Cerpen Riki Utomi
Sejak perempuan itu tiba dengan sepeda motor matic-nya, dadanya mulai berdegup tidak tenang dan matanya terus mengekori. Perempuan itu berdua dengan anaknya yang masih berusia dua tahun. Keduanya kemudian beranjak menuju ke depan ruko penjual roti prata. Bau harum seketika menyengat hidung membuat perut menjadi lapar.
Pasar semakin ramai dan riuh seiring pagi merangkak ke tengah siang dan buruh-buruh kian bertandang untuk bekerja pada toke-toke Cina yang memiliki ruko di sepanjang deretan pasar. Dia menarik napas. Masih berada di dalam becaknya. Menanti kedatangan sebuah speedboat dari pulau seberang. Berharap hari ini mendapat penumpang. Sebab, ia yakin hatinya bisa kembali kacau ketika sampai di rumah nanti sebab istrinya semakin hari menyambut dengan muka semasam jeruk purut. Namun, yang lebih mengguncang hatinya saat ini adalah sosok perempuan muda itu yang kini tengah bersama pembeli lainnya mengantre roti prata yang sedang dibuat.
Ia menancapkan rokok di bibir, memantik api. Asap seketika memenuhi wajahnya yang keruh. Sambil menarik napas kembali yang lebih berat, ia berusaha cermat memandang perempuan itu. Perempuan yang masih berusia muda dengan anak lelakinya yang tampak selalu dicoba didiamkannya. Tiba-tiba dadanya bergemuruh dan jantungnya berdetak kencang. Entah mengapa kedua telapak tangannya menjadi berkeringat sewaktu ia toleh kembali ke arah sepeda motor perempuan itu.
Sungguh ia sangat tahu, perempuan itu pasti lupa membawa gawainya sebelum beranjak masuk ke dalam ruko itu. Ia mencoba sedikit mendongak dengan mata tajam untuk memastikan lagi. Lalu mengangguk karena tampak gawai itu masih tergeletak dalam laci di bawah setang sepeda motor matic.
Jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk sadel becak dan jantungnya masih berdebar.
“Perempuan itu pasti lupa,” ucapnya lirih pada diri sendiri.
Ia menyapu pandangan ke seluruh tempat. Para penarik becak masih tetap menanti kedatangan speedboat. Mereka sibuk mengobrol satu sama lain. Ada juga yang tetap berada di dalam becaknya sambil merokok dan minum kopi.
“Apakah mereka juga melihat gawai itu?” ucapnya kembali.
Perempuan itu masih menunggu roti prata dimasak. Kini yang menunggu hanya tinggal lima orang. Setidaknya perempuan itu yang terakhir, pikirnya gelisah. Sebab penjual roti prata juga mengutamakan pesanan bagi orang-orang yang makan di tempat. Roti prata buatan penjual keturunan India di ruko itu memang selalu ramai dikunjungi orang setiap hari untuk sarapan dan ngopi. Ia pandang lagi lekat-lekat perempuan itu yang kini masih tampak tekun—seperti juga orang yang mengantre lainnya—memperhatikan penjual berkulit legam itu mengolah bahan tepung yang telah berbentuk bulat namun tidak rata. Tepung padat itu diambilnya kembali. Lalu diempaskannya ke wadah datar untuk ditekan-tekan agar melebar, sambil meletakkan sedikit minyak goreng di atasnya. Kemudian diangkatnya tepung yang telah tipis melebar itu ke wadah penggorengan berbentuk bundar datar untuk dimasak. Penjual itu kembali menuangkan sedikit minyak goreng lagi dengan telapak tangan kanannya yang gesit dan tampak telah terlatih. Kemudian menuangkan telur yang telah dikocok bersama racikan daun bawang dan potongan kol. Seketika aroma wangi membubung kembali melesat hidung.
