Oleh Izzatullah Abduh, M.Pd.I.
Sebentar lagi umat Islam akan menjumpai hari raya besar, hari raya Iduladha. Hari raya yang di dalamnya disyariatkan suatu amalan ibadah yang mulia, yaitu berqurban. Hendaknya kita kaum Muslimin merasa bergembira dan senang hati untuk menyambut hari raya yang agung tersebut.
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka merasa bergembira.” (QS Yunus : 58)
Kemudian di sana kita berusaha mengagungkan dan menjalankan syiar-syiar Allah berdasar kesanggupan dan kemampuan kita masing-masing. Sebab itulah tanda ketakwaan dalam hati.
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al Hajj : 32)
Dan di antara syiar paling besar pada hari raya tersebut adalah ibadah qurban. Sebab amalan ibadah yang paling dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala pada hari raya Iduladha adalah berqurban, mengucurkan atau menyembelih hewan qurban. Dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidaklah seorang anak Adam (manusia) melakukan suatu amalan pada hari raya qurban amalan yang paling dicintai oleh Allah, selain daripada mengucurkan darah hewan qurban. Sesungguhnya hewan qurban tersebut pada hari kiamat kelak akan datang dengan tanduknya, kukunya, dan bulunya. Dan sungguh kucuran darahnya (ketika disembelih) telah sampai di suatu tempat di sisi Allah ‘azza wajalla sebelum ia jatuh menyentuh bumi. Maka gembirakanlah jiwa kalian dengannya.” (HR Hakim, Ibnu Majah, Tirmidzi)
Imam Tirmidzi menghukumi derajat hadits di atas dengan derajat hasan ghorib, sedangkan menurut Syaikh Al Albani derajat hadits di atas adalah dhaif. Hadits di atas bisa dipakai dan diamalkan untuk fadhoil amal atau targhib (motivasi) untuk beramal. Karena tidak bertentangan dengan pokok dasar hukum berqurban.
Dalam istilah syariat berqurban disebut dengan Al Udhhiyah, yang bermakna menyembelih hewan ternak berupa unta atau sapi dan atau kambing dengan niat taqarrub (ibadah) mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala yang dilakukan pada hari-hari sembelihan, yaitu 10--13 Dzulhijjah.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Rabbmu ialah Rabb Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS Al Hajj : 34)
Dan firman-Nya,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (QS Al Kautsar : 2)
Mengenai hukum berqurban para ulama berbeda pandangan. Menurut Imam Hanafi berqurban hukumnya wajib. Sedangkan menurut pandang jumhur (mayoritas) ulama, seperti Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad (Hambali) berqurban hukumnya adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat ditekankan untuk dikerjakan dan dirutinkan, selagi sehat, kuat, dan memiliki kemampuan/kesanggupan untuk berqurban.
Dari Ummu Salamah radiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Apabila kalian melihat hilal Dzulhijjah (sudah mulai masuk tanggal 1 Dzulhijjah), dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban, maka hendaklah ia menahan (tidak mencukur atau memotong) rambut dan kuku-kukunya.” (HR Muslim)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas bernada anjuran, sebab beliau tidak secara langsung menegaskan dengan perintah untuk berqurban. Beliau menggunakan kalimat "berkeinginan", yang mana kalimat ini mengindikasikan status hukum amalan di atas adalah sunnah, bukan wajib.
Dan dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi rahimahullah, disebutkan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar radiyallahu ‘anhuma pernah tidak berqurban, karena khawatir manusia akan memandang status hukumnya sebagai suatu kewajiban.
Adapun hadits yang dijadikan sandaran hukum wajibnya berqurban oleh kalangan ulama Hanafiyah,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kesanggupan (untuk berqurban), namun ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekati tempat shalat kami.” (HR Ibnu Majah, dengan derajat hasan menurut Al Albani)
Maka hadits ini dimaksudkan sebagai penekanan terhadap sunnah berqurban atas orang yang memiliki kemampuan/kesanggupan, supaya mereka mau melaksanakan ibadah qurban. Tidak beralasan, apalagi pura-pura tidak mampu. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka dengan orang yang kikir nan pelit, enggan menggunakan hartanya untuk mensyiarkan agama Allah, menegakkan ibadah, dan berbagi kepada sesama. Maka orang yang sudah berada dalam kategori mampu, hendaknya ia bersemangat dan bergembira membelanjakan hartanya untuk berqurban.
"BISMILLAH ALLAHU AKBAR! Ya, Allah ini adalah qurbanku!"
Teladan berqurban dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh sahabat Anas radiyallahu ‘anhu,
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan dua domba yang gemuk lagi bertanduk, beliau sembelih dengan tangannya, membaca basmalah dan takbir.” (Muttafaq ‘alaih)
Sahabat yang lain, Jabir ibn ‘Abdillah mengisahkan bahwa beliau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari raya Iduladha di lapangan shalat. Ketika Rasulullah selesai khotbah, Beliau turun dan menyembelih seekor domba dengan tangannya, beliau mengucapkan,
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Bismillah Allahu Akbar, ya Allah ini dariku dan dari umatku yang belum pernah berqurban.” (HR Abu Daud, dengan derajat shahih menurut Al Albani)
Sebagai penutup, mari kita baca untaian motivasi berqurban di bawah ini.
“Orang yang memiliki kelebihan harta pada hari raya Iduladha hingga hari-hari tasyrik (10--13 Dzulhijjah), lebih dari kebutuhan pribadinya dan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya, maka ditekankan atasnya untuk melaksanakan ibadah qurban.” (Imam Syafi’i rahimahullah)
“Orang yang memungkinkan baginya mendapatkan harta sejumlah harga hewan qurban, maka ditekankan atasnya untuk berqurban, meskipun itu ditempuh dengan cara berutang. Dengan syarat, ia mampu melunasinya di kemudian hari.” (Imam Ahmad rahimahumallah)
Demikian, semoga bermanfaat. Barakallahu fikum.
_____
Penulis
Ust. Izzatullah Abduh, M.Pd.I., Imam Masjid Andara, Cinere dan Pengisi Kajian Kitab Tauhid Muhammad At Tamimi dan Kumpulan Hadits Qudsi Muhammad al Madani.