Oleh Encep Abdullah
Ucok: Membangun ekonomi di usia 40 itu kayaknya telat. Harusnya sejak usia 20-an.
Samin: Katanyamah, yang kita bangun bukan ekonomi. Tapi, person kita sebagai apa. Nanti orang akan nyari kita sebagai apa yang kita kerjakan bertahun-tahun itu.
Ucok: Orang sudah tahu saya siapa. Saya penulis. Saya bergelut bertahun-tahun di situ.
Samin: Bagi saya, kau sudah seperempat jalan. Tinggal naik ke level berikutnya.
Ucok: Seperempatmah sedikit. Ya, katakan setengah begitu.
Samin: Ya, apalagi kalau kau yakin sudah ada di setengah. Tinggal setengah lagi. Terus saja nulis dan menjadi pegiat literasi.
Ucok: Mau naik ke mana lagi ini? Kreativitas dalam berkarya sudah mentok. Tapi, kalau sekadar produktif masih bisa. Ukuran produktif ya, bukan ukuran kualitas.
Samin: Barangkali bukan lagi di karyanya, tapi di laku kegiatannya. Berkegiatan pun adalah bagian dari karya. Contohnya mengembangkan website sastra, penerbitan buku. Siapa yang menyangka website sastra bisa berkembang seperti sekarang ini? Mungkin juga dengan jalan ini terbuka ilham agar saya berkarya kembali oleh sang Maha Menjadikan.
Ucok: Website sastra baru seumur jagung, jangan terlalu bangga. Kalau sudah 10 tahun baru bangga. Tapi, benar katamu, sepertinya pada masanya saya memang tak lagi berkutat pada karya (menulis), tapi pada laku kegiatan. Pengabdian.
Samin: Saya hanya realistis. Di seumur jagung saja sudah begini, bagaimana kalau 10 tahun.
Ucok: Saya tidak mau website sastra besar, tapi orang di dalamnya jalan di tempat. Memberi ruang menulis kepada orang lain, tapi yang punya rumah tidur.
Samin: Ini kalau kita solid dan sama-sama berbenah, besar berbarengan. Lagi pula, soal besar balik lagi ke spiritual masing-masing. Jangan jauh-jauh, Syekh Walang Pedang sampai ke nasional tidak dengan komunitas menulis apa-apa.
Ucok: Bukan komunitasnya, tapi menulisnya.
Samin: Masalah yang punya rumah tidak menulis, itu memang hal yang paling menakutkan. Saya sedang menulis 3 cerpen. Baru jadi 1 dan sudah dikirim ke media.
Ucok: Syukurlah. Oh, iya, namamu ini berat sekali terendus hidung-hidung penulis di luar sana. Perlu istikamah. Sekali nongol, tapi langsung ngilang. Ngilangnya lama pula. Nulis lagi 100 tahun yang akan datang. Siapa yang bakal kenal. Mau ngangkat namamu, saya merasa berat. Sebenarnya fokus kita dalam berkomunitas itu adalah kajian karya. Tiap pekan semua menulis. Dibedah. Dikrim langsung ke media atau lomba.Terus aja begitu, intens. Pasti bakal banyak perubahan.
Samin: Saya lagi menghindari mendengar soal dikenal ini. Yang penting bagi saya sekarang, saya tak berhenti menulis dan membaca di tengah desakan ekonomi pribadi saya.
Ucok: Baiklah kalau itu memang langsung keluar dari mulutmu.
Samin: Jujur, saya lagi ngap-ngapan. Saya tengah ada dalam situasi yang membingungkan. Kata Syekh Jupri, kalau mau jadi penulis, harus mengambil sikap dan memilih. Waktu diskusi sama Syekh Walang Pedang juga begitu, dia bisa bergerak cepat karena memang dia fokus dan mati-matian, ibaratnya begitu. Batin saya kepingin, tapi saya belum berani.
Ucok: Jiwa bisnis saya ini juga sedang meronta. Tapi kemampuan saya tak ada di dunia itu, risih, takut jadi blunder. Butuh rekan yang ngerti atau minimal berteman dengan para pebisnis. Supaya niat bisnis saya kuat. Kalau dilihat dari kekaryaan, justru kau jauh lebih hebat dari saya. Di usiamu ini beda banget dengan saya dulu. Saya masih ecek-ecek. Sampai sekarang juga masih. Haha. Fase ketenaran dalam menulis, saya merasa sudah cukup walau belum terkenal-terkenal amat. Tapi, minimal pernah sekali viral dan banyak orang kenal. Saya mati-matian mendirikan komunitas dan sebuah penerbitan buku, dll. Itu untuk diri sendiri dan kawan-kawan regenerasi saya. Agar jangan terulang kebingungan-kebingungan saya zaman itu. Di koran-koran, kayaknya pula saya sudah cukup kenyang. Memang, sekarang ini kuatnya dalam pengabdian: memberikan ruang, tempat, wejangan, pelatihan, dsb.
Samin: Soal bisnis harus punya perhitungan dan strategi yang matang. Terutama wawasan soal itu.
Ucok: Dulu kau pernah cerita, kau berdoa ingin jadi pelatih menulis, ngisi pelatihan. Kau kuatkan dulu karya-karyamu itu. Nanti undangan akan datang dengan sendirinya. Saya sudah merasakan itu. Bahkan sekelas akademisi yang bergelar tinggi saja percaya ngundang saya jadi pemateri, bahkan orang kementerian. Saya sendiri malah meragukan diri saya. Haha.
Samin: Saya lagi kangen masa penjelajahan saya. Saya sudah kehilangan energi itu.
Ucok: Seharusnya di tengah keterpurukan ekonomi, ada jiwa yang lebih kuat untuk maju.
Samin: Teorinya begini, praktiknya jauh lebih sulit daripada sekadar membuka kancing baju Ana Garalina.
Ucok: Apa yang sudah kau perbuat untuk bangkit?
Samin: Kenapa saya tekun berkomunitas. Bukan saya ingin besar dari situ, tapi saya ingin memperpanjang napas saya. Saya merasa di tempat ini membantu saya bernapas lebih lama dalam menulis. Memang belum banyak yang digali. Tetapi sedang dicari. Tetapi belakangan ini, saya tak punya teman lagi. Teman tempat mengekspresikan banyak hal, teman bertukar gagasan, teman berdialog, teman menjelajah. Itu kenapa saya ngotot sekali mencari orang-orang serius dalam dunia menulis selama ini. Alasan utamanya saya nyari teman.
Ucok: Si Kipli maksudmu temanmu itu?
Samin: Ya. Namun, sekarang sedikit berbeda walau masih bisa diajak ngobrol. Sekarang, mangkanya saya sering ngopi sama Syekh Walang Pedang belakangan ini. Diskusi di kobongnya sampai malam. Tapi Syekh Walang Pedang katanya mau pergi dari kota ini. Duh!
Ucok: Kau butuh teman tidur.
Samin: Ini juga yang lagi mengganggu pikiran saya.
Ucok: Berat. Berat. Selamat berjuang.
Samin: Semoga kita masuk surga.
Ucok: Amin.
Kiara, 5 Juli 2022
______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi NGEWIYAK, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku kolom proses kreatifnya yang sudah terbit Buku Tanpa Endors dan Kata Pengantar (#Komentar, April 2022).