Puisi Diego Alpadani
Aku, Ia, dan Meri
Saatnya sudah ke pangkuan kembali, muka ditampakkan
walau masih Meri berbenah gelang, anting, dan kalung
dari akar dari jerami. Kembali pada kau bimbing, petang
sudah memanjang dan jendela rumah harus lekas di benah.
Jangan kau panggil Meri dari halaman, raung ayam cukup
sudah menebas lima limau keriput dalam perut. Kan kubuat
seribu siang untuk memagar pandan di belakang. Angkat,
angkat,
angkat
kembali punggung sebelum pergi. Sebelum panjang raung
menuju memar dinding kamar Meri. Sudah kali ketiga
aku siram halaman dengan tujuh air berbeda.
Padang, 2022
Ia, Aku, dan Meri II
Meri, tak perlu kau gali liku ranji
sebab di depan mata ada ludah. Dan aku
mengerti, harus mengkaji kembali dua belas
sayatan peninggalan. Kau tak harus lagi lemah
sebab usai sudah apa yang berkecoak di pangkal lidah
termuntah menjadi amarah. Lepas saja jika aku salah,
tikam saja jika ia masih berulah.
Saban hari tubuh penurut tetap akan ikut. Meski tinggi hari
tak kudapat, malam pekat bisa kau buat ia memanjat.
Padang, 2022
Ia, Aku, dan Meri III
Dari mana saja aku bisa datang jika kau panggil, timur
ataupun barat, selatan ataupun utara. Mata arah angin kan kubuat
lusuh, Meri. Dan cahaya merah itu aku yang tak perlu lagi kau jamu,
sudah sampai amukku sudah puncak amarahmu, masih juga ia
menempel seribu surat dalam air, seribu tulang dalam tanah.
Datangi ia, pandan lebat sudah di belakang rumah. Meri,
padamu titah akan kujaga,
Ia aduk setetes darah demi meraba apa yang salah, lambat-
laun akan terbaca olehmu yang masih bertanya, aku ini
apa?
Darah itu menggumpal menjadi nanah, menjadi-jadi ia
tertawa di balik asap malam kelam. Meri, aku ada di arah
mana saja. Jika benar yang kau pinta adalah hitam ayam
tentu disegerakan ia balik ke peraduan.
Padang, 2022
Ia, Aku, dan Meri IV
Ada yang akan membawamu pulang menuju
jalan, menggantungkan rambut di langit-langit
rumah. Aku masih setia dengan ikat yang dibuat
biar gagap ia ucap perapalan menjalanimu.
Meri,
jarak apa yang datang adalah dekat ke bintik jantungmu.
Meski kau suguhkan seribu tawar di satu malam, tak bisa
kau tepuk ia dengan itu. Aku ada untuk tepat dan tempat
janji pengikat, diembus saja cukup. Ia akan kalang kabut.
Cepat-lekas ia titikkan kening dengan ampu
agar datang pula kebesaran si empu. Namun aku
sudah lebih dulu menepuk liang untuk ia pulang.
Meri. Jangan tanya lagi, aku ini apa.
Padang, 2022
Ia, Aku, dan Meri V
Aku putuskan buhul untuknya, Meri.
Dari pucuk betung lepas juga ujung ubun.
Karena erat darimu belum terucap, sanggah hatimu
masih tetap kuat.
Aku runtuh dalam bimbangmu
aku luruh di gamang tanyamu.
Ia akan datang dengan cara panggilan
untuk mengetuk cahaya menjadikan kelam
yang bersarang di tukak jiwamu, Meri.
Karena arah mana saja yang kupunya
perlu kau panggil sebagaimana mestinya.
Padang, 2022
______
Penulis
Diego Alpadani saat ini memiliki hobi duduk di Lepau Wo Wat sambil menikmati teh telur dan ota lapau. Ia sangat berharap dapat duduk bersama Pevita Pearce di Lepau Wo Wat.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com