar, bukan emosi positif. Tapi kata-kata untuk mengalahkan orasi sambel kacang oposisi. Juga bukan prajurit dari zaman perjuangan. Prajurit entah dari mana. Desa Telaga De La Muerte menjadi sangat tidak waras kecuali si Damin yang sibuk menyanyikan nada lirih sepanjang kerumunan orang-orang di jalanan yang entah berpesta apa. Ketiban untung di antara kewarasan si Damin mendapat rokok gratis dan segelas kopi serta kacang. “Lumayan, nggo ganjel weteng,” katanya.
“Tela, rung ewu pat likur, jagung, rung ewu selawe.”
Suara lirih pengumuman yang tak aku ketahui bergema, muncul di antara riuh pesta pora. Lalu, dari tempatnya berdiri, motor-motor yang mulai bleyer-bleyeran memekakkan telinga. Bukan karena pilihan mereka menang, justru beberapa orang di bawah kesadaran Congyang tak terima kekalahan calon mereka. Damin sedih--waktu itu pula karena tidak ada makan gratis pesta pora. Lagipula ia lupa tidak memberikan makan kambing kesayangannya. Sore itu pula ia berpisah dengan dermawan-dermawan yang memberikannya rokok, kacang, dan segelas kopi.
Malam itu desa masih penuh dengan ketegangan yang tak terlihat, diselimuti dingin. Seperti biasa, Damin mencari ontong pisang di kebun milik Tumin. Di balik gelap malam samar-samar, ia melihat tiga atau empat orang, berdua memegangi tangan, seseorang di belakang badan. Si Algojo mulai menghunus arit yang mengkilap terlihat dalam pekatnya malam. Mulut si korban disumpal kain. Darah mengalir dari perut si korban. Seseorang menyayat daging. Tumin sejak saat itu tidak pernah melihat Damin. Orang gila yang berjalan tak pernah keluar desa itu, kini entah ke mana batang hidungnya.
Sekaran, Gunung Pati, Semarang, Februari 2022.
Catatan:
*nggendeng : pura-pura gila
*nggo ganjel weteng : buat mengganjal perut
*Tela, rung ewu pat likur (dua ribu dua puluh empat), jagung, rung ewu selawe (dua ribu dua puluh lima) : menghitung perolehan suara pilkades calon kades disimbolkan dengan tanaman palawija atau yang lainnya
*bleyer-bleyeran : menggeberkan suara knalpot motor
*congyang : minuman dari fermentasi beras
_______________
Penulis
Achmad Al Hafidz, lahir 14 Oktober 1999. Mahasiswa aktif PGSD UNNES. Bermukim di Semarang dan Pati. Bukunya yang telah terbit Manusia Lampu Kota (CV Laditri Karya, 2021). Karyanya dimuat di beberapa media cetak: Suara Merdeka, Radarbromo, Bhirawa, Fajar Makasar.
IG :@achmad_alhafidz14
Kirim naskah ke redaksingewiyak@gmail.com