Oleh Encep Abdullah
Saya tak mau perut terus yang dimanja, otak juga perlu.
Mungkin itu quotes yang saya tulis hari ini di snap WA. Quotes yang menyindir perut saya. Perut saya ini maunya banyak. Ia pengin dikenyangi sabang hari. Dituruti apa yang sebenarnya tak begitu ia butuhkan. Dikit-dikit pengin ngeganyem. Apa aja pengin diganyem. Perut sampai maju ke tanah orang.
Otak saya manyun melihat kebahagiaan si perut. Ia iri. Saya sebagai pemilih otak tak mau dong membuat dia bad mood. Kasihan. Dia selalu bersusah payah bagaimana ego harus bekerja dengan baik setiap hari. Memilih mana yang masuk akal dan tak masuk akal. Patut ia diberi apresiasi dengan memberinya nutrisi. Salah satunya dengan memberikannya bacaan.
Orang takut tidak makan. Tapi, orang tidak takut tidak membaca buku. Tidak makan berhari-hari bisa mati. Tidak baca buku berhari-hari, hidup terus berjalan. Barangkali begitu. Padahal, Tuhan menyuruh kita dalam firman-Nya untuk iqra. Saya tahu iqra bukan cuma baca buku. Membaca segala tatanan kehidupan juga iqra.
Baik, bagi saya iqra "membaca buku" itu beda. Mungkin hanya kalangan terpelajar atau orang-orang terbatas saja yang mau mencari perenungan melalui itu. Orang-orang biasa yang bisa hidup tanpa buku, jumlahnya sangat banyak. Maka, bagi saya pembaca buku adalah orang istimewa.
Keistimewaan yang dikejar itu tak semudah yang dibayangkan. Saya merasa gagah saat berjalan menuju kasir. Tambah tampan lagi saat membayar buku. Sungguh puas rasanya membeli buku walau sebenarnya dompet berteriak,
"JANGAAAN!"
Teriakan dompet itu tak ada artinya bila saat buku itu dibaca, ia memberikan kebahagiaan. Memberikan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan kepada orang lain. Kepuasaan yang ger! Kenikmatan orgasme usai baca buku.
Hari ini, kebetulan sedang libur sekolah dan main ke rumah mertua, saya hanya beli 2 buku. Habis 200 rb. Terlalu sedikit bagi saya dengan jumlah itu. Namun, saya harus sadar diri, otak saya tak bisa memaksa untuk memborong apa yang saya mau. Padahal ia pengin bawa 5 buku dan kalau beli semua totalnya kurang lebih 500 rb. Uang saya tidak cukup. Saya pusing tujuh keliling. Istri saya sudah jenuh menunggu di luar. Saya di dalam bertengkar dengan plastik-plastik sampul buku.
"Beli yang mana ya. Yang ini atau yang ini. Duit cuma segini. Duh!"
Saya kira masuk "surga" itu gampang. Ternyata tanpa bawa banyak uang, tersiksa juga. Tidak bisa semua diambil. Kemampuan (keuangan) saya terbatas. Juga kemauan (membeli) juga terbatas. Bahkan, untuk beberapa buku sastra saat ini tidak masuk prioritas saya.
Setiap kali ke toko buku, yang saya lirik selalu buku agama, filsafat, atau berkaitan dengan sufistik. Sebisa mungkin saya harus bisa diet baca. Terutama saat saya beli di toko buku yang tidak ada diskon atau bukan tempat bazar yang memberi banyak diskon.
Beda sekali bila saya datang ke bazar buku murah. Yang saya cari dan saya borong pasti buku-buku sastra. Kadang nemu buku yang bagus, kadang yang tak penting-penting amat juga saya beli. Pikir saya nanti bisa dibaca oleh kawan-kawan komunitas atau nanti bisa dijual lagi. Selalu begitu.
Minat membeli tinggi. Minat baca rendah. Ini yang sangat bahaya bagi saya. Artinya, toh saya bukan penjual buku yang bener-bener penjual juga. Saya memang harus diet membaca karena keuangan saya yang juga perlu diatur dengan baik.
Hari ini saya ke Gramedia Mal AEON BSD Tangerang. Di sini saya bener-bener pusing. Saya sudah tahu pasti bakal lama kalau main ke toko buku. Bukan lama beli, tapi lama mikir. Saya yakin bukan hanya saya yang begini. Yang banyak uang saja pusing, apalagi yang kere. Ya, Tuhan, semoga kita semua selalu dalam lindungan-Mu dan semoga kita dalam keadaan kaya raya saat berniat membeli buku.
Beberapa buku yang saya beli dengan harga mahal itu, kadang karena saking senangnya bisa membeli dan mendapatkan manfaat banyak darinya, saya bisa langsung merekomendasikan kepada kawan komunitas dengan cara saya meminjamkannya. Saya lupa bahwa sering kali buku-buku itu tak akan kembali. Kenapa saya harus meminjamkannya? Yang ada di otak saya, kebahagiaan harus dibagikan meskipun akhirnya buku itu tak dikembalikan. Bodoh memang!
Sebenarnya bukan karena harga bukunya, tapi waktu dan kesempatan untuk membeli buku itulah yang kadang tidak bisa diterima saat buku itu tak kembali. Misal, buku itu saya beli di Bandung atau di Bogor atau di tempat yang sakral yang jauh dari keramaian. Bisa saja saya beli lagi di online. Tapi, saya merasakan jiwanya beda. Buku yang saya beli online saat dipinjam orang, saya tidak terlalu peduli, sedangkan buku yang saya beli hasil dari keringat tangan saya yang tancap gas berkali-kali dari satu tempat ke tempat lain, itu lain cerita. Anehnya, sampai saat ini saya masih melakukan hal bodoh itu: meminjamkan buku-buku itu.
Bagi orang seperti saya ini, keseimbangan dalam mengatur ekonomi perlu dijaga. Membeli buku bagi saya murah. Tapi, bagi istri saya mungkin mahal. Apalagi bila dibandingkan dengan harga minyak goreng, 200 rb bisa dapat 4 liter.
Saya sadar, saya juga manusia yang berkutat dalam dapur rumah tangga, tahu mana kondisi terjepit, mana kondisi yang longgar. Saya bisa sesuka hati membeli apa saja yang saya mau, termasuk buku, asalkan istri rida dengan semua itu. Tidak asal beli buku, beli seabreg, sampai rumah ternyata ada insiden gas habis, minyak habis, beras habis, token habis, anak minta jajan, uang nol. Mampus! Haha.
Karena saya penulis, saya mewajibkan untuk membeli buku, semiskin apa pun saya. Dengan begitu, saya menjadi kaya. Bismillah.
Sekian curhatan saya. Wabillahi taufik walhidayah. Wassalamualaikum wr.wb.
Tangerang, 28 Juni 2022
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi NGEWIYAK, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku kolom proses kreatifnya yang sudah terbit Buku Tanpa Endors dan Kata Pengantar (#Komentar, April 2022).