Ia kembali menjadi lapar oleh aroma masakan roti prata itu, tetapi tetap hatinya tak dapat tenang. Ia coba memejam sambil mengucap istigfar. Ah, tiba-tiba ia merasa aneh dengan dirinya. Mengapa pula baru sekarang tersentak lisannya untuk mengucap itu? Padahal saban hari ia sangat jauh dari mengingat Tuhan. Ia menggeleng pelan, lebih tepat konyol mengingat dirinya sendiri kini.
Kembali ia melihat perempuan itu. Lalu, menyapu lagi pandangannya ke seluruh penarik becak yang lain. Mereka masih tampak sibuk mengobrol. Tiba-tiba ia terperanjat oleh teriakan kawannya yang iseng mengejutkan dari belakang becak, kawannya lelaki tua bergigi ompong itu terkekeh-tekeh karena melihatnya terlonjak dan pucat. Beberapa penarik becak menoleh ke arahnya, juga ikut tertawa.
Seorang dari mereka menyapanya dengan bertanya, apakah ia sakit. Ia hanya mebalas sambil tertawa. Sebisa mungkin ia mencoba untuk memasang wajah tenang untuk tidak terlalu tampak aneh oleh kecemasan yang sejak tadi melanda. Ia teringat lagi istrinya di rumah dan menggeleng pelan, dadanya gemuruh oleh kisruh masalah makan sehari-hari. Juga oleh anaknya yang masih SD itu selalu menuntut dibelikan sepeda untuk sekolah, dan yang kakaknya ingin dibelikan gawai karena saat ini banyak tugas dari sekolah yang diberikan melewati benda itu. Ia memejam dengan badan sedikit gemetar, entah mengapa keringat dinginnya belum pula hilang membuat baju kaus berlambang partai politik yang dikenakannya itu menjadi basah. Ia membuka mata yang kini telah berair.
Seandainya saja, hanya seandainya, pikirnya selalu, kapal Wak Leman kembali jalan, ia ingin ikut serta berangkat ke Negeri Jiran mengantar tual-tual sagu dan buah pinang atau kue-kue semprong yang telah dikemas rapi dalam kaleng. Kini, bagaimana mungkin lagi ke sana? Negara tetangga itu masih menutup pintu rapat-rapat setiap kapal dari manapun di perairan perbatasan negara. Padahal dulu, setahunya, begitu mudah bertandang untuk berdagang ke negara tetangga serumpun Melayu itu, yang dari Selatpanjang ini memang dekat jaraknya, hingga kembali melenggang ke sini dengan membawa Ringgit yang begitu bernilai menghidupi keluarga, seperti kebanyakan lelaki di sini.
Namun, semenjak dunia diserang oleh hal-hal yang tidak tampak oleh mata, semua lapangan pekerjaan langsung lenyap. Ia—seperti kawan-kawannya yang dulu pernah membawa kapal barang untuk berdagang ke Malaysia—gigit jari sambil menanti ketidakpastian peraturan yang entah sampai kapan berakhir. Hanya becak ini satu-satunya ia miliki untuk menghidupi istri dan kedua anaknya. Hatinya lebih teriris lagi karena saat ini pun bekerja sebagai penarik becak bukan lagi seperti dulu sebab di sini telah penuh dengan sepeda motor yang sangat gampang dimiliki apabila memiliki uang. Seolah-olah masyarakat enggan untuk kembali menaiki becak. Hanya satu tinggal harapannya, yaitu bertandang ke pelabuhan yang juga tidak begitu menjanjikan karena banyak kapal yang tidak lagi beroperasi penuh, karena dibatasi keberangkatannya oleh pemerintah sejak pandemi, pun para penumpang itu setelah dimuntahkan dari perut kapal, banyak yang dijemput oleh sanak keluarga mereka. Meski ada juga beberapa orang asing yang bukan sebagai warga sini, pasti ia telah diperebutkan oleh penarik becak lainnya yang tak henti-hentinya menawarkan tumpangan. Mereka berebut dengan segala macam tindak laku, yang kadang hal itu membuat orang yang akan mencari tumpangan menjadi risih dan bingung; risih karena banyak penarik becak merubungi mereka seperti lalat. Bingung karena calon penumpang itu pusing memilih mana satu yang harus dinaiki. Satu lagi yang membuat penumpang yang telah sampai itu tidak enak hati, mereka—para penarik becak itu—tak segan meraih paksa tas-tas penumpang tanpa permisi.
