Esai Edi Warsidi
Belakangan ini, si Badu (nama yang disamarkan) suka menyendiri. Dia tampak galau dan kian galau saja setiap hari. Pangkal kegalauannya bermula saat dia menghadiri acara perpisahan sekolah bersama Lola (nama samaran). Beberapa hari setelahnya, si Badu digosipkan menjadi kekasih Lola. Secara fisik, Lola cukup manis, tetapi bukan itu soalnya. Sebagai remaja yang tertutup dan suka menyendiri, Badu merasa malu kalau digosipkan menjadi kekasih Lola. Sebenarnya, dia ingin menolak atau membuat pernyataan tentang gosip itu, tetapi makin galau sendiri; kalau-kalau justru pernyataannya itu akan memperhebat gosip.
Tanpa si Badu membuat pernyataan pun, gosip sudah merebak ke mana-mana. Suatu kali dia mendengar orang berbicara bahwa dirinya pernah menonton bareng sama Lola di bioskop. Pada saat yang lain, dia bahkan sempat mendengar gosip yang mengatakan bahwa dia pernah berpegangan tangan sama Lola. Kebanyakan remaja akan membiarkan saja gosip seperti itu, tetapi tidak untuk si Badu. Di mata Badu, gosip itu sudah lebih busuk daripada tuduhan sebab gosip itu ternyata menggalaukan dirinya. Dia hampir tidak bisa tidur nyenyak.
Diam-diam terbesit dalam pikiran Badu untuk mengadu kepada saudaranya. Akan tetapi, dia menjadi galau sendiri; kalau-kalau saudaranya itu justru mempercayai gosip itu. Terlintas pula dalam benak si Badu untuk berobat ke psikiater, tetapi kemudian dia pun menjadi lebih galau; kalau-kalau nanti ada orang lain yang mendengar atau melihat, nanti dikatakan sebagai orang sakit jiwa.
Keresahan yang membukit itu memaksa Badu untuk membenamkan diri dalam kamarnya. Untuk sedikit melupakan kegalauannya itu, dia mencoba membaca buku apa saja. Tiba-tiba mata Badu terfokus pada buku antologi puisi Perahu Kertas (PN Balai Pustaka, Cetakan I, 1983) karya Sapardi Djoko Damono (SDD). Halaman demi halaman antologi puisi itu dia baca dan hayati sampai pada halaman 34 yang memuat puisi "Peristiwa Tadi Pagi":
Peristiwa Pagi Tadi
kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor
tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, mem-
bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu
diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah
jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai
di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa
itu.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu. Sehabis membaca puisi itu, Badu diam terpaku. Dia merenung, betapa puisi SDD itu telah mewakili peristiwa yang membuatnya galau selama ini. Ah, Sapardi toh sudah menceritakan, memang begitulah watak manusia. Cerita tentang suatu peristiwa akan berkembang setelah berpindah-pindah dari satu orang ke orang berikutnya.
Pada saat kesadaran Badu sampai situ, seketika dia seperti menjadi makin arif sehingga gosip yang menggalaukan dirinya dapat diterima sebagai hal yang wajar. Wajar ketika tahu bahwa memang begitulah perangai khalayak di sekitar kehidupan ini.
Cerita tersebut membuktikan adanya sumbangan puisi bagi ilmu jiwa (psikologi). Penyair dan psikolog, Darmanto Jatman menyebutkan bahwa puisi dan psikologi haruslah dipertemukan sebab manusia adalah sumber dari puisi dan psikologi. Kepada manusialah harus dikembalikan puisi dan psikologi.
Dalam buku Sastra, Psikologi, dan Masyarakat (Penerbit Alumni, 1985), Darmanto menegaskan, "… betapa banyak yang telah disumbangkan Sigmund Freud untuk para penyair dan seberapa banyak yang telah disumbangkan Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky untuk para psikolog …." Hal ini menjadi pertimbangan saling mengisi antara puisi dan psikologi. Sebetulnya sudah jelas pula kita ketahui betapa besarnya sumbangan dramawan kuna Yunani, Sophocles melalui lakon panjang Oedipus. Akhirnya, istilah Oedipus complex menjadi bagian psikologi untuk menunjukkan suatu gejala sebagaimana yang dialami Oedipus dalam lakon tersebut.
Sebaliknya estetika intutif yang dikehendaki kehadirannya oleh puisi membuat banyak penyair harus kembali menimba sesuatu dari dalam diri manusia, dalam jiwa manusia, dan dengan begitu si manusia harus sering kembali menatap psikologi, sebagai bidang yang tidak pernah kerontang untuk digali dan dikaji. Untuk itu, Darmanto mengingatkan kembali, " … puisi tanpa psikologi akan kehilangan referensi. Bahkan, jauh dari perspektif sehingga puisi bukan hanya tidak akan kaya, melainkan tidak sampai ke mana-mana."
Tidak bisa diragukan, seseorang yang betul mau memahami dan menghayati puisi, dia pasti akan menemukan banyak kearifan. Nilai kearifan dalam puisi biasanya menyeruak sebab suatu peristiwa hanya didudukkan sebagai objek yang lepas dari diri kita sehingga kita mampu lebih bijak lagi.
Christian Barnard (pionir cangkok jantung) konon ingin memasyarakatkan euthanasia, yakni cara agar orang yang akan mati (misalnya karena kanker), dapat ”mati dengan nikmat”. Akan tetapi, kalau dihadapkan pada hal seperti itu, mungkin puisi ”Buat Ning” SDD dapat membuat kita menjadi arif, betapa memang fana hidup ini.
pasti datangkah semua yang ditunggu
detik-detik berjajar pada mistar yang panjang
barangkali tanpa salam terlebih dahulu
januari mengeras di tembok itu juga
lalu desember…
musim pun masak sebelum menyala cakrawala
tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu
Jika tidak bisa untuk diri sendiri, bukankah puisi Sapardi itu dapat menjadi semacam penghapus duka di kala kehilangan seseorang yang dicintai? Kematian selalu bergegas dan tanpa salam terlebih dahulu. Sejam yang lalu mungkin orang yang dicintai masih sehat, tetapi tiba-tiba ia pergi begitu saja; menghadap sang Khalik. Inilah kefanaan hidup. Penyadaran akan kefanaan (melalui puisi) hidup ini jelas bukan tidak ada gunanya untuk memperkuat batin kita. Hanya memang diperlukan tingkat apresiasi tertentu, sampai kita mampu memahami dan menghayati sesuatu yang diapungkan sebuah puisi.
_____
Penulis
Edi Warsidi adalah alumnus Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com