Cerpen Dewi Musdalifah
Setiap perjalanan pulang kerja, aku selalu menyanyikan lagu. Meski kerap kali cuma dengan senandung, dan tak perlu keras-keras, lagu itu lagu yang sama. Terkadang pula kulantunkan dengan lirih. Sesekali haru, lain kali menyayat. Pada hari lain mungkin membosankan.
Aku bekerja di perusahan patung manekin. Jarak antara rumah dan perusahaan tempatku bekerja kurang dari satu kilometer. Aku menempuhnya dengan jalan kaki. Sepanjang jalan yang sama dengan lagu yang sama pula. Dalam suasana seperti itu bersama dengannya.
“Huh… jangan menyanyi lagu itu lagilah,” katanya yang belakangan memang kerap bersamaku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bosan.”
“Bosan apa sedih?”
“Bosan sedih,” jawabnya.
Begitulah, kami bercakap membincang apa saja; kejadian kecil sampai besar; yang menarik juga membosankan; yang membuat menangis juga tertawa. Kebetulan, sore ini aku bercerita padanya tentang kondisi perusahaan.
“Kamu tahu,” aku mengawali cerita. “Hari ini Lili Rumpi kesurupan saat upacara briefing di lapangan. Dia tiba-tiba saja terjatuh menelungkup. Kemudian melompat dan menari-nari di tengah lapangan seperti penari balet bertubuh tipis. Dia baru berhenti ketika terbentur tiang bendera."
"Kenapa bisa begitu?” dia merespons dengan pertanyaan. “Apa Lili Rumpi sedang tidak enak hati hingga kesurupannya kambuh lagi?"
Aku menyahut, "Tentu saja. Pemimpin upacaranya Tante Menor. Dia mengumumkan struktur baru. Dan Lili Rumpi ditempatkan di gudang belakang. Rupanya Lili Rumpi tidak terima."
Dia mengeryitkan dahi. Lalu bertanya lagi, "Apa yang terjadi pada top manager lama?"
Karena sudah mengajukan tiga pertanyaan, aku malas menjawab pertanyaannya. Aku bergegas mempercepat langkah. Hari sudah semakin petang.
Mestinya, dia pun telah tahu. Sebagai orang yang kerap bersamaku, dalam satu tempat kerja, betapa persoalan di perusahaan ini bergulir seperti bola liar, bola yang membawa api, menghanguskan sendi-sendi perusahaan. Bahwa top manager telah melakukan kesalahan tak terampuni hingga harus dipinggirkan. Bahkan dikeluarkan dari perusahaan karena alasan pelanggaran moral.
Pejabat sementara yaitu Tante Menor, perempuan berlidah gergaji. Setiap kata-katanya mampu memotong syaraf tenang setiap orang. Dia untuk sementara memegang kendali perusahaan. Tebersit kabar kelincahannya adalah salah satu penyebab manajer kami terpuruk dalam kubangan dosa.
“Kami meradang karena sebenarnya kami menyukai manajer lama,” kataku.
“Ya, aku tahu. Tak seperti Tante Menor, masing-masing punya luka akibat sepak terjangnya,” pikirannya, tampak serupa denganku.
Kami sama-sama tahu, saat melihat kondisi sosial yang tak memihaknya, Tante Menor cepat ambil strategi. Dia berlindung di bawah ketiak para sesepuh pemegang saham perusahaan. Dengan berbagai dalih, Tante Menor berhasil meyakinkan bahwa dia tidak bersalah dalam kasus yang menimpa manajer lama. Dan karena sudah pemegang saham ini sudah sepuh, tak lagi melihat secara jelas akar masalahnya, maka yang tampak itulah yang benar.
“Akhirnya, lolos juga Tante Menor dari lubang jarum,” tandasku.
“Ya, aku tahu.”
Lantas kuceritakan padanya, kekosongan jabatan manajer menyeret siapapun masuk dalam pusaran. Hadir tokoh si Kancil Tua Nakal, seseorang yang sering dilupakan. Padahal perusahan ini sudah ada dalam genggamannya sejak pertama kali berdiri.
Si Kancil Tua Nakal inilah yang sejak dari awal menyusun strategi siapa yang akan duduk sebagai manajer kami yang baru. Gerakannya tak terdeteksi, namun sangat berbahaya. Si Kancil Tua Nakal ini mampu meracuni tanpa menyentuhnya. Telikung-menelikung akhirnya berujung, terpilihlah si Kikuk menjadi pengganti manajer kami.
“Sosoknya gagah, intelek. Namun, tak punya pita suara, dan hanya punya satu telinga,” tandasku.
“Hahahaha…,” dia tertawa.
“Aku suka caramu mendeskripsikan orang itu,” katanya masih cekikikan.
“Lho, kan memang setiap kali berbicara, suaranya tak keluar. Tak ada suara yang bisa kita mengerti,” aku pertegas padanya.
“Iya sih. Aku juga tahu. Dia hanya mampu mendengarkan suara yang ingin didengar. Selebihnya tak tersaring oleh gendang telinganya,” tanpa kuminta dia menambahkan sesuai apa yang diketahuinya.
“Oiya, satu hal lagi,” giliran aku yang menambahkan. “Kemampuan lain dari dia adalah kehandalannya melobi siapapun yang menguntungkan.”