Entah mengapa matanya masih berair, terasa hangat.
Bising kendaraan dan suara-suara orang di pasar itu masih bergemuruh. Speedboat dari Bengkalis masih belum juga sampai. Ia mengeraskan genggaman tangan, memukul sadel becaknya. Gemuruh dadanya riuh, seriuh suara bising di pasar itu. Cericit walet yang bersarang di atas ruko-ruko itu semakin menambah bising dan semrawut, membuat jantungnya berdegup kencang. Ia melongokkan kepala lagi ke arah sepeda motor perempuan itu, yang kini telah—oh, ia seketika terlonjak—perempuan itu telah siap-siap menerima roti prata itu!
Sebentar lagi giliran perempuan itu akan menerima bungkusan roti pratanya, tentu saja kelak ia akan kembali ke sepeda motornya. Ia geregetan. Kakinya mengentak-entak lantai becak. Ingin ia segera keluar dari dalam becaknya. Lalu? Apakah harus segera menuju ke sepeda motor itu mengambil gawainya? Tidakkah di sekitarnya banyak becak yang masih juga ada orang-orang lain yang sibuk mengobrol? Tetapi, bukahkah mereka tidak menyadari bahwa di laci sepeda motor matic itu terdapat sebuah gawai?
Pikirannya berkecamuk.
Ia menjadi tidak tenang di dalam becaknya. Tangannya gemetar ketika menancapkan rokok terakhirnya ke bibir. Ia mencoba untuk menenangkan diri, namun seperti tidak dapat. Badannya terasa panas-dingin. Sekali-sekali ia merasa menyesal oleh kebodohannya sendiri, mengapa tidak sejak tadi ia ambil gawai itu! Dengan berpura-pura atau bagaimana. Seketika pula jantungnya kembali kencang berdetak. Hidungnya mendengus kuat. Lalu, ia menggeleng. Hatinya semakin panas ketika melihat perempuan itu telah menerima bungkusan roti pratanya sambil menyerahkan uang kepada penjual berkulit legam itu.
Dadanya naik-turun melihat gawai yang masih tergeletak di laci sepeda motor matic itu. Ia toleh lagi perempuan itu. Kini anaknya tampak rewel seperti tidak ingin beranjak dari depan ruko. Anak kecil itu menunjuk-nunjuk ke dalam ruko yang dipenuhi orang-orang yang sedang ngopi. Anak kecil itu makin tambah rewel dan tampak ingin menangis: tipe anak lasak dan nakal. Apa keinginannya? Namun perempuan itu seperti mengerti perasaan anaknya dan mencoba menurutinya. Digendongnya anaknya yang rewel itu menuju ke belakang ruko.
Mungkinkah anaknya ingin melihat laut? Pikirnya antara cemas dan girang. Ia tersenyum tipis ketika melihat perempuan itu telah menggendong dan beranjak ke belakang. Di belakang deretan ruko itu memang terlihat laut yang teduh, di depannya Pulau Rangsang terbentang panjang. Tampak pula sampan-sampan nelayan yang tengah menjaring, kapal-kapal barang yang baru tiba, pelan-pelan mencoba bersandar di dermaga ruko, juga speedboat lain yang sedang berlabuh. Ia melihat kembali lebih cermat. Perempuan itu semakin berjalan jauh ke dalam belakang ruko dan lenyap setelah membelok ke arah sebelah kiri, barangkali menuju ke tempat yang lebih lapang agar anaknya dapat memandang laut dengan puas.
Dadanya semakin gemuruh.
Jantungnya berbedar-debar ketika ia keluar dari dalam becak. Sekuat tenaga ia mencoba untuk tidak gugup ketika melangkah ke arah sepeda motor matic itu. Melangkah pelan sambil meyakinkan diri bahwa tidak ada orang-orang sekitar yang melihat. Tiga langkah lagi, ia dekat dengan sepeda motor itu. Kini ia telah berhenti. Matanya begitu tajam menatap gawai yang masih tergeletak di dalam lacinya. Ia mendengus hebat, menarik napas pelan-pelan untuk menghilangkan gugup. Ia menjongkok sebentar di belakang sepeda motor itu sambil kembali melihat keadaan sekeliling. Para penarik becak lain, masih seperti tadi. Suara-suara obrolan mereka semakin riuh dan tampak larut.
Ia menelan ludah dan jakunnya naik turun. Tangannya gemetar dan badannya kian menggigil. Perempuan itu masih belum muncul. Mungkin lama melihat laut untuk meladeni anaknya yang rewel. Ia merasa harus segera bersikap. Masih berposisi jongkok, kini tangannya mulai bergerak, mencoba meraih gawai itu dari dalam laci sepeda motor. Keringatnya semakin deras membasahi tubuh dan degup jantungnya begitu menyiksa.
Namun… celaka! Tiba-tiba gawai itu berdering kuat.
Para penarik becak itu kini beralih memandangnya, membuatnya hampir pingsan. Ia merasa hilang akal dan hanya tertawa yang tidak lucu. Sungguh ia merasa seperti tertangkap basah oleh sebuah peristiwa. Ia merasa tidak dapat berkata-kata atau sekadar berbasa-basi. Seluruh penarik becak masih memandangnya aneh.
Perempuan muda dan anaknya yang rewel tadi kini telah tampak kembali. Berjalan keluar dari dalam ruko menuju sepeda motornya. Perempuan muda itu sungguh terkejut mendapati seorang tua yang tengah berdiri di dekat sepeda motornya sambil memegang gawai itu. Lebih jauh perempuan itu tampak gugup, wajahnya meringis seperti menunjukkan penyesalannya akibat telah lupa sejak tadi.
“Gawai Adik tertinggal sejak tadi. Ini ada yang menghubungi…,” ucapnya tergagap.
Tanpa diduganya, perempuan itu tersenyum melihatnya sambil mengucapkan terima kasih karena menganggap telah menyelamatkan. Ia hanya tersenyum kaku dengan tubuh gemetar yang masih belum dapat diredakannya.
Perempuan itu kembali menerima gawainya setelah ia berikan. Kemudian menaiki sepeda motornya untuk pulang. Ia hanya dapat melihat hampa perempuan itu yang semakin menjauh dari pandangan. Namun setelah itu, tanpa disadarinya, seketika suara-suara yang tidak mengenakkan dari para penarik becak menghunjam ke telinganya.
“Dikau betul-betul bodoh!”
“Mengapa tidak sejak tadi dikau ambil?”
“Diserahkannya lagi!”
“Hahahaha!”
Suara-suara tawa begitu tajam dan deras menyerangnya. Ia hanya cengengesan sambil berjalan menuju becaknya. Segera ia menghidupkan becaknya dan berlalu dari orang-orang itu. Sebelum jauh benar ia membawa becaknya, sayup-sayup terdengar lagi di telinganya.
“Dia telah bersikap baik! Mengapa harus ditertawakan?”
Selatpanjang, April 2022
_____
Penulis
Riki Utomi kelahiran Pekanbaru 1984. Buku cerpennya Mata Empat (2015), Sebuah Wajah di Roti Panggang (2017), Mata Kaca (2019), Anak-Anak yang Berjalan Miring (2020). Buku esainya Menuju ke Arus Sastra (2017) dan Menjaring Kata Menyelam Makna (2021). Buku puisinya Amuk Selat (2020). Puisi-puisinya pernah tersiar di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Indo Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Apajake, dll. Kini bekerja sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas dan bermukim di Selatpanjang, Riau.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com