Terus terang, di antara kami dan sebagian besar teman sekantor, bingung bagaimana menyikapinya? Arus kecil semakin membesar, tinggal menunggu kapan akan menyeret semuanya. Meledak pada akhirnya, bara di dalam sekam.
Sesampai di rumah, di tengah kegerahan, aku berendam di empang kecil di belakang rumah. Udara begitu segar karena langsung berpadu dengan angin. Aku lihat sosoknya kembali datang. Mungkin tadi belum cukup berbagi cerita sehingga perlu bertamu ke rumahku. Kupersilakan. Bahkan kuajak ikut berenang di antara ikan-ikan kecil berwarna orange, emas, putih, dan gelap: ikan mas, ikan mujahir, dan ikan sepat.
Dia membuka dialog, "Apa kabarmu?"
Edan, pikirku. Baru beberapa saat berpisah saja sudah tanya kabar.
“Sudah beres masalah di perusahaan tempat kita bekerja?”
Bertanya adalah watak utamanya.
Kujawab dengan enggan, "Belum, atmosfer perusahaan terasa tidak enak. Aku jadi malas bekerja."
Dia tertawa. Lantas berkata, "Ah, kau hanya beralasan saja. Pada dasarnya kau memang pemalas dan tidak punya daya juang."
"Apa maksudmu dengan mengatakanku pemalas. Aku setiap hari datang tepat waktu, tak pernah terlambat," aku sedikit tersengat.
Dia menatapku dan tawanya bertambah lebar.
"Hahaha…. meskipun kau tidak pernah terlambat, tapi apa yang sudah kau lakukan untuk menciptakan gairah bekerja dan kontribusi apa yang sudah kau berikan untuk kemajuan perusahaan ini?"
Aku berdalih, "Kenapa harus aku? Toh kondisi tidak enak ini mereka yang menciptakan. Bukan aku?"
“Hahahaha…,” dia terus tertawa. Lalu katanya lagi, "Lihatlah ikan ini, tetap tawar meski hidup di air asin, tidak seperti kau!"
Lalu, dia menyelam dan bermain bersama kura kura.
Air dingin menelusup di antara pori-pori kulitku. Tiba tiba dia muncul kembali dengan membawa cermin besar berwarna merah maroon. Dihiasi lukisan bintang-bintang, layarnya gelap, namun ada warna semburat. Meski agak remang, aku mengenali gambar di cermin itu: sebuah bangunan berdiri kokoh menjulang. Ah, itu perusahaanku. Terlihat betapa megah. Di ruang produksi, mesin-mesin canggih berjajar, menciptakan patung-patung manekin yang mulus, cantik, dan tampan. Ya, patung-patung, menyerupai manusia, namun tak memiliki nyawa.
Lama aku mengamatinya. Aku mencoba mendekati salah satu patung. Tiba-tiba aku merasa patung-patung ini menggerakkan mulutnya. Satu per satu bersuara. Seperti dengungan. Lalu bertambah jelas.
"Bebaskan kami! Beri kami ruh! Kami bukan patung! Kami manusia…!"
Aku terkejut bukan kepalang. Kenapa bisa begini? Suara-suara patung semakin membahana, semakin bergaung, dan semakin jelas. Seperti mengejarku. Getaran suaranya dahsyat. Aku terengah-engah menuju pinggir empang.
Langit menguning menuju temaram dan sebentar lagi gelap. Aku lihat dia melompat dari ragaku dan kembali berjalan di sampingku. Sudah kukira dia hendak berbagi cerita lagi. Tapi kali ini kuminta untuk tak banyak memberiku pertanyaan. Wujudku dengannya sama persis. Tentu saja, karena dia juga aku, wujud kembar dari diriku sendiri. Kami terus berbincang. Di sela-sela itu aku masih pula bersenandung.
“Boleh aku terus terang?” tanyanya.
“Duh, tanya lagi,” potongku.
“Tidak, aku hanya ingin meminta, hehehe....”
“Katakan.”
“Terus terang, sore ini aku pengin kau menyanyikan lagu sedih ini keras-keras.”
Atas permintaannya, terpaksa aku pun menghikmati lagu ini dengan menyanyikannya keras-keras. Terbayang kami dan seluruh penghuni perusahan berubah menjadi manekin-manekin bermata kosong.
_______
Penulis
Dewi Musdalifah, lahir di Gresik, 23 Juni 1974. Aktif di Yayasan Seni dan Budaya GANG SEBELAH. Pendidik di SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Menulis puisi, cerpen, esai di sejumlah media lokal. Puisinya terhimpun di sejumlah kumpulan bersama: Wasiat Malam (DKJT, 2013), Teruntuk Ibu (DKJT, 2014), Lelaki Kecil di Terowongan Maling (2014), Lek Giryadi (Blitar, 2018). Sementara itu buku puisi tunggalnya yang telah diterbitkan: Kembara (Pagan Press, 2013), Sakau (Pagan Press, 2018). Esai secara berkala tayang di radarjatim.id, klikjatim.com, jalindo.net. Cerpennya antara lain dimuat di Kidung, (DKJT), Radar Surabaya, jatimkini.id, maca.web.id.
Website : demus.id
Surel : dewimusdalifah@gmail.com.